Sebagai pengikut Yesus selama hampir 2.000 tahun, kini penduduk asli Kristen semakin menghilang di tanah tempat lahirnya keyakinan mereka.
Oleh DON BELT
Foto oleh ED KASHI
PASKAH DI JERUSALEM bukanlah untuk pengecut. Kota Tua yang bahkan kalut dan hiruk pikuk di saat-saat yang paling tenang pun tampak benar-benar gusar dalam beberapa hari menjelang hari suci itu. Puluhan ribu umat Kristen dari seluruh pelosok dunia tumpah ruah seperti gerombolan penakluk, memenuhi berbagai jalanan sempit dan gang kuno di Via Dolorosa. mencari ikatan rohaniah di hamparan bebatuan dingin atau, mungkin, sisa-sisa kegalauan yang dialami Yesus pada beberapa jam terakhir sisa hidupnya.
Setiap wajah di muka Bumi tampaknya melayang melalui jalanan ini di saat Paskah, manusia dengan mata, rambut, dan warna kulit yang beragam, dandanan dan gaya busana beraneka jenis, mulai dari penganut Kristen dari Afrika yang bermata biru dan berkulit hitam yang mengenakan dashikis yang membuat mata terbelalak, hingga penganut Kristen dari Finlandia yang berpakaian seperti Yesus bermahkota duri penuh darah, hingga penganut Kristen dari Amerika yang memakai sepatu kets dan topi bertuliskan “I [heart] Israel”, yang jelas siap terjun ke medang perang Armageddon.
Mereka datang karena di tempat inilah agama Kristen bermula. Di sini di Jerusalem dan di tanah sekitarnya adalah perbukitan berbatu tempat Yesus berjalan, mengajar, dan wafat—dan kemudian menjadi tempat para pengikutnya berdoa, menumpahkan darah, dan bertarung tentang bagaimana seharusnya ajaran Yesus. Di samping kumpulan bangsa Yahudi yang berpindah agama di gua-gua Palestina dan Suriah, bangsa Arab adalah juga yang pertama mendapat perlakuan buruk akibat menganut keyakinan baru tersebut. Mereka-mereka yang pertama dinamakan umat Kristen. Di sinilah, di Levant—sebuah wilayah geografis yang mencakup Suriah, Lebanon, Yordania, Israel, dan Palestina masa kini—dibangun ratusan gereja dan biara setelah Konstantin si kaisar Romawi melegalkan agama Kristen pada tahun 313 dan mengumumkan bahwa provinsi-provinsi kekaisarannya di Levant sebagai tanah suci. Bahkan setelah kaum Muslimim Arab menaklukkan wilayah itu pada 638 pun, daerah itu tetap didominasi umat Kristen.
Ironis, justru pada masa Perang Salib-lah (1095-1291) umat Kristen Arab secara berangsur-angsur mulai surut menjadi kaum minoritas. Di masa itu, umat Kristen Arab bersama kaum Muslimin dibantai oleh para prajurit Perang Salib dan terperangkap dalam pertempuran antara Islam dan Kristen Barat. Dewasa ini, penduduk asli yang beragama Kristen di Levant adalah duta dari dunia yang terlupakan, yang terus mempertahankan semangat menyala-nyala dari gereja masa awal. Komunitas mereka yang terdiri atas berbagai aliran Ortodoks, Katolik, dan Protestan jumlahnya menyusut pada seabad ini dari 25 persen menjadi sekitar 8 persen dari populasi karena generasi masa kini pergi demi alasan ekonomi, demi menghindari kekerasan di wilayah itu, atau karena memiliki kerabat di dunia Barat yang membantu mereka hijrah. Sungguh memilukan bahwa kepergian mereka membuat Levant harus kehilangan warganya yang berpendidikan paling baik dan yang paling moderat pandangan politiknya—orang-orang yang justru paling diperlukan oleh masyarakat. Jadi, bagi umat Kristen Arab di Jerusalem, terasa ada suasana meriah saat Paskah, seakan setelah masa cobaan yang sepi dan lama, penguat hati yang sangat diperlukan itu pun tiba.
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, sepasang suami-istri muda Palestina penganut Kristen yang kusebut saja sebagai Lisa dan Mark sedang mempersiapkan diri menyambut kemeriahan Paskah. Lisa, yang masih bercelana jeans dan berkaus oblong, sedang sibuk membantu putrinya yang berusia 18 bulan, Nadia, mengenakan baju Paskah berwarna putih. Mark yang masih berpiama berupaya tanpa hasil agar putranya yang berusia tiga tahun, Nate, mau mengenakan setelan celana dan rompi barunya. Mark juga berupaya agar Nate yang ingin bergaya a la Spiderman atau Attila the Hun tidak merusak TV, lukisan bayi Yesus di dinding, atau vas bunga di atas meja. Mark si lelaki bertubuh besar yang tidak sabaran itu menyeringai kelelahan. Saat itu jam menunjukkan pukul 8.00 di pagi bulan Mei yang dingin menggigit dan Mark sudah mandi keringat. Namun demikian, ini adalah hari Paskah, saat untuk bersikap optimistis dan berharap dan ini adalah hari yang istimewa.
Ini adalah paskah pertama bagi Mark untuk diperbolehkan merayakannya bersama keluarga di Jerusalem. Dia berasal dari Bethlehem di Tepi Barat, jadi KTP-nya diterbitkan oleh Otoritas Palestina; dia memerlukan izin dari Israel untuk berkunjung ke Jerusalem. Lisa yang keluarganya tinggal di Kota Tua punya memiliki KTP Israel. Jadi, meski keduanya sudah menikah selama lima tahun dan menyewa apartemen di pinggiran kota Jerusalem, menurut hukum Israel mereka tidak bisa tinggal di bawah satu atap. Mark tinggal bersama orang tuanya di Bethlehem yang jaraknya lebih dari sembilan kilometer, tetapi seakan-akan 100 kilometer, jauh dari pos pemeriksaan Israel dan tembok beton setinggi 7 meter yang dikenal sebagai Dinding.
Mereka datang karena di tempat inilah agama Kristen bermula. Di sini di Jerusalem dan di tanah sekitarnya adalah perbukitan berbatu tempat Yesus berjalan, mengajar, dan wafat—dan kemudian menjadi tempat para pengikutnya berdoa, menumpahkan darah, dan bertarung tentang bagaimana seharusnya ajaran Yesus. Di samping kumpulan bangsa Yahudi yang berpindah agama di gua-gua Palestina dan Suriah, bangsa Arab adalah juga yang pertama mendapat perlakuan buruk akibat menganut keyakinan baru tersebut. Mereka-mereka yang pertama dinamakan umat Kristen. Di sinilah, di Levant—sebuah wilayah geografis yang mencakup Suriah, Lebanon, Yordania, Israel, dan Palestina masa kini—dibangun ratusan gereja dan biara setelah Konstantin si kaisar Romawi melegalkan agama Kristen pada tahun 313 dan mengumumkan bahwa provinsi-provinsi kekaisarannya di Levant sebagai tanah suci. Bahkan setelah kaum Muslimim Arab menaklukkan wilayah itu pada 638 pun, daerah itu tetap didominasi umat Kristen.
