MENGUAK ARTI DOA DAN SHOLAT DALAM TRADISI GEREJA ORTHODOX
Banyak orang berseloroh, terutama saudara kita kaum Muslim bahwa, “Orang Kristen itu tidak pernah sholat, namun hanya berdoa”. Ungkapan ini mau tidak mau harus kita akui, namun sayang sekali ada sebagian orang Kristen yang tidak dapat membedakan antara doa dan sholat.
Tidak dapatnya membedakan antara doa dan sholat inilah, maka tercetus kata-kata bahwa “doa” yang dilakukan oleh orang Kristen, dan ”sholat” yang dilakukan oleh saudara kita Muslim itu sama saja maknanya. Orang percaya boleh-boleh saja berpendapat bahwa bahwa antara “doa” dan ”sholat” itu sama saja maknanya, namun yang menjadi masalah, apakah pandangan yang demikian sesuai dengan kenyataan dan apakah sholat itu didukung oleh fakta Alkitab ? Sebagai orang percaya yang setiap tindakan dan lakunya selalu dilandaskan atas Firman Allah, maka untuk menentukan itu sama atau tidak, adalah bijaksana jika kembali pada pernyataan-pernyataan yang ada dalam Alkitab.
I. Doa
Perihal doa banyak sekali terungkap dalam Alkitab, bahkan Tuhan Yesus sendiri memberikan contoh tentang doa, seperti dalam Matius 14:23, “Dan setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian disitu”. Pola Yesus berdoa sendirian di atas bukit, menunjuk pada artian bahwa pada waktu berdoa, Ia menginginkan suasana hening, teduh dan sejuk. Ini adalah cara bagaimana manusia dapat masuk pada batin yang terdalam untuk menemukan jati diri dan merenungkan apa yang Allah inginkan dan telah berikan dalam hidup ini. Doa Yesus ini lebih mengarah pada batin yang terdalam dan bukan hanya sekedar kata-kata yang indah, namun lebih bersifat perenungan guna menemukan akunya sendiri untuk masuk dalam pemanunggalan dengan “Sang AKU” [ bdk. Kej.17:1; Kel.3:14 – “…AKU adalah AKU…Lagi firman-Nya: “…AKULAH AKU…(“Ego eimi”; bhs.Yunani) ]. Dengan bertemunya “aku manusia” dengan “Sang AKU” dalam doa, maka doa yang demikian adalah doa yang didasarkan atas pengalaman hidup bersama-sama dengan Allah. Karena fakta ini, adalah bijaksana jika berdoa tidak memikirkan hal-hal lain kecuali Allah. Paralel dengan doa yang bersifat batiniah ini, meminjam istilah orang Jawa bahwa jika kita berdoa perlu untuk “nutupi babahan hawa sanga”, artinya pada waktu berdoa hindarilah perkara-perkara luar masuk kepikiran dan batin yang mengganggu konsentrasi untuk menyembah Allah. Hal ini nyata sekali terlihat dari ungkapan Yesus sendiri yang mengatakan : “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6). Jadi doa itu merupakan masalah batin, bukan sekedar ungkapan kata yang tidak berdasarkan pengertian yang dalam mengenai makna doa tersebut. Pengertian yang dalam disini adalah bahwa di dalam doa itu kita sedang masuk dan manunggal dengan Allah.
Pengertian akan makna doa bukan hanya sekedar ulah pikiran, namun perlu penghayatan dan perenungan serta penterjemahan dalam hidup keseharian. Dengan demikian jelas bahwa doa itu tidak dapat dilakukan dengan pura-pura atau supaya dilihat orang bahwa kita adalah orang yang saleh dan suka berdoa, namun ini perlu dilandaskan pada hati yang tulus, rendah hati dan tak terbesit sedikitpun kemunafikan dan arogansi. Karena kalau doa dilandaskan pada kepura-puraan akan berakibat fatal, sebab hal itu tidak mungkin tidak terdeteksi oleh Allah.
