oleh: P. William P. Saunders *
Kadang-kadang saya mendengar kaum fundamentalis menyerang Gereja Katolik karena memiliki “berhala-berhala” demikian mereka menyebut patung-patung dan gambar-gambar kudus kita. Bagaimana menanggapi hal ini?
~ seorang pembaca dari Fredricksburg
Serangan terhadap Gereja karena menggunakan patung dan gambar-gambar religius timbul akibat penafsiran yang salah atas perintah pertama dalam Sepuluh Perintah Allah: “Akulah TUHAN, Allahmu, … Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” (Kel 20:2-5).
Dalam memahami konteks Perintah Pertama, kita patut ingat bahwa pada masa Sepuluh Perintah Allah diberikan, tak seorang pun pernah melihat wajah Allah. Bahkan Musa yang berada di hadapan Allah di Gunung Sinai tidak memandang wajah-Nya: Tuhan berkata kepada Musa, “Aku akan melewatkan segenap kegemilangan-Ku dari depanmu dan menyerukan nama TUHAN di depanmu … Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup.” (Kel 33:19-20). Jadi, tak ada seorang pun yang akan pernah dapat menggambarkan Tuhan dalam rupa patung atau pun lukisan; melakukannya hanyalah khayalan imaginasi belaka.
Tetapi, Kristus - sungguh Allah dan sungguh manusia - masuk ke dalam dunia dan mengambil rupa manusia. Sabda Allah menjadi manusia dan diam di antara kita. Dalam pengantar Injilnya, St. Yohanes menulis, “…Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:14); karenanya, “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yoh 1:18).
Justru karena inkarnasi Putra Allah itulah, St. Yohanes dari Damaskus (wafat tahun 749) menegaskan bahwa, “Pada mulanya Allah, yang bukan badan, bukan juga rupa, tidak dapat dilukiskan sama sekali melalui gambar. Tetapi sekarang, setelah Ia kelihatan dalam daging dan hidup bersama manusia, saya dapat membuat satu gambar dari apa yang saya lihat dari Allah…. Kita memandang kemuliaan Tuhan dengan wajah tak terselubung.” Sejak masa awal Gereja, kita mempunyai bukti akan adanya gambar-gambar Kristus, peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci, atau para santa dan santo. Gambar-gambar demikian masih dapat ditemukan sekarang dalam katakomba-katakomba.
Namun demikian, tidaklah mungkin suatu patung atau lukisan yang menggambarkan suatu tokoh religius - misalnya Kristus, Bunda Maria, atau seorang kudus - menjadi obyek yang kita sembah. Gampangnya, Kristus bukanlah patung. Berpikir bahwa suatu patung atau gambar adalah pribadi yang sesungguhnya, atau menyembah patung atau gambar tersebut, merupakan penyembahan berhala.
Tujuan gambar-gambar kudus ini sudah jelas untuk membantu kita manusia dalam merenungkan Kristus, karya-karya-Nya, dan para kudus-Nya, agar kita boleh dibawa semakin dekat kepada-Nya dan menjadi lebih sadar akan persekutuan kita dengan para kudus. Sebagai contoh, kita semua memiliki gambar atau foto orang-orang yang kita kasihi, baik mereka yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Saya ingat saya pernah melihat foto-foto kakek-nenek buyut saya dan juga tiga kakek-nenek saya yang semuanya tidak pernah saya kenal atau jumpai secara pribadi karena mereka telah meninggal sebelum saya dilahirkan. Mereka yang saya kasihi ini, yang saya kenal hanya lewat foto-foto dan cerita-cerita tentang mereka, merupakan kenangan yang hidup bagi saya. Ikatan kekeluargaan saya dengan mereka semakin dipererat. Saya dapat lebih sadar akan sejarah keluarga yang merupakan bagian dari hidup saya. Betapa terlebih lagi ketika saya memandangi foto nenek saya yang terkasih, yang saya kenal, tetapi sekarang telah berpulang ke rumah Bapa kita. Benar, foto-foto itu bukanlah pribadi sesungguhnya, tetapi foto-foto tersebut mengingatkan saya akan pribadi yang diwakilinya dan kenangan akan pengalaman hidup yang saya lewatkan bersama pribadi tersebut menjadi lebih nyata.