Ironis, justru pada masa Perang Salib-lah (1095-1291) umat Kristen Arab secara berangsur-angsur mulai surut menjadi kaum minoritas. Di masa itu, umat Kristen Arab bersama kaum Muslimin dibantai oleh para prajurit Perang Salib dan terperangkap dalam pertempuran antara Islam dan Kristen Barat. Dewasa ini, penduduk asli yang beragama Kristen di Levant adalah duta dari dunia yang terlupakan, yang terus mempertahankan semangat menyala-nyala dari gereja masa awal. Komunitas mereka yang terdiri atas berbagai aliran Ortodoks, Katolik, dan Protestan jumlahnya menyusut pada seabad ini dari 25 persen menjadi sekitar 8 persen dari populasi karena generasi masa kini pergi demi alasan ekonomi, demi menghindari kekerasan di wilayah itu, atau karena memiliki kerabat di dunia Barat yang membantu mereka hijrah. Sungguh memilukan bahwa kepergian mereka membuat Levant harus kehilangan warganya yang berpendidikan paling baik dan yang paling moderat pandangan politiknya—orang-orang yang justru paling diperlukan oleh masyarakat. Jadi, bagi umat Kristen Arab di Jerusalem, terasa ada suasana meriah saat Paskah, seakan setelah masa cobaan yang sepi dan lama, penguat hati yang sangat diperlukan itu pun tiba.
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, sepasang suami-istri muda Palestina penganut Kristen yang kusebut saja sebagai Lisa dan Mark sedang mempersiapkan diri menyambut kemeriahan Paskah. Lisa, yang masih bercelana jeans dan berkaus oblong, sedang sibuk membantu putrinya yang berusia 18 bulan, Nadia, mengenakan baju Paskah berwarna putih. Mark yang masih berpiama berupaya tanpa hasil agar putranya yang berusia tiga tahun, Nate, mau mengenakan setelan celana dan rompi barunya. Mark juga berupaya agar Nate yang ingin bergaya a la Spiderman atau Attila the Hun tidak merusak TV, lukisan bayi Yesus di dinding, atau vas bunga di atas meja. Mark si lelaki bertubuh besar yang tidak sabaran itu menyeringai kelelahan. Saat itu jam menunjukkan pukul 8.00 di pagi bulan Mei yang dingin menggigit dan Mark sudah mandi keringat. Namun demikian, ini adalah hari Paskah, saat untuk bersikap optimistis dan berharap dan ini adalah hari yang istimewa.
Ini adalah paskah pertama bagi Mark untuk diperbolehkan merayakannya bersama keluarga di Jerusalem. Dia berasal dari Bethlehem di Tepi Barat, jadi KTP-nya diterbitkan oleh Otoritas Palestina; dia memerlukan izin dari Israel untuk berkunjung ke Jerusalem. Lisa yang keluarganya tinggal di Kota Tua punya memiliki KTP Israel. Jadi, meski keduanya sudah menikah selama lima tahun dan menyewa apartemen di pinggiran kota Jerusalem, menurut hukum Israel mereka tidak bisa tinggal di bawah satu atap. Mark tinggal bersama orang tuanya di Bethlehem yang jaraknya lebih dari sembilan kilometer, tetapi seakan-akan 100 kilometer, jauh dari pos pemeriksaan Israel dan tembok beton setinggi 7 meter yang dikenal sebagai Dinding.
Mark merasa sangat sedih karena “80 persen teman-teman sesama Kristen yang bersama mereka saya tumbuh dewasa bersama telah pergi ke negara lain untuk mencari kerja.”
Namun, dia memahami alasannya. Sebagai pekerja sosial terlatih yang memiliki gelar di bidang sosiologi, Mark sudah berusaha mencari pekerjaan, apa saja, selama hampir dua tahun. “Kami dikelilingi dinding raksasa ini dan tidak ada pekerjaan,” katanya. “Ini seperti percobaan ilmiah. Jika kita mengurung tikus dalam ruang tertutup dan luas ruangan itu dibuat semakin sempit setiap hari dan menerapkan berbagai hambatan baru serta terus-menerus mengubah peraturan, lama kelamaan tikus akan menjadi gila dan mulai saling memangsa. Seperti itulah keadaannya.”
Bagi siapa pun yang tinggal di wilayah Israel atau Palestina, stres adalah sesuatu yang lazim. Namun, 196.500 orang Arab Palestina dan Arab Israel yang beragama Kristen, yang jumlahnya menyusut dari 13 persen populasi pada 1894 menjadi kurang dari 2 persen sekarang, menghuni daerah yang membuat sesak yang diapit oleh bangsa Yahudi Israel yang dilanda trauma dan Muslim Palestina yang juga dilanda trauma, yang kegiatan militan mereka semakin gencar dan dikaitkan dengan gerakan aliran Islam regional yang terkadang menjadikan umat Kristen Arab sebagai sasaran.
Dalam satu dasawarsa terakhir, “situasinya bagi umat Kristen Arab memburuk dengan cepat,” kata Razek Siriani, lelaki 40-an tahun yang jujur dan dinamis, yang bekerja di Dewan Gereja Timur Tengah di Aleppo, Suriah. “Kami benar-benar kalah dalam jumlah dan dikelilingi oleh suara-suara penuh amarah,” katanya. Pemeluk Kristen di Barat semakin memperburuk keadaan, begitu kata Razek menyuarakan perasaan yang diungkapkan oleh banyak orang Kristen Arab. “Ini karena ulah penganut Kristen dunia Barat yang dipimpin AS di dunia Timur,” katanya sambil menyebut perang di Irak dan Afghanistan, dukungan AS terhadap Israel, dan ancaman “penggantian pemerintahan” oleh Pemerintahan Bush. “Bagi banyak kaum Muslimin, terutama yang fanatik, ini ibarat Perang Salib yang terjadi sekali lagi, perang melawan Islam yang dikobarkan oleh umat Kristen. Karena kami Kristen, mereka memandang kami juga sebagai musuh. Kami ini korban kesalahan umat Kristen di Barat.”
Mark dan Lisa, sama seperti penganut Kristen Arab di mana-mana, terlibat dalam perdebatan tak berkesudahan tentang apakah lebih baik meninggalkan kampung halaman mereka untuk selamanya. Mark punya satu saudara laki-laki di Irlandia, seorang lagi di San Diego, dan dia pernah tinggal di AS selama beberapa tahun. Dia punya green card dan sedang bekerja di California saat menikahi Lisa di Jerusalem pada 2004. Lisa pernah mencoba tinggal di San Diego sebentar, tetapi rindu pada keluarganya di tanah air sehingga pasangan itu pulang kembali setelah kelahiran Nate.
Tinggal sebagai orang Arab di A.S. setelah kejadian 11 September merupakan pengalaman berharga bagi mereka. “Sungguh menggelikan,” kata Mark, “sudut pandang orang Amerika. Mereka belum pernah mendengar ada orang Arab penganut Kristen. Mereka berasumsi semua orang Arab itu Muslim—maksudnya teroris—dan bahwa agama Kristen ditemukan di Italia atau entah di mana. Jadi, jika kami berkata, saya orang Arab beragama Kristen, mereka memandang kami dengan penuh curiga, seakan-akan kami berkata, Bulan itu warnanya ungu. Suatu kali ada seorang perempuan bertanya, ‘Bagaimana sikap keluargamu karena kamu beragama Kristen? Mereka pasti marah sekali!’”
Namun, dia memahami alasannya. Sebagai pekerja sosial terlatih yang memiliki gelar di bidang sosiologi, Mark sudah berusaha mencari pekerjaan, apa saja, selama hampir dua tahun. “Kami dikelilingi dinding raksasa ini dan tidak ada pekerjaan,” katanya. “Ini seperti percobaan ilmiah. Jika kita mengurung tikus dalam ruang tertutup dan luas ruangan itu dibuat semakin sempit setiap hari dan menerapkan berbagai hambatan baru serta terus-menerus mengubah peraturan, lama kelamaan tikus akan menjadi gila dan mulai saling memangsa. Seperti itulah keadaannya.”
