December 9, 2010

Antara Pluralisme & Pluralitas

PLURALISME
Istilah ‘Plural’ sudah jelas kita mengerti sebagai ‘jamak’, dan ‘Pluralitas’ adalah kenyataan yang harus diterima bahwa kita berada dalam kondisi di Indonesia dan dunia masakini dimana kita menghadapi kejamakan cara berfikir, cara hidup, dan cara beragama. Sampai di sini, Pluralitas hanya menyadari adanya kepelbagaian di dunia.
Lain halnya dengan ‘Pluralisme,’ istilah ini berkembang ditengah-tengah ‘eksklusivisme agama’ yang makin berkembang pada era reformasi sebagai akibat reaksi terhadap fundamentalisme dan modernisme, atau yang dikenal sebagai salah satu cabang reaksi ‘posmo.’ Dalam hal agama, eksklusivisme ditujukan pada kenyataan bahwa setiap agama cenderung mengklaim sebagai satu-satunya agama dimana terdapat jalan keselamatan dan diluar itu tidak ada jalan lain.
Sejak dulu eksklusivisme tidak menjadi masalah, namun eksklusivisme itu menjadi tiran ketika bergabung dengan kekuatan politik kolonial dan menjadi mayoritas sehingga menganggap yang lain yang mayoritas itu sebagai lebih inferior dan harus ditobatkan (proselitasi). Kondisi ini dalam abad kolonialisme menempatkan kekristenan sebagai agama mayoritas dan eksklusif di tengah-tengah bangsa dan agama ditempat jajahan yang semula dianggap inferior.
Dengan latar belakang demikianlah, ketika pada akhir abad-XIX dan awal  abad-XX terjadi gerakan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, keseimbangan menjadi berubah dimana bangsa-bangsa jajahan mendirikan negara sendiri dan menentukan identitas sendiri (termasuk tradisi budaya agama) yang juga di klaim sebagai eksklusif. Perbenturan peradaban inilah yang melahirkan usaha-usaha yang mengarah pada penerimaan kejamakan dalam beragama atau dikenal sebagai ‘Pluralisme’ yaitu ‘suatu situasi di mana berbagai agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi rasa kesatuan sekalipun berbeda faham.’
Jadi kalau eksklusivisme menganggap agama sendiri benar yang lain tidak maka pluralisme menganggap semua agama itu benar jadi harus diterima dengan terbuka sekalipun berbeda dengan agama sendiri. Sikap demikian tentu berdampak pagi pandangan ‘Fundamentalisme’ dalam agama-agama yang cenderung mengklaim agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran satu-satunya. Selain fundamentalisme, reaksi eksklusif lainnya adalah ‘Proselitisme’ ynag menolak kebenaran agama lain dan menjadikan pengikut agama lain menjadi pengikut agama sendiri dengan berbagai cara. Sebaliknya, ada juga reaksi ‘Sinkretisme’ yang bersifat kompromistis dengan cara mencampur-adukkan keyakinan agama-agama yang bertemu itu.
INKLUSIVISME
Reaksi keempat berjalan lebih jauh dari Sinkretisme dan dikenal sebagai ‘Inklusivisme’ yang berusaha untuk menggapai kesatuan agama-agama, dan berbeda dengan eksklusivisme, di sini ada usaha untuk ‘menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu,’ dan berbeda dengan sinkretisme yang mencampur-adukkan agama-agama, disini agama-agama diperas menjadi satu. Dari kubu pluralisme dan inklusivisme inilah kemudian dipopulerkan dialog antar agama sebagai pengganti misi penobatan. Pada awal tahun 1960-an sebagai hasil Konsili Vatikan-II, Gereja Katolik Roma membuka peluang kearah itu, dan di awal tahun 1970-an menyusul Dewan Gereja Dunia (WCC) juga membuka diri akan dialog antar agama.
Pada abad-XX relativisme agama dikaitkan dengan kemajuan evolusioner dipopulerkan oleh Ernst Troeltsch yang menolak absolutisme agama dan menjadikan ‘Yang Mutlak’ menjadi tujuan bersama dalam proses evolusioner dalam semua agama. Sikap Troeltsch ditolak Karl Barth yang mengajukan pandangan eksklusif dan tidak mengenal kompromi mengenai pewahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus, namun berbeda dengan eksklusivisme, Barth berpendapat bahwa agama Kristen itu yang benar, namun sejauh agama Kristen melalui rahmat hidup karena rahmat ia menjadi tempat agama yang benar.
