January 23, 2011

Jawa Pos Jelajah Sungai Nil; Sebuah Ekspedisi Spiritual: Ziarah ke Gua Persembunyian Isa dan Maryam

by Agus Mustofa 
on Saturday, August 21, 2010 at 8:09pm


Akhirnya, kami benar-benar meninggalkan Kota Luxor yang bertaburan situs penting dalam sejarah Mesir kuno. Kami berangkat pagi untuk menuju Kota Asyut yang berjarak sekitar 300 km dengan mengendarai mobil. 

Menyusuri jalan sebelah timur Sungai Nil lebih baik jika dibandingkan dengan sebelah barat. Jalanan tepi barat adalah kawasan yang dikenal dengan nama zira'i alias jalanan pedesaan dan area pertanian. Sedangkan kawasan timur dikenal sebagai sakhrawi alias jalanan padang pasir. Lewat zira'i, perjalanan tidak akan lancar karena sering bertemu dengan perkampungan, pasar, dan iring-iringan kambing atau sapi. Sedangkan lewat sakhrawi jauh lebih lancar. Bahkan, rasanya seperti lewat tol meskipun harus melalui kawasan padang pasir nan tandus.

Sekitar empat jam perjalanan, sampailah kami di Kota Asyut. Sebuah kota yang bersih dan tenteram. Aliran Sungai Nil yang tenang menambah ketenteraman kota kecil itu. Tidak banyak situs Mesir kuno di kawasan tersebut. Tetapi, ada situs yang sangat menarik dari zaman Masehi. Yakni, tempat singgah Nabi Isa dan ibunya, Siti Maryam.

Sebelum pergi ke penginapan, saya memutuskan langsung berkunjung ke perbukitan Jabbal Asyut, tempat nabi Bani Israil itu singgah bersama ibunya. Daerahnya agak masuk dari jalan utama, sekitar 10 km. Kemudian, berbelok, naik ke perbukitan. Dari kejauhan, lokasi situs sudah kelihatan. Situs tersebut berupa sebuah gua besar yang kini sudah berubah menjadi sekelompok bangunan gereja: Deir Durunka. Di situlah terdapat salah satu pusat pengaderan biarawan Kristen Koptik untuk mengembangkan agamanya.


Berbincang akrab dengan Abuna (Romo) Bishoi, di Biara Durunka

Untung, kami datang pada Agustus, saat perayaan datangnya Isa dan Maryam ke tempat tersebut dihelat. Jadi, jamaah yang berziarah sedang ramai-ramainya. Menurut panitia perayaan, jumlah jamaah yang datang bisa mencapai 1 juta orang dalam waktu 15 hari. Yaitu, mulai 7-22 Agustus.

Memasuki halaman Biara Durunka, saya mendengar suara puji-pujian dalam bahasa Arab, mirip orang Islam kala mengaji, yang disiarkan lewat pengeras suara. Ingin tahu isinya, saya membeli buku pujian itu. Bunyinya, antara lain:

Ummuna yaa 'adrak, yaa ummal masih.

Yalli fiiki daaiman biyikhlu almadiih.

Quluubna bitikhibbik khubb

ma lausy matsil.

A'idzin nufadhdhol janbik wa

naquulu taraatil.

(Ibunda kami sang perawan suci, wahai ibunda Almasih.

Yang ada pada dirimu selamanya pantas mendapatkan puji-puji.

Kami mencintaimu dengan sepenuh hati, cinta yang tak tertandingi.

Kami ingin selalu berada di sampingmu dan menghaturkan puji-puji.)

Memasuki kawasan gua suci, kami didampingi seorang biarawan bernama Abram. Dia menemani kami melihat-lihat sampai dalam gua yang ternyata cukup besar, seluas ratusan meter persegi. Di tempat itulah dulu perawan suci Maryam dan putranya, Nabi Isa, bersembuyi dari kejaran Raja Herodes yang hendak membunuh mereka.


jamaah berdoa di depan ruang Maryam, di dalam gua Jabbal Asyut

Gua di Jabbal Asyut itu menjadi persinggahan terakhir ibu dan anak tersebut dalam menempuh perjalanan sekitar 1.000 km. Mereka berkelana sekitar tiga tahun, dimulai dari Palestina, menyeberang ke Mesir lewat Gaza dan Rafah, kemudian menyusur ke arah hulu Sungai Nil, tepatnya ke selatan. Waktu itu Nabi Isa masih berumur beberapa bulan. Dengan naik keledai dan didampingi Yusuf, paman Maryam, mereka singgah di berbagai kota di sepanjang Sungai Nil. Di antaranya, Tal Basta, Sakha, Wadi El Natrun, Bahnassa, Smalot, Dairut, Jabbal Kuskam, dan terakhir Jabbal Asyut.

Bersama biarawan Abram, saya melihat-lihat isi gua yang kini menjadi tempat peribadatan umat Kristen Koptik itu. Saya mengamati dua ruang yang pernah menjadi tempat tidur Maryam dan Isa. Yaitu, pojok kanan dan kiri bagian paling dalam gua. Di sana, banyak jamaah yang berkerumun untuk berdoa dan memohon berkah. Mereka berdoa sambil menghadap ke dalam ruang yang diberi pintu terali, yang di dalamnya terdapat foto Bunda Maryam dan Nabi Isa dalam ukuran besar. Foto ibu dan anak tersebut setiap perayaan tahunan seperti sekarang selalu diarak keliling Kota Asyut dengan dinaikkan ke kendaraan semacam kereta. Dalam waktu bersamaan, umat Kristen Koptik di sekitar Jabbal Asyut menggelar pasar malam dengan acara-acara meriah. Juga ada acara pembaptisan bayi dan anak-anak.


Di depan gua Maryam, menjelang pembaptisan anak

Peribadatan penganut Kristen Koptik memiliki sejumlah perbedaan dengan umat Kristen pada umumnya. Mereka mengaku memperoleh syiar agama lewat orang-orang suci pada zaman-zaman awal. Saya melihat foto Saint Markus dalam ukuran besar dipajang di dalam ruang gereja mereka. Orang suci itulah yang dimuliakan sebagai pembawa ajaran ke Mesir.

Salah satu di antara perbedaan tersebut adalah sembahyang tujuh kali dalam sehari yang mereka sebut sebagai as sab'u shalawat (salat tujuh waktu). Ibadah lima waktu di antaranya mirip dengan yang dijalankan oleh umat Islam, yakni pukul 06.00, 12.00, 15.00, 18.00, dan menjelang tidur. Sedangkan dua ibadah lain dilaksanakan pukul 09.00, yang mirip dengan salat Duha, dan tengah malam, yang mereka sebut sebagai nisyfu al lail, yang mirip dengan salat Tahajud. Mereka juga berpuasa 40 hari menjelang perayaan Paskah. Lalu, puncak perbedaan mereka dengan umat Kristen pada umumnya terdapat pada perayaan Natal. Mereka tidak memperingati Natal setiap 25 Desember, melainkan setiap 7 Januari.

Siti Maryam dan Nabi Isa adalah dua manusia yang sangat dimuliakan dalam Alquran. Mereka menjalani penderitaan dengan penuh kesabaran sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah, sang Ilahi Rabbi yang mengutus mereka. Pada zaman Raja Herodes yang beragama pagan, seperti para firaun, ibu dan anak itu diancam dibunuh karena dikhawatirkan melahirkan masalah bagi Kerajaan Romawi.

Atas perintah Allah, mereka menjauh untuk sementara. Kemudian, mereka kembali kepada Bani Israil, menyiarkan agama tauhid untuk menentang agama-agama pagan yang dianut kebanyakan bangsa Romawi waktu itu. "Telah Kami jadikan putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami). Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar, yang memiliki banyak padang rumput dan sumber air bersih yang mengalir (QS. 23: 50)." 

Sumber:

Jawa Pos, Minggu, 22 Agustus 2010 : http://www.jawapos.com

Sang Theotokos: Perawan Maryam Dalam Gereja Orthodox Timur

Oleh : 
Presbiter Rm. Kirill J.S.L. 
(Omeц Кирилл Д.С.Л.)
Paroki St Jonah dari Manchuria, Surabaya 
GEREJA ORTHODOX INDONESIA
(THE INDONESIAN ORTHODOX CHURCH)

(Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah “Lumen Dei”, Media Informasi – Komunikasi dan Pengajaran Badan Pelayanan Keuskupan (BPK) – Pembaharuan Karismatik Katolik (PKK) Keuskupan Surabaya, Edisi Oktober – Desember 2009; dengan judul “Perawan Maria dalam Gereja Orthodox Timur”)

“Yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dari Sorga, dan menjelma oleh Sang Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maryam serta menjadi Manusia”.

[Kredo/Syahadat/ Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel tahun 325; point ke-3]

Posisi Maria dalam Gereja selalu mengundang kontroversi. Kedudukan Maria di dalam Gereja terus dipandang secara berbeda oleh Gereja Roma Katolik dan gereja-gereja Protestan. Pada satu sisi Gereja Roma Katolik memberikan penghormatan yang luar biasa terhadap Maria dengan Devosi Maria-Nya. Hingga oleh gereja-gereja Protestan dianggap suatu bentuk hiperdouleia terhadap Maria.

Perlu diketahui tentang perbedaan antara Douleia dan Latreia. Douleia ialah kebaktian/devosi/penghormatan yang tertuju kepada Allah melalui manusia yang menampakkan kebesaran serta kebaikan Allah atau penghormatan kepada seseorang yang diabdi demi Allah. Douleia merupakan perwujudan sikap hati orang beriman yang dengannya orang secara pribadi mengarahkan diri kepada sesuatu atau seseorang yang dihargai, dijunjung tinggi, dicintai dan dituju. Inilah penghormatan relatif yang sama sebagaimana ditunjukkan kepada simbol-simbol bendawi-jasmaniah lainnya, misalnya “Salib yang mulia dan memberi hidup” dan Kitab Suci Injil. Bila douleia bersangkutan dengan Allah, maka disebut devosi religius. Sedang Latreia adalah kebaktian dalam arti penyembahan yang hanya semata-mata ditujukan pada Allah. Inilah penyembahan mutlak dan wajib, yang hanya boleh ditujukan kepada Allah sebagai suatu ibadah dan penyembahan. Douleia yang dilakukan secara berlebih-lebihan dan tak terkendali yang disebut Hiperdouleia bisa mengancam kehidupan Latreia, bahkan bisa mengarah menuju musyrik (menyekutukan Allah atau ber-ilah lebih dari satu), yaitu keyakinan serta sikap hati dan ibadah yang membuat sekutu dan tandingan bagi Allah, sehingga dengan demikian keesaan Allah dalam keilahianNya (Tauhid Ilahiah), dalam kepenguasaanNya (Tauhid Rububiyah), dan dalam Ibadah kepadaNya (Tauhid Ubudiyah) mengalami pengrusakan dan perongrongan. 