Bagi siapa pun yang tinggal di wilayah Israel atau Palestina, stres adalah sesuatu yang lazim. Namun, 196.500 orang Arab Palestina dan Arab Israel yang beragama Kristen, yang jumlahnya menyusut dari 13 persen populasi pada 1894 menjadi kurang dari 2 persen sekarang, menghuni daerah yang membuat sesak yang diapit oleh bangsa Yahudi Israel yang dilanda trauma dan Muslim Palestina yang juga dilanda trauma, yang kegiatan militan mereka semakin gencar dan dikaitkan dengan gerakan aliran Islam regional yang terkadang menjadikan umat Kristen Arab sebagai sasaran.
Dalam satu dasawarsa terakhir, “situasinya bagi umat Kristen Arab memburuk dengan cepat,” kata Razek Siriani, lelaki 40-an tahun yang jujur dan dinamis, yang bekerja di Dewan Gereja Timur Tengah di Aleppo, Suriah. “Kami benar-benar kalah dalam jumlah dan dikelilingi oleh suara-suara penuh amarah,” katanya. Pemeluk Kristen di Barat semakin memperburuk keadaan, begitu kata Razek menyuarakan perasaan yang diungkapkan oleh banyak orang Kristen Arab. “Ini karena ulah penganut Kristen dunia Barat yang dipimpin AS di dunia Timur,” katanya sambil menyebut perang di Irak dan Afghanistan, dukungan AS terhadap Israel, dan ancaman “penggantian pemerintahan” oleh Pemerintahan Bush. “Bagi banyak kaum Muslimin, terutama yang fanatik, ini ibarat Perang Salib yang terjadi sekali lagi, perang melawan Islam yang dikobarkan oleh umat Kristen. Karena kami Kristen, mereka memandang kami juga sebagai musuh. Kami ini korban kesalahan umat Kristen di Barat.”
Mark dan Lisa, sama seperti penganut Kristen Arab di mana-mana, terlibat dalam perdebatan tak berkesudahan tentang apakah lebih baik meninggalkan kampung halaman mereka untuk selamanya. Mark punya satu saudara laki-laki di Irlandia, seorang lagi di San Diego, dan dia pernah tinggal di AS selama beberapa tahun. Dia punya green card dan sedang bekerja di California saat menikahi Lisa di Jerusalem pada 2004. Lisa pernah mencoba tinggal di San Diego sebentar, tetapi rindu pada keluarganya di tanah air sehingga pasangan itu pulang kembali setelah kelahiran Nate.
Tinggal sebagai orang Arab di A.S. setelah kejadian 11 September merupakan pengalaman berharga bagi mereka. “Sungguh menggelikan,” kata Mark, “sudut pandang orang Amerika. Mereka belum pernah mendengar ada orang Arab penganut Kristen. Mereka berasumsi semua orang Arab itu Muslim—maksudnya teroris—dan bahwa agama Kristen ditemukan di Italia atau entah di mana. Jadi, jika kami berkata, saya orang Arab beragama Kristen, mereka memandang kami dengan penuh curiga, seakan-akan kami berkata, Bulan itu warnanya ungu. Suatu kali ada seorang perempuan bertanya, ‘Bagaimana sikap keluargamu karena kamu beragama Kristen? Mereka pasti marah sekali!’”
DI ATAS SEBUAH GUNUNG dekat Beirut yang menghadap ke Laut Tengah, seorang petapa terjaga pada pukul 3.00 pagi. Dia lalu mengambil lampu senter yang ada di antara tumpukan buku yang menjadi buah karya kehidupannya sekaligus teman tidurnya sepanjang hayat. Si petapa yang usianya 73 tahun, berjanggut panjang, dan dikenal sebagai Romo Yuhanna bekerja di tempat tersebut hingga fajar, menerjemahkan himne-himne Kristen kuno dari bahasa Aramaik, bahasa yang digunakan Yesus, ke bahasa Arab modern dan menyalinnya ke dalam buku raksasa bersampul kulit yang sebesar bantal kursi. Kemudian dia berdoa, makan sepotong buah, mengenakan mantel dan jubah hitamnya, lalu menebar 10.000 doa restu ke semua tempat di dunia dengan suka cita.
Pertama, dia selalu singgah di Alaska, tempat dia “menghirup udara segar sepuasnya.” Selanjutnya, dia menyusuri Amerika Utara dan Amerika Selatan, melompat ke Afrika, bergerak ke atas melewati Timur Tengah, menyapu Eropa, lalu ke timur ke Rusia dan Asia sebelum meneruskan perjalanannya ke selatan ke Australia. Ke mana pun dia pergi, petapa itu menebarkan berkat, menghitungnya satu per satu pada manik-manik rosario yang bergerak begitu cepat melalui jemarinya seakan-akan burung merpati. Perjalanan harian itu memakan waktu tiga-empat jam dan pada kebanyakan hari—jika tidak berlama-lama di daerah konflik—dia sudah kembali ke rumah tengah hari. Di mata orang awam, petapa itu hanyalah seorang tua yang berjalan-jalan di taman. Namun bagi para sahabat dan pengikutnya yang datang dalam jumlah ratusan untuk menyimak ajarannya tentang Yesus, dia adalah tokoh suci, keturunan para petapa berpengaruh seperti Tetua Simeon—seorang aulia abad kelima yang tinggal di atas pilar batu di pedesaan Suriah selama lebih dari 30 tahun dan menarik penduduk lokal yang taat.
Umat Kristen Maronit biasanya bukanlah orang-orang yang dianggap sebagai calon orang suci. Sebagai pengikut petapa abad keempat yang bernama Maron, aliran itu tampaknya ditakdirkan sejak awal untuk terus memperjuangkan keberadaannya sepanjang sejarah. Ketika St. Maron wafat tahun 410, perseteruan sengit berkobar di antara para pengikutnya dalam memperebutkan kewenangan mengurusi jasadnya. Dalam kurun satu generasi, kaum Maronit juga bertarung melawan aliran Kristen saingan mereka mengenai permasalahan teologi, dan setelah Islam tiba, mereka juga menentang kaum Muslimin. Untuk menghindari penindasan, mereka berjuang melintasi pegunungan dari Suriah hingga masuk ke Lebanon, dan di sana mereka mencari lembah yang paling ganas, membentengi gua dan biara batu cadas mereka, dan bersiap mempertahankan diri dari serbuan pasukan khalifah. Di penghujung abad ke-11 ketika para prajurit perang salib Prancis berbaris menuju Jerusalem, kaum Maronit berbondong-bondong meninggalkan pegunungan untuk mengelu-elukan rekan sesama penganut Kristen mereka. Sekitar 800 tahun kemudian ketika Prancis menduduki Suriah (termasuk Lebanon) di akhir Perang Dunia I, negara itu membalas budi kaum Maronit dengan membentuk negara Lebanon masa depan yang menguntungkan mereka. Dengan menggunakan bahasa Prancis dan memupuk ikatan budaya dengan Eropa, kaum Maronit menjadi satu-satunya umat Kristen Arab yang menjadi mayoritas di sebuah negara Timur Tengah ketika Lebanon mendapatkan kemerdekaannya pada 1943.
Kemudian, kaum Kristen Maronit menjadi salah satu pejuang milisi paling ditakuti dalam perang saudara di Lebanon, melancarkan serangan gencar terhadap berbagai faksi Lebanon—Shiah, Suni, Druze, dan Palestina—di zona pertempuran Beirut antara 1975 dan 1990. Namun kini, umat Kristen Lebanon yang pernah menjadi mayoritas mendapati diri mereka semakin kehilangan pamor dan perannya menjadi sama seperti yang disandang umat Kristen di manapun di Timur Tengah seperti yang sudah begitu dikenal. Setelah puluhan tahun terjadi hijrah orang-orang Maronit dari negerinya, jumlah mereka menyusut hingga di bawah 40 persen dari populasi.
