DALAM NOVEL DAN FILM "AYAT-AYAT CINTA
1. Catatan Pengantar
Fenomena sukses film "Ayat-ayat Cinta", arahan Hanung Brahmantyo ini adalah menarik untuk dicermati. Film layar lebar yang diangkat dari novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini [1] dalam waktu singkat telah berhasil meraup pemirsa lebih dari 3 juta orang di seluruh tanah air.
2. Sekilas Film "Ayat-ayat Cinta"
Sebelum memberi beberapa catatan terhadap novel dan film ini, bagi yang tidak membaca novel atau menonton film ini, akan disarikan cerita yang diangkat oleh novelis muda lulusan Universitas Al-Azhar,
Dikisahkan, Maria Girgis (Carissa Putri), putri Tuan Butros dan Maddame Nafed [2] bertetangga flat (apartemen) dengan Fahri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar. Maria, terlahir dari keluarga Kristen Koptik, digambarkan mengagumi Al-Qur'an, karena ayat-ayatnya yang dilantunkan indah, bersimpati pada Fahri. Simpati yang akhirnya berubah menjadi cinta. Sayang sekali, Maria tidak pernah mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya menuangkannya dalam diary saja.
Selain Maria, ada juga Nurul (diperankan Melanie Putri), mahasiswi asal
Tetapi berkat kewarganegaraan Jerman yang dimiliki Aisha, pengadilan Mesir melunak. Fahri bebas, setelah dibuktikan bahwa tuduhan itu fitnah belaka. Sebenarnya Fahri hanya difitnah, kesaksian Noura palsu karena dinyatakan di bawah tekanan Bahadur, "ayah"nya. Padahal Bahadur, yang ternyata bukan ayah kandungnya, justru dialah yang memerkosanya, dan ingin menjualnya menjadi seorang pelacur. Sementara itu, Maria sedang sakit, karena tekanan batin yang dideritanya karena Fahri telah menemukan “sungai Nil"-nya, dan dia ternyata bukan dirinya. Tetapi berkat kegigihan Aisha, istri Fahri, Maria berhasil dihadirkan ke pengadilan. Kedatangannya menolong Fahri, karena ia menjadi saksi ketika Fahri dan Nurul menyembunyikan Noura di rumah Nurul, demi menyelamatkan Noura dari amukan Bahadur.
Justru Aisha sendiri, yang ketika Maria terbaring sakit, membaca diary-nya. Ternyata Maria memendam rindu kepada Fahri, cinta yang dibawanya sampai ia terbaring sakit. Aisha terharu. Ia akhirnya bersedia "membagi cinta" dengan Maria. Suaminya justru disuruh mengawini Maria, karena itulah satu-satunya obat bagi kesembuhannya. Fahri dan Maria pun kawin atas restunya. Madamme Girgis, ibu Maria, sangat berterima kasih dengan pengorbanan Aisha. Madamme Girgis memeluk erat Aisha, ketika wanita keturunan Turki itu menghindar dari akad nikah yang sedang diselenggarakan antara Fahri dan Maria yang sedang berbaring sakit, karena tidak bisa menahan gejolak jiwanya. Beberapa menit terakhir film ini diisi dengan adegan kebersamaan antara Fahri dengan kedua istrinya.
3. Tradisi Kristen Koptik di Mesir - Selayang Pandang
Gereja Ortodoks Koptik adalah gereja pribumi Mesir. Gereja ini lahir sejak awal sejarah Kekristenan, diawali dari kedatangan Rasul Markus, murid Rasul Petrus sekaligus penerjemahnya, yang juga dikenal sebagai penulis Injil Markus [3]. Markus mati syahid di
Berbeda dengan gereja-gereja di wilayah Arab utara, khususnya Gereja Ortodoks Syria, yang sejak sebelum zaman Islam sudah menggunakan bahasa Arab, terbukti dari temuan-temua prasasti pra-Islam di wilayah Syria (Inskripsi Zabad tahun 512 M, Inskripsi Ummul Jimmal para abad VI M, dan inskripsi Hurran al-Lajja tahun 568 M), Gereja Koptik mula-mula memakai bahasa Koptik. Tetapi setelah kedatangan Islam, Gereja Koptik di Mesir mulai memakai bahasa Arab, berdampingan dengan bahasa Koptik. Bahasa Koptik adalah bahasa zaman Firaun yang aksara-aksaranya diperbarui dengan meminjam aksara Yunani.