Sebaliknya pada sisi yang lain, gereja-gereja Protestan telah menyingkirkan Maria dari ibadah gereja mereka. Beberapa pendeta Protestan bahkan memandang Maria hanya sekedar botol kecap saja dimana setelah kecapnya keluar, botolnya tidak diperlukan lagi atau Maria dianggap hanya sebagai saluran saja, dalam arti tak menyumbangkan apapun kepada kodrat kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma, seperti layaknya pipa kran yang dialiri air. Juga pada kenyataannya, hampir tidak ada gereja-gereja Protestan yang menggunakan nama diri Maria sebagai nama tempat gerejanya.

Dua buah sikap yang sangat jauh berbeda! Bagaimana mungkin hal ini terjadi, sementara kedua bentuk Kekristenan Barat tersebut mempunyai iman yang sama kepada puteraNya, Yesus sebagai (Putera) Allah? Adakah jalan tengah yang bisa disepakati bagi Gereja Roma Katolik dan gereja-gereja Protestan? Adakah pemikiran yang lain mengenai kedudukan Maria dalam Gereja? Sebuah pemikiran untuk menempatkan posisi Maria dalam Gereja sesuai dengan kehormatan dan tempatnya yang layak baginya. Tidak melebih-lebihkannya (hiperdouleia) atau menyingkirkannya sama sekali dalam Gereja, sehingga kita tidak bersalah dihadapan Allah dan PuteraNya, Isa ibn Maryam (Yesus, Putera Maria), Tuhan dan Juruselamat kita. Berikut ini adalah ajaran Gereja Orthodox atau yang dikenal juga sebagai Gereja Timur tentang Maria, Sang Theotokos, Bunda Allah Tersuci.

Dalam penjelmaanNya sebagai manusia Firman Allah yang turun dari sorga, menjelma “dari Sang Perawan Maryam”. Dan dengan menjelma “dari Sang Perawan Maryam” ini, Ia “menjadi manusia”. Dengan demikian maka “kemanusiaan” yang diambil dan dikenakan oleh Firman Allah “dalam penjelmaanNya” itu pastilah berasal dari “Sang Perawan Maryam” ini. Karena sebagai “Firman Allah” yang adalah “Anak Allah yang Tunggal” sejak “sebelum segala zaman” dan bersifat “Allah sejati” karena Ia itu “keluar dari Allah sejati” serta dalam wujud “Terang” - jadi bukan berwujud jasmani - karena Ia “keluar dari Terang” karena Allah memang bersifat terang, maka jelas Ia tak memiliki wujud kemanusiaan dan bukan manusia. Sebagai yang bukan manusia itu Ia “turun dari sorga”, dan setelah “menjelma … dari Sang Perawan Maryam” itu Ia “menjadi manusia”. Berarti Maryam telah ikut berpartisipasi dalam memberikan kemanusiaan kepada Firman Allah, agar Ia dapat “disalibkan, mati, dikuburkan serta bangkit dari antara orang mati”, dan tubuh yang telah diambil dari Maryam dan dibangkitkan itu akhirnya dibawa “naik ke sorga” serta “didudukkan di sebelah kanan Allah” dan dengan “tubuh yang telah dimuliakan” yang asalnya “dari Sang Perawan Maryam” itulah nantinya Kristus “akan datang lagi dalam kemuliaan”. Itulah sebabnya andil Maryam bagi keselamatan manusia itu besar sekali, meskipun yang menjalankan keselamatan dengan mengalahkan kematian itu bukan pribadi Maryam, namun pribadi Anak Allah yang telah mengambil kemanusiaan dari Maryam itu sendiri. 

Jadi Maryam itu bukan juruselamat, dan tak pula ikut ambil bagian sebagai penebus disamping Kristus, bukan pula ia itu pengantara keselamatan kepada Allah. Ia adalah yang mengandung “Anak Allah yang Tunggal…Terang…Allah Sejati…Satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa” ketika Ia menjelma “dari Sang Perawan Maryam”. Jadi yang tinggal dalam rahim Maryam saat Ia mengandung itu bukan manusia biasa namun “Allah sejati” yaitu “Anak Allah Yang Tunggal” yaitu “Firman Allah” sendiri yang sedang “menjelma”. Oleh karena itu “Pribadi” anak yang sedang dikandung oleh Maryam ini bukanlah hanya sekedar pribadi manusia biasa namun pribadi “Allah Sejati” yang sedang menjelma. 


Sang Theotokos” (”Bunda Allah”) tersuci, ”Sayidatina Siti Maryam Al ’Adzra” (”Bunda Maria Sang Perawan Tak Bernoda”)

Dengan demikian Maryam tidak sekedar menjadi Ibu seorang manusia biasa, namun Ibu dan Bunda dari “Allah Sejati” yang sedang menjelma dan menjadi manusia ini. Demikianlah maka Gereja menyebut Maryam sebagai “Theotokos” (Yunani: Θεοτόκος, Slavonik: Bogoroditsa, Arab: Wālidat Allah atau Wālidatulillah, Latin: Deipara, Dei genetrix, Jawa Kuno (Kawi): Sang Pamiyos Widhi) yaitu ia yang “Memberi Kelahiran - dalam penjelmaanNya secara jasmani - kepada Allah – Firman Allah – “ atau lebih dikenal dengan gelar ”Bunda Allah” (Yunani: Meter Theo), dengan bentuk singkatan dalam ikonografi Orthodox ”ΜΡ ΘΥ”; Slavonik: Bogamateri; Latin: Mater Dei. Dan kejadian bayi dari kemanusiaan Maryam ini adalah semata-mata mukjizat “dari Sang Roh Kudus” yang menjadikan “indung telur” dari rahim Maryam tanpa dibuahi pria “menjadi manusia”. Fungsi Roh Kudus kepada Maryam adalah untuk “menyucikan Maryam” agar layak menjadi sarana menjelmaNya Firman Allah di dalam dirinya. Itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak mengajarkan bahwa: “Maryam Terkandung Tanpa Dosa Asal”. Maryam adalah orang berdosa sama seperti kita semua namun yang disucikan oleh Roh Kudus saat ia menerima panggilan menjadi Ibu Sang Penebus. Atas dasar semua alasan inilah Maryam memiliki tempat dalam Pengakuan Iman, dalam theologia Gereja, dalam ekspresi ibadah Gereja, dan dalam ikonografi Gereja. Jadi Maryamologi (Mariologi) dalam Iman Orthodox hanya perpanjangan dari Kristologi saja, bukan sesuatu pembahasan yang berdiri sendiri terlepas dari Kristus. 

Sebagian orang yang tak mengerti Iman Orthodox secara benar, atau karena mungkin sebagai reaksi terhadap Mariologi dari Gereja Roma Katolik, bahkan dikalangan ummat Kristen sendiri, serta tanpa merenungkan implikasi theologis dan landasan Alkitabiah mengenai gelar “Theotokos” bagi Maryam Sang Perawan ini sering mengejek gelar ini dengan mengatakan: ”Allah tidak punya Ibu. Allah tidak dilahirkan oleh siapapun. Maryam hanya melahirkan manusia biasa saja. Jadi dia itu bukan Bunda Allah, hanya Bunda Yesus saja”. Jadi Maryam tak boleh disebut ”Theotokos” namun ”Anthropotokos” (”Dia yang Melahirkan Manusia”) atau paling tinggi dengan sebutan ”Kristotokos” (”Dia Yang Melahirkan Kristus”), persis seperti yang dikatakan Patriarkh Konstantinopel, Nestorius (428 - 431) itu. St. Kyrillos I, Patriarkh Alexandria (412 - 444) menegaskan, bahwa memang layak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”, karena Dia yang dilahirkan olehnya adalah “Firman” yang adalah “Allah”, yang “telah menjadi manusia” (Yoh. 1:1,14). Atas pernyataan semacam itu, kita bertanya:

 Betulkah orang-orang yang mengaku Kristen ini percaya pada ke-Allah-an Yesus sebagai “Firman Allah” atau tidak?

 Kalau memang percaya, apakah ke-Allah-an Yesus sebagai “Firman Allah” itu kekal atau tidak? 

 Jika memang kekal, ketika berada di dalam rahim Maryam, Dia masih memiliki ke-Allah-an, yaitu tetap sebagai “Firman Allah” atau tidak? 

 Jika masih memiliki, maka Maryam itu hanya sekedar melahirkan manusia biasa saja, ataukah melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia? 

 Jika dia melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka kemanusiaan dari Anak yang dilahirkannya itu miliknya Allah yaitu “Firman Allah” ini atau bukan? 

 Jika kemanusiaan bayi yang dilahirkan Maryam memang milikNya Allah yang menjelma ini, berarti Maryam menjadi “IbuNya Allah” yang menjelma ini dalam kemanusiaanNya atau bukan? 