Untuk bisa bertahan, para pemimpin Maronit membentuk aliansi baru: ada yang bersekutu dengan kelompok Shiah yang dominan, Hizbullah; yang lain bersekutu dengan koalisi Suni dan Druze. Sementara itu, milisi Kristen bergerak di bawah tanah—tapi, bukan berarti sikap mereka melunak.
Milad Assaf adalah seorang kontraktor ubin paruh baya yang ramah dan berdinas sebagai tentara rendahan dalam Lebanese Forces (LF), sebuah partai politik Maronit yang berpengaruh kuat. Dari teras apartemennya yang penuh lubang peluru di tingkat lima di Beirut timur, Milad dapat melihat dengan jelas ke permukiman Shiah yang luas, yang terletak di seberang jalan utama yang sibuk. Jalan itu menandai “garis merah” antara wilayah Kristen dan wilayah tempat milisi Shiah bertempur untuk Hizbullah dan sekutunya, Amal. “Seperti tinggal di arena latihan tembak,” katanya sambil tertawa.
Milad baru berusia enam tahun pada April 1975 ketika sekelompok orang Kristen menyulut perang saudara Lebanon dengan menembaki sebuah bus yang dipenuhi para pengungsi Palestina; mereka melakukan hal itu untuk mengirim pesan kepada para pejuang Palestina yang saat itu sedang merambah jalanan kota Beirut, para pejuang yang berniat mengubah Lebanon menjadi markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Serangan bus yang menewaskan 27 orang itu hanya berjarak satu blok dari rumah Milad, di depan patung Perawan Maria setinggi orang. Meski daerah itu dihujani tembakan senapan, granat roket, serta bom Israel yang terus-menerus dijatuhkan dari udara sejak 1975, patung tersebut tidak tergores sedikit pun. “Bayangkan saja. Ajaib bukan?” kata Milad.
Pertama, dia selalu singgah di Alaska, tempat dia “menghirup udara segar sepuasnya.” Selanjutnya, dia menyusuri Amerika Utara dan Amerika Selatan, melompat ke Afrika, bergerak ke atas melewati Timur Tengah, menyapu Eropa, lalu ke timur ke Rusia dan Asia sebelum meneruskan perjalanannya ke selatan ke Australia. Ke mana pun dia pergi, petapa itu menebarkan berkat, menghitungnya satu per satu pada manik-manik rosario yang bergerak begitu cepat melalui jemarinya seakan-akan burung merpati. Perjalanan harian itu memakan waktu tiga-empat jam dan pada kebanyakan hari—jika tidak berlama-lama di daerah konflik—dia sudah kembali ke rumah tengah hari. Di mata orang awam, petapa itu hanyalah seorang tua yang berjalan-jalan di taman. Namun bagi para sahabat dan pengikutnya yang datang dalam jumlah ratusan untuk menyimak ajarannya tentang Yesus, dia adalah tokoh suci, keturunan para petapa berpengaruh seperti Tetua Simeon—seorang aulia abad kelima yang tinggal di atas pilar batu di pedesaan Suriah selama lebih dari 30 tahun dan menarik penduduk lokal yang taat.
Umat Kristen Maronit biasanya bukanlah orang-orang yang dianggap sebagai calon orang suci. Sebagai pengikut petapa abad keempat yang bernama Maron, aliran itu tampaknya ditakdirkan sejak awal untuk terus memperjuangkan keberadaannya sepanjang sejarah. Ketika St. Maron wafat tahun 410, perseteruan sengit berkobar di antara para pengikutnya dalam memperebutkan kewenangan mengurusi jasadnya. Dalam kurun satu generasi, kaum Maronit juga bertarung melawan aliran Kristen saingan mereka mengenai permasalahan teologi, dan setelah Islam tiba, mereka juga menentang kaum Muslimin. Untuk menghindari penindasan, mereka berjuang melintasi pegunungan dari Suriah hingga masuk ke Lebanon, dan di sana mereka mencari lembah yang paling ganas, membentengi gua dan biara batu cadas mereka, dan bersiap mempertahankan diri dari serbuan pasukan khalifah. Di penghujung abad ke-11 ketika para prajurit perang salib Prancis berbaris menuju Jerusalem, kaum Maronit berbondong-bondong meninggalkan pegunungan untuk mengelu-elukan rekan sesama penganut Kristen mereka. Sekitar 800 tahun kemudian ketika Prancis menduduki Suriah (termasuk Lebanon) di akhir Perang Dunia I, negara itu membalas budi kaum Maronit dengan membentuk negara Lebanon masa depan yang menguntungkan mereka. Dengan menggunakan bahasa Prancis dan memupuk ikatan budaya dengan Eropa, kaum Maronit menjadi satu-satunya umat Kristen Arab yang menjadi mayoritas di sebuah negara Timur Tengah ketika Lebanon mendapatkan kemerdekaannya pada 1943.
Kemudian, kaum Kristen Maronit menjadi salah satu pejuang milisi paling ditakuti dalam perang saudara di Lebanon, melancarkan serangan gencar terhadap berbagai faksi Lebanon—Shiah, Suni, Druze, dan Palestina—di zona pertempuran Beirut antara 1975 dan 1990. Namun kini, umat Kristen Lebanon yang pernah menjadi mayoritas mendapati diri mereka semakin kehilangan pamor dan perannya menjadi sama seperti yang disandang umat Kristen di manapun di Timur Tengah seperti yang sudah begitu dikenal. Setelah puluhan tahun terjadi hijrah orang-orang Maronit dari negerinya, jumlah mereka menyusut hingga di bawah 40 persen dari populasi.
Untuk bisa bertahan, para pemimpin Maronit membentuk aliansi baru: ada yang bersekutu dengan kelompok Shiah yang dominan, Hizbullah; yang lain bersekutu dengan koalisi Suni dan Druze. Sementara itu, milisi Kristen bergerak di bawah tanah—tapi, bukan berarti sikap mereka melunak.
Milad Assaf adalah seorang kontraktor ubin paruh baya yang ramah dan berdinas sebagai tentara rendahan dalam Lebanese Forces (LF), sebuah partai politik Maronit yang berpengaruh kuat. Dari teras apartemennya yang penuh lubang peluru di tingkat lima di Beirut timur, Milad dapat melihat dengan jelas ke permukiman Shiah yang luas, yang terletak di seberang jalan utama yang sibuk. Jalan itu menandai “garis merah” antara wilayah Kristen dan wilayah tempat milisi Shiah bertempur untuk Hizbullah dan sekutunya, Amal. “Seperti tinggal di arena latihan tembak,” katanya sambil tertawa.
Milad baru berusia enam tahun pada April 1975 ketika sekelompok orang Kristen menyulut perang saudara Lebanon dengan menembaki sebuah bus yang dipenuhi para pengungsi Palestina; mereka melakukan hal itu untuk mengirim pesan kepada para pejuang Palestina yang saat itu sedang merambah jalanan kota Beirut, para pejuang yang berniat mengubah Lebanon menjadi markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Serangan bus yang menewaskan 27 orang itu hanya berjarak satu blok dari rumah Milad, di depan patung Perawan Maria setinggi orang. Meski daerah itu dihujani tembakan senapan, granat roket, serta bom Israel yang terus-menerus dijatuhkan dari udara sejak 1975, patung tersebut tidak tergores sedikit pun. “Bayangkan saja. Ajaib bukan?” kata Milad.
Tempat tinggal Milad, Ain al-Rumaneh, adalah lingkungan yang keras disesaki gedung apartemen dan toko kecil-kecil yang dipenuhi lubang peluru. Setiap permukaan yang datar, ibaratnya, menampilkan lambang Lebanon Forces, gambar salib yang bagian bawahnya terpapas miring seperti pedang. Setelah pertempuran dengan Shiah belum lama ini, Milad dan teman-temannya mendirikan salib kayu setinggi empat setengah meter di trotoar dan menempelkan dinding kayu lapis dengan poster Yesus berukuran besar. Kemudian, mereka memasang lampu tembak sehingga para pejuang Hizbullah di seberang jalan dapat menerima pesan tersebut selama 24 jam sehari: “Ain al-Rumaneh adalah wilayah Kristen. Jangan coba-coba mendekat.”