Perlu dicatat pula, di seluruh gereja Timur, termasuk Gereja Ortodoks Koptik, masih dilestarikan tata-cara ibadah dalam penghayatan budaya Kristen mula-mula. Misalnya: Shalat Tujuh Waktu (Sab'ush shalawat)[4], Shaum al-Kabir (Puasa Besar) pra-Paskah, selama minimal 40 hari, [5] membaca Injil dengan cara dilantunkan secara tartil (dikenal dengan Mulahan Injil- yang paralel dengan Tilawat al-Qur'an, dan masih banyak lagi. Anda bisa menyaksikan seorang pemuda yang komat-kamit membaca Kitab di tangannya sewaktu naik bus, atau kendaraan lain di Mesir. Siapakah mereka? Ternyata bukan hanya pemuda Islam yang membaca al-Qur'an, tetapi juga pemuda-pemuda Koptik dengan tatto Salib [6] di tangan sedang membaca kitab Agabea. Itulah Kitab Shalat Tujuh waktu, yang tidak pernah mereka alpakan, juga ketika mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke kampus.
Informasi terakhir, meskipun orang Muslim atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi antara keduanya tetap bisa dibedakan. Idiom-idiom keagamaan mereka berbeda, tetapi juga tidak jarang pula sama atau paralel. Di koran-koran berbahasa Arab, ucapan bela sungkawa orang Kristen biasanya diawali ungkapan : Intiqala ila Amjadis samawat (Telah berpulang kepada Kemuliaan Surgawi), cukup mudah dibedakan dengan kaum Muslim: Inna Iillahi wa Inna Ilayhi Raji’un (Sesungguhnya semua karena Allah dan kepada-Nya pula semua akan kembali). Tapi ada banyak persamaan tradisi, misalnya: pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.
4. Resensi atas Novel dan Film "Ayat-ayat Cinta"
Kalau tidak berpretensi bisa atau mampu dalam meresensi sebuah novel apalagi sebuah film. Saya hanya ingin memberi beberapa catatan atas beberapa tradisi Mesir pada umumnya, dan tradisi Kristen Koptik di Mesir khususnya, yang kadang-kadang kurang tepat disampaikan dalam film ini:
4.1. Adat-Istiadat, Bahasa dan Budaya
Beberapa tokoh dalam film ini gagal memerankan tokoh orang Mesir. Madamme Nafed (Marini), mamanya Maria, kala mengucapkan kata: "bisyur'ah" (cepat !), tampak kurang ekspresif. Alangkah lebih "
Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (suatu bunyi siulan ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Yang juga tidak kalah penting untuk dicermati, dialek Arab tokoh Maria ketika bertanya : Qamus 'Arabi?, diucapkan dalam dialek terlalu "
Begitu juga, ungkapan salah seorang Mesir ketika melerai pertengkaran: "Khalash! Khalash!" (sudah, sudah!), lebih "Mesir" lagi kalau diucapkan: "Khalash, khalash ba'ah!". Begitu juga, biasanya seorang Mesir mengucapkan kara "La, la, la" (tidak, tidak, tidak!), sambil dengan jari terlunjuk bergerak-gerak, dan bibir berdecak. Ucapan "ahlan", biasanya diucapkan berkali-kali : "Ahlan, ahlan, ahlan..." Yang lebih mengganjal lagi, dalam salah satu percakapan, seorang tokoh mengucapkan dialek Mesir bercampur dengan bahasa Arab klasik: Asyan Ana bahibaki awi (Karena saya sangat mencintaimu), mestinya: Asyan Ana bahibik awi. Asyan adalah ucapan cepat dari alashan, sedangkan Ana Bahibak, Ana bahibik, dalam bentuk klasiknya: Ana uhibuka, Ana uhibuki.
Lokasi syuting yang memang tidak dibuat di Mesir, membuat pemirsa tidak bisa secara utuh mengikuti dan membayangkan "suasana Mesir". Mulai rumah-rumah warga kelas menengah ke atas, lengkap dengan mashrabiya-nya [8], jalan-jalan
4.1. Tradisi Kristen Koptik
Simbol salib hanya ditonjolkan untuk mengisi latar belakang Koptik keluarga Maria, tetapi tradisi Koptik sama sekali tidak dipahaminya. Misalnya; Madamme Girgis digambarkan berdoa dengan melihat kedua tangan, padahal orang-orang Kristen di Timur Tengah berdoa dengan cara menengadahkan tangan, sama dengan Islam. Bedanya, dalam Islam diawali dengan rumusan Basmalah: Bismillahi rahmani rahim (Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang), sedangkan dalam Kristen dengan membuat tanda salib dan berkata: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus al-Ilahu Wahid, Amin (Dengan Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin).