 Jika demikian, bukankah Maryam adalah “Bunda Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia? “

Jadi memang Maryam bukan “Bunda Allah” Bapa (Allah yang Esa) yang tak pernah menjelma menjadi manusia, sebab Sang Bapa itu kekal tanpa awal maupun akhir, dan tak diperanakkan ataupun beranak. Bukan pula gelar “Bunda Allah” berarti Maryam itu “isterinya” Allah, sebagai pasangan dari Allah Sang Bapa. Sebab Allah yang bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan banci serta tak berjenis kelamin itu bagaimana memiliki isteri? Lagipula Allah yang ghoib, tak bertubuh jasmani, bersifat Roh murni, bagaimana dapat memiliki pasangan yang kasat-mata, bertubuh jasmani, hanya sekedar makhluk saja? Itulah sebabnya Maryam bukan disebut sebagai “Allah Sang Ibu” karena dia bukan pasangan ataupun isteri “Allah Sang Bapa”. Namun Maryam adalah “Bunda Allah”, yaitu Bunda “Firman Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia, karena “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia lahir tanpa Bapa manusia, seolah-olah Allah itu menjadi suami Maryam dan melahirkan Anak Allah, dengan Maryam sebagai Bunda Allah Anak ini. Yesus disebut “Anak Allah” bukanlah dalam wujud kemanusiaanNya, namun dalam keberadaanNya sebagai Firman (Yohanes 1;14,18). Anak Allah yaitu Firman Allah sudah ada sebelum bayi Yesus lahir dari Perawan Maryam (Yohanes 17:5, 8:56-58). Firman Allah disebut “Anak Allah” karena sejak kekal Dia dikandung di dalam Diri Allah sendiri, sebagai Akal-Budi atau Ilmu Ilahi dan selalu bersama Allah (Yohanes 1:1) yaitu melekat satu dalam Hakekat (Dzat, Essensi) Allah itu. Jadi Allah “mengandung” FirmanNya sendiri. Dan dari kandungan Hakekat Allah inilah Firman itu “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42) ketika diwahyukan dalam diri Allah sendiri dalam kekekalan sebagai “Gambar Allah” (“Cermin Allah” menurut bahasa Tassawuf), ketika diucapkan sebagai Sabda “Kun Faya kun” (“Jadilah maka jadi”, “yehi wa yehi”) saat penciptaan dunia, ketika diturunkan ke dunia menjadi manusia Yesus Kristus saat Inkarnasi. Jadi seolah-olah Firman yang dikandung Allah itu dikeluarkan atau “dilahirkan” oleh Allah di dalam DiriNya sendiri. Itulah sebabnya Firman Allah itu secara kata kias disebut sebagai “Anak Allah”. Demikianlah jelas bahwa Allah itu tak diperanakkan maupun beranak apalagi beristeri, sebab yang dimaksud “Anak Allah” adalah “Firman Allah” sendiri yang sejak kekal dikandung dan dikeluarkan oleh Allah sendiri, dan akhirnya diturunkan (“nuzul”) dalam wujud manusia Yesus Kristus. Dengan demikian bukan karena lahirnya tanpa bapa manusia itu, yang menyebabkan Yesus Kristus disebut “Anak Allah”. Kelahiran Yesus oleh Maryam itu bukan permulaan keberadaanNya, itu hanya permulaan nuzulNya di atas bumi ini saja. Itulah sebabnya jika Maryam hanya disebut Bunda Yesus saja, berarti Yesus itu hanya manusia biasa, dan tak memiliki ke-Allah-an sebagai Firman Allah yang kekal dan sekarang telah nuzul. 

Jika begitu sejak kapan Yesus menjadi Allah, sebab ketika lahir dari Maryam Dia bukan Allah, buktinya Maryam tak boleh disebut “Bunda Allah” untuk menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah Allah dalam hakekat pribadi kekalNya? Jika hanya baru kemudian saja manusia Yesus anak Maryam ini menjadi Allah, apa bedanya dengan agama kafir yang membuat manusia biasa menjadi ilah? Bukankah kalau begitu orang sedemikian ini percaya pada kemungkinan manusia biasa Anak Maryam bisa berkembang menjadi Allah? Apakah bukan berhala dan kemusyrikan ajaran yang sedemikian ini? Dengan demikian Yesus bukan betul-betul Allah namun manusia yang baru kemudian jadi Dewa, karena waktu dalam kandungan Maryam dan waktu dilahirkan Dia bukan Allah, dan tak boleh disebut Allah, sebab Ibunya tak boleh disebut Bunda dari “Allah” yang sedang menjelma menjadi manusia Yesus ini? Atau jika bukan demikian, apakah ke-Allah-an Yesus itu terpisah-pisah dari kemanusiaanNya, dimana waktu Dia dikandung serta dilahirkan Maryam, ke-Allah-an itu dalam keadaan terpisah? Jika betul demikian justru inilah bidat “Nestorianisme” yang ditentang Gereja Orhodox di jaman purba, melalui Konsilinya yang ketiga di Efesus tahun 431 Masehi, dan justru gelar “Theotokos” ini yang setidak-tidaknya pada abad kedua dan ketiga sudah digunakan di dalam Gereja Purba, dan dalam Konsili itu disahkan secara resmi penggunaannya karena memang konsisten dengan ajaran Alkitab, untuk dijadikan pagar bagi menjaga ketak-terpisahan Dua-Kodrat Yesus di dalam satu Pribadi itu. Inilah implikasi yang sangat menyesatkan dari penolakan gelar Bunda Allah bagi Maryam itu. Jadi Gereja Orthodox tetap konsisten pada Tauhid, gelar ”Theotokos” bagi Maryam justru untuk menjaga Tauhid tadi, yaitu menjaga agar tak ada anggapan bahwa manusia dapat berkembang menjadi Allah, dan untuk menjaga agar tak ada anggapan bahwa Firman Allah dapat berubah dari keilahian dan kesatuanNya dengan Allah ketika Nuzul sebagai manusia. Gelar ini bukan untuk meninggikan Maryam sebagaimana kemudian yang disalah-artikan atau dibesar-besarkan dalam tradisi Roma Katolik, namun gelar ini untuk menjaga integritas ke-Dua-Kodrat-an dalam Kesatuan Pribadi dari Firman Allah yang menjelma: Yesus Kristus. “Theotokos” lebih bersifat Kristologis daripada Mariologis dalam ajaran Gereja Orthodox. Jika begitu marilah kita selidiki ajaran Alkitab, terutama Perjanjian Baru mengenai gelar ”Theotokos” (Bunda Allah) bagi Maryam Sang Perawan ini. 

Perjanjian Baru tidak banyak memuat kisah Maryam, karena Maryam memang bukan fokus pemberitaan Perjanjian Baru. Berita Perjanjian Baru adalah tentang Kristus, dan pembahasan kita tentang Maryam adalah sebagai “dampak” langsung dari Inkarnasi (Penjelmaan sebagai Manusia), dan bukan inti dari Inkarnasi itu sendiri. Maryam harus ada agar Inkarnasi Firman Allah ke dalam dunia ini terjadi. Jika tak ada Maryam Inkarnasi itu tak terjadi, sebab wanita yang harus menjadi sarana kelahiran Firman dalam penjelmaanNya sebagai manusia itu sosoknya sudah dinubuatkan (Kejadian 3:15), pribadinya sudah ditentukan (dari keturunan Abraham, dari jalur Daud, berasal dari Betlehem), dan semuanya itu hanya tergenapi dalam Maryam saja, bukan wanita yang lain. Itulah sebabnya sosok Maryam itu bukan suatu kebetulan, namun pribadi yang sudah direncanakan oleh kerelaan kehendak Allah dan ditetapkan oleh Allah di dalam ke-Maha-Berdaulatan dan ke-Maha-TahuanNya. Meskipun pembahasan tentang Maryam itu sebagai “dampak” dan bukan inti dari peristiwa Inkarnasi, namun ini merupakan suatu dampak yang sangat penting, karena ini akan merupakan pagar yang sangat penting dalam kita menjaga iman kita kepada Kristus agar tak terbelokkan kepada pengajaran yang salah. 

Dalam Matius 1:23, bayi yang dilahirkan oleh Maryam itu disebut sebagai “Immanuel” yang artinya “Allah menyertai kita”. Ini berarti bahwa yang berwujud manusia itu ternyata bersifat dan berhakekat Allah, sebab jika tidak demikian pastilah Dia tak disebut sebagai “Allah menyertai”. Serta ini bermakna pula bahwa dalam keadaan sebagai bayi manusia itupun Pribadi bayi ini adalah Pribadi Allah. Jadi ini menegaskan apa yang dikatakan oleh Yohanes bahwa “Firman” yang adalah “Allah” (Yohanes 1:1) telah “menjadi manusia” (Yohanes 1:14) tanpa berubah dari sifat ke-Allah-anNya, sebab Allah itu tak mungkin berubah, sehingga setelah lahir dalam wujud manusiapun Dia tetap disebut “Allah” menyertai kita. Jadi “Subyek” yang menjadi Pribadi dari bayi manusia Anak Maryam ini adalah Firman Allah (“Anak Allah”) yang kekal dan pra-ada sebelum lahir jadi bayi. Hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian: 

”…Allah mengutus AnakNya (yaitu: FirmanNya yang pra-ada itu) yang lahir (dalam nuzulNya ke bumi dalam pengutusan itu) dari seorang perempuan (Maryam)” 
Galatia 4:4

