January 6, 2011

Gereja Anglican

oleh: P. William P. Saunders *

Paus Leo XIII
Raja Henry VIII

Seorang teman Episcopalian* tengah berpikir untuk menggabungkan diri dengan Gereja Katolik, terutama karena pentahbisan Gene Robinson sebagai uskup. Ia mengatakan bahwa pastornya juga berpikiran sama. Apakah pastor tersebut dapat diterima sebagai seorang imam Katolik?

Sejak pertengahan 1970-an, Gereja Episcopalian di Amerika Serikat menghadapi beberapa kekacauan intern yang serius. Pada tahun 1976, para wanita ditahbiskan sebagai imam, dan belakangan para wanita ditahbiskan sebagai uskup. Pada tahun 1979, Gereja Episcopalian merevisi Buku Doa Umum dengan menggunakan bahasa kontemporer juga menambahkan beragam pilihan liturgis. Kedua peristiwa ini telah memicu perdebatan sengit dan bahkan skisma. Sekarang semakin meningkat kecenderungan untuk merayakan perkawinan homoseksual dan pentahbisan kaum homoseksual sebagaimana terbukti dengan pentahbisan Gene Robinson sebagai uskup. Mohon dicatat bahwa saya sekedar menyebutkan peristiwa-peristiwa; saya tidak bermaksud mengurusi masalah gereja lain ataupun bersorak atas persoalan-persoalan mereka, teristimewa ketika kita Katolik telah cukup dengan persoalan kita sendiri.

Masalah-masalah ini, dan mungkin masalah-masalah lainnya juga, telah menggerakkan sebagian klerus dan awam Episcopalian berpikiran untuk menggabungkan diri dengan Gereja Katolik Roma. Sebagian besar dari orang-orang ini menganggap diri sebagai “Anglo-Katolik” atau “Episcopalian Tinggi”, artinya bahwa keyakinan dan praktek-praktek liturgis mereka sangat “Roma” dengan pertentangan utama otoritas Bapa Suci. Sebagai contoh, ketika saya belajar di Seminari St Charles di Philadelphia, Gereja Episcopal St Klemens memasang pengumuman Misa, pengakuan dosa, pujian kepada Sakramen Mahakudus dan Vesper (= Ibadat Sore); menghadiri salah satu ibadat mereka - saya benci mengatakannya - setidaknya secara estetis lebih “Katolik” dan hormat dari beberapa paroki Katolik yang saya kunjungi.

Banyak permohonan mengenai kemungkinan diterimanya mereka masuk ke dalam Gereja Katolik disampaikan kepada para Uskup Katolik di Amerika Serikat, yang selanjutnya menghubungi Bapa Suci. Sebagai tanggapan, Paus Yohanes Paulus II melalui Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman menerbitkan sebuah pernyataan yang ringkas padat pada bulan Juni 1980. Pertama-tama, Tahta Suci mengijinkan suatu “ketentuan pastoral,” yang memberikan “suatu identitas umum yang mencerminkan unsur-unsur khas dari warisan mereka sendiri.” Di sini keseluruhan jemaat Episcopalian dapat masuk ke dalam Gereja Katolik dan diperkenankan untuk tinggal dalam paroki dan mempergunakan Misa Katolik gaya Anglican entah dengan Buku Doa Umum versi bahasa tradisional atau versi bahasa Inggris modern.

Kedua, warga perseorangan dari Gereja Episcopal dapat masuk ke dalam Gereja Katolik atas inisitatif mereka sendiri. Sesuai “Dekrit Ekumenisme” Konsili Vatican II, tindakan ini akan dipandang sebagai suatu “rekonsiliasi dari individu-individu tersebut yang menghendaki persatuan Katolik sepenuhnya.”

Yang terakhir, klerus Episcopalian dapat menjadi imam Katolik. Seorang pelayan tertahbis Episcopalian menyatakan pengakuan iman dan diterima dalam Gereja Katolik, untuk sesudahnya menyambut Sakramen Krisma. Selanjutnya ia mengikuti pendidikan yang memungkinkannya untuk melayani sebagai seorang imam Katolik. Setelah pengujian yang layak oleh uskup Katolik dan dengan ijin Bapa Suci, ia akan ditahbiskan pertama-tama sebagai seorang diakon transisi dan kemudian sebagai seorang imam Katolik.

Klerus Episcopalian perlu ditahbiskan sebab Gereja Katolik tidak mengakui keabsahan tahbisan suci mereka, setidaknya dalam pemahaman Katolik mengenai tahbisan suci. Ingat bahwa pada tahun 1534 Raja Henry VIII memutuskan hubungan gereja di Inggris dari Gereja Katolik semesta dan menetapkan dirinya sebagai kepala gereja Inggris. Oleh karena alasan inilah, hingga hari ini, Ratu Elizabeth II adalah pemimpin resmi Gereja Inggris, dan dialah yang menetapkan semua uskup kerajaan dengan persetujuan parlemen. Setelah Henry VIII mangkat, Edward VI, putera dan penerusnya, menerbitkan suatu tata cara baru untuk ritus tahbisan. Tata cara Edwardian, yang disusun oleh Uskup Agung Cranmer, yang amat dipengaruhi oleh teolog Lutheran bernama Martin Bucer, mengubah ritus-ritus tahbisan dari Kepausan Katolik Roma. Tahbisan Gereja Inggris ini dimaklumkan sebagai tidak sah dari pemahaman Katolik mengenai Tahbisan Suci oleh Paus Yulius III dalam suatu surat kepada Kardinal Reginald Pole (1554) dan oleh Paus Paulus IV dalam dua surat beliau (1555).