Js. (Janasuci; Orang Kudus, Red.) Paulus dalam suratnya menandaskan, bahwa manusia dapat berseru dalam batin dan menyebut Allah sebagai “Bapa”, itu adalah merupakan karya Allah (Gal.4:6). Manusia tidaklah akan mengaku dalam batin dan berseru pada Bapa dalam hidupnya, jika dalam hidup manusia itu sendiri tidak bertobat dan memberi diri untuk dipimpin oleh dan masuk dalam hidup Ilahi. Masuk dan manunggalnya kita dalam hidup Ilahi inilah, menjadikan sifat dan karakter Allah oleh kuasa Roh Kudus menjadi sifat dan karakter kita. Artinya bahwa kita selalu mengekspresikan hidup Allah, yang oleh Injil Matius disebut sebagai “Terang dunia” (Mat.5:4) sebagai hasil penyatuan kita dengan Sang Terang (Yoh.8:12) melalui doa dan sakramen-sakramen yang terdapat dalam Gereja (Rm.6:3-4; Gal.3:27).
Dengan demikian jelaslah bagi kita, bahwa maksud doa bukan hanya sekedar suatu kewajiban sebagai orang Kristen, namun itu mengarah lebih dalam lagi yaitu untuk menyucikan dan menyatukan hidup serta kehendak kita dengan hidup dan kehendak Ilahi. Dan berdasarkan realita ini, terungkaplah sudah bahwa doa itu tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang biasa kita pikirkan, namun itu perlu kerendahan hati, ketulusan dan perenungan yang mendalam untuk menyatukan kehendak kita dengan kehendak Allah. Dan sifat doa ini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Disinilah letak perbedaan antara doa dan sholat. Karena sholat itu dilakukan berdasarkan urutan waktu dan mempunyai makna inkarnasi Sang Sabda dan karyaNya.
Jika sholat itu lebih bersifat sanjungan dan pujian serta penyembahan kepada Allah, doa lebih bersifat permohonan. Dan doa ini dilakukan secara spontan menggunakan bahasa sendiri, tanpa memiliki aturan tertentu. Ini bisa dilakukan ketika orang selesai sholat atau dimanapun dan kapanpun dia berada dan merasa membutuhkan pertolongan Allah. Ini dapat dilakukan tanpa harus mengikuti tertib tertentu, tak pula harus menghadap ke kiblat di Timur, boleh dengan mata tertutup dan tangan terlipat atau dengan mata tengadah ke langit dan tangan menadah tanda mengharap.
Disamping itu Gereja Orthodox juga mengenal semacam “samadhi” atau“dzikir” yang disebut sebagai “Doa Puja Yesus” (“Doa Yesus”) dengan menggunakan semacam “tasbih” yang dirajut dari benang, disebut sebagai“komboskini”. Dan praktek yang dilakukan oleh kaum “sufi” Kristen Orthodox yang disebut kaum “hesykhastis”. Pembahasan mengenai “hesykhasme”(“Sufisme Kristen Orthodox”) ini memerlukan makalah dan tempat tersendiri.
II. Sholat
Barangkali agak asing rupanya, jika orang Kristen berbicara tentang sholat. Karena kata “Sholat” atau “Sembahyang” itu sendiri jarang disinggung-sentuh oleh orang Kristen. Padahal jauh sebelum saudara kita kaum Muslim menggunakan kata ini, orang Kristen Orthodox telah menggunakan kata “Sholat” saat menunaikan ibadah. Kata “Sholat” itu sendiri dalam bahasa Arab, serumpun dengan kata “Zelota” dalam bahasa Arami (Syria) yaitu bahasa yang digunakan oleh Tuhan Yesus sewaktu hidup di dunia. Dan bagi umat Kristen Orthodox Arab yaitu umat Kristen Orthodox yang berada di Mesir, Palestina, Yordania, Libanon dan daerah Timur-Tengah lainnya menggunakan kata “Zelota” tadi dalam bentuk bahasa Arab “Sholat”, sehingga doa “Bapa kami” oleh umat Kristen Orthodox Arab disebut sebagai “Sholattul Rabbaniyah”. Dengan demikian“Sholat” itu bukanlah datang dari umat Islam atau meminjam istilah Islam. Jauh sebelum agama Islam muncul, istilah Sholat untuk menunaikan ibadah telah digunakan oleh umat Kristen Orthodox, tentu saja dalam penghayatan yang berbeda. Setelah mengerti bahwa istilah “Sholat” dalam menunaikan ibadah adalah milik umat Kristen sendiri, maka tiba saatnya bagi kita untuk membahas landasan aqidah “Sholat” itu sendiri.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Firman itu selalu tinggal dan qoimah (melekat) satu dalam Diri Allah yang Esa, dengan demikian daeri kekal sampai kekal Firman itu selalu bersama-sama dengan Allah (Yoh.1:1; 10:30). Padahal sesuai dengan pernyataan Injil Yohanes 4:24, bahwa Allah itu adalah Roh, kalau Allah itu adalah Roh, berarti Allah itu tak bertubuh jasmaniah, tak beragawiah, tak bertulang dan tak mempunyai darah. Ini menunjuk pada pengertian bahwa Firman yang tinggal melekat dari kekal sampai kekal di dalam Allahpun juga tak mempunyai tubuh, tak mempunyai raga, tak mempunyai tulang dan tak mempunyai darah.