Masih ada hal yang sangat menganggu, yaitu tattoo Salib di tangan Maria terbalik, dan terlalu besar ukurannya. Dan terakhir, permintaan Maria kepada Fahri ketika ia terbaring sakit: "Ajarilah aku shalat!", mestinya lebih baik diperjelas : "Ajarilah aku shalat secara Islam!". Mengapa ? Sebab kata "shalat" saja, di Mesir dan di negara-negara Arab yang di dalamnya umat Islam dan Kristen hidup bersama-sama, bukan merupakan terma eksklusif Islami. Jadi berbeda dengan negara-negara Muslim non-Arab.
Orang-orang Kristen Koptik juga mengenal waktu-waktu shalat yang tujuh kali sehari. Waktunya sama dengan shalat Islam, ditambah dengan "shalat jam ketiga" (kira-kira jam 09.00 pagi, untuk memperingati turunnya Roh Kudus, Kis.
Lebih jelasnya, kala shalat, jauh sebelum zaman Islam kata ini sudah dipakai dalam bentuk
1. "Salat jam pertama" (Shalat as Sa’at al-Awwal), kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk mengenang saat kebangkitan Kristus Isa Al-Masih) dari antara orang mati (Mrk.16:2).
2. "Salat jam ketiga" (Shalat as-Sa'at ats-Tsalitsah), kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus (Mrk.
3. "Salat jam keenam" (Shalat as-Sa'at as-Sadi-sah), kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Mrk.
4. “Salat jam kesembilan” (Shalat as-Sa’at at Tasi’ah), kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Mrk.
5. "Salat Terbenamnya Matahari" (Shalat al-Ghurub), yaitu waktu penguburan jasad Kristus (Mrk.15:42).
6. "Salat waktu tidur" (Shalat ai-Naum), untuk mengenang terbaringnya tubuh Kristus;
dan;
7. "Salat Tengah Malam" (Shalat as-Satar atau Shalat Nishfu al-Layl) adalah jam
berjaga-jaga akan kedatangan Kristus (Isa Al-Masih) yang kedua kalinya (Why. 3:3)[9].
Salat Tujuh waktu (As-Sab'u Shalawat) ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Mengapa? Karena praktek doa ini, khususnya seperti yang dipelihara di biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman Islam. "Kanonisasi (waktu-waktu) salat" (Shalat al-Fardhiyah), sudah mulai dilakukan dalam sebuah dokumen gereja kuno berjudul Al-Dasquliyyat atau Ta'alim ar-Rusul yang editing terdininya dikerjakan oleh St.Hypolitus pada tahun 215 M. [10]
5. Novel Religi, Film Dakwah: Bukan Film Cinta Biasa
Seperti komentar banyak tokoh dalam novel “Ayat-ayat Cinta”, memang hasil karya Habiburrahman el-Shirazy ini bukan sekedar novel cinta biasa, melainkan novel cinta, religi, figh, politik yang sarat dengan pesan-pesan keagamaan. Novel ini ingin menghadirkan Islam secara damai, multi-kultural, sarat sentuhan nilai cinta kasih, dan jauh dari gambaran kekerasan yang selama ini sering di-stigmakan oleh orang Barat.
Meskipun demikian, novel ini juga sarat terhadap apologetika untuk membela Islam. Semangat dakwah yang berkobar-kobar perlu diacungi jempol, tetapi terkadang "kelewat batas". Misalnya, dalam Bab 33: "Nyanyian dari Surga" (tetapi bagian ini untungnya tidak divisualisasikan dalam film), Maria bertemu dengan Bunda Maria, Ibunda Isa Al-Masih dalam mimpinya ketika terbaring sakit. Di Bab Ar-Rahmah (pintu Rahmat), Bunda Kristus itu, menampakkan diri begitu anggun dan luar biasa. "Dia (Allah) mendengar haru biru tangismu", kata Bunda Maria, "Apa maumu?". "Aku ingin masuk surga. Bolehkah?", tanya Maria sambil menangis.
"Boleh", jawab Bunda Maria. "Memang surga diperuntukkan untuk semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya". "Apa kuncinya?", tanya Maria. "Nabi pilihan Muhammad Saw telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?", tegas Bunda Maria. "Aku tidak mengikuti ajarannya", kata Maria. "Itu salahmu!", kata Bunda Maria lagi. Lalu dijelaskan bahwa jalan. ke surga itu harus lewat Islam.