Jadi ke-ilahi-an yang pra-ada dari Firman Allah (Yohanes 1:1) atau Anak Allah (Galatia 4:4) itu tak hilang dan tak berubah ketika Dia nuzul sebagai bayi, karena Allah ataupun KalimatNya memang tak pernah berubah. Demikianlah Firman Allah itu tetap Allah sebelum turun, ketika dikandung, dan setelah dilahirkan oleh Maryam Sang Perawan dalam wujud baru yang dikenakanNya itu karena Dia “telah mengambil rupa…menjadi sama dengan manusia“ (Filipi 2:7). Karena manusia itu dikenal melalui hakekat pribadinya dan bukan hanya melalui bentuk-raganya, demikianlah Maryam itu tidak hanya mengandung raga seorang bayi manusia saja, namun mengandung bayi yang memiliki hakekat Pribadi Firman Allah yang bersifat Allah, yang mengenakan dan mengambil raga bayi dari ovum Maryam. Ovum ini tanpa sperma laki-laki telah diciptakan oleh Kuasa Allah sendiri menjadi bayi dan disatukan serta dimanunggalkan dengan kodrat ilahi Sang Sabda Allah sendiri serta diberi kehidupan manusiawi oleh Roh Kudus atau Roh Allah yang berada melekat satu di dalam Hakekat (Essensi, Dzat) Allah sendiri. Karena itulah Gereja-Gereja Orthodox berbahasa Arab di Timur-Tengah memberi gelar Maryam sebagai ”Sayidatina Maryam Al ’Adzra” (”Bunda Maria Sang Perawan Tak Bernoda”) atau ”Qiddisa Settena Maryam Al 'Adzra, Umm Al Maseeh” (”Santa Perawan Maryam, Ibu Kristus”), dan Gereja-Gereja Orthodox yang berbahasa Slavonika menyebutnya dengan gelar ”Bogoroditse Deva” (“Theotokos Sang Perawan”), sebuah gelar penghormatan kepada Sang Theotokos. Dengan demikian Firman Allah yang kekal dan yang sama itulah yang menjadi subyek Pribadi si bayi Anak Maryam itu. Sehingga Maryam memang betul-betul melahirkan seorang bayi manusia yang subyek PribadiNya adalah Allah yaitu Firman Allah sendiri. Demikianlah Maryam itu benar-benar “Theotokos” (Tokos = Sang Pemberi lahir secara jasmani karena nuzulNya; Theos = kepada Allah yaitu Firman Allah yang secara kekal tak berjasmani itu). Jadi sebutan “Theotokos” bagi Maryam itu justru menjelaskan keilahian Kristus yang tak pernah berubah sebagai Firman Allah itulah yang ditekankan, bukan diri Maryam sendiri. Itulah sebabnya ketika Maryam mengunjungi Elisabet, oleh ilham Roh Kudus dalam suatu nubuat wanita tua yang saleh ini menyapa Maryam dengan sebutan “Ibu Tuhan”-ku (Lukas 1:43). Kata “Tuhan” (“Kyrios”) yang digunakan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang, yaitu:

1. Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai Nama Allah sendiri dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci sekali sehingga takut untuk mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay” (“Tuhanku”). Pada waktu Alkitab Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri.

2. Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan, kepenguasaan atau kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup di atas dunia ini kata “Kyrios” yang digunakan orang-orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja: ”Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan memanglah demikian maknanya.

3. Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini mempunyai makna sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios) di sini tak langsung menunjuk kepada makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan penggunaanya dengan sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya bukan “Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”, “Sang Junjungan Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-ayat berikut ini: ”…Yesus adalah Tuhan…Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Roma 10:9-10), “Allah, yang membangkitkan Tuhan…” (I Kor.6:14), “…satu Allah saja, yaitu Bapa,…satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” (I Kor.8:6), dan masih banyak yang lain lagi. Ayat-ayat di atas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari antara orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya: ”KepadaKu telah diberikan (berarti: ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak: Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” (Matius 28:18). Dengan demikian karena Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang telah bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau “Tuhan” atas sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36: ”Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu salibkan itu, menjadi Tuhan…”.

Yesus diangkat sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios” (“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: 

a. Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Adam yang terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena kejatuhan.

b. Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Sang Sabda yang menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam melalui kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau ke-Tuhan-an Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah Sang Firman yang satu dan yang sama, karena melalui Sabda Allah itu Allah melaksanakan kuasa KetuhananNya sendiri. Dengan demikian baik Allah maupun KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.

c. Untuk tujuan keselamatan manusia, karena dengan kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan nanti (Filipi 3:20-21).

Setelah mengerti makna kata “Tuhan” yang dikenakan kepada Yesus Kristus, maka jelas jika kita sekarang menyebut “Tuhan Yesus Kristus” maka makna ketiga itulah yang kita maksud. Sedangkan ketika para Malaikat (Lukas 2:11) menyebut Kristus sebagai Tuhan, dan terutama sekali ketika Elisabet menyebut Maryam sebagai “Ibu Tuhan” (Lukas 1:43), jelas yang dimaksud bukan makna ketiga ini, karena Yesus baru atau belum lahir, belum bangkit, dan belum dimuliakan. Bukan pula makna kedua, karena seorang bayi tak akan disebut “Pak” atau “Tuan”, namun itu menunjuk makna pertama “Kyrios” (“YHWH”), yaitu sebagai Nama Allah sendiri, untuk menunjuk bahwa bayi yang sedang lahir itu adalah “YHWH” yaitu “Firman YHWH” sendiri yang sedang menjelma sebagai manusia. Dengan demikian “Ibu Tuhan” bagi Maryam ini identik dengan “Bunda Allah” atau “Theotokos”. Jadi Maryam memang “Ibu dari Yang Ilahi” sendiri, yaitu “Bunda Allah” Sang Sabda dalam keberadaan nuzulNya, bukan dalam keadaan azali atau kekalNya. Karena keberadaan Sabda Allah yang azali dan kekal itu tak berbadan jasmani, tak beribu serta tak dilahirkan wanita, dan tanpa awal maupun akhir. Melalui gelar “Theotokos” bagi Maryam inilah justru keilahian Yesus Kristus sebagai Firman Allah dijaga dan dipagari. Maka kita tak akan lupa bahwa bayi yang dilahirkan Maryam itu ternyata tetap Allah yang sama, dan tak pernah berubah meskipun telah turun sebagai manusia, sehingga Ibu manusiaNya berhak disebut “Bunda Allah” (“Theotokos”). Sisi lain dari gelar “Theotokos” ini adalah untuk menegaskan kemanusiaan Yesus Kristus. Karena tanpa menegaskan kemanusiaanNya, kita akan jatuh pada ajaran bidat Monofisitisme yang hanya menekankan keilahian Yesus Kristus dan menghilangkan kemanusiaanNya serta dengan demikian mensifatkan wujud kemanusiaanNya itu sebagai Yang Ilahi sendiri. Jika yang demikian ini yang terjadi akhirnya kita bukan menyembah Allah yang benar dan ghaib, namun menyembah makhluk manusia Anak Maryam: “Dewa Yesus”.

Alkitab mengajarkan bahwa ketika Firman Allah “mengambil rupa…menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:7) atau “lahir dari seorang perempuan” (Galatia 4:4) yaitu “menjadi manusia” (Yohanes 1:14), dia mengambil ini dengan “menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka” (Ibrani 2:14) artinya “dalam segala hal (yaitu: termasuk tubuh, jiwa, roh, akal-budi, emosi, kehendak, dan segenap sifat-sifat kemanusiaan) Ia harus disamakan dengan ”manusia” (Ibrani 2:17). Ini berarti bahwa Yesus Kristus adalah manusia sempurna. Dalam segala hal Dia memiliki kodrat yang sama persis dengan segenap manusia lainnya. Karena kodrat kemanusiaan yang diambilNya itu tak berbeda dalam segala hal dari segenap manusia di alam ini, maka Dia betul-betul Anak Maryam (Markus 6:3). Karena Yesus dalam kemanusiaanNya itu disebut “Anak Abraham” dan “Anak Daud “ (Matius 1:1), maka haruslah dalam jasad daging kemanusiaanNya itu mengalir “gen” dari Abraham dan Daud, bapa-bapa leluhurNya secara manusia itu. Padahal “gen” tadi harus didapat dari manusia yang merupakan keturunan Abraham dan Daud, dan kita tahu satu-satunya manusia yang mempersembahkan kemanusiaan dengan cara melahirkan Firman Allah yang menjelma ini sebagai bayi adalah Maryam, berarti Yesus memang harus mengambil “gen” Abraham dan Daud itu melalui Maryam. Artinya Maryam harus sungguh-sungguh dalam arti literal adalah Ibu kemanusiaan dari Penjelmaan Firman Allah ini. Maryam tidak hanya sekedar dilalui atau dilewati oleh kelahiran Yesus saja, namun kemanusiaan Yesus itu berasal dari ovum kemanusiaan Maryam. Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai “buah rahim” Maryam (Lukas 1:42). Ini berarti Maryam adalah pohon dari kemanusiaan Yesus, dan rahim atau ovum Maryam itu menjadi asal-usul dimana “BUAH” yaitu tubuh kemanusiaan bayi Yesus itu diproses. 

Jadi Maryam bukan hanya sebagai saluran saja, dalam arti tak menyumbangkan apapun kepada kodrat kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma, seperti layaknya pipa kran yang dialiri air. Analogi ini tak masuk akal, karena air dari pipa kran itu bukan “buah” dari pipa tadi, padahal Yesus adalah “buah rahim” Maryam. Jadi memanglah kemanusiaan Yesus itu semata-mata berasal dari ovum Maryam yang tanpa sperma laki-laki oleh Kuasa Firman Allah itu sendiri dijadikan bentuk Bayi dan oleh Roh Allah sendiri diberikan kehidupan. Dengan demikian Yesus itulah ”Keturunan Perempuan” (Kejadian 3:15) karena terjadi tanpa sperma pria sama sekali namun langsung oleh Kuasa Yang Maha Tinggi sebagai mukjizat luar biasa, dan sekaligus “keturunan Abraham dan Daud”, karena Maryam adalah keturunan mereka dan melalui ovumnya “gen” Abraham dan Daud menjadi kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma. Itulah sebabnya Galatia 4:4 mengatakan bahwa Anak Allah yang pra-ada itu ketika lahir menjadi manusia dikatakan “genomenon ek gunaikos” = ”lahir keluar dari” atau “berasal dari ”perempuan“. Jadi “berasal dari” atau “keluar dari” Maryam inilah kemanusiaan Yesus itu dilahirkan ke dunia. Maryam bukan hanya dilalui saja, namun betul-betul menjadi Ibu Yesus Sang Firman Allah itu, yang darinya Sabda Allah yang tak berjasad jasmani itu mendapatkan jasad-jasmani kemanusiaanNya. Itulah sebabnya Maryam disebut “Theo-“ yang menekankan ke-“Allah”-an si Bayi sebagai Firman Allah, dan “-tokos” yang menekankan sungguh-sungguh si Bayi itu terlahir dari Maryam, berarti Ia manusia sejati yang memiliki permulaan dari kelahiran. 

