“Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamukesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan." Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Lukas 2 : 10 – 14, TB-LAI, warna merah adalah tambahan penulis)
Dalam minggu ini, penulis menerima undangan untuk hadir pada ‘Perayaan Natal’ keluarga besar Lembaga Alkitab Indonesia pada tanggal 16 Desember 2009 di Jakarta, sebuah kesempatan yang indah untuk berbagi kesukacitaan dengan keluarga besar pencinta LAI. … Dibalik itu mungkin ada yang mempertanyakan: “Mengapa tidak diadakan pada tanggal 25 Desember?” namun sebaliknya orang juga bisa mempertanyakan: “Mengapa harus tanggal 25 Desember?” Jawabannya: “Dalam hubungan dengan ‘hari Natal,’ umat kristen tidak merayakan ‘hari’nya tetapi ‘Natal’nya.” (Natal [latin: lahir] artinya berhubungan dengan kelahiran dan ‘Hari Lahir’ dalam bahasa latin disebut ‘Dies Natalis,’ dan dalam dalam hubungan dengan Natal Yesus maksudnya ‘kenangan akan kelahiran Yesus, Juruselamat, Kristus Tuhan’)
Pernah seorang teolog bernama Bruno Baur menolak bahwa Yesus pernah hidup di dunia, dan kelompok teolog modern dan Jesus Seminar menolak ke’Tuhan’annya, namun umat Kristen danorang-orang pada umumnya mengakui bahwa memang benar bahwa ‘Yesus pernah hidup di Yudeapada abad pertama dan lahir di Betlehem, namun kapan kelahiran itu terjadi?’
Peristiwa Natal pertama tercatat jelas dalam Kitab Injil Matius (1:18-2:11) dan Lukas(2:1-20), peristiwa mana terjadi ketika kaisar Romawi Agustus mengeluarkan perintah sensus dimana penduduk harus mendaftar ulang di tempat asal kelahiran mereka. Dari sejarah kita mengetahui bahwa kaisar Agustus memerintah sekitar tahun 30SM – 14M. Namun, kapan waktunya ia mengadakan sensus itu?
Dari data Alkitab tersirat bahwa pada waktu Yesus dilahirkan, Yudea diperintah oleh rajaHerodes Agung (37 – 4SM) yang kejam bahkan kita melihat kekejaman itu pada waktu ia membunuh bayi-bayi di Betlehem (Mat.2:16-18). Dari data ini kita dapat mengetahui bahwa waktunya tidak lebih lambat dari tahun 4SM, dan karena Herodes meninggal tidak lama setelah kelahiran Yesus, maka kemungkinan Yesus lahir antara tahun 6 – 4SM. (Menarik mengetahui bahwa pada dasawarsa pertama SM komit Haley diperkirakan melintas di Palestina. Menurut catatan Josephus, komit Haley yang bersiklus 7o-an tahun sekali itu pada tahun 64M melintas diatas Jerusalem).
Sekarang, pada bulan apa Yesus dilahirkan? Benarkah seperti yang dikatakan tradisi gereja yang menyebut tanggal 25 Desember? Kelihatannya bulan dan tanggal itu tidak tepat, soalnya pada bulan Desember – Januari, di Palestina, iklimnya cukup dingin dengan beberapa tempat bersalju, sehingga agaknya tidak mungkin ada bintang terang di langit dan para gembala bisa berada di padang Efrata dalam keadaan musim demikian (Luk.2:8), demikian juga tentunya kaisar Agustus tidak akan mengeluarkan kebijakan sensus dan menyuruh penduduk Yudea melakukan perjalanan jauh dalam suasana dingin yang mencekam sehingga Maria yang hamil tua mesti melakukannya.
Ada pendapat selain bulan Desember itu yang mengemukakan bahwa kemungkinan Yesus dilahirkan pada bulan Juni karena iklimnya menunjang, ada juga yang mengemukakan bahwa ‘Yesus dilahirkan di bulan Tishri’ (September – Oktober) yaitu pada hari Raya Pondok Daun, dimana iklimnya masih menunjang. Argumentasi ini didasarkan waktu penugasan Zakharia masuk ke Bait Allah adalah sekitar bulan Siwan (Mei – Juni) dan dengan memperhitungkan lama kandungan Elizabeth dan Maria, maka diperkirakan kelahiran Yesus terjadi pada sekitar Hari Raya Pondok Daun. Lalu mengapa diadakan pada tanggal 25 Desember?