Sama persis halnya dengan patung atau gambar-gambar religius. Lagi, St. Yohanes dari Damaskus menyatakan, “Keindahan dan warna gambar-gambar merangsang doaku. Mereka merupakan pesta bagi mataku, sebagaimana gambar dari suatu pemandangan alam merangsang hatiku, untuk memuja Allah.”
Dalam perjalanan sejarahnya, Gereja telah berperang melawan penafsiran yang salah terhadap larangan penyembahan berhala dalam Perintah Pertama. Pada tahun 730, Kaisar Leo III, yang memerintah sisa-sisa Kekaisaran Romawi bagian Timur, memerintahkan pemusnahan ikon-ikon, yang merupakan bagian dari tradisi liturgi Timur. Tindakannya itu didasari oleh penekanan yang berlebihan terhadap keilahian Kristus yang sayangnya berupa tindakan penghinaan terhadap penghormatan yang tulus kepada gambar-gambar religius. Pemusnahan ikon-ikon atau gambar-gambar kudus disebut ikonoklasme dan dikutuk oleh Bapa Suci di Roma. Sesudahnya, pada tahun 787 Konsili Nicea membela penghormatan kepada gambar-gambar kudus dengan menyatakan, “Karena, semakin sering seseorang merenungkan gambar-gambar kudus ini, semakin sukacita ia dibimbing untuk merenungkan pribadi asli yang mereka wakili, semakin pula ia ditarik kepadanya dan diarahkan untuk memberinya … penghormatan yang khidmad…” Karena “penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar menyangkut gambar asli di baliknya” (St. Basilius), dan “siapa yang menghormati gambar, menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya.”
Suatu ikonoklasme baru muncul dalam gerakan Protestan. Kefanatikan kaum reformasi berakibat pada penyingkiran altar, pemusnahan karya-karya seni religius, dan penghapusan dekorasi di banyak gereja yang dulunya adalah Gereja Katolik. Calvin secara khusus menekankan bahwa penghormatan kepada para kudus merupakan buah karya setan dan penghormatan kepada patung dan gambar-gambar kudus merupakan penyembahan berhala. Serangan-serangan Calvin menyebar juga di kalangan Presbyterian, Dutch Reformed, Huguenot, Baptist, dan kaum Puritan. (bahkan kaum Amish hingga kini menganggap foto orang-orang yang dikasihi sebagai penyembahan berhala). Konsili Trente (tahun 1563) bertindak dengan menyatakan, “Patung dan gambar-gambar Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah dan para kudus lainnya sepatutnya disimpan dan ditempatkan di tempat-tempat khusus doa; dan kepada mereka hendaklah disampaikan penghormatan yang khidmad, bukan karena dianggap terdapat sesuatu yang adikodrati atau kuasa tertentu di dalamnya sehingga mereka dihormati, bukan pula karena sesuatu diminta dari mereka atau pun kepercayaan buta kepada patung seperti yang dilakukan oleh kaum kafir yang menaruh harapan mereka pada berhala-berhala; melainkan karena penghormatan kepada patung atau gambar tersebut ditujukan kepada pribadi-pribadi asli yang diwakilinya. Dengan demikian, melalui gambar-gambar ini, yang kita cium dan di hadapannya kita berlutut serta menyelubungi kepala kita, kita menyembah Kristus dan menyampaikan penghormatan kepada para kudus yang diwakili oleh gambar-gambar tersebut.”
Konsili Vatikan II menegaskan penggunaan gambar-gambar kudus dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci (tahun 1963): “Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras, supaya jangan terasa janggal oleh umat Kristiani, dan jangan memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat.” (no. 125). Patung dan gambar-gambar kudus membantu membangkitkan iman umat beriman. Karenanya, baik di Gereja maupun di rumah-rumah kita, patung dan gambar-gambar kudus merupakan tanda pengingat yang kelihatan akan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan para kudus. Sadar sepenuhnya akan hidup mereka yang tidak kelihatan, namun nyata dalam kehidupan kita, kita mempersatukan doa-doa kita dengan doa-doa Bunda Maria dan para kudus kepada Tuhan, sambil dengan rindu menantikan waktu di mana kita akan berjumpa dengan-Nya muka dengan muka.
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Icons and Sacred Images” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
No comments:
Post a Comment