Jadi memang Maryam yang harus memiliki gelar ini, untuk menandaskan secara tegas bahwa kemanusiaan dari Bayi yang terlahir itu memang berasal dari Ibu yang melahirkan itu yang adalah betul-betul manusia. Sehingga si Bayi itu adalah manusia sejati dan sempurna, karena Ibu yang melahirkan adalah manusia sejati. Demikianlah gelar “Theotokos” bagi Maryam itu merupakan ringkasan theologis tentang makna Inkarnasi Kristus, serta menjadi pagar dan penjaga kokoh bagi “keilahian” dan “kemanusiaan” Kristus, yang tidak saling berbaur, tidak saling kacau, namun tak-terpisah-pisahkan dan tak terbagi-bagi dalam kesatuan Pribadi Firman Allah yang hanya satu itu. Gereja Orthodox pada tahun 431 di Efesus mengutuk “Nestorius” yang menolak gelar ini, karena penolakan itu berarti pemisah-misahan Pribadi Kristus yang satu itu menjadi dua. Jika Maryam hanya melahirkan kemanusiaanNya saja, berarti si Bayi yang lahir itu tak memiliki Pribadi Ilahi, dengan demikian sudahlah terpisah antara Pribadi Ilahi dan Pribadi Manusianya, sehingga ada dua Pribadi yang berbeda. Dengan demikian Yesus Kristus itu bukan Firman Allah yang menjelma, namun hanya manusia biasa Anak Maryam, yang baru kemudian kesurupan Firman Allah, seperti layaknya kalau orang kesurupan setan. Dalam pengertian semacam ini maka Pribadi Firman Allah dan Pribadi Anak Maryam memang beda, berarti ada dua pribadi dalam Yesus, dan bukan Satu Pribadi yang berkodrat dua secara tak terpisah. Jikalau begitu yang disalib itu hanya sekedar manusia biasa, bukan kematian dari kodrat kemanusiaan Firman Allah yang menjelma, sebab kodrat ilahiNya memang tak dapat disalib dan tak dapat mati. Jika yang mati itu hanya manusia biasa Anak Maryam saja, maka keselamatan tak akan terjadi oleh kematian semacam itu. Sampai sekarangpun Gereja Orthodox akan tetap menyangkal “Nestorius-Nestorius“ modern yang menolak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”. Jelaslah gelar Theotokos bukanlah untuk memberhalakan atau mendewakan Maryam seperti yang sering disalah-mengerti serta seperti yang telah dialih-maknakan dalam Gereja Roma Katolik. Namun gelar itu untuk menjaga keutuhan dan kesatuan “dua-kodrat” Kristus dalam “satu Pribadi”. Sedangkan Maryam sendiri sebagai pribadi sampai kapanpun dia adalah “hamba Tuhan” yang suci, saleh, serta taat (Lukas 1:38). 

Selain gelar ”Sang Theotokos” (”Bunda Allah”), Gereja sejak masa purba memberi gelar kepada Maryam sebagai ”Bunda Gereja”. Dalam Injil Yohanes 19:25-27, kita membaca pesan Yesus kepada murid-muridNya (Gereja).

“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maryam, isteri Klopas dan Maryam Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu !" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.” 
(Yoh. 19:25-27)

Maryam adalah Ibu dari murid Yesus yang terkasih, berarti menjadi ibu kita juga jika kita memang betul adalah murid Yesus. Murid Yesus yang terkasih adalah anak dari Maryam, berarti jika kitapun adalah murid Yesus, kita juga anak Maryam dalam keberadaan manusia baru kita. Murid Yesus menerima Maryam dalam rumahnya, maka kitapun jika memang murid Yesus harus menerima Maryam juga dalam rumah iman kita. Ummat percaya semua adalah Anak Maryam, berarti Maryam adalah “Ibu Kaum Beriman”. Dan kaum beriman adalah “Gereja” karena menyatu dalam Tubuh Kristus yang satu, maka Maryam adalah “Ibu/Bunda Gereja”, sekaligus lambang dan detak jantung Gereja, meskipun bukan ”Kepala Gereja”, karena Kristuslah satu-satunya Kepala Gereja. Karena sebagaimana Gereja itu adalah ”Perawan Suci” (2 Korintus 11:2) dan sekaligus ”Ibu/Bunda” (Galatia 4:26), maka Maryam-pun adalah ”Perawan Suci” dan ”Ibu/Bunda”.Ini makin nampak jelas pada hari Pentakosta (turunnya Roh Kudus, yang merupakan terbentuknya Gereja yang pertama), Bunda Maria ada bersama-sama para Rasul (Kis.1:14; 2). Maryam sebagai Ibu Kaum Beriman selalu bersama dengan para Rasul yang adalah gambaran dari Gereja/jemaat/kaum beriman. Itulah sebabnya sejak masa awal Gereja Purba, Maryam diberi gelar sebagai “Bunda Gereja” yaitu “Bunda Kaum Beriman”. Gelar-gelar lain yang diberikan para Bapa Gereja dan Gereja Orthodox Timur maupun Gereja Katolik Timur (gereja-gereja Uniat) untuk menghormati Bunda Maria diantaranya:

 “Aeiparthenos Maria” – “Forever virgin Mary”, ”Tetap Perawan”, “Selalu Perawan”.
 “Panaghia” (Παναγία) – ”All Holy”, ”Suci Kudus”, ”Suci Sempurna”.
 “Panagia Evangelistria” – “Our Lady of the good Tidings”, “Bunda dari Kabar Baik”. 
 ”Hyperhaghia Theotokos” – “Most Holy Mother of God”, ”Amat Sangat Suci”.
 ”Panagia Despoina” - ”Our Lady and Queen”, “Sang Bunda dan Ratu”
 “Akhrantos” – ”Tak Bercacat”, Tanpa Cela”, “Immaculata Post-Natum” tetapi bukan ”Immaculata Conceptio” (”Dikandung Tanpa Noda Dosa Asal”).
 ”Hypereulogheemenee” – ”Amat Sangat Terpuji”, ”Amat Sangat Terberkati”.
 “Axion Esti” - “it is worthy to bless Thee, the Virgin” , “Sungguhlah patut dan benar memberkatimu, ya Sang Perawan Theotokos”
 ”Platytera Toon Ouranoon” – ”Lebih luas dari Sorga” atau ”Sorga Kedua” (1 Raja 8:27). 
 “Rodon to Amaranton” – “the Unfading Rose”, “Bunga Mawar Yang Tak Pernah Pudar” 
 ”Panagia Myrtidiotissa” – “the Most Holy Theotokos "Of the Myrtle Tree (Myrtidiotissa)", “Bunda Tersuci dari Pohon Myrtle (Myrtidiotissa)”.
 Kemudian “Perantara”, “Pelindung”, “Ratu Sorga”, ”Bunda Surgawi”, ”Ratu Para Malaikat”, “Ibu Pengampun”, ”Sukacita Segenap Dunia”, dan lain-lain.

REFERENSI

1. Arkhimandrit Rm. Daniel Bambang Dwi Byantoro. Bahan-bahan Katekisasi Gereja Orthodox Indonesia: Gereja Orthodox dan Ajaran-ajarannya: Sang Perawan Maryam. Jakarta. (Tahun?).

2. Frans Harjawiyata OCSO. Kehidupan Devosional Dalam Gereja-gereja Timur. Seri Sumber Hidup 16. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Cetakan pertama 1993. 

3. Romo Arkhimandrit Dr. Daniel Bambang D.B. Ph.D. Bunda Maria, Devosi Kepadanya di dalam Gereja Katolik-Apostolik Orthodox Timur. Haghia Sophia Foundation. Jakarta. Indonesia. (Tahun?).

4. Dan lain-lain.

Vatikan dan Paus Berbicara Tentang Ketegangan Kristen-Islam di Timur Tengah

Diterjemahkan oleh:
Presbyter Rm.Kirill JSL
(Omeц Кирилл Д.С.Л.)
GEREJA ORTHODOX INDONESIA 
(THE INDONESIAN ORTHODOX CHURCH) 

Nikosia, Siprus (AP) - Vatikan mengatakan pada hari Minggu bahwa komunitas internasional mengabaikan nasib orang Kristen di Timur Tengah, dan bahwa konflik Israel-Palestina, perang di Irak dan ketidakstabilan politik di Lebanon telah memaksa ribuan orang melarikan diri dari wilayah-wilayah itu .

Sebuah makalah yang dikeluarkan selama ziarah Paus Benediktus XVI ke Siprus untuk mempersiapkan pertemuan puncak krisis para uskup Timur Tengah di Roma pada bulan Oktober juga menyebutkan “ekstrimis saat ini" yang dipicu oleh munculnya "politik Islam" sebagai ancaman bagi orang Kristen.

Dalam missa terakhirnya di Siprus pada hari Minggu, Benediktus mengatakan ia berdoa agar pertemuan Oktober akan memusatkan perhatian dari masyarakat internasional "pada nasib orang-orang Kristen di Timur Tengah yang menderita karena keyakinan mereka."

Dia menyerukan supaya "dunia internasional mendesak dan terpadu untuk menyelesaikan ketegangan yang sedang berlangsung di Timur Tengah, terutama di Tanah Suci, sebelum konflik tersebut mengakibatkan pertumpahan darah yang lebih besar."

Vatikan menganggap kebanyakan Siprus Orthodox Yunani sebagai jembatan antara Eropa dan Timur Tengah dan mengundang para uskup untuk datang ke pulau Mediterania untuk menerima kertas kerja untuk menjawab masalah eksodus dari ribuan orang Kristen dalam beberapa tahun terakhir karena perang dan kondisi ekonomi yang sulit.

Sebuah kelompok demonstran sekitar 100 orang Kristen Orthodox melakukan protes damai menentang kunjungan Benediktus di luar stadion olahraga Nikosia di mana Paus memimpin misa, memegang tinggi-tinggi spanduk menyebut Paus "yang sesat."

"Kami tidak menerima kunjungan Paus di sini," kata Telemachos Telemachou, 51, kepada Associated Press. "Paus seharusnya tidak datang ... Kami tidak punya apa-apa untuk menentang Benediktus sebagai seorang individu, tetapi dengan ajaran sesat itu."

