December 16, 2010

Busana dan Perilaku Pantas di Gereja

oleh: P. William P. Saunders *


Saya seorang warga senior. Belakangan ini, saya terheran-heran melihat perilaku orang di gereja, bagaimana mereka berpakaian dan cara mereka ambil bagian dalam Misa, yang sama sekali berbeda dengan semasa saya masih muda. Mohon pendapat.
~ seorang pembaca di Springfield

Sesungguhnya, beberapa minggu belakangan ini saya menerima beberapa surat senada mengenai perilaku yang kurang pantas di gereja. Di satu pihak, kita tak perlu heran akan perilaku dan busana yang kurang pantas di gereja. Bagaimanapun, kita tinggal di tengah masyarakat di mana orang mencocok bagian-bagian tubuh mereka dan memasanginya dengan cincin - telinga, alis, hidung, lidah - yah, seperti yang biasa dilakukan para petani kepada ternak-ternak mereka (walau bahkan mereka pun tidak mencocok lidah). Banyak perusahaan sekarang menerapkan “Jumat Santai” di mana para karyawan pria dan wanita tidak harus mengenakan busana formal. Tetapi, The Wall Street Journal baru-baru ini melaporkan bahwa sebagian besar karyawan sekarang lebih tampak amburadul pada hari “Jumat Santai” dan dengan demikian melakukan pekerjaan mereka dengan amburadul pula. Semakin sering saya melihat busana santai pada acara-acara pernikahan dan pemakaman, yang selalu dipandang sebagai acara-acara “resmi”. Banyak orang telah melupakan sopan-santun, seperti membukakan pintu bagi seseorang, teristimewa wanita, atau menawarkan tempat duduk dalam bis kota bagi wanita, terutama yang sedang hamil atau yang lanjut usia. (Saya dibesarkan sebagai orang yang tahu sopan santun, entah orang menganggap saya sok atau kolot, terserahlah). Semakin jarang saja kata-kata “silakan” dan “terima kasih” sampai ke telinga kita. Yah, kita tak perlu heran jika perilaku yang kurang santun demikian masuk juga ke dalam gereja-gereja kita.

Sementara kita tak perlu heran akan perilaku masyarakat yang demikian, namun hendaknya kita tidak terbawa arus dan merendahkan diri kita dengan ikut-ikutan berperilaku demikian. Juga demi hormat terhadap Gereja, setiap kita wajib mengusahakan “Perilaku Misa” yang pantas, dan teristimewa para orangtua hendaknya memastikan bahwa mereka mengajarkan Perilaku Misa yang pantas kepada anak-anak mereka.

Sebab itu, sebagai seorang imam dan sebagai seorang yang dibesarkan serta dididik oleh orangtua yang baik dan saleh, saya akan coba mengemukakan apa yang saya anggap sebagai Perilaku Misa yang pantas.

Pertama-tama, marilah kita mulai dengan bagaimana kita mempersiapkan diri untuk merayakan Misa. Hendaknya setiap orang berbusana pantas. Seperti layaknya kita berbusana sopan dan pantas untuk pergi ke pesta atau untuk menemui seorang yang kita hormati, misalnya Bapa Uskup atau Bapa Suci, demikianlah kita berbusana untuk menemui Tuhan, yang hadir dalam Ekaristi Kudus. Tentu saja, mungkin kita dapat sedikit lebih santai, tetapi haruslah tetap rapi, bersih dan sopan. Terus terang, celana pendek hanya pantas dikenakan oleh anak-anak yang masih amat muda; T-shirts sebaiknya disimpan untuk piknik; celana ketat sebaiknya disimpan untuk senam; dan baju strapless / backless yang minim sebaiknya dibakar saja. Dalam memutuskan apa yang akan kita kenakan, hendaknya kita memikirkan ini, bahwa “Aku berdandan untuk bertemu dengan Tuhan-ku dan untuk ikut ambil bagian dalam misteri keselamatanku.”