John Hick menafsirkan kembali Kristologi tradisional dengan mengemukakan bahwa istilah ‘Allah’ bukanlah seperti yang dikemukakan sebagai pribadi dalam agama teistik melainkan sebenarnya merupakan ‘realitas tak terbatas yang dipahami dengan berbagai cara melalui berbagai bentuk pengalaman beragama’ yang disebutnya sebagai ‘Yang Nyata.’ Wilfred Cantwell Smith mengungkapkan bahwa manusia sekarang memasuki tahapan baru pluralisme agama dimana agama-agama perlu merumuskan kembali dan menguji teori-teori agamanya sendiri dan mengembangkan teori-teori agama yang bisa diterima oleh agama-agama lain. Smith menolak kristologi yang eksklusif. Kristen Stendahl dari Harvard menafsirkan PL & PB sebagai suatu kesaksian tentang ‘partikularisme dalam kerangka universalisme.’  
Tidak semua sepakat dengan Hick, Karl Rahner, teolog Roma Katolik, berusaha secara sistematis untuk menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. Dalam pandangannya yang kelihatannya seperti mendua, Rahner tetap menganggap Kristus secara eksklusif, tetapi secara universal agama-agama lain menghadirkan ‘kristen anonim.’ Rahner berusaha mendamaikan rahmat Allah yang menyelamatkan, yang universal sifatnya, dengan keeksklusivan Kristus sebagai kriteria yang nyata dan sempurna untuk rahmat itu. Ini bisa dijadikan dasar bagi umat Kristen untuk bersikap toleran, rendah hati, namun tegas terhadap semua orang non-Kristen.
Stanley Samartha mengemukakan bahwa umat Kristen harus mendekati dialog antar-agama atas dasar teosentris dan bukan kristosentris. Samartha mendefinisikan dialog sebagai ‘upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.’ Raimundo Panikkar yang beribu Kristen RK dan berayah Hindu meneruskan, bahwa: ‘kebenaran yang dikemukakan agama adalah universal dan dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya masing-masing merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor budaya mengenai suatu kebenaran yang lebih universal.’
Dari berbagai pandangan di atas, inklusivisme kemudian dimengerti sebagai sikap yang menerima kebenaran semua agama, dan bahwa agama itu hanya merupakan jalan partikular untuk mencapai kebenaran yang universal yang menyembah Tuhan ‘Yang SATU’ itu.
ESENSI INKLUSIVISME
Apakah Sebenarnya esensi Inklusivisme itu? Sebenarnya esensi inklusivisme adalah ‘Relativisme’ yang dilandaskan kepercayaan bahwa agama-agama pada hakekatnya sama dan dianggap sebagai sesuatu yang relatif sesuai dengan tahap perkembangannya dalam evolusi agama. Agama-agama tidak lain adalah jalan partikularis menuju yang universalis. Ini mendorong kearah pandangan mengenai kesatuan agama yang disebut ‘universalisme.’
Universalisme’ berlandaskan logika bersama mengenai ‘Yang Satu dan Yang Banyak.’ Dari perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara tampaknya, oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut pendekatan yang ‘theosentris.’ Sebenarnya pandangan demikian didasarkan gagasan ‘Veda’ Hinduisme mengenai hakekat ‘Yang SATU’ yang disebut dengan ‘banyak nama.’ Pandangan ini disebut sebagai ‘Monisme’ yang beranggapan adanya satu keberadaan tunggal ‘Yang Satu’ yang tidak berpribadi (berbeda dengan theisme yang mempercayai Tuhan yang berpribadi).
Pandangan Relativisme dan Universalisme tidak beda dengan faham ‘Mistisisme’ mengenai keyakinan ‘kesatuan manusia yang sezat dengan sumbernya.’ (Yaitu Yang SATU itu). Dalam mistik Hinduisme, penyatuan itu dianggap sebagai penyatuan ‘atman dengan brahman’ atau dalam mistik Buddhisme ‘atman dengan an-atman.’
Di kalangan kristen, ketiga esensi ini berkembang lebih jauh menuju ‘de-kristosentrisme,’ dari kristosentris menuju ‘theosentris’ namun yang dimaksud adalah ‘theos yang tidak berpribadi’ yang merupakan esensi mistik universal. Pandangan theolog liberal yang menganut inklusivisme cenderung untuk ‘memikirkan kembali Kristologi’ yang ujung-ujungnya menjadikan Kristus bukan sebagai jalan yang unik tetapi sekedar sebagai salah satu dari jalan yang banyak itu, Kristus tidak lebih hanya sekedar ‘avatar’ yang sama dengan tokoh-tokoh agama lain.