Vatikan memperkirakan ada sekitar 17 juta orang Kristen dari Iran sampai Mesir, dan bahwa sementara banyak orang Kristen telah melarikan diri, imigran Katolik baru - kebanyakan dari Filipina, India dan Pakistan - telah tiba dalam beberapa tahun terakhir di negara-negara Arab untuk bekerja sebagai buruh domestik atau pekerja kasar.

Dokumen 46-halaman mengatakan masukan dari ulama di kawasan itu menyalahkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina untuk menghambat gerakan kebebasan, ekonomi dan kehidupan beragama, menyatakan bahwa akses ke tempat-tempat suci tergantung pada izin militer yang kadang-kadang ditolak dengan alasan keamanan.

Ia juga mengeluhkan bahwa beberapa fundamentalis Kristen menggunakan teks alkitab untuk membenarkan pendudukan Israel "membuat posisi kaum Kristen Arab bahkan lebih menjadi masalah sensitif."

Dikatakan "emigrasi sangat lazim" karena konflik Israel-Palestina, tetapi juga menyalahkan “situasi ancaman sosial " di Irak dan ketidakstabilan politik pada saat kaum Kristen Libanon sangat kuat.

Sebuah eksodus lebih lanjut kaum Kristen dari Tanah Suci akan menjadi kehilangan besar untuk gereja di "tempat di mana Kekristenan lahir," katanya.

"Politik internasional seringkali tidak memperhatikan adanya kaum Kristen dan fakta bahwa mereka adalah korban, pada kali pertama yang menderita, pergi tanpa diketahui," kata dokumen tersebut.

Dikatakan kebangkitan "politik Islam" di masyarakat Arab, Turki dan Iran dan arus ekstrimis adalah "jelas merupakan ancaman bagi semua orang, baik Kristen dan Muslim."

Dengan kebangkitan fundamentalisme Islam "serangan terhadap orang Kristen meningkat hampir di mana-mana," katanya.

Dikeluhkan bahwa umat Islam sering tidak membeda-bedakan antara agama dan politik "dengan cara demikian menurunkan orang Kristen untuk posisi genting dianggap bukan warga negara, meskipun fakta bahwa mereka warga negara dari Negara mereka jauh sebelum munculnya Islam."

Dan dikeluhkan bahwa negara-negara Timur Tengah seringkali menyamakan Kekristenan dengan Barat.

"Sejarah telah membuat kita sedikit kawanan," kata dokumen tersebut. "Namun, melalui apa yang kita lakukan, kita masih bisa menjadi kehadiran yang memiliki nilai besar."

Vatikan mengharapkan sekitar 150 uskup untuk menghadiri pertemuan 10-24 Oktober di Roma.

Perjalanan dimulai dibawah awan-mendung dari seorang uskup yang dibunuh di Turki. Tapi Benediktus menerima bahwa motif itu bersifat pribadi dan bukan politik atau agama, dan polisi telah menangkap sopir sang uskup itu.

Pada hari Minggu, Paus memberikan penghormatan kepada Uskup Luigi Padovese, mengatakan klerus memiliki komitmen untuk pemahaman antaragama dan budaya. Benediktus mengatakan kematian itu "mengagetkan dan mengejutkan kita semua."


Pemuka Mistik sufi Sheikh Nazim, di samping ulama muslim lain, pembicaraan dengan Paus Benediktus XVI sebelum missa yang dipimpin oleh Paus di gereja Salib Suci di kompleks biara Fransiskan dari Salib Suci, di Nicosia, Siprus, Sabtu, 5 Juni , 2010.

Sehari sebelumnya, Benediktus bertemu dengan pemimpin Muslim dengan singkat selama ia dalam prosesi untuk missa di gereja dekat Garis Hijau yang memisahkan kedua sisi terpisah Siprus utara dari Siprus selatan yang Kristen. Juru bicara Vatikan Rev Federico Lombardi mengatakan Benediktus berhenti untuk menyambut Sheik Nazim yang berumur 88 tahun dan bahwa pertemuan itu "pendek tapi sangat menyenangkan."

Lombardi mengatakan pemimpin Muslim dan Benediktus yang berumur 83 tahun bergurau tentang usia mereka.

Sumber

___________. Vatican and pope address Christian-Muslim tension in Mideast. By Osservatore Romano, Associated Press: USA Today: http://www.usatoday.com

Gereja Orthodox China

Disusun oleh :
Presbyter Rm.Kirill JSL 
(Omeц Кирилл Д.С.Л.)
GEREJA ORTHODOX INDONESIA
(THE INDONESIAN ORTHODOX CHURCH)

Gereja Orthodox China adalah Gereja Orthodox Timur otonom [autonomous yaitu bersifat swa-pemerintahan dalam banyak hal, namun belum mendapatkan kemandirian secara penuh] di China, yang sebelum Revolusi Kebudayaan China pada tahun 1966, diperkirakan memiliki sebanyak dua puluh ribu anggota. Gereja itu diberikan status otonomi oleh gereja ibunya, Gereja Orthodox Rusia pada pertengahan tahun 1950-an. Saat ini, Kristen Orthodox dijalankan terutama oleh etnis minoritas Rusia di China.

Periode Abad Pertengahan: Misi Gereja Orthodox Assyria Timur (Gereja Nestorian / Nasturiyyah)

Dalam karya penginjilannya, kaum Nestorian (Nasturiyyah) atau Gereja Assyria Timur disebut juga Gereja Assyria Timur yang Kudus, Katolik dan Apostolik patut disebut modern. Mereka membuka daerah keepiskopan (keuskupan) di mana-mana, tidak lupa mereka membuka juga sekolah lengkap dengan perpustakaannya dan mendirikan rumah sakit, lengkap dengan pengobatannya. Mereka terkenal, tidak saja karena keahliannya di bidang medis, tetapi juga ketrampilan teknis maupun kepandaiannya dalam berbagai ilmu. Mereka hidup dari hasil pekerjaan tangan tetapi juga mendapat pelayanan dari orang-orang bagi siapa mereka berkarya. Dikabarkan teologi yang yang mereka terapkan secara etis dan praktis, ditambah keahlian di bidang medis, merupakan sumber utama dalam mencapai keberhasilan di daratan China. 

Agaknya kaum Nestorian telah mencapai China pada awal abad pertengahan. Pekabaran Injil pertama terjadi pada sekitar tahun 635 oleh seorang berkebangsaan Syria, yaitu Katholikos-Patriarkh Mar Isho-Yab II (628-644). Sebuah misi awal abad pertengahan Gereja Timur Assyria atau dikenal juga sebagai Gereja Nestorian pada tahun 635 membawa Kekristenan ke China tapi ditindas dalam abad ke-9. Kekristenan pada periode itu diperingati dengan Prasasti Nestorian dan Pagoda Daqin dari Xi'an. Dari prasasti ini ditemukan nama Alopen (David/Daud) (bhs. China: 阿罗 本 pinyin: Āluóběn, juga "Aleben", "Aluoben", "Olopen," "Olopan," atau "Olopuen" dan bhs. China: 景 净 (pinyin: Jing jǐng) adalah misionaris Kristen pertama yang tercatat mencapai China, pada masa Dinasti Tang (618-907). Dia adalah seorang Nestorian, dan mungkin orang Syria – pengkotbah dari Persia. Ia dikenal secara eksklusif dari Prasasti Nestorian, yang menggambarkan kedatangannya di ibukota China Chang-an pada tahun 635 AD dan diterima oleh Kaisar Taizong dari Tang (bhs. China: 唐太宗; pinyin: Táng Tàizōng, Wade-Giles: T'ai-Tsung, 23 Januari 599 – 10 Juli 649). Nama Alopen dikenal yang paling awal yang dapat dikaitkan dalam sejarah Nestorianisme di China. 

Kristen Nestorian berkembang pesat di China untuk sekitar 200 tahun, tapi kemudian menghadapi penganiayaan dari Kaisar Wuzong dari Tang (唐武宗) [(2 Juli 814 – 22 April 846), né Li Chan (李瀍), kemudian diubah menjadi Li Yan (李炎) beberapa saat sebelum kematiannya (memerintah 840-846)]. Dia menekan semua agama asing, termasuk Agama Buddha dan Kristen, menyebabkan penurunan jumlah umat tajam di China. Seorang rahib Syria yang mengunjungi China beberapa dekade kemudian menggambarkan banyak gereja dalam kehancuran. Gereja menghilang dari China pada awal abad ke-10, bertepatan dengan runtuhnya Dinasti Tang dan hiruk pikuk tahun berikutnya (Zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan).

Dari abad 6 sampai abad 14 agama Kristen tersebar di kalangan orang-orang Hun, Turki dan Mongol. Mereka membawa agama Kristen ke China pada tahun 1250 tatkala bangsa Mongol menaklukkan China. Di Beijing diangkat seorang Metropolitan. Di China Selatan didirikan biara-biara Nestorian. Kenyataan itu dibuktikan oleh Serikat Yesuit, yaitu serikat biarawan Gereja Roma Katolik di tahun 1625, ketika menemukan sebuah monumen batu di Si-nganfu di provinsi Shensi, China Tengah. Bekas peninggalan agama Kristen di China dapat dilihat pada apa yang dinamakan “Monumen Chang An” atau ”Monumen Nestorian di China” yang didirikan pada abad 7 pada jaman Katholikos-Patriarkh Mar Knanishoo (Mar Hnan-Isho I) atau Hanan Shua (685-700) untuk memperingati berdirinya Gereja di China Utara pada abad 5. Monumen itu ditulis dalam bahasa Aram dan China. Tulisan di Prasasti Nestorian, yang menyebutkan Katholikos-Patriarkh Hnanisho II atau Mar Hnan-Isho II (773-780) (Namanya, kadang-kadang dieja sebagai Ananjesu atau Khnanishu, berarti “Belas kasihan Yesus”), memberikan nama-nama beberapa tokoh Kristen di China, termasuk Metropolitan Adam, Uskup Yohannan, 'Uskup-uskup negara' Yazdbuzid dan Sargis dan para Diakon Agung Gigoi dari Khumdan (Chang'an) dan Gabriel dari Sarag (Loyang), serta nama-nama sekitar tujuh puluh biarawan juga terdaftar. Hnanisho II disebut dalam bahasa Syria dan China di kedua formula bertanggal konvensional pada akhir inskripsi utama di Prasasti Nestorian yang didirikan di Chang An oleh Metropolitan Adam dari Beth Sinaye (China) pada bulan Februari 781. Teks Syriac berbunyi ”Pada masa bapa dari segala bapa Katholikos-Patriarkh Mar Hnanisho II (b'yawmi aba d'abahatha Mar Hnanisho II Qatoliqa Patrirqis)”. Teks China berbunyi “ketika biarawan Ning-Shu mengatur jemaat yang gemilang dari Timur”. 