Sebelum meninggalkan rumah, para orangtua perlu memastikan anak-anak pergi ke kamar kecil terlebih dahulu. Orang-orang yang keluar masuk bangku sepanjang Misa untuk pergi ke kamar kecil sungguh mengganggu. Memang, mereka punya alasan yang tepat untuk mempergunakan kamar kecil pada waktu Misa berlangsung. Tetapi, saya pikir sebagian anak-anak mulai menjadikannya sebagai suatu kegiatan rutin: pada saat homili, pergi ke kamar kecil; pada saat Komuni, minum air, dan lalu pergi ke kamar kecil. Sungguh, saat saya masih kecil, saya bahkan tidak tahu bahwa Gereja St Bernadette menyediakan kamar kecil; sebab, kecuali jika saya merasa mual dan hendak muntah, saya tidak pernah meninggalkan bangku selain dari saat menyambut Komuni Kudus.

Selanjutnya, berangkatlah dari rumah pada waktunya agar tiba di gereja sebelum Misa dimulai, sebaiknya sekitar sepuluh menit sebelumnya. Dengan demikian kita punya cukup waktu untuk berdoa dan siap untuk ikut ambil bagian dalam Misa. Tentu saja, terkadang suatu hal mendadak terjadi sehingga keluarga terlambat datang ke gereja; berbeda situasinya jika umat senantiasa datang terlambat.

Ketika tiba di gereja, buanglah permen karet pada tempat sampah yang tersedia. Pastilah ada suatu tempat khusus di api penyucian bagi mereka yang biasa melekatkan permen karet di bangku-bangku gereja. (Sesungguhnya, tak seorang pun diperbolehkan mengunyah permen karet mengingat peraturan puasa sebelum menyambut Komuni). Mereka yang membuang tissue, lembar warta paroki, puntung-puntung rokok, bungkus permen / makanan, dan macam-macam sampah lainnya dalam wilayah gereja kemungkinan besar akan harus tinggal juga di tempat yang sama dalam api penyucian.

Saat masuk ke dalam gereja, pastikan kita membuat Tanda Salib dengan air suci, gerak isyarat ini mengingatkan akan Pembaptisan kita dan menguduskan kita. Sebelum duduk di bangku umat, pastikan kita melakukan genuflect (= berlutut dengan satu kaki), suatu sikap hormat yang penting terhadap kehadiran Tuhan kita dalam Ekaristi Kudus dalam tabernakel. Matikan nada dering sekaligus nada getar telepon genggam. Bukan saja perhatian orang yang seharusnya penuh tertuju kepada Tuhan menjadi terbagi, melainkan orang-orang lain pun akan terganggu oleh nada dering ataupun nada getar yang berbunyi selama Misa (lihat “Tinggalkan Telepon Genggam di Rumah” oleh Rm William P Saunders).

Dalam bersembah sujud, kita perlu ikut ambil bagian dalam nyanyian dan doa-doa, mendengarkan bacaan-bacaan Misa dengan seksama dan mendengarkan homili dengan penuh perhatian. Saya selalu heran akan “tiang-tiang garam” yang tak pernah membuka mulut mereka untuk menyanyi ataupun berdoa, atau akan “barisan kentang” yang membaca warta paroki sepanjang homili. Para orangtua hendaknya membantu anak-anak mereka: hari Minggu yang lalu, saya melihat seorang ibu yang menelusuri kalimat demi kalimat dalam lembar Misa dengan jari-jarinya agar kedua puteranya yang masih kecil dapat lebih mudah mengikuti dan memberikan perhatian pada perayaan Misa. Pada intinya, semua orang hendaknya ikut ambil bagian dalam Misa dengan penuh hormat dan sukacita.