Umat Kristen abad pertama tidak merayakan hari Natal, bagi mereka kekristenan berpusat pada rangkaian hari kematian, didahului dengan perjamuan malam dengan puncak kebangkitan Tuhan Yesus Kristus pada hari yang ketiga yang dikenal sebagai hari Paskah, dan ini dikenang dengan pertemuan perjamuan dengan makan roti dan anggur bahkan tiap hari terutama pada hari pertama dalam minggu dimana para-murid biasa berkumpul. Sejak abad-3 gereja Timur (Orthodox) merayakan hari ‘Epifani’ (manisfestasi) pada tanggal 6 Januari untuk merayakan hari pembaptisan Yesus di sungai Yordan yang sekaligus mencakup peringatan akan kelahiran-Nya. Perayaan Epifani masih dirayakan gereja Timur hingga kini dengan memberkati air baptisan dan sungai Yordan. Di gereja Barat, hari Epifani juga dirayakan untuk mengingat kunjungan para Majus, dan sejak abad-4 untuk mengenang peristiwa sekitar manifestasi kelahiran Yesus di Betlehem.
Pada tahun 274, di Roma dimulai perayaan hari kelahiran Matahari pada tanggal 25 Desember sebagai penutup festival saturnalia (17-24 Desember) karena diakhir musim salju Matahari mulai menampakkan sinarnya pada hari itu. Menghadapi perayaan kafir itu, umat Kristen umumnya meninggalkannya dan tidak lagi mengikuti upacara itu, namun dengan adanya kristenisasi masal di masa Konstantin, banyak orang Kristen Roma masih merayakannya sekalipun sudah mengikuti agama Kristen. Kenyataan ini mendorong pimpinan gereja di Roma mengganti hari perayaan ‘kelahiran Matahari’ itu menjadi perayaan ‘kelahiran Matahari Kebenaran’ dengan maksud mengalihkan umat Kristen dari ibadat kafir pada tanggal itu dan kemudian menggantinya menjadi perayaan ‘Natal, mengenang kelahiran Yesus.’ Pada tahun 336, perayaan Natal mulai dirayakan tanggal 25 Desember sebagai pengganti tanggal 6 Januari. Ketentuan ini diresmikan kaisar Konstantin yang saat itu dijadikan lambang raja Kristen. Perayaan Natal pada tanggal 25 Desemberkemudian dirayakan di Anthiokia (375), Konstantinopel (380), Alexandria (430), dan menyebar ke tempat-tempat lain.
Dari kenyataan sejarah tersebut kita mengetahui bahwa ‘Natal bagi umat Kristen bukanlah perayaan hari Matahari tetapi pengganti perayaan Hari Matahari,’ yaitu usaha pimpinan gereja untuk mengalihkan umat kristen Roma dari hari Matahari kepada Tuhan Yesus Kristus dengan cara menggeser tanggal 6 Januari menjadi 25 Desember, dengan maksud agar umat Kristen tidak lagi mengikuti upacara kekafiran. Masa kini umat Kristen tidak ada yang mengkaitkan hari Natal dengan hari Matahari, dan tanggal 25 Desember pun tidak mengikat, sebab setidaknya umat Kristen secara umum merayakan hari Natal pada salah satu hari di bulan Desember sampai Januari demi keseragaman seperti perayaan Natal LAI yang diadakan tanggal 16 Desember itu.
Memang harus diakui, bahwa ada pengaruh tradisi budaya kafir atas ‘perayaan’ Natal di gereja Barat (yang kemudian menjadi Roma Katolik) yaitu misalnya perayaan Natal dicampur-baurkan dengan perayaan figur ‘Santo Nicholas’ seorang uskup yang saleh pada abad XI yang senang membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak. Santo Nocholas di negeri Belanda dirayakan sebagai ‘Sinterklaas’ (yang naik kuda dengan pelayannya yang berkulit hitam) pada tanggal 5 Desember, sedangkan di Amerika dirayakan sebagai ‘Santa Claus’ pada tanggal 25 Desember. Figur Santa Claus kemudian dicampur-adukkan dengan ‘dewa ‘Odin’ Norwegia’ yang menaiki kereta salju ditarik oleh rusa kutub (reindeer) yang bisa terbang.
