December 4, 2010

Melacak Gnostisisme dan Feminisme Radikal Dalam Novel Da Vinci Code

1.Catatan Pendahuluan



Meledaknya novel picisan The Da Vinci Code (selanjutnya disingkat DVC) karya Dan Brown, cukup menarik untuk dicermati, “Penjualannya yang secara luar biasa besar”, kata pakar sejarah James Hitchcock,” memastikan bahwa buku ini akan mempengaruhi mereka yang tidak pernah membaca buku-buku serius”. Namun apapun kenyataannya, tema-tema seks, sensasionalisme, feminisme, anti-katolikisme dan okultisme, telah mengantarkan Dan Brown menjadi orang kaya mendadak.

Brown mengklaim bahwa sekalipun karyanya hanya sebuah fiksi, tetapi setting novel tersebut sungguh-sungguh “menyajikan sebuah fakta sejarah”. Padahal dalam bukunya ini, Brown sangat sering membuat kesalahan-kesalahan sejarah yang serius atas fakta-fakta yang paling sederhana sekalipun. Belum lagi kebohongan-kebohongan yang dilangsir di sepanjang halaman bukunya. Misalnya, kesalahan serius soal peranan Kaisar Konstantin pada konsili Nikea, yang bukan hanya memutuskan keilahian Yesus dengan jalan votting, padahal menurutnya sebelum Yesus tidak pernah disebut Putra Allah sebelum tahun 325 M. Konsili tersebut juga dituduhnya merevisi ulang kitab-kitab Perjanjian Baru, dan masih banyak tuduhan bodoh lainnya,yang jelas-jelas bertentangan dengan fakta yang sebenarnya. 

Sedangkan kebohongan Brown, khususnya disajikan dari penuturannya soal perkawinan Yesus dengan Maria Magdalena. Kebohongan ini, selain didasarkan pada legenda dari abad ke-10 M mengenai hijrahnya Maria Magdalena ke Perancis, yang secara acak dikait-kaitkannya dengan misteri cawan suci (Holy Grail)yang asal usulnya bisa dilacak dari puisi Conte del Graal, karya penyair Chretien de Troyes, yang kemudian dikembangkan oleh penyair Burgundy bernama Robert de Boron. Kedua penyair tersebut hidup pada abad ke-12 M. Kedua karya itu bukan hanya “bukan karya sejarah”, dan seandainya karya sejarah sekalipun, peristiwanya sangat jauh dari zaman Yesus sendiri, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan sejarah mengenai Yesus.

Dengan menafsirkan “cawan suci” itu sebagai tubuh Maria Magdalena sebagai “seorang istri Yesus”, yang melaluinya disimpan “darah keturunan raja” (dinasti keturunan Yesus di Perancis), lalu dikait-kaitkan dengan lukisan Leonardo da Vinci. Dalam lukisan ini, Yohanes yang dalam seni ikon gereja kuno digambarkan sebagai sosok paling muda,berambut panjang dan tanpa kumis dan jambang, diklaim Dan Brown sebagai gambar Maria Magdalena.


2. Sosok Maria Magdalena dalam Eksegese Kitab Suci



Maria Magdalena adalah tokoh utama dalam novel DVC. Tetapi sosok Maria Magdalena yang disajikan dalam novel picisan ini, sangat berbeda dengan yang kita jumpai dalam Perjanjian Baru, dan yang dihormati dalam tradisi gereja-gereja kuno, baik Gereja Katolik, gereja-gereja Orthodoks Timur,maupun sebagian denominasi Protestan. Brown menuduh bahwa Maria Magdalena, “istri Yesus” dan rasul utama yang diserahi Yesus untuk meneruskan gereja-Nya, telah diusir keluar oleh Gereja kaum laki-laki yang dipimpin oleh Petrus. Karena itu, Maria Magdalena difitnah gereja sebagai “seorang pelacur”,salah satu sebabnya karena Gereja Katolik yang dipimpin kaum laki-laki menentang kepemimpinan wanita dalam gereja.

Kenyataannya, memang benar sosok Maria Magdalena pernah dikaburkan dengan “pelacur yang tertangkap basah berbuat zinah” (Luk.7:36-50) di Gereja Barat, tetapi Gereja Barat juga tidak pernah merendahkan sosok Maria Magdalena. Kerancuan itu pertama kali dijumpai dalam khotbah Paus Gregorius Agung, di Basilika St. Clement, 21 Desember 591. Dalam khotbah ini Maria Magdalena yang dilepaskan dari tujuh roh jahat (Luk.8:2) dikaburkan dengan “wanita pelacur yang tertangkap zinah”, dan Maria dari Betania, saudari Martha dan Lazarus (Yoh.11). Mungkin pengaburan ini disebabkan jarak yang dekat antara Luk.7:36-50 dengan Luk.8:2, dan juga pada abad ke-6 M kota Magda yang disebut dalam Alkitab sebagai kota yang mempunya reputasi moral kurang baik.