Pada usia 12 tahun saat bergabung dengan LF, Milad punya lagak seorang shabb, jagoan. Dia tidak ingat sudah berapa yang tewas di tangannya selama perang. Sudah lusinan kali dia keluar-masuk penjara, dan bahkan sekarang pun di usianya yang ke-40, Milad belum mau meninggalkan kehidupan pejuang yang penuh bahaya. Rambutnya yang menipis disisir ke belakang, gaya Elvis, dan dia mengenakan kalung emas dengan gantungan salib LF besar serta tato di lengan bawah kirinya. Seperti banyak orang Kristen Arab, Milad rajin latihan angkat besi, dan meski perutnya agak buncit, dia punya dada bidang yang dibanggakannya, dada yang ketat dibalut kaus oblong putih merek Armani.
Dia sering menggerakkan otot biseps dan dadanya. Milad sering mabuk-mabukan di dalam mobil SUV yang sudah dimodifikasi, terlalu banyak menenggak minuman keras, punya banyak pacar. Sejak perang dengan Israel Juli 2006 yang menghancurkan ekonomi Lebanon dan memperkuat Hizbullah, usaha ubinnya ikut terpukul, tetapi Milad berharap dapat bertahan dalam badai krisis ini, seperti berbagai krisis sebelumnya.
Di penjuru negeri, kondisi labil yang kronis ini mendorong pengangguran hingga 20 persen, membuat para investor asing takut, dan meredupkan dunia perdagangan yang dulu pernah berjaya di negara itu. Sepekan sebelumnya di jantung wilayah kaum Maronit di sepanjang Lembah Qadicha, aku singgah di sebuah toko di Bcharre, sebuah kota di tepi tebing yang menjadi kota kelahiran penyair Khalil Gibran. “Pengunjung pertama hari ini,” kata perempuan berambut gelap dari balik meja. Nama perempuan itu Liliane Geagea. Saat itu pukul 11.00 pagi di suatu hari Sabtu yang cerah di bulan April, musim wisatawan, tetapi tempat itu sepi. “Dengan semua masalah itu, orang enggan datang ke sini. Semua orang menabung agar bisa meninggalkan tempat yang gila ini. Aku juga begitu. Sudah 45 tahun aku tinggal di negara ini, sebagian besar dalam perang dan rasanya sudah cukup lama. Aku sudah capek, begitu juga keluargaku. Putriku kuliah di Universitas Beirut. Apabila sudah lulus nanti, nasihatku untuknya adalah: Pergilah ke Amerika, pergilah ke Eropa atau Australia, tidak jadi soal ke mana. Yang penting, keluar dari sini, dan bawa aku.”
Milad tidak punya opsi untuk pergi, dan begitu pula ribuan pemuda tangguh seperti dirinya yang sering berkumpul di balai pertemuan milisia untuk mendiskusikan “situasi” dan mematuhi keputusan partai untuk menjalin persekutuan politik, dan bukan berperang. Namun, yang membuat mereka gelisah adalah jika jumlah senjata mereka lebih sedikit daripada senjata musuh. Milad menunjukkan kekuatan otot lengan atasnya, menepuk popor senapannya, sambil menyeringai. “Kami masih punya senjata,” katanya, sambil menyentuh salah satu senapan M16 yang rajin dia minyaki dan selalu siap di lantai basemen. “Tetapi, sekarang senjata kaum Shiah lebih banyak.” Dia memberi isyarat keluar jendela, ke kompleks apartemen yang dipenuhi lubang peluru di seberang jalan empat jalur yang ibarat batas internasional yang sarat permusuhan. “Hizbullah mengendalikan segalanya di seberang jalan itu,” katanya. “Dan mereka itu orang-orang gila. Mereka punya alat peluncur roket, RPG, dan aneka senjata lainnya, yang dipasok Iran. Jelas sekali, kami harus selalu melindungi daerah permukiman dan keluarga kami. Tetapi sekarang ini, jika terjadi baku tembak, kami pasti kalah. Jadi, sekarang kami mendukung perdamaian.”
DI TEMPAT YANG BERJARAK BEBERAPA JAM KE TIMUR garis batas perang antara kaum Muslimin dan Kristen di Beirut, komunitas di Suriah mengingatkan, bahwa di balik permusuhan dewasa ini, betapa erat sesungguhnya hubungan antara kedua agama tersebut. Ada berbagai oasis toleransi—dulu ada di mana-mana, sekarang tinggal sedikit saja—tempat orang Kristen dan Muslim saling menghadiri upacara pernikahan dan pemakaman, serta saling beribadah di rumah ibadat pihak yang lain. Di sejumlah biara, orang Kristen masih sering bersujud saat berdoa—kebiasaan di zaman Bizantium yang mungkin dikagumi dan diterapkan kaum Muslim di masa-masa awal dulu. Sejumlah gereja masih sering melaksanakan misa dalam bahasa Armaik atau bahasa Siriak, bahasa praIslam.
Pada suatu siang aku mendaki ke biara Bunda Kudus dari Saydnaya, biara Kristen Ortodoks Yunani yang berada di puncak tebing di Suriah yang tetap kokoh, meski berkali-kali mengalami pergolakan kekaisaran sejak 547. Begitu berada di dalam, kudapati diriku tidaklah berada di tengah-tengah umat Kristen, melainkan dalam kerumunan keluarga-keluarga Muslim yang datang untuk meminta berkah dari Perawan Maria, yang kekuatan penyembuhan dan kesuburannya telah menarik orang-orang yang membutuhkan selama hampir 1.500 tahun.
Pada usia 12 tahun saat bergabung dengan LF, Milad punya lagak seorang shabb, jagoan. Dia tidak ingat sudah berapa yang tewas di tangannya selama perang. Sudah lusinan kali dia keluar-masuk penjara, dan bahkan sekarang pun di usianya yang ke-40, Milad belum mau meninggalkan kehidupan pejuang yang penuh bahaya. Rambutnya yang menipis disisir ke belakang, gaya Elvis, dan dia mengenakan kalung emas dengan gantungan salib LF besar serta tato di lengan bawah kirinya. Seperti banyak orang Kristen Arab, Milad rajin latihan angkat besi, dan meski perutnya agak buncit, dia punya dada bidang yang dibanggakannya, dada yang ketat dibalut kaus oblong putih merek Armani.
Dia sering menggerakkan otot biseps dan dadanya. Milad sering mabuk-mabukan di dalam mobil SUV yang sudah dimodifikasi, terlalu banyak menenggak minuman keras, punya banyak pacar. Sejak perang dengan Israel Juli 2006 yang menghancurkan ekonomi Lebanon dan memperkuat Hizbullah, usaha ubinnya ikut terpukul, tetapi Milad berharap dapat bertahan dalam badai krisis ini, seperti berbagai krisis sebelumnya.