Firman yang tinggal melekat dalam diri Allah, sesuai dengan janji Allah terhadap manusia telah nuzul ke jagad dan menjelma menjadi manusia (Yoh.1:14) melalui Sang Dara Maria dengan sebutan Yoshua Ha Massiha, Isho Messiha atau'Isa Al Masih dan yang lebih dikenal dengan sebutan Yesus Kristus. Menurut pandangan Gereja Perdana atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Gereja Orthodox”, bahwa untuk menyatu dan manunggal dengan Kristus, tidaklah dapat dilakukan berdasarkan kekuatan sendiri, namun itu harus dilakukan melalui sarana-sarana yang disediakan dalam Gereja. Sarana-sarana tersebut adalah bersifat sakramental, karena melalui sakramen-sakramen itulah kita secara mistika telah disatukan dengan Kristus. Ini nyata sekali kalau kita melihat dalam“Sakramen Baptisan”. Pada saat kita dibaptis, kita telah disatukan dengan penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus (Rm.6:3-4), serta menunggal dalam kehidupan Kristus dalam Roh Kudus yang diturunkan pada hari Pentakosta, melalui pengurapan kudus dalam “Sakramen Krisma” hingga hidup kekal termeterai dalam diri kita sebagai orang percaya (Kis.8:14-17; 2:1-4; Ef.1:13; II Kor.1:21-22; I Yoh.2:27). Agar pemanunggalan kita dengan Sang Firman Menjelma itu tetap terjaga, maka perlu sekali untuk mengambil bagian dalam“Sakramen Perjamuan Kudus” (“Sakramen Ekaristi Kudus”). Karena dalam sakramen ini, “roti” itu bukan sekedar roti namun itu adalah benar-benar “Tubuh Kristus”, demikian juga “anggur” itu bukan sekedar anggur namun benar-benar “Darah Kristus”.
Dengan demikian jelas, bahwa dengan mengambil Sakramen Perjamuan Kudus itu, orang percaya masuk dalam hidup Kristus itu sendiri (Mat.26:26-28; I Kor.10:16-17; 11:24-30). Dan supaya dalam melakukan sakramen ini tak terkotori oleh dosa, maka “Sakramen Pengakuan Dosa” perlu dilakukan disini (Mat.16:19; 18:18; Yoh.20:22-23), dan masih ada lagi yang lain yang bersifat sakramental yang dilakukan dalam penghayatan kehidupan Iman Kristen Orthodox sebagai manifestasi penyatuan dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus itu terutama terutama dalam “Sakramen Perjamuan Kudus”, sehingga Perjamuan Kudus itu disamping sebagai landasan dan sumber kesatuan umat Gereja (I Kor.10:16-17), ini juga sebagai sumber dan tujuan dari semua asal dan gerak dan sakramen Gereja, termasuk pula ibadah-ibadah yang lain yang tak bersifat sakramental, misalnya puasa, naik haji (berziarah) ke tanah suci Palestina menjelang perayaan Paskah (Pekan Kudus) dan sholat. Jadi sholat itu muncul bukan atas dasar reka-rekaan individu, namun itu muncul berdasarkan makna Inkarnasi Sang Sabda itu sendiri.
Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menjelaskan apa dan bagaimana langkah dan gerak dalam menunaikan sholat. Dalam Kitab II Tawarikh 6:12 misalnya, disebutkan bahwa sikap sholat itu berdiri dan menadahkan tangan. Kitab Ezra juga menandaskan bahwa berlutut dan bersujud menjadi bagian dalam sikap sholat (Ezra 9:5).
Js. Markus dalam Injilnya menyebutkan : “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa…“(Mrk.11:25), “Demikian kata Yesus lalu Ia menengadah ke langit dan berkata : “Bapa…“ (Yoh.17:1), “…supaya dimana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci …“ (I Tim.2:8), “…Paulus berlutut dan berdoa bersama-sama dengan mereka…“ (Kis.20:36), “…lalu ia berlutut dan berdoa…“(Luk.22:41), ”Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa” (Mat.26:39), “Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa…“ (Mrk.14:35), “Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa” (Ef.3:14), “maka tersungkurlah…di hadapan Dia…dan menyembah Dia…“ (Why.4:10).
Jadi jelas kalau demikian bahwa sikap sholat menurut Alkitab dan Gereja adalah berdiri, menengadah ke langit, menadahkan tangan, berlutut (membungkukkan tubuh) dan sujud (merebahkan diri ke tanah), dan sikap sholat seperti itu tetap terjaga dan terpelihara dalam Gereja Perdana atau Gereja Orthodox sampai kini, serta diikut lestarikan oleh agama Islam yang muncul kemudian.
Di sisi lain perlu dijelaskan di sini, bahwa dalam Gereja Orthodox sesuai dengan data-data Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyebutkan bahwa sholat itu dilakukan 7 kali dalam sehari (Mzm.119:164) berdasarkan urutan waktu dan masing-masing sholat itu mempunyai makna theologis di sekitar Inkarnasi Sang Sabda dan karyaNya, sedangkan nama-nama sholat tersebut adalah sebagai berikut :
- “Sholat Jam Pertama” (“Sembahyang Singsing Fajar”, “Orthros”, “Matinus”, “Laudes”) atau “Sholatus Sa’atul Awwal” (“Sholatus Shakhar”), yaitu ibadah pagi sebanding dengan “Sholat Subuh” dalam agama Islam (jam 5-6 pagi). Data ini diambil dari Kitab Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah korban pagi dan petang, yang dalam Gereja dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda Menjelma sebagai Sang Terang Dunia (Yoh.8:12).
- “Sholat Jam Ketiga” (“Sembahyang Jam Ketiga”, “Tercia”) atau“Sholatus Sa’atus Tsalitsu”, sholat ini sebanding dengan “Sholat Dhuha” dalam agama Islam meskipun bukan sholat wajib (jam 9-11 pagi). Ini terungkap dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1,15 yang mempunyai pengertian penyaliban Yesus dan juga turunnya Sang Roh Kudus (Mrk.15:25; Kis.2:1-12,15). Itu sebabnya dengan sholat ini, kita teringatkan agar mempunyai tekad dan kerinduan untuk menyalibkan dan memerangi hawa nafsu sendiri, agar rahmat Allah dalam Roh Kudus melimpah dalam hidup.
- “Sholat Jam Keenam” (“Sembahyang Jam Keenam”, “Sexta”) atau “Sholatus Sa’atus Sadis”. Ini nyata terlihat dalam Kisah Para Rasul 10:9 dan sholat ini sebanding dengan “Sholat Dzuhur” dalam agama Islam (jam 12-1 tengah hari), yang mempunyai makna sebagai peringatan akan penderitaan Kristus di atas salib (Luk.23:44-45), dan pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Berpijak dari makna ini, kitapun diharapkan seperti pencuri selalu ingat akan hidup pertobatan dan selalu memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam kerajaan Allah.
- “Sholat Jam Kesembilan” (“Sembahyang Jam Kesembilan”, “Nona”) atau “Sholatus Sa’atus Tis’ah” (Kis.3:1) sebanding dengan “Sholat Asyar” dalam agama Islam (jam 3-4 sore). Sholat ini dilakukan untuk mengingatkan saat Kristus menghembuskan nafas terakhirNya di atas salib (Mrk.15:34-38), sekaligus untuk mengingatkan bahwa kematian Kristus di atas salib adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapat melihat dan merasakan rahmat Ilahi.