Meskipun demikian, Paus Gregorius dalam khotbahnya tersebut, kendati pun secara eksegese mempunya kelemahan (karena mengaburkan ketiga wanita yang bernama Maria tersebut),tetapi justru pesan moralnya bermaksud meninggikan Maria Magdalena sebagai teladan “seorang pelacur yang bertobat”. Dalam gereja-gereja Orthodoks, ketiga nama Maria tersebut jelas dibedakan, dan dihormati dalam 3 pesta yang berbeda: 21 Maret untuk perempuan pendosa yang tak bernama, 18 Maret untuk Maria dari Betania, dan 22 Juli untuk Maria Magdalena. Jadi, fitnah yang disebarkan DVC, bahwa seolah-olah Gereja Katolik secara sengaja mencemarkan nama baiknya, sekali lagi tidak terbukti.


3. Penggunaan “Injil-injil” Apokrif



Selanjutnya, Brown menggunakan data-data dari buku-buku apokrif. Perlu dicatat, sekalipun para peneliti sejarah bisa saja menggunakan sumber-sumber apokrifa, tetapi harus ditekankan bahwa buku-buku itu muncul jauh setelah Perjanjian Baru secara definitive diterima gereja-gereja berdasarkan suksesi Rasuli (khilafah Rasuliyyah), yang silsilahnya dapat dibuktikan tanpa putus berasal dari rasul-rasul Yesus sendiri. Jadi, berbeda dengan tuduhan Brown, bahwa konsili Nikea membuang puluhan buku-buku apokrif, hanya karena isinya bertentangan dengan ajaran resmi gereja, sehingga sebagai data historis posisinya seolah-olah sejajar, sama sekali tidak terbukti.

Kitab-kitab Perjanjian Baru, khususnya buku-buku yang disebut evangelion (Injil, “Kabar Baik”), telah mulai ditulis pada tahun 50 M, dan paling akhir tahun 90 M, sedangkan buku-buku apokrif diciptakan paling awal sekitar 135 M, setelah injil jauh menyebar ke wilayah-wilayah yang jauh. Misalnya, manuskrip John Rylands yang memuat Injil Yohanes berasal dari tahun 120 M, sedangkan Injil keempat itu ditulis tahun 90 M. Jadi hanya ada jarak sekitar 30 tahun. Bahkan Gereja menyimpan manuskrip Perjanjian Baru berjumlah lebih dari 5000 naskah, yang dengan mudah dapat dilakukan check and recheck apabila terdapat perbedaan.

Brown dalam bukunya benar-benar membodohi pembacanya, yang memang rata-rata berpikiran ngepop dan pragmatis. Dalam DVC, Brown mengutip 2 buku apokrip, yang ditafsirkannya sebagai dukungan atas teorinya mengenai perkawinan Yesus. Pertama , The Gospel of Philip, sebuah dokumen gnostik dari awal abad ke-3 M, yang menyebutkan: Yesus lebih mengasihi Maria Magdalena ketimbang rasul-rasul lainnya, serta sering mengecup bibirnya. Maka rasul-rasul lain bertanya,”Mengapa Engkau lebih mengasihi dia melebihi kami?” Buku apokrip ini juga menyebut Maria Magdalena sebagai koinonios (teman), yang menurut Brown berarti “pasangan suami istri”.

Dalam Perjanjian Baru, koinonios mempunyai banyak makna, selain “pasangan pernikahan” (Mat.2:14), “teman seiman” (Flm.1:7), “teman sekerja dalam pewartaan Injil” (2 Kor.8:23), sampai “mitra bisnis” (Luk.5:10). Tetapi yang lebih penting, ungkapan “mencium dengan mulut”, dalam teks apokrip tersebut terdapat kerusakan teks dalam naskah Yunani. Dan kalaupun maknanya “ciuman mulut”, masih bisa diperdebatkan maknanya. Mengapa? Karena kaum gnostik menggunakan banyak simbol yang justru bersifat ahistoris, dan cirinya yang antikosmis (termasuk “anti tubuh”,karena tubuh dianggap kotor),justru membuktikan hal yang sebaliknya.