Di penjuru negeri, kondisi labil yang kronis ini mendorong pengangguran hingga 20 persen, membuat para investor asing takut, dan meredupkan dunia perdagangan yang dulu pernah berjaya di negara itu. Sepekan sebelumnya di jantung wilayah kaum Maronit di sepanjang Lembah Qadicha, aku singgah di sebuah toko di Bcharre, sebuah kota di tepi tebing yang menjadi kota kelahiran penyair Khalil Gibran. “Pengunjung pertama hari ini,” kata perempuan berambut gelap dari balik meja. Nama perempuan itu Liliane Geagea. Saat itu pukul 11.00 pagi di suatu hari Sabtu yang cerah di bulan April, musim wisatawan, tetapi tempat itu sepi. “Dengan semua masalah itu, orang enggan datang ke sini. Semua orang menabung agar bisa meninggalkan tempat yang gila ini. Aku juga begitu. Sudah 45 tahun aku tinggal di negara ini, sebagian besar dalam perang dan rasanya sudah cukup lama. Aku sudah capek, begitu juga keluargaku. Putriku kuliah di Universitas Beirut. Apabila sudah lulus nanti, nasihatku untuknya adalah: Pergilah ke Amerika, pergilah ke Eropa atau Australia, tidak jadi soal ke mana. Yang penting, keluar dari sini, dan bawa aku.”
Milad tidak punya opsi untuk pergi, dan begitu pula ribuan pemuda tangguh seperti dirinya yang sering berkumpul di balai pertemuan milisia untuk mendiskusikan “situasi” dan mematuhi keputusan partai untuk menjalin persekutuan politik, dan bukan berperang. Namun, yang membuat mereka gelisah adalah jika jumlah senjata mereka lebih sedikit daripada senjata musuh. Milad menunjukkan kekuatan otot lengan atasnya, menepuk popor senapannya, sambil menyeringai. “Kami masih punya senjata,” katanya, sambil menyentuh salah satu senapan M16 yang rajin dia minyaki dan selalu siap di lantai basemen. “Tetapi, sekarang senjata kaum Shiah lebih banyak.” Dia memberi isyarat keluar jendela, ke kompleks apartemen yang dipenuhi lubang peluru di seberang jalan empat jalur yang ibarat batas internasional yang sarat permusuhan. “Hizbullah mengendalikan segalanya di seberang jalan itu,” katanya. “Dan mereka itu orang-orang gila. Mereka punya alat peluncur roket, RPG, dan aneka senjata lainnya, yang dipasok Iran. Jelas sekali, kami harus selalu melindungi daerah permukiman dan keluarga kami. Tetapi sekarang ini, jika terjadi baku tembak, kami pasti kalah. Jadi, sekarang kami mendukung perdamaian.”
DI TEMPAT YANG BERJARAK BEBERAPA JAM KE TIMUR garis batas perang antara kaum Muslimin dan Kristen di Beirut, komunitas di Suriah mengingatkan, bahwa di balik permusuhan dewasa ini, betapa erat sesungguhnya hubungan antara kedua agama tersebut. Ada berbagai oasis toleransi—dulu ada di mana-mana, sekarang tinggal sedikit saja—tempat orang Kristen dan Muslim saling menghadiri upacara pernikahan dan pemakaman, serta saling beribadah di rumah ibadat pihak yang lain. Di sejumlah biara, orang Kristen masih sering bersujud saat berdoa—kebiasaan di zaman Bizantium yang mungkin dikagumi dan diterapkan kaum Muslim di masa-masa awal dulu. Sejumlah gereja masih sering melaksanakan misa dalam bahasa Armaik atau bahasa Siriak, bahasa praIslam.
Pada suatu siang aku mendaki ke biara Bunda Kudus dari Saydnaya, biara Kristen Ortodoks Yunani yang berada di puncak tebing di Suriah yang tetap kokoh, meski berkali-kali mengalami pergolakan kekaisaran sejak 547. Begitu berada di dalam, kudapati diriku tidaklah berada di tengah-tengah umat Kristen, melainkan dalam kerumunan keluarga-keluarga Muslim yang datang untuk meminta berkah dari Perawan Maria, yang kekuatan penyembuhan dan kesuburannya telah menarik orang-orang yang membutuhkan selama hampir 1.500 tahun.
Di saat mataku mulai terbiasa dengan pendaran cahaya lilin di ruangan dalam, kuperhatikan seorang perempuan berjilbab menyorongkan bayinya yang dibalut selimut ke sebuah tempat yang jadi pusat dari tempat ibadah itu. Di titik yang dikelilingi oleh sejumlah patung yang sudah menghitam karena jelaga itu, sebuah pelat kuningan menutupi gambar Maria yang konon dilukis oleh St. Lukas. Gambar itu diyakini menimbulkan inspirasi meskipun terhalang dari pandangan. Dengan mata terpejam dan bibir komat-kamit memanjatkan doa tanpa suara, ibu si bayi menempelkan wajah bayinya dengan lembut ke pelat logam untuk beberapa lama. Kemudian di luar, kutemui perempuan itu dan keluarganya. Mereka datang mengendarai mobil dari Damaskus setelah salat Jumat di masjid.
Karena berhati-hati menghadapi orang asing, mereka hanya memberitahukan nama anak mereka yang sedang sakit, Mahmoud. Usianya baru tujuh bulan, dibungkus selimut hijau, terbaring diam seperti sudah meninggal, matanya terpejam, nyaris tidak bernapas. Wajahnya cokelat tua agak kelabu. “Kata dokter, dia sudah tidak bisa menolong Mahmoud dan meminta kami mengirimnya ke Amerika untuk dioperasi,” kata ibunya. “Itu mustahil, jadi kami mengharapkan keajaiban. Aku Muslim, tetapi dulu sekali, keluargaku penganut Kristen. Aku percaya kepada para rasul—Muslim, Yahudi, dan Kristen—dan aku percaya kepada Maria. Aku datang ke sini agar putraku sembuh.”
Adegan seperti itu mencerminkan sejarah koeksistensi damai antara kaum Muslimin dan penganut agama lain di Levant, yang pernah terjadi di masa awal Islam. Ketika Khalifah Umar bin Khatab menaklukkan Suriah dari Kekaisaran Bizantium sekitar tahun 636, dia melindungi umat Kristen di bawah pemerintahannya, memperbolehkan mereka tetap memiliki gereja dan beribadat sebagaimana yang mereka inginkan. Namun begitu, banyak penganut Kristen yang berpindah ke agama Islam, lebih memilih untuk menjalin komunikasi pribadi dengan Tuhan, tidak melalui hierarki Gereja Bizantium yang menindas. Cucu lelaki gubernur Damaskus terakhir yang beragama Kristen, yang setelah dewasa menjadi ahli teologi St. Yohannes Damascene, menyimak pembicaraan para pemeluk baru ini tentang Islam—kesediaan mereka menerima Kitab Perjanjian Lama dan Baru, rasa hormat mereka kepada para nabi Yahudi, pemujaan mereka terhadap Yesus dan Maria—dan menyimpulkan bahwa ini adalah salah satu dari sekian banyak penyimpangan dari ajaran Kristen yang menyebar di Kekaisaran Bizantium, di luar jangkauan penguasa gereja di Konstantinopel. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahkan menulis bertahun-tahun kemudian, bahwa Islam mungkin menjadi agama tersendiri. Ketika beberapa khalifah berikutnya memberlakukan pajak yang berat kepada penganut Kristen, perpindahan agama semakin gencar dilakukan penduduk desa yang miskin. Bagi para penganut Kristen Arab masa awal yang menamakan Tuhan (dan juga yang sekarang) sebagai Allah, menerima ajaran Islam ibarat melangkah menyeberangi sungai kecil, bukan melompati ngarai.
“Kita tidak mungkin hidup berdampingan dengan orang lain selama seribu tahun dan memandang mereka sebagai anak-anak Setan,” begitu pengamatan Paolo Dall’Oglio, seorang pendeta bertubuh besar berpenampilan kasar yang mengajak kaum Muslimin ikut serta dalam dialog antaragama di Deir Mar Musa, biara abad keenam di gurun antara Damaskus dan Homs. Biara itu dia pugar bersama sejumlah orang Arab pengikutnya. “Berlawanan dengan itu, kaum Muslim sama seperti kami. Ini adalah pelajaran yang belum dipelajari oleh dunia Barat dan umat Kristen Arab secara unik memiliki keahlian untuk mengajar. Mereka adalah mata rantai terakhir yang amat penting yang menghubungkan penganut Kristen Barat dan dunia Muslim Arab. Jika para penganut Kristen Arab lenyap, kedua pihak tersebut akan terpisah semakin jauh dibandingkan sekarang. Mereka berperan sebagai perantara.”