Pada abad XIII Franciscus dari Azisi memperkenalkan ‘creche’ yaitu replika kandang dan ternak yang dihiasi pula dengan figur Yusuf dan Maria dengan palungan tempat bayi Yesus diletakkan dan dihadiri para gembala dan orang Majus, ini kemudian menjadi hiasan Natal yang diletakkan dibawah pohon Natal. Penggunaan Pohon Natal (sejak abad XVI) melambangkan ‘kekekalan’ mengingat pohon den (cemara) tahan menghadapi empat cuaca, pohon ini biasa dihiasi lilin/lampu mengenang indahnya pemandangan dimusim salju dimana orang melihat kerlap-kerlip lampu-lampu rumah penduduk dibalik dahan/ranting pohon yang tetap hijau dipadang bersalju.
Yang harus di’demitologisasikan dari perayaan Natal’ bukanlah ‘kenangan Natal Yesus’ melainkan ornamen kafir yang mengiringi perayaannya seperti ‘prasangka hari matahari’ dan ‘ilustrasi Santa Claus dengan kereta salju terbangnya,’ dengan demikian kita tidak mengorbankan tubuh perayaan kenangan kelahiran Yesus yang begitu luhur hanya karena kita berprasangka dengan baju perayaan Natal yang sobek yang ada tambalannya. Tidak ada upacara agama manapun yang sama sekali steril dari pengaruh tradisi budaya/agama.
Setiap orang secara pribadi dapat merayakan Natal pada ‘hari’ yang disukainya (idealnya setiap hari merayakannya!), hanya bila ingin merayakan secara kelompok (di gereja/persekutuan) tentu perlu konsensus mengenai tanggal yang dipilih bersama agar seragam, sebab bila masing-masing merayakan pada tanggal kesukaannya sendiri misalnya pada bulan Juni atau bulan Tishri, siapa ikut menghadirinya? Justru dengan mencari-cari tanggal yang tepat seseorang terjebak tradisi kafir yang menentukan satu hari lebih dari hari lainnya (Gal.4:9-11). Bagi seorang yang dewasa dalam iman, hari yang mana bukan syarat karena itu hanyalah kulit/permukaan ritual saja, tetapi yang penting adalah ‘hakekat’ sukacita Natal ‘Kelahiran Tuhan Yesus Kristus,’ karena itulah inti Natal yang seharusnya kita kenang dalam persekutuan kasih Natal. Biasanya umat kristen merayakan di gereja pada salah satu hari di bulan Desember sedangkan persekutuan kristen biasanya pada hari-hari di bulan Januari, namun kalau sesudah bulan itu rasanya kadaluwarsa bukan?
Ibu mertua penulis lahir pada tahun 1917 dan masih hidup sampai sekarang dan tinggal bersama kami. Mengenai tanggal dan bulan kelahirannya sudah terlupakan, tetapi kami mengambil hari pernikahannya yaitu bulan Februari yang catatan surat nikahnya masih ada untuk mengenang hari kelahirannya, dan si’ibu’ setiap tahun bisa bersukacita merayakan pertambahan umurnya bersama anak, cucu, dan buyut dengan makan bersama di rumah. Betapa indahnya pertemuan keluarga empat generasi demikian!
Akhirnya, . . .
“Merayakan ‘Natal’ adalah baik dan perlu, dimana ada saat diakhir tahun dimana kita bersyukur mengenang kelahiran ‘Yesus Kristus, sang Juruselamat dunia’ yang telah lahir 20 abad silam, dimana kita sekaligus dapat ‘memuji dan memuliakan Allah’ yang telah mendatangkan ‘kesukaan besar bagi seluruh bangsa’ dan ‘damai sejahtera di bumi’ bersama dengan umat di gereja/persekutuan. Kabar baik (evangelion) yang seharusnya kita beritakan ke seluruh penjuru dunia.”
Salam kasih dari Sekertariat www.yabina.org
No comments:
Post a Comment