Karena “ciuman dengan mulut” diartikan secara mistik sesuai dengan jiwa buku-buku gnostik, seperti misalnya dijumpai dalam teks apokrip lain, The Second Apocalypse of James. “Yesus yang telah bangkit itu”, tulis The Second Apocalypse of James,”menanamkan pelbagai rahasia-Nya kepada Yakub dengan mencium dengan mulut-Nya, dan berkata: Kekasihku!” Mengapa Maria Magdalena muncul sebagai sosok yang dekat dengan Yesus dalam The Gospel of Philip dan The Gospel of Mary? Karena naskah-naskah gnostik abad ke-3 dan ke-4 M itu hendak menggambarkan dengan cara lain hubungan Yesus, Sang Pengantin laki-laki, dengan umat-Nya yang sering disimbolkan “pengantin perempuan”. Gambaran ini juga muncul dalam simbol resmi gereja dengan pengantin perempuan Kristus. 

Soal “ciuman” sebagai simbol relasi kasih yang dalam, juga dijumpai dalam gereja, disebut “ciuman kudus” (1 Kor.16:20). Ungkapan “ciuman dengan mulut”,mungkin pengembangan dari ungkapan gereja purba, yang dimaknai secara mistik dan dipengaruhi oleh ungkapan Kid.1:2, “kiranya ia mencium aku dengan kecupan” (“Seyom abdidalem sareng latheepon junandalem”, menurut bahasa “Bok Bari’ah”, Mastekana Jung-Kejungan 1:1). Seperti kita ketahui, kaum gnostik sering menggunakan simbol-simbol yang sudah lazim dipakai gereja, tetapi sering kali dibuat sedemikian rupa sehingga lebih misterius. Dalam aliran-aliran mistik, semakin misterius tak terdalami, semakin dalamlah gnosis (pengetahuan esoteris,ngelmu) seseorang.

Jadi, kalau buku apokrif Gospel of Philip diterima apa adanya, hal itu juga tidak menyetujui kesimpulan DVC bahwa Yesus menikah dengan Maria magdalena. Tetapi teks-teks gnostik dari abad ke-3 dan ke-4 itu oleh Brown dibaca melalui lensa ideologi feminisme radikal, yang tanpa dukungan sejarah yang memadai membuat kesimpulan serampangan bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus, dan ia adalah orang yang lebih berhak meneruskan gereja-Nya, hanya karena ia perempuan. Di balik semua ini, terselip ideologi dendam kepada kaum laki-laki”, dan novel Brown sendiri mengambil yang perlu saja untuk mendukung ide-idenya, kalau di mata kaum feminis radikal perkawinan dipandang sebagai lembaga penindas perempuan, maka Brown mengambil argumentasi itu, dan diarahkannya untuk mendukung perilaku free sex-nya. Itulah faktor penentu lain popularitas DVC di negara-negara Barat.


4. Kebohongan Priority of Sion



Dalam DVC Brown mengambil mentah-mentah legenda seputar Priority of Sion, dari buku-buku picisan yang sudah beredar sebelumnya, khususnya The Holy Blood, The Holy Grail, karya Michael Baigent, Richard Leight dan Henry Lincoln, yang terbit tahun 1982. Buku ini antara lain memuat dongeng mengenai Templar, yang mengaitkan para ksatria itu, dengan Freemansory. Mereka percaya bahwa Yesus memang menikahi Maria Magdalena, dan mempunyai keturunan yang hidup sampai sekarang, dan “fakta” disembunyikan oleh gereja berkat perlindungan Priority of Sion.

“Yang menjadi kekuatan Priority of Sion”, tulis Lynn Picknett dan Clive prince dalam The Templar Revolution, “ adalah mereka harus menjaga rahasia besar, yang apabila diumumkan akan mengguncangkan rahasia gereja dan negara”. Selanjutnya, mengenai Holy Grail, Brown merasa menemukan kunci untuk membuka kata-kata rahasia ini. Menurut Brown,kata holy grail berasal dari bahasa Perancis sangreal, yang ditulisnya Sang Real, “darah keturunan Raja”. Teori Brown ini jelas-jelas salah, pengejaan yang benar adalah San Greal yang artinya “Cawan Suci”. Sebab kata “darah keturunan raja” dalam bahasa Perancis le sang royal, bukan sang real.