Karena berhati-hati menghadapi orang asing, mereka hanya memberitahukan nama anak mereka yang sedang sakit, Mahmoud. Usianya baru tujuh bulan, dibungkus selimut hijau, terbaring diam seperti sudah meninggal, matanya terpejam, nyaris tidak bernapas. Wajahnya cokelat tua agak kelabu. “Kata dokter, dia sudah tidak bisa menolong Mahmoud dan meminta kami mengirimnya ke Amerika untuk dioperasi,” kata ibunya. “Itu mustahil, jadi kami mengharapkan keajaiban. Aku Muslim, tetapi dulu sekali, keluargaku penganut Kristen. Aku percaya kepada para rasul—Muslim, Yahudi, dan Kristen—dan aku percaya kepada Maria. Aku datang ke sini agar putraku sembuh.”
Adegan seperti itu mencerminkan sejarah koeksistensi damai antara kaum Muslimin dan penganut agama lain di Levant, yang pernah terjadi di masa awal Islam. Ketika Khalifah Umar bin Khatab menaklukkan Suriah dari Kekaisaran Bizantium sekitar tahun 636, dia melindungi umat Kristen di bawah pemerintahannya, memperbolehkan mereka tetap memiliki gereja dan beribadat sebagaimana yang mereka inginkan. Namun begitu, banyak penganut Kristen yang berpindah ke agama Islam, lebih memilih untuk menjalin komunikasi pribadi dengan Tuhan, tidak melalui hierarki Gereja Bizantium yang menindas. Cucu lelaki gubernur Damaskus terakhir yang beragama Kristen, yang setelah dewasa menjadi ahli teologi St. Yohannes Damascene, menyimak pembicaraan para pemeluk baru ini tentang Islam—kesediaan mereka menerima Kitab Perjanjian Lama dan Baru, rasa hormat mereka kepada para nabi Yahudi, pemujaan mereka terhadap Yesus dan Maria—dan menyimpulkan bahwa ini adalah salah satu dari sekian banyak penyimpangan dari ajaran Kristen yang menyebar di Kekaisaran Bizantium, di luar jangkauan penguasa gereja di Konstantinopel. Dia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahkan menulis bertahun-tahun kemudian, bahwa Islam mungkin menjadi agama tersendiri. Ketika beberapa khalifah berikutnya memberlakukan pajak yang berat kepada penganut Kristen, perpindahan agama semakin gencar dilakukan penduduk desa yang miskin. Bagi para penganut Kristen Arab masa awal yang menamakan Tuhan (dan juga yang sekarang) sebagai Allah, menerima ajaran Islam ibarat melangkah menyeberangi sungai kecil, bukan melompati ngarai.
“Kita tidak mungkin hidup berdampingan dengan orang lain selama seribu tahun dan memandang mereka sebagai anak-anak Setan,” begitu pengamatan Paolo Dall’Oglio, seorang pendeta bertubuh besar berpenampilan kasar yang mengajak kaum Muslimin ikut serta dalam dialog antaragama di Deir Mar Musa, biara abad keenam di gurun antara Damaskus dan Homs. Biara itu dia pugar bersama sejumlah orang Arab pengikutnya. “Berlawanan dengan itu, kaum Muslim sama seperti kami. Ini adalah pelajaran yang belum dipelajari oleh dunia Barat dan umat Kristen Arab secara unik memiliki keahlian untuk mengajar. Mereka adalah mata rantai terakhir yang amat penting yang menghubungkan penganut Kristen Barat dan dunia Muslim Arab. Jika para penganut Kristen Arab lenyap, kedua pihak tersebut akan terpisah semakin jauh dibandingkan sekarang. Mereka berperan sebagai perantara.”
KEMBALI KE JERUSALEM, Mark dan Lisa sudah lama sadar tentang peran yang mungkin dimainkan umat Kristen Arab dalam percaturan geopolitik dewasa ini. Namun, mereka tinggal di bagian dunia yang bergolak dan di daerah seperti itu para perantara selalu terancam bahaya ditekan—oleh kaum Muslimin, oleh Yahudi, atau oleh para penganut Kristen Barat yang (tidak berbeda dari para pejuang perang salib) tak mempedulikan mereka di kala orang-orang Barat itu sendiri sibuk menancapkan klaim mereka atas tanah suci Tuhan.
Pada pagi di hari Paskah, Mark dan Lisa tampil serasi dengan dalam pakaian yang biasa mereka kenakan di hari Minggu saat pergi ke gereja, membimbing tangan Nate dan Nadia di trotoar menuju mobil keluarga, sebuah Honda agak tua berwarna merah anggur. Ini adalah momen yang membanggakan, Paskah pertama mereka bersama-sama di Tanah Suci dan Lisa yang melihat lapisan debu tebal mengotori mobil meminta Mark untuk membersihkannya. Mark mengambil selang, lalu menyambungkannya ke keran air yang digunakan bersama para tetangga. Para tetangga yang mengenakan kafiyeh dan jilbab itu juga keluar ke teras, berdiri, dan memperhatikan. Dengan suara yang dilucu-lucukan, Lisa menjelaskan kepada anak-anak bahwa Ayah memandikan mobil untuk menyambut Paskah. Seakan sudah direncanakan, dengan penuh gaya Mark memijit mulut selang. Tidak ada air yang memancar. Dia memeriksa keran, memijit lagi. Masih tetap tak ada air yang memancar. Jadi, dia berdiri di situ, memegang selang yang kering, di hadapan anak-anaknya, tetangganya, dan seorang tamu dari luar negeri. “Saya rasa airnya dialihkan ke daerah permukiman,” katanya perlahan memberi isyarat dengan menunjuk ke ratusan rumah baru milik pemukim Israel yang memenuhi lereng bukit di dekat sana. “Tidak ada lagi (air) untuk kami.” Lisa masih terus berusaha menjelaskan kepada anak-anak di saat mobil meninggalkan tepi jalan.
“Aku benci pada orang Israel,” kata Lisa di suatu hari, secara tiba-tiba, benar-benar tak terduga. “Aku benar-benar benci pada mereka. Kami semua membencinya. Kurasa bahkan Nate juga mulai membenci mereka.”
Apakah itu dosa? Tanyaku.
“Ya,” jawabnya. “Dan hal itu membuatku menjadi pendosa. Tapi, aku mengaku dosa sewaktu pergi ke gereja, dan itu terasa meringankan. Aku sedang belajar untuk tidak membenci. Untuk sementara ini, yang dapat kulakukan hanyalah mengaku dosa.”
“Perasaan benci menghancurkan semangat orang yang membenci,” kata Romo Rafiq Khoury, seorang pendeta Palestina bersuara lembut yang sering mendengar pengakuan dosa di keuskupan Latin Patriarchate di Yerusalem. “Namun, bahkan di tengah semua permasalahan ini, semua kekerasan dan kekecewaan yang membuat para penganut Kristen ini menjauh, kita bisa menyaksikan kehidupan baru di wajah kaum muda dan mengalami harapan yang merupakan karunia Tuhan bagi umat manusia. Itulah ajaran Paskah.”