"Maria, dengarlah baik-baik!", kata Bunda Kristus kepadanya. "Nabi Muhammad sudah mengajarkan kunci untuk masuk surga, "Barangsiapa berwudhu dengan baik lalu mengucapkan: Asyhadu ‘an La ilaha illallah wa asyhadu anna Muhamadan ‘abduhu wa rasuluh (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Hamba-Nya dan Rasul-Nya), maka akan dibukakan delapan pintu surga untuknya dan ia boleh masuk yang mana ia suka." Maria akhirnya masuk Islam, mengucapkan syahadat dan melaksanakan shalat sebelum ajal menjemputnya. Inilah "ending" novel dakwah ini.
6. Catatan Reflektif
Catatan reflektif saya, untuk mengakhiri artikel singkat ini, sedikit saja. Setiap orang bebas untuk menyatakan keyakinannya. Termasuk keyakinan bahwa surga itu hanya "hak orang-orang Muslim". Kalau anda tertarik dengan tawaran ini, silakan saja. Bebas dan tidak ada yang melarang. Tetapi pernahkah anda berpikir, apakah orang lain yang berkeyakinan berbeda bebas juga mengutarakan keyakinannya ? Seperti keyakinan bahwa Bunda Maria, tokoh paling suci dalam Kekristenan setelah Yesus Kristus, telah menunjuk bahwa jalan ke surga harus melalui Muhammad.
Bolehkah orang Kristiani, yang mempercayai bahwa Yesus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, dan tidak seorangpun yang sampai kepada Bapa kecuali melalui Kristus (Yoh. 14:6), meminjam "lisan Nabi Muhammad" untuk mengajar keyakinan itu ? Moga-moga anda membolehkannya, seperti kami tidak men-demo ketika "Ayat-ayat Cinta" meminjam "mulut suci Bunda Maria" untuk dakwah agama Islam. Kalau begini, mengapa harus marah kepada Ahmadiyah ? Sebaliknya, mengapa harus mengelu-elukan "Injil Yudas", dan "The Da Vinci Code", tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain yang tidak menyetujuinya ? Katakanlah, "berjuta-juta orang Kristen yang tersakiti perasaannya" karena publikasi novel dan film itu ?"
Padahal film ini akan lebih mendidik lagi, kalau misalnya diungkap juga fakta keberdampingan harmonis kehidupan umat Kristen dan umat Islam di negeri yang oleh Ibnu Khaldun dijuluki "lbunda Dunia" ini. Misalnya, tenda-tenda Ma’idah ar-Rahman (Jamuan Sang Pengasih), yaitu jamuan makan gratis yang dibuka di jaan-jalan kota Kairo, yang di beberapa wilayah Koptik, seperti Subhra, misalnya, selalu dibuka oleh uskup Gereja Ortodoks Koptik sebagai simbol persatuan nasianal (Wihdat al- Wathani). Begitu juga, kehadiran Syeikh Al-Azhar, Dr. Muhammad Tanthawi, pada acara ‘Idul Milad (
Dan akhirnya, berbarengan dengan perasaan sedih dan menyayangkan peredaran film "The Fitna", saya yang terus menerus mencoba memahami sukacita anda menyambut film "ayat-ayat Cinta", izinkanlah saya mengucapkan : Mabruk, (Selamat!) atas prestasi dan sukses film ini. Ini bukan basa-basi. Karena sekalipun ada yang tidak saya setujui isinya, tapi hati saya turut merasakan gembira bila anda bergembira.
*) Bambang Noorsena adalah pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), alumnus Kajian Perbandingan Agama pada Dar Comboni Institute, Cairo, Mesir.
7. Lampiran Novel Ayat-ayat Cinta
Hal. 400 - HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Yang kuhafal, adalah
"Selesai membaca
'Nabi pilihan Muhammad Saw. telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?' Aku tidak mengikuti ajarannya.' Itulah salahmu.'
Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad Saw, maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh di kakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam, tolonglah aku. Berilah aku kunci itu! Aku tidak mau pergi selama-lamanya. Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah.
[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta : Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (
[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat popuJer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam
[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (
[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab'u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (
[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO' A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba'ah,2001).
[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).
[7] Kata "musyakirin awi ala ..." (Terima kasih banyak atas...) adalah dialek khas Mesir, kata "awi" asalnya dari: "qawwi" (besar), dalam bahasa Arab klasik: "Syukran 'ala... " (terima kasih atas...), atau "Alfu syukran 'ala ..." (beribu terima kasih atas...)
[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.
[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome.
[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta'alim ar Rusul (
[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, "Ramadhan di Cairo", di Surabaya Post, 20 Agustus 2004, yang dimuat kembali di www.iscs.id
No comments:
Post a Comment