Pada abad ketiga belas, agama Kristen telah tersebar luas di seluruh Turkistan. Pada abad pertengahan, begitu banyak orang Kristen Turki dan orang Mongol bermukim di Asia Tengah, Persia dan Mesopotamia, sehingga kaum Nestorian berhasil menggubah aneka himne/kidung gereja dalam bahasa Mongolia. Dari Iraq dan Iran atau Edhesai dan Persia ini Injil disebarkan ke China, Mongolia, Mancuria, Korea Utara bahkan Jepang. Kegiatan ini sudah ada sejak abad IV s/d VII. Gereja Assyria Timur menikmati periode akhir ekspansi di bawah Mongol. Beberapa suku Mongol telah menjadi Kristen oleh misionaris Nestorian pada abad ke-7, dan karena itu Kekristenan mempunyai pengaruh besar dalam Kekaisaran Mongol (bhs. Mongolia: Монголын Эзэнт Гүрэн, Mongolyn Ezent Güren atau Их Mонгол улс, Ikh Mongol Uls) adalah kekaisaran dari abad 13 dan 14 yang merentang dari Eropa Timur melintasi Asia. Kekaisaran Mongol adalah kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia). Bahkan pada zamannya Jenghis Khan (bahasa Mongolia: Чингис Хаан), juga dieja Genghis Khan, Jinghis Khan, Chinghiz Khan, Chinggis Khan, Changaiz Khan (bhs. Mongolia: Чингис Хаан atau Tengis (lautan, samudera), Chinggis Khaan, atau Činggis Qaγan), lahir sebagai Temüjin (berarti "pandai besi"), juga dieja Temuchin atau TiemuZhen (sekitar 1162–1227), adalah pendiri, Khan (penguasa) and Khagan (kaisar) dari Kekaisaran Mongolia). Genghis Khan adalah pemeluk shamanist (Shamanisme atau Tengriisme/Tengrianisme), tapi anak-anaknya mengambil istri Kristen dari marga Kerait yang sangat berpengaruh, seperti yang dilakukan anak laki-laki mereka pada gilirannya. Banyak orang-orangnya yang menganut agama Kristen yang mengikuti tradisi Persia ini. Bar Hebraeus (wafat 1286), seorang ahli sejarah kaum Yakobit bahkan menyebutnya sebagai “seorang Kristen yang sejati”. Dia merupakan satu sosok yang sangat menonjol, yang tidak begitu saja menentang Kekristenan. Dia menyebut dirinya sebagai “cambuk Allah”. 

Selama kekuasaan cucu Genghis Khan, Khan Agung Mongke (juga ditransliterasikan sebagai Mongka, Möngka, Mangu or Mangku (bhs. Mongolia: Мөнх хаан; sekitar 1208–1259), Kekristenan Nestorian adalah agama utama berpengaruh di Kekaisaran, dan ini juga dibawa Mongol ke penaklukkan China, selama Dinasti Yuan. Pada saat ini, pada akhir abad ke-13, bahwa Gereja Assyria Timur mencapai lebih luas secara geografis. Perluasan Pax Tartarica ke daratan China agaknya memang merupakan persiapan dari perluasan Kristen Nestorian ke arah Timur. Mereka terkenal juga oleh pengetahuan di dunia medis dan filsafat, sehingga gampang berasimilasi dengan penduduk yang didatanginya. Pada sekitar abad 13 ini Gereja Assyria Timur yang kemudian dinamakan Gereja Nestorian telah memiliki sekitar 32 wilayah Metropolitan dan lebih dari 200 Keuskupan (Diosis) yang berlokasi di Asia. Para pembesar dan keluarga istana kerajaan China, Tartar, India terdaftar diantara petobat. Antara lain permaisuri dari ibu suri Hulagu Khan (juga dikenal dengan sebutan Hülegü, Hulegu and Halaku) (1217-1265), cucu Jengis Khan yang menyerbu Bagdad. Kemudian kita juga melihat Kitbuqa Noyen yang adalah seorang panglima perang Mongol yang beragama Kristen pada masa kekuasaan Hulagu Khan. Dia turut andil membantu Hulagu dalam menaklukkan wilayah Persia dan Timur Tengah. Dialah yang mengomandani tentara Mongol dalam penaklukan disertai pembantaian Baghdad dan sukses memaksa Damaskus menyerah tanpa melalui pertempuran. Pada abad ketiga belas, terdapat dua ratus wilayah keepiskopan Gereja Nestorian di Asia dengan dua puluh tujuh orang episkop agungnya. Sehubungan dengan nama Gereja Nestorian (Nasturiyyah), patut dicatat di sini ketika Rabban Bar Sauma (sekitar 1220–1294) juga dikenal sebagai Rabban Ṣawma atau Rabban Çauma, (Bhs. China: 拉賓掃務瑪), seorang rahib Nestorian dari Beijing mengunjungi Dunia Barat pada tahun 1288 (ia melakukan perjalanan sejauh Bordeaux, dimana ia memberikan Perjamuan Kudus kepada Raja Edward I dari Inggris), dia membahas theologi dengan Sri Paus (kemungkinan dengan Paus Nicholas IV (Girolamo Masci) dari Ascoli (22 Februari 1288 – 4 April 1292) dan para Kardinal di Roma.

Tetapi setelah mencapai puncaknya sekitar abad 14, perkembangan Gereja Assyria Timur merosot dengan tajam. Kebanyakan raja-raja Mongol tidak masuk Kristen (simpati orang Mongol dan Turki terhadap Kristen merosot tatkala seorang jendral Mongol Kristen mati dalam peperangan melawan Mesir) di wilayah Barat mereka masuk Islam sedangkan di wilayah Timur masuk Budha. Umat Kristen di China, yang sebagian besar orang-orang Mongol dengan bangkitnya rasa nasionalis suku-suku Han dan berdirinya dinasti Ming agama Kristen dianggap agama penjajah. Dengan datangnya para missionaris Roma Katolik, posisi umat Kristen Nestorian maupun Latin menjadi cenderung lemah, akibat perdebatan yang berkaitan dengan masuknya agama Islam. Ketika kaum Nestorian di bawah pimpinan orang Mongol pada abad ke-13 kembali memasuki China, mulailah pengejaran terhadap agama-agama ”asing” di bawah dinasti Ming. Lama-kelamaan jumlah umat Kristen menciut dan akhirnya habis.

Kekristenan Assyria diperkenalkan lagi selama Dinasti Yuan atau Kekaisaran Yuan Agung (1271 - 1368), namun menurun secara cepat dengan kedatangan Dinasti Ming atau Kekaisaran Ming Agung (1368–1644). Kekristenan di China mengalami kebangkitan yang signifikan selama Mongol - menciptakan Dinasti Yuan, yang didirikan setelah bangsa Mongol telah menaklukkan China di abad ke-13. Marco Polo (sekitar 1254 – 8 Januari 1324) pada abad ke-13 dan penulis Barat Abad Pertengahan lainnya menjelaskan ada banyak komunitas Nestorian di China dan Mongolia, namun mereka jelas tidak sebanyak selama masa Tang. Ketika Ghazan, Il-khan atau Mahmud Ghazan (1271–1304) (bhs. Mongol: Газан, bhs. China: 合贊, kadang-kadang disebut sebagai Casanus oleh dunia barat) dari Persia pada tahun 1295 menyatakan secara terbuka peralihannya ke dalam Islam dan menjadikan Islam sebagai agama Negara, mulailah masa suram bagi kaum Nestorian. Suatu hal yang sungguh membawa keadaan sangat bertolak belakang bagi orang Kristen Assyria Timur. Pengejaran dan penyembelihan terjadi terhadap banyak orang Kristen Nestorian. Kebinasaan itu terutama disebabkan oleh mengalirnya bangsa Mongol untuk kedua kalinya. Selain pindah agama sekitar tahun 1400, Timur Lenk atau Timur i Leng (1336 – 14 Februari 1405), yang artinya Timur ’si Pincang’ (Lenk), juga disebut ’si penggali liang kubur’ Gereja Nestorian, pemimpin Mongol Islam membunuh jutaan penduduk Asia Tengah yang sebagian adalah orang Kristen. Inilah pembinasaan secara total atas Kekristenan di China. Dialah yang tersohor sebagai perampok yang tidak berperikemanusiaan di sepanjang sejarah. Dengan cara yang sangat keji dia membuka pemukiman di Transoxania, di Asia Tengah dan Barat seraya menyingkirkan Gereja Nestorian, kecuali di Syria dan Iraq. Sejak itu, penganut Nestorian hanya tinggal di sekitar Danau Urma dan Kurdistan saja. Namun jejak umat Nestorian ini masih dapat ditemukan di wilayah Lamaisme di Tibet. Sebab-musabab kegagalan Kekristenan Nestorian ini agaknya berpangkal pada sebutan gereja ”asing”. Tujuh puluh lima nama yang disebutkan dalam prasasti monumen Nestorian itu pada umumnya adalah orang Syria! Satu faktor penting dalam kejatuhan dan kebinasaan Gereja Nestorian dari Asia Tengah dan Utara, termasuk di dalamnya Turkistan dan Mongolia, adalah kuasa Djenghiz Khan serta penyebaran bangsa Mongol secara dominan selama paro pertama abad ke-13. 