Namun, bahkan di saat Paskah pun, para penganut Kristen Arab tampaknya terlupakan. Pada suatu malam di Jerusalem Timur, aku menemani Lisa dan Mark mengikuti misa Jumat Agung di Gereja Segala Bangsa yang besar di sebelah Taman Getsemani. Mark yang tidak merasa nyaman jika berada dalam kerumunan orang menunggu di luar bersama Nate dalam udara malam yang sejuk, tetapi Lisa sudah mengikuti misa ini sejak masih kecil dan ingin masuk ke dalam. Jumlah orang yang berkerumun tidak terlalu banyak dan kami berdiri di dalam gereja di bagian belakang, jauh dari deretan bangku, beberapa meter dari pintu. Lisa sudah mendudukkan Nadia di kereta bayi. Ketika kami berdiri di sana mengagumi altar dan ruang depan yang berornamen, para penganut Kristen yang berlalu-lalang di Jerusalem tiba-tiba membanjir masuk gereja, seperti wabah yang disebutkan dalam Perjanjian Lama.
Ratusan peziarah berdesakan melewati kedua daun pintu gereja, mengisi ruangan yang sangat luas itu dengan tubuh-tubuh hangat dan mendorong kami semakin ke dalam. Suhu naik dengan cepat, dan udara mendadak terasa pengap. Kuamati wajah Lisa dan dia tampak cemas sambil mencengkeram kereta bayi dan berusaha mempertahankan diri agar tidak terdorong oleh arus manusia yang mengalir memasuki gereja. Kerumunan orang Belanda, Jerman, Korea, Nigeria, Amerika, Prancis, Spanyol, Rusia, Filipina, Brasil, terus merasuk ke depan, dengan penuh dahaga berusaha maju sedekat mungkin dengan Tuhan.
Pada pagi di hari Paskah, Mark dan Lisa tampil serasi dengan dalam pakaian yang biasa mereka kenakan di hari Minggu saat pergi ke gereja, membimbing tangan Nate dan Nadia di trotoar menuju mobil keluarga, sebuah Honda agak tua berwarna merah anggur. Ini adalah momen yang membanggakan, Paskah pertama mereka bersama-sama di Tanah Suci dan Lisa yang melihat lapisan debu tebal mengotori mobil meminta Mark untuk membersihkannya. Mark mengambil selang, lalu menyambungkannya ke keran air yang digunakan bersama para tetangga. Para tetangga yang mengenakan kafiyeh dan jilbab itu juga keluar ke teras, berdiri, dan memperhatikan. Dengan suara yang dilucu-lucukan, Lisa menjelaskan kepada anak-anak bahwa Ayah memandikan mobil untuk menyambut Paskah. Seakan sudah direncanakan, dengan penuh gaya Mark memijit mulut selang. Tidak ada air yang memancar. Dia memeriksa keran, memijit lagi. Masih tetap tak ada air yang memancar. Jadi, dia berdiri di situ, memegang selang yang kering, di hadapan anak-anaknya, tetangganya, dan seorang tamu dari luar negeri. “Saya rasa airnya dialihkan ke daerah permukiman,” katanya perlahan memberi isyarat dengan menunjuk ke ratusan rumah baru milik pemukim Israel yang memenuhi lereng bukit di dekat sana. “Tidak ada lagi (air) untuk kami.” Lisa masih terus berusaha menjelaskan kepada anak-anak di saat mobil meninggalkan tepi jalan.
“Aku benci pada orang Israel,” kata Lisa di suatu hari, secara tiba-tiba, benar-benar tak terduga. “Aku benar-benar benci pada mereka. Kami semua membencinya. Kurasa bahkan Nate juga mulai membenci mereka.”
Apakah itu dosa? Tanyaku.
“Ya,” jawabnya. “Dan hal itu membuatku menjadi pendosa. Tapi, aku mengaku dosa sewaktu pergi ke gereja, dan itu terasa meringankan. Aku sedang belajar untuk tidak membenci. Untuk sementara ini, yang dapat kulakukan hanyalah mengaku dosa.”
“Perasaan benci menghancurkan semangat orang yang membenci,” kata Romo Rafiq Khoury, seorang pendeta Palestina bersuara lembut yang sering mendengar pengakuan dosa di keuskupan Latin Patriarchate di Yerusalem. “Namun, bahkan di tengah semua permasalahan ini, semua kekerasan dan kekecewaan yang membuat para penganut Kristen ini menjauh, kita bisa menyaksikan kehidupan baru di wajah kaum muda dan mengalami harapan yang merupakan karunia Tuhan bagi umat manusia. Itulah ajaran Paskah.”
Namun, bahkan di saat Paskah pun, para penganut Kristen Arab tampaknya terlupakan. Pada suatu malam di Jerusalem Timur, aku menemani Lisa dan Mark mengikuti misa Jumat Agung di Gereja Segala Bangsa yang besar di sebelah Taman Getsemani. Mark yang tidak merasa nyaman jika berada dalam kerumunan orang menunggu di luar bersama Nate dalam udara malam yang sejuk, tetapi Lisa sudah mengikuti misa ini sejak masih kecil dan ingin masuk ke dalam. Jumlah orang yang berkerumun tidak terlalu banyak dan kami berdiri di dalam gereja di bagian belakang, jauh dari deretan bangku, beberapa meter dari pintu. Lisa sudah mendudukkan Nadia di kereta bayi. Ketika kami berdiri di sana mengagumi altar dan ruang depan yang berornamen, para penganut Kristen yang berlalu-lalang di Jerusalem tiba-tiba membanjir masuk gereja, seperti wabah yang disebutkan dalam Perjanjian Lama.
Ratusan peziarah berdesakan melewati kedua daun pintu gereja, mengisi ruangan yang sangat luas itu dengan tubuh-tubuh hangat dan mendorong kami semakin ke dalam. Suhu naik dengan cepat, dan udara mendadak terasa pengap. Kuamati wajah Lisa dan dia tampak cemas sambil mencengkeram kereta bayi dan berusaha mempertahankan diri agar tidak terdorong oleh arus manusia yang mengalir memasuki gereja. Kerumunan orang Belanda, Jerman, Korea, Nigeria, Amerika, Prancis, Spanyol, Rusia, Filipina, Brasil, terus merasuk ke depan, dengan penuh dahaga berusaha maju sedekat mungkin dengan Tuhan.
Tiba-tiba saja keputusan Lisa untuk mengajak Nadia seakan-akan sebuah kekeliruan. Lewat tinggi pandangan mata, orang melihat ruang yang ditempati kereta bayi Nadia itu seakan kosong, sehingga dengan agresif mendorong masuk untuk mengisi ruang kosong itu tanpa menyadari ada anak kecil sedang tidur di bawah hingga mereka nyaris jatuh menimpanya. Mata Lisa terbelalak di saat kami berusaha keras melindungi Nadia agar tidak ditimpa badan orang. Ibarat mengarungi kubangan air setinggi dada, kami berusaha membuka jalan untuk kereta bayi menuju ke pintu gereja. Beberapa orang peziarah asing tampak geram melihat perempuan Arab bertubuh mungil ini bergerak melawan arus dan terjadi sedikit adu fisik di saat kami membuka jalan melalui kerumunan orang. Setelah kami berhasil melewati pintu, kerumunan orang mulai agak menipis. Lisa bersandar, berusaha keras agar suaranya terdengar di tengah-tengah hiruk pikuk yang ada di sekeliling kami. “Kaulihat keadaannya?” tanyanya sambil megap-megap di bukit tempat Yesus menghabiskan malam terakhirnya di Bumi. “Ini rumah kami. Tapi, kami bahkan seakan tidak berada di rumah sama sekali!”
trims..
ReplyDeletetulisannya sangat bagus dan menarik..
pengalaman sendiri??
@jjay:
ReplyDeletebukan Mas, itu kutip dari Natgeo. Ada link sumbernya kok... :)
wow, narasi yang lumayan ttg tanah suci, anyway bisa minta alamat email nga saya ingin tau lebih banyak ttg kristen timur, God Bless.
ReplyDelete