Dalam pekan ini, ada dua artikel di dua surat-kabar ibukota yang menarik untuk disimak.
Pertama, ada berita bahwa di salah satu kawasan perumahan ibukota yang akan dibangun gereja, masyarakat membuat spanduk yang berisi penolakan pembangunan gereja di tengah masyarakat mayoritas muslim. Kedua, ada berita di Camden, Australia, bahwa rencana pembangunan mesjid ditolak oleh empat gereja di kawasan itu yaitu gereja Baptis, Anglikan, Presbyterian, dan Evangelis. Yang menarik, alasan yang dikemukakan keduanya sama, yaitu: “Pembangunan tempat ibadat itu dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketenangan hidup beragama masyarakat mayoritas.”
Menghadapi kedua kenyataan yang kasusnya mirip itu kita sadar bahwa dimana-mana dan bagaimanapun, masyarakat mayoritas cenderung menjadi penentu dalam interaksi yang mengganggu homogenitas masyarakat mayoritas.
Kasus penolakan gedung gereja bahkan sampai pembakaran sudah banyak terjadi di tanah air dan di negara-negara Muslim, bahkan di Arab Saudi dilarang mendirikan gedung gereja sama sekali, sebaliknya, pembangunan mesjid di negara-negara Barat juga menghadapi dilema yang sama, masyarakat mayoritas cenderung menolak kehadiran pendatang minoritas yang mereka anggap sebagai ‘mahluk asing’ itu bahkan ada mesjid yang dirusak pula!
Kalau kita menyimak lebih dalam masalah ini, kita sadar bahwa kelompok agama cenderung eksklusif, baik dikalangan Islam maupun kalangan Kristen sehingga biasanya merupakan komunitas kecil ditengah komunitas besar yang berbeda dengannya.
Kalau kita menyimak bagaimana ‘Gereja di Tengah Masyarakat’ demikian, kita dapat memulainya dengan melakukan introspeksi diri sehingga mengurangi penolakan demikian. Beberapa hal yang ikut menjadi penyebab kemelut itu adalah:
Denominationalisme. Gereja terdiri dari berbagai denominasi yang saling berbeda, bersaing bahkan berebut jemaat, ini mengakibatkan cenderung dibangun gereja sekalipun jumlah jemaatnya masih sedikit. Akibatnya bisa dilihat akan banyak gedung gereja diperlukan untuk kebutuhan semua. Pernah ada deretan ruko dimana ada tiga gereja yang sangat berdekatan sekali, yang menarik, ketiganya berfaham aliran yang sama yang secara eksklusif ditujukan kepada kalangan etnis tertentu, namun ketiganya berbeda organisasinya, dibanyak kompleks ruko kita biasa menjumpai adanya gereja-gereja berbeda aliran yang saling berdekatan tanpa yang satu mau kenal dengan yang lainnya.
Gereja Interlokal. Berbeda dengan mesjid dikampung-kampung yang umumnya didatangi masyarakat sekitarnya atau semacam gereja Pentakosta lama di kampung-kampung yang juga memiliki jemaat yang saling berdekatan, gereja denominasi memiliki anggota yang bertebaran di segenap penjuru kota. Ini menimbulkan konsekwensi, khusunya jemaat tingkat menengah keatas, akan banyak mobil diparkir pada waktu kebaktian yang pada saat ada aktivitas di gereja itu jelas akan mengganggu privasi tetangga. Masalah ini juga sering menjadi pemicu ketidak puasan masyarakat disekitarnya karena mengganggu lalu-lintas dan menimbulkan kebisingan. Masyarakat modern di kota besar cenderung memiliki tingkat ekonomi yang meningkat dengan mobilitas tinggi sehingga mobil bukanlah merupakan kendaraan yang sulit dibeli dan mobil membutuhkan tempat parkit yang luas.
Gigantisme Narsistik. Cinta diri yang yang besar mendorong gereja-gereja kelas menengah ke atas membangun gereja-gereja mega dengan kapasitas besar dan biaya tak berhingga. Secara sosial, gereja besar cenderung menunjukkan arogansi yang menimbulkan jurang kaya miskin yang besar dengan lingkungan, apalagi kalau dibangun didekat kawasan kumuh. Secara ekonomi pembangunan, pembangunan gedung gereja paling tidak ekonomis. Biasa gereja dibangun berlipat-lipat dari kapasitas yang sebenarnya diperlukan, akibatnya gereja cenderung kosong sepanjang tahun kecuali pada waktu perayaan Paskah atau Natal, ini menimbulkan masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tinggi. Saat ini di Amerika dan Eropah banyak gereja besar mengalami krisis keuangan, soalnya ditengah krisis global sekarang, banyak sumber dana pendukung mengurangi partisipasinya sehingga biaya rutin makin sulit dipenuhi.