Pada tahun 1898, seorang uskup Gereja Assyria Timur ini dan sejumlah pengikut dari daerah Urmia di Iran memasuki persekutuan dengan Gereja Orthodox Rusia. Pada masa kini umat Gereja Nestorian sebagian besar sudah menyatu dengan Gereja Orthodox Rusia, dan yang masih sisa tinggal kira-kira 50.000 orang saja di seluruh dunia.

Abad 17 Hingga Saat Ini: Misi Orthodox Rusia di China

Kemudian Kekristenan Orthodox Timur tiba lagi di China melalui Siberia pada 1685. Asal-usul Gereja Orthodox China dapat ditelusuri kembali pada tahun 1686, ketika Kaisar China menyewa sekelompok Cossack Rusia (bhs. Rusian: Казаки́, Kazaki; bhs. Ukrainia: Козаки́, Kozaky; bhs. Bhs. Polandia: Kozacy; mula-mula adalah anggota dari komunitas militer di Ukraina dan Rusia Utara) sebagai pengawal pribadinya. Keturunan mereka akhirnya benar-benar terserap ke dalam budaya China tapi tetap Orthodox dalam iman dan membentuk inti dari komunitas Orthodox di China. 

Misi Orthodox Rusia di China, juga dikenal sebagai Misi Gerejawi Rusia, merupakan upaya oleh Gereja Orthodox Rusia untuk membawa Kekristenan ke China. Misi Orthodox Rusia di China berawal dengan penangkapan empat puluh lima orang Rusia ketika Kaisar Kangxi (Kang Hsi) (Hanzi: 康熙, lahir 4 Mei 1654; 18 Februari 1661 – 20 Desember 1722 (61 tahun, 305 hari), dari dinasti Qing, menaklukkan Albasin, sebuah benteng Rusia di Sungai Amur. Di antara mereka yang tertangkap adalah Rm. Maxim Leontev, seorang imam Orthodox. Dia dibawa dengan para tawanan ke Beijing pada akhir tahun 1685. Di sana ia menetap di tempat duta besar di bagian timur laut kota dan melayani masyarakat kecil selama dua puluh tahun, menggunakan sebuah kuil China yang dirubah sebagai kapel. Kapel itu dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Kudus Allah [Holy Wisdom, juga dinamakan Divine Wisdom (Yunani: Ἁγία Σοφία, Hagia Sophia)]. Inilah Gereja Orthodox Timur pertama di Beijing. Pada 1695, Rm. Maxim menerima dokumentasi dari Metropolitan dari Tobolsk yang mengakui konsekrasi gereja dan meminta Rm. Maxim untuk memperingati kaisar China dan mulai berkhotbah kepada orang China. Rm. Maxim meninggal pada tahun 1712, dan mengakhiri misi tidak resminya. Keturunan mereka, atau Albazinians (bhs. Rusia: албазинцы, bhs. China Tradisional: 阿爾巴津人, bhs. China yang disederhanakan: 阿尔巴津人; yaitu satu dari kelompok orang-orang China keturunan Rusia), meskipun secara menyeluruh sinkretisme dalam hal lain, mereka masih setia dan mengikuti Orthodox Timur.

Dengan meninggalnya Rm. Maxim, Misi resmi Orthodox dibentuk yang bertindak sebagai wakil resmi dari pemerintah Rusia. Kegiatan misi itu digunakan untuk kepentingan diplomatik dan politik pemerintah Rusia. Periode ini berlangsung hingga 1860. Selama periode ini komposisi dan kepala misi berubah setiap sepuluh tahun dan pada umumnya terdiri dari empat rohaniwan dan enam orang awam. Para orang awam biasanya para mahasiswa yang tugasnya adalah untuk mempelajari bahasa China dan Manchu dan kemudian menjadi juru bahasa (penterjemah) dan akhirnya menjadi konsul untuk Departemen Luar Negeri. Misi ini dibiayai oleh, dan menerima arahan dari pemerintah. Situasi ini berdampak langsung terhadap kegiatan misionaris dari rohaniwan. Sebagai hubungan antara Rusia dan China didefinisikan secara formal, pekerjaan masing-masing anggota misi didefinisikan secara jelas. Dalam keadaan demikian, karya misionaris dari Misi sangat terhambat dan jumlah petobat baru dalam jumlah kecil pembaptisan, jelas tidak signifikan.

Pembentukan misi pertama dimulai pada 1715 di Beijing oleh Arkhimandrit Hilarion. Misi ini pertama kali tercatat dalam Perjanjian Rusia-China, Perjanjian Kyakhta (Kiakhta) (1727), yaitu perjanjian yang mengatur hubungan antara Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Qing sampai pertengahan abad ke-19. Di bawah tekanan Count Savva Lukich Vladislavich-Raguzinsky (bhs. Rusia: Савва Лукич Владиславич-Рагузинский; Serbia: Сава Владиславић Рагузински; 1669 di Herceg Novi, Republik Venisia - 17 Juni 1738 di Saint Petersburg, Rusia), pemerintah China mengakui hak orang Rusia untuk membangun sebuah kapel Orthodox di bagian kedutaan besar di Beijing. Tujuan dari misi ini tidak untuk mewartakan Injil di antara orang China tetapi hanya untuk melayani sebagai imam untuk misi semula dan kemudian kepada staf misi diplomatik Rusia juga.

Setiap perubahan kepala misi telah diidentifikasi secara seri. Selama periode sampai 1860 jumlah perubahan kepala misi adalah tiga belas kali. Beijing berada di ujung rute kafilah panjang, komunikasi dengan Rusia jarang terjadi, hanya dua sampai empat kali setiap tahun. Hal ini menghambat penerimaan dana untuk pengoperasian Misi. Meskipun sebagai misionaris terhambat oleh keterbatasan politik, penggantian para arkhimandrit dan uskup yang memimpin Misi berhasil memperkenalkan informasi budaya, etnografi, dan statistik untuk Eropa melalui terjemahan sastra China. Di antara karya-karya ini adalah terjemahan dan komposisi Rm. Ioakinf (Bichurin) dan kamus bahasa China oleh Rm. Daniel Siviloff. 

Dalam 150 tahun pertama kehadirannya di China, gereja tidak menarik banyak pengikut. Selama periode 150 tahun ini Misi Orthodox Rusia adalah terbatas pada pusat misi di Beijing. Pembatasan ini menghasilkan kurang dari dua ratus petobat dari orang-orang China yang termasuk banyak keturunan para tawanan Albasin. Pada paruh kedua abad ke-19, Gereja Orthodox membuat langkah lebih besar. Misi rohani Gereja Orthodox Rusia di Beijing telah diberkati dengan rohaniwan penuh iman dan cendekiawan. Banyak terjemahan dari publikasi keagamaan dibuat ke dalam bahasa China. Ada pertumbuhan dalam keanggotaan setelah 1860. Misi menerbitkan empat jilid penelitian dalam studi China di tahun 1850-an dan 1860-an. Dua rohaniwan menjadi terkenal untuk beasiswa dalam pendidikan, Romo Iakinf Bichurin, dan Arkhimandrit Palladius Kafarov, yang juga menyusun sebuah kamus "sangat berharga". Pada tahun 1860 diperkirakan ada tidak lebih dari 200 orang Kristen Orthodox di Beijing, termasuk warganegara China keturunan Rusia. Selama Pemberontakan Boxer, misi sangat menderita, termasuk penghancuran perpustakaan.

Perjanjian Tianjin (Tientsin) pada tahun 1858 mengubah situasi misi Beijing secara radikal. Perjanjian itu mengakui perwakilan China dari pemerintah-pemerintah asing dan hak-hak tinggal di China untuk misionaris Kristen. Pada periode baru diplomatik dan kegiatan keagamaan dari Misi Beijing dipisahkan. Terjemahan Kitab Suci mulai muncul. Kepala Misi, Arkhimandrit Gury (Karpov), berpartisipasi aktif dalam negosiasi Perjanjian Beijing tahun 1860 di mana Rusia memperoleh tanah sepanjang Sungai Amur. Setelah mempelajari bahasa China selama bertahun-tahun ia aktif juga dalam menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa China, serta mengumpulkan buku terjemahan sebelumnya dari buku-buku Orthodox untuk diterjemahan kembali ke dalam tutur-kata bahasa China. Dia banyak berkhotbah dan mengajar di gereja, menjangkau kawasan di luar Beijing.


Rm. Mitrophan Ji di Konsili Seluruh Jepang tahun 1882 setelah penahbisannya sebagai imam.

Sementara upaya kesastraan dan terjemahan terus berlanjut melalui sebagian besar bagian akhir abad kesembilan belas, karya misionaris di bagian akhir abad ini terhambat karena dana tidak memadai untuk pewartaan di luar Beijing, serta kedatangan misionaris baru dengan keterampilan bahasa China yang tidak memadai. Era dari semua rohaniwan Rusia berakhir ketika seorang imam China, Rm. Mitrophan Ji, ditahbiskan di Jepang oleh St. Nicholas Kassatkin (1 Augustus 1836 – 3 Februari 1912), Uskup Agung dari Tokyo pada tanggal 29 Juni 1882. Rm. Mitrophan meninggal sebagai martir pada 11 Juni 1900 dalam pemberontakan Boxer di China. Hampir 500 pembaptisan yang telah dilakukan oleh Misi dan didirikan dua gereja baru, masing-masing di Hankou dan Kalgan (Zhangjiakou) tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap karya misionaris Misi itu.

Dengan kedatangan Arkhimandrit Innosensius pada Maret 1897 situasi berubah tiba-tiba. Rm. Innosensius segera melakukan reformasi di Misi: ia mendirikan biara, dilembagakan pelayanan sehari-hari di China, dukungan didirikan untuk kaum Albasin dengan kemampuan bisnis, menyelenggarakan kegiatan paroki, mengirim pengkhotbah-pengkhotbah ke banyak tempat di luar Beijing untuk menyebarkan Injil, dan mendirikan karya karitas diantara kaum duafa (kaum fakir-miskin) lokal. Sementara kedatangan