- “Sholat Senja” (“Sembahyang Senja”, “Esperinos”, “Vesperus”) atau“Sholatul Ghurub”. Sholat ini sebanding dengan “Sholat Maghrib” dalam agama Islam (kira-kira jam 6 sore), sama seperti sholat jam pertama, sholat ini dilatar belakangi oleh ibadah korban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29:38-41. Makna dan tujuan sholat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan bangkit pada esok harinya, seperti halnya matahari tenggelam dalam kegelapan untuk terbit pada esok harinya.
- “Sholat Purna Bujana” (“Sholat Tidur”, “Completorium”) atau“Sholatul Naum” (Mzm.4:9). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Isya” dalam agama Islam (jam 8-12 malam), yang mempunyai makna untuk mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan dan tidur yang akan dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.
- “Sholat Tengah Malam” (“Sembahyang Ratri Madya”, “Prima”) atau“Sholatul Lail” atau “Sholat Satar” (Kis.16:25). Sholat ini sebanding dengan “Sholat Tahajjud” dalam agama Islam. Sholat tengah malam ini mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang seperti pencuri di tengah malam (Mat.24:42; Luk.21:26; Why.16:15), hingga demikian hal itu mengingatkan orang percaya untuk tetap selalu berjaga-jaga dalam menghidupi imannya.
Dalam Gereja Orthodox, sholat tujuh kali sehari ini dikenal sebagai “Sholat Nabi Daud” berdasarkan Mazmur 119:164, mencontoh kebiasaan Nabi Daud berdoa, lalu dijadikan sebagai pola waktu-waktu sembahyang umat Kristen Purba. Namun disamping itu Gereja Orthodox juga mengenal sholat tiga kali sehari bagi mereka yang memang tak cukup waktu, yang dikenal sebagai “Sholat Nabi Daniel”, sesuai dengan Kitab Mazmur 55:18 dan Kitab Daniel 6:11.
Sebelum melakukan ibadah sholat tersebut di atas, menurut Tradisi Gereja dan Alkitab, sebagaimana saudara kita kaum Muslim jika mau sholat harus “bersuci” lebih dulu, umat Kristen Orthodoxpun juga “bersuci” sebelum menunaikan sholat yaitu dengan jalan membasuh telapak tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki, serta seluruh kaki. Ini semua tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sedangkan “kiblat” sewaktu sholat adalah menghadap ke Timur. Karena Ka’bah Baitullah di Yerusalem itu digenapi oleh Kristus sendiri (Yoh.2:9-21), artinya Yesus Kristuslah sekarang Ka’bah atau Baitullah yang hidup itu. Dengan demikian orang Kristen harus berkiblat kepadaNyalah jika bersholat. Padahal dalam realita Yesus itu sesuai dengan surat Filipi 3:20 berada di sorga, jadi kiblatnya bukan arah mata-angin maupun dunia ini, namun untuk menimbulkan lambang kiblat itu di sorga. Kitab Suci menyebut Eden sebagai lambang sorga itu berada di sebelah Timur (Kej.2:8), maka ke arah Timur itulah kiblat sholat dilakukan. Di sisi lain karena Kristus nanti datang dari arah Timur ke Barat (Mat.24:27), dengan menghadap ke Timur saat sholat menunjukkan arti bahwa orang percaya selalu mengharapkan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Dari segenap uraian yang terungkap di atas jelaslah sudah bahwa meskipun makna dan tujuan doa sholat adalah untuk menyatukan umat percaya pada Allah, namun Gereja Orthodox sepanjang sejarahnya tahu menempatkan mana yang doa dan mana yang sholat. Itulah sebabnya bagi umat Kristen Orthodox jika mendengar istilah “Sholat” bukanlah hal yang baru, karena “Sholat” adalah bagian ibadah yang selalu terjaga dan dilakukan dalam Gereja dari abad-abad permulaan sampai sekarang.
O
ReplyDeleteShalat sudah fiajarkan sejak jaman nabi Adam
ReplyDelete