Para orangtua perlu membimbing anak-anak mereka. Yesus mengasihi dan menyambut hangat anak-anak, tetapi anak-anak perlu dibantu. Jika anak mulai rewel, maka orangtua hendaknya segera membawa si anak keluar dan menenangkannya sebelum membawanya masuk kembali ke dalam gereja. Anak-anak hendaknya tidak dibiasakan makan dan minum dalam gereja, tidak dibiarkan menggemerincingkan kunci, menjatuhkan mainan-mainan, menyepak-nyepak bangku, berjalan-jalan atau berlarian dalam gereja. Tingkah laku yang demikian menganggu umat lainnya, dan teristimewa mengganggu imam yang mempersembahkan Misa. Orangtua haruslah menjadi orangtua, dengan menerapkan kasih sayang dan disiplin pada anak-anak.

Ketika menyambut Komuni Kudus, senantiasa lakukanlah dengan penuh hormat. Haruslah kita senantiasa sepenuhnya sadar bahwa kita menyambut Tuhan kita. Jika kita menyambut Komuni Kudus di tangan, pastikan tangan kita bersih dan disusun bagaikan tahta bagi Tuhan. Setelah menerima Hosti Kudus, kita harus segera menyantapnya sebelum berbalik dan kembali ke bangku. Komuni Kudus jangan pernah dianggap sebagai semacam antrian makanan di kantin, melainkan sebagai suatu perjumpaan mesra dengan Tuhan.

Setelah komuni, setiap orang wajib mengucap syukur atas anugerah berharga yang diterima dan membiarkan rahmat memenuhi jiwa. Betapa tragis melihat orang-orang meninggalkan Perayaan Ekaristi tepat setelah menyambut Komuni Kudus, bukan karena suatu keadaan darurat, melainkan karena mereka ingin menjadi orang pertama yang meninggalkan tempat parkir. Saya hanya dapat memikirkan Yudas, orang pertama yang meninggalkan Perjamuan Kudus sebelum selesai. Mempersembahkan kepada Tuhan satu setengah jam - dan biasanya kurang dari itu - demi Kurban Kudus Misa, bukanlah suatu pengorbanan yang teramat besar. Saya bertanya-tanya bagaimana perasaan orang-orang ini jika tamu mereka meninggalkan rumah mereka tengah perjamuan makan tanpa berpamitan dan mengucapkan terima kasih.

Akhirnya, Misa diakhiri dengan berkat penutup; tinggallah hingga imam berarak masuk sebelum kita meninggalkan bangku. Sungguh baik jika umat bubar setelah lagu penutup selesai dinyanyikan. Tetapi, sebelum meninggalkan bangku, pastikan buku-buku doa telah dikembalikan ke tempatnya. Pastikan kita memungut tissue, lembar warta paroki, bungkus permen / makanan, atau barang-barang lainnya; jangan biarkan orang lain yang harus membereskan sampah kita; mungkin juga bangku akan segera dipakai untuk Misa berikutnya. (Suatu ketika, ibu saya, yang biasa membantu membersihkan Gereja St Bernadette, mendapati popok yang sudah terpakai ditinggalkan begitu saja di bangku gereja).

Saya yakin, point-point yang saya kemukakan di atas tidak sulit dilakukan, namun sering saya jumpai selama pelayanan saya sebagai imam. Saya juga tak ingin terlalu bawel atau cerewet, melainkan hanya mengajarkan penghormatan yang memang sudah sepantasnya bagi Misa yang saya persembahkan dengan penuh cinta. Ya, kita hidup dalam dunia yang amburadul di mana banyak orang telah melupakan sopan santun dan disiplin yang pantas. Uskup Agung Fulton Sheen mengatakan bahwa sopan santun “adalah penghormatan hati kepada kekudusan keluhuran manusia” (Thoughts for Daily Living, hal 50). Perilaku yang santun, entah dalam Misa ataupun dalam situasi-situasi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, mengungkapkan rasa hormat kita kepada satu sama lain, dan kepada Tuhan.

Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Appropriate Behavior in Church” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments:

Post a Comment