SIKAP MENGHADAPI PLURALISME
Pluralisme berkembang sebagai reaksi ‘eksklusivisme’ dan ‘fundamentalisme’ agama yang sering membuat manusia terpecah-pecah, namun Pluralisme ujung-ujungnya bukannya suatu keterbukaan terhadap pluralitas (keperlbagaian) tetapi berujung kepada penyamaan semua agama bahkan kemudian cenderung menjurus pada ‘inklusivisme’ yang ingin memeras agama menjadi satu agama universalis yang menuju ‘Yang SATU’ yang tidak berpribadi itu.
Di satu sisi memang kita harus berfikir terbuka bahwa kita hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di tengah-tengah agama lain jadi kita harus menerima kenyataan adanya agama-agama yang berbeda, tetapi menganggap semua agama sebagai sama dan menuju ‘Yang SATU’ rasanya terlalu meremehkan sejarah agama yang sudah ribuan tahun dengan keunikannya masing-masing. Memang pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan perbedaan faham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme kurang menghargai keunikan agama-agama, khususnya keunikan Kristus yang cenderung di ‘de-kristosentris’kan.
Umat kristen memang seharusnya tidak bersifat eksklusif dalam segala hal tetapi bersikap eksklusif dalam kredo (pengakuan percaya) adalah perlu, sebab sejarah agama Kristen yang dikandung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan untuk menerima keunikan Kristus. Jadi eksklusivisme dalam iman perlu namun ini jangan menjadikan kita eksklusif dalam sikap. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka yang inklusif bahwa semua adalah umat manusia yang dikasihi oleh Tuhan yang berpribadi yang menyatakan diri dalam Kristus, namun penerimaan ini tidak harus menuju sikap yang menganggap semua jalan itu sama atau menganggap bahwa penganut agama lain sebagai ‘kristen anonim’ tetapi kita dapat menganggap mereka sebagai umat manusia yang tetap membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan, dan kita jangan berspekulasi mengenai ‘semua jalan ke Roma’ melainkan kita perlu untuk bersaksi mengenai ‘via dolorosa’ jalan menuju ke Golgota.
Umat kristen diharapkan dapat terbuka menghadapi kehadiran agama-agama, kita perlu mempelajari kitab suci dan pendapat-pendapat dari kalangan agama-agama lain, namun karunia keselamatan yang kita peroleh, ibarat ‘mutiara yang sudah ditemukan’ perlu kita bagikan sebagai kesaksian kepada mereka yang belum mengenal keindahan mutiara tersebut.
Eksklusivisme dan fundamentalisme agama perlu dibuka agar kita tidak menjadi penganut Kristus yang sempit yang tidak toleran dan bersifat menghakimi agama lain, tetapi sikap eksklusivis harus disertai dengan sikap yang terbuka dan toleran. Menghargai perbedaan-perbedaan itu penting, tetapi menerima perbedaan itu seakan-akan tidak berbeda jelas keliru. Untuk mencapai ini, jalan ‘Kasih’ adalah jalan terbaik untuk bersaksi, bukan dengan sikap memaksa dan menganggap rendah orang lain, tetapi dengan sikap kasih kepada sesama karena untuk itulah Kristus telah mati bagi kita.
Rasul Paulus menunjukkan sikap yang inklusif sekaligus beriman eksklusif ketika ia berbicara di Athena (Kisah 17:16-34). Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah ‘Allah Yang Tidak Dikenal’ tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu, karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa ‘Yang Tidak Dikenal’ itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia men’share’kan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Alhasil ada juga yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa. Haleluyah!

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org

1 comment:

  1. "..melainkan ia men’share’kan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri"

    Sangat setuju sekali dengan prinsip yang sangat bijak ini.

    Terimakasih.

    ReplyDelete