Paus Leo XIII pada tahun 1896 memaklumkan keputusan definitif dalam bulla “Apostolicae Curae,” yang menyatakan bahwa “tahbisan yang dilaksanakan seturut ritus Anglican adalah dan mutlak tidak sah dan sama sekali tidak berlaku.” Keputusan ini didasarkan pada cacat forma maupun intensi dalam ritus Anglican. Ritus Anglican dengan sengaja menghilangkan keyakinan akan imamat sebagai kurban yang dilaksanakan dalam Misa dan Ekaristi Kudus. Mengenai cacat forma, artinya doa-doa yang dipergunakan untuk tahbisan, Paus Leo memaklumkan, “Kiranya satu argumentasi ini menjawab semuanya: yakni, doa-doa ini [doa-doa tahbisan] telah dengan sengaja dilucuti dari segala yang dalam ritus Katolik dengan jelas menyatakan martabat dan jabatan imamat. Jadi, adalah mustahil suatu forma layak dan pantas bagi suatu sakramen jika forma tersebut menindas apa yang seharusnya secara khusus dinyatakannya. Kasusnya sama dengan konsekrasi Episcopal. …  Oleh sebab Sakramen Tahbisan dan imamat sejati Kristus telah sama sekali dihapuskan dari ritus Anglican, dan karenanya imamat sama sekali tidak diberikan dalam konsekrasi Episcopal dari ritus yang sama, sama mustahilnya bagi episkopat sendiri untuk diberikan secara sungguh dan layak; terlebih lagi karena peran utama episkopat adalah mentahbiskan para pelayan untuk Ekaristi Kudus dan untuk kurban….”

Paus Leo menyimpulkan, “Dengan demikian, bukan saja di sana dalam keseluruhan tata tahbisan tidak ada penyebutan jelas mengenai kurban, konsekrasi, imamat, kuasa untuk mengkonsekrasikan dan mempersembahkan kurban, tetapi sebagaimana telah kami nyatakan, setiap pertalian darinya dan dari hal-hal serupa yang kita temukan dalam doa-doa dari ritus Katolik yang sama sekali tidak ditolak, secara sengaja disingkirkan dan dihapuskan.”

Paus Leo juga menyebutkan cacat intensi: “Jika ritus diubah dengan tujuan nyata untuk memperkenalkan suatu ritus lain yang tidak diterima oleh Gereja, dan untuk menyangkal apa yang sesungguhnya dilakukan Gereja dan dengan penetapan Kristus menjadi hakekat sakramen, maka itu merupakan bukti, bukan hanya ketiadaan intensi yang dibutuhkan suatu sakramen, tetapi malahan terdapat intensi yang tidak sesuai dan tidak selaras dengan sakramen.” Sebab itu, pelayan Episcopalian siapapun yang rindu untuk menjadi seorang imam Katolik haruslah ditahbiskan sebagai diakon dan imam seturut ritus Gereja Katolik.

Bagaimana dengan kaul selibat sebagaimana dikehendaki dari para imam Katolik? Jika ia yang tadinya pelayan Episcopalian itu seorang bujang pada saat pentahbisannya sebagai seorang diakon dan kemudian imam Katolik, ia wajib mengucapkan kaul selibat. Jika ia yang tadinya pelayan Episcopalian itu seorang yang terikat perkawinan pada saat pentahbisannya sebagai seorang diakon dan kemudian imam Katolik, ia akan dibebaskan dari kaul selibat dengan ijin khusus dari Bapa Suci; namun demikian jika di kemudian hari ia menjadi duda, maka ia akan terikat pada hidup selibat dan tak diperkenankan menikah lagi. Kaul selibat dilonggarkan sebagai kemurahan bagi para klerus yang telah menikah, dengan mempertimbangkan situasi khusus mereka dan kerinduan mereka untuk mempersatukan diri dengan Gereja Katolik. Namun demikian, Bapa Suci telah berulang kali menegaskan disiplin selibat bagi klerus Katolik Roma dari ritus Latin. (Ritus-ritus Timur tidak mewajibkan kaul selibat terkecuali bagi uskup.) Paus Paulus VI dalam ensikliknya “Sacerdotalis caelibatus” (1967) merefleksikan bahwa selibat merupakan suatu pengidentifikasian diri dengan Kristus, Ia Sendiri yang selibat; suatu tindakan kasih yang berkurban, di mana seorang imam memberikan dirinya secara penuh demi pelayanan kepada Tuhan dan Gereja-Nya; dan suatu pratanda akan kedatangan Kerajaan Allah, di mana Tuhan kita bersabda, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30).

Sementara informasi yang disajikan di sini memberikan “jawaban langsung” kepada pertanyaan yang diajukan, marilah kita berdoa bagi warga Gereja Episcopalian. Saya secara pribadi mengenal orang-orang Kristen yang tulus yang adalah warga Gereja Episcopalian yang sedang berduka atas situasi yang tengah terjadi atas gereja mereka. Realitanya adalah ini, sebagaimana dikemukakan Paus Leo XIII dalam tanggapan beliau mengenai keabsahan tahbisan Anglican: Ketika orang dengan sengaja mengabaikan kebenaran yang dinyatakan dalam Kitab Suci, ajaran iman yang konsisten dan rancangan yang Tuhan kita berikan kepada Gereja-Nya, orang tinggal hanya dengan sebuah kelompok sosial atau partai politik, bukan gereja. .     

* Warga Gereja yang dipimpin oleh para uskup, dan khususnya orang-orang Kristiani di Amerika Serikat yang berada dalam persekutuan dengan Uskup Agung Canterbury, Inggris. [Kamus Teologi: Gerald O'Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ]

Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Our Lady of Hope Parish in Sterling, Virginia.

sumber : “Straight Answers: The Anglican Church” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments:

Post a Comment