Dalam legenda aslinya, Holy Grail bukanlah konsep rahasia. Legenda ini dikaitkan dengan penghormatan kepada ekaristi, yang digambarkan sebagai Cawan Kudus, yang muncul sebagai reaksi atas bidah-bidah yang tidak mempercayai Perjanjian Kudus pada abad ke-12 M dan ke-14 M. “Cawan Kudus” (Holy Grail) itu berisi seluruh tubuh Kristus yang bersifat ekaristi,yaitu Tubuh dan Darah-Nya. Karena itu “cawan suci” itu tidak lain adalah Santa Perawan Maria (Sayidatina Maryam al-Adzra’). Tetapi simbol ini dibelokkan oleh penulis The Holy Blood, The Holy Grail. “Cawan itu tidak berbicara tentang sesuatu”, tulis Brown dalam DVC, “tetapi berbicara mengenai seseorang”. Dan cawan suci itu adalah Maria Magdalena, sedangkan isi cawan adalah anak-anak keturunan Yesus dari hasil perkawinan-Nya dengan Maria Magdalena. Na’udzu bi Ilahi min dzalik.

Perlu ditegaskan, bahwa apa yang namanya Priority of Sion aslinya adalah sebuah Gereja St.Mary of Sion yang dibangun oleh para peserta perang salib pada tahun 1099 diatas reruntuhan Gereja Orthodoks Yunani yang dahulu bernama Hagia Sion. Tarekat-tarekat para rahib yang melayani di gereja tersebut disebut Prieure’ du Notre Dame de Sion. Tarekat ini sama sekali tidak kaitannya dengan legenda Priority of Sion yang tidak jelas “jluntrungan”-nya tersebut. Sedangkan Opus Dei yang disebut Brown sebagai “gereja” dan difitnahnya sebagai musuh Priority of Sion, juga bukanlah gereja, melainkan sebuah organisasi kerasulan awam yang anggota pasturnya tidak sampai 2% jumlahnya. Jadi, Opus Dei tidak mungkin memiliki seorang uskup, seperti disebut dalam buku DVC.

Mengenai fitnah Brown terhadap Gereja Katolik, yang dituduhnya “menyingkirkan Maria Magdalena dari Gereja, dan melarang keras namanya disebut”, sungguh-sungguh bertentangan dengan fakta sejarah. Perayaan Maria dilakukan setiap tanggal 21 Juli, bahkan dalam salah satu kotbahnya, Ambrosius, Uskup Milan, menghormatinya sebagai simbol ketaatan seorang hamba kepada Kristus, Sang Pohon Kehidupan. Pada abad ke-9 M, devosi kepada Maria Magdalena berkembang di Vezelay, di gereja Romannesque, Burgundy. Gereja ini didedikasi untuk menghormati St.Maria Magdalena. Sewaktu Gregorius menjabat sebagai abbas di biara tersebut (1037-1052), Maria Magdalena dikenal sebagai “santa pelindung” gereja tersebut, dibuktikan dengan surat Paus Leo, dalam sebuah buletin kepausan yang terbit tanggal 27 April 1050.

Memang ada tradisi abad pertentangan yang berkembang disana, bahwa setelah penyaliban Maria Magdalena, Marta dan Lazarus (disini Maria dari Betania dikaburkan dengan Maria Magdalena) diusir dari Palestina, dan tiba di Veselay. Setelah terapung-apung dalam perahu tanpa dayung, akhirnya tiba di Perancis Selatan. Beberapa legenda lain menggambarkan Maria Magdalena melewatkan akhir hayatnya dalam sebuah gua di Perancis sebagai petapa perempuan, yang hanya dibalut oleh rambutnya yang panjang. Semua legenda ini munculnya sekitar akhir abad ke-10 M, namun sama sekali tidak dijumpai cerita perkawinan Maria Magdalena dengan Yesus.

Dongeng perkawinan Maria Magdalena dengan Yesus, dimunculkan pertama kalinya pada abad modern ini oleh para teolog feminis radikal, yang selain menggunakan literatur gnostik yang ditafsirkan dengan membuang makna esoterisnya, kemudian oleh para penulis fiksi dihubungkan-hubungkan dengan legenda kedatangan Maria Magdalena ke Perancis Selatan, yang akhirnya “memelihara keturunan Yesus”. Bagi orang-orang yang serius menekuni penelitian ilmiah, sudah barang tentu kisah-kisah semacam ini tidak lebih dari “bualan orang sinting yang gila popularitas”, dan kriteria itu cocok untuk – siapa lagi kalau bukan- penulis fiksi semacam Dan Brown. Tapi setiap umat Tuhan yang cerdas pasti terpengaruh oleh bualan-bualan konyolnya. Akhirul kalam, saya ingin mengingatkan pesan yang sering saya sampaikan kepada anda: Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, Ojo Goblok!

Penulis : Bambang Noorsena
Copy Rights 2006, pada penulis

No comments:

Post a Comment