Kenyataan-kenyataan diatas memang sulit untuk berubah karena sejalan dengan sifat alami gereja-gereja pada masakini, karena itu dalam waktu-waktu yang akan datang pembangunan gereja di Indonesia akan makin sukar dilaksanakan lebih-lebih gereja-gereja dikawasan berpenduduk padat yang bermodal kecil. Kondisi demikian akan bisa diatasi kalau gereja-gereja mau kembali dengar-dengaran akan firman Tuhan dan tidak saling bersaing menonjolkan diri.
Sejarah gereja menunjukkan adanya hubungan terbalik antara gereja yang dibangun sederhana dimasa susah dengan gereja yang dibangun besar-besar dimasa senang. Gereja mengalami kekuatannya ketika mereka harus beribadat (sekalipun dilarang) di lorong-lorong bawah tanah (katakombe), tetapi pada saat mereka menjadi kaya dan menjadi sekular dengan basilika-basilikanya, iman jemaat makin merosot (sekularisasi gereja di masa raja Konstantin). Kenyataan demikian terjadi sepanjang sejarah gereja. Gereja-gereja besar dan mewah (megachurch) merupakan persemaian bibit nepotisme, perpecahan, perebutan warisan, kepemimpinan dan harta, apalagi kalau pendeta perintis yang dikultuskan meninggal dunia. Baik Cristal Cathedral di Los Angeles (Robert Schuller) maupun Yoido Church di Seoul (Yonggi Cho) sudah mengalami prahara perpecahan.
Di dunia Barat dimana kekristenan masih terbilang mayoritas (sekalipun secara statistik) gejala kemerosotan sudah banyak terjadi dimana rasionalisme dan sekularisasi melanda iman jemaat sehingga kerinduan berjemaat secara organisasi mengendur dan jemaat mulai meninggalkan gedung-gedung gereja yang makin kosong. Banyak gereja sudah beralih pemilik, kalau tidak untuk museum, bar/tempat hiburan, atau berubah menjadi mesjid.
Menghadapi kenyataan-kenyataan demikian, gereja-gereja sudah harus berbenah, apalagi yang baru mau didirikan. Hukum optimum pembangunan gedung gereja yang paling tepat untuk berjemaat dan kemampuan manajemen yang mengelola harus benar-benar diperhatikan agar eforia yang semula tinggi untuk membangun gereja secara besar-besaran diiringi dengan studi kelayakan yang benar sehingga tidak dihadapi masalah dikemudian hari.
Sudah tiba saatnya arogansi kelompok disalibkan bersama Kristus dan umat Kristen bisa kembali memikirkan berdirinya ‘gereja-gereja rumah’ seperti yang diceritakan dalam Kitab Para Rasul, bukan sebagai substitut (pengganti) tetapi sebagai complement (pelengkap), dimana andaikan terjadi pelarangan maupun pengrusakan gereja tidak akan mengganggu kesinambungan persekutuan dikalangan jemaat.
Umat kristen perlu kembali banyak berdoa dan banyak taat kepada Tuhan Yesus dan mencari apa kehendak-Nya dalam hal pembangun gereja, agar jemaat di dalamnya dapat bertumbuh dengan sehat, baik secara jumlah maupun secara iman, sehingga jemaat bisa menjadi gereja yang berbuah lebat dan menjadi berkat bagi lingkungannya, dengan demikian Allah dipermuliakan karena kebajikan gereja-gerejanya.
Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org
Salam kasih dari Sekertari www.yabina.org
Ini memang persoalan sosial. Argumentasi di atas, dari denominasi sampai gigantisme narsisistik, dalam beberapa hal benar. Juga sama ketika orang Nasrani menjadi mayoritas di suatu tempat *mungkin saja* menolak apapun yang beda dan asing.
ReplyDeleteNah di tengah persoalan itu ada gejala sosial, tapi masih kasuistis, bahwa ibadah di rumah di kawasan tertentu juga cenderung ditolak oleh lingkungan. Demikian pula penggunaan bangunan sekolah Kristen/Katolik. Yang terakhir penolakan terhadap kontrak gereja di lantai teratas Gandaria City oleh sebagian warga sekitar.
Nah akar persoalan sosial ini yang memang kudu dibereskan bareng-bareng.
@Pamantyo:
ReplyDeletesetuju Paman. buat saya pribadi, jika gereja akan hadir di tengah sebuah mayoritas, sudah selayaknya gereja tersebut juga mempunyai fungsi sosial terhadap lingkungan sekitarnya.
Dulu saya tinggal di petamburan, 2 gang dari markas FPI. di sekitar sana ada 2 gereja yang lumayan besar, Kristus Salvator (Katolik) & Bethel (Protestan) dan keduanya aman-aman saja. di Bethel malah ada balkesmas yang lumayan laris untuk masyarakat sekitar jika sakit. jadi menurut saya, gereja bukan hanya gedung untuk beribadah, tapi lebih dalam lagi harus mampu hadir sebagai garam di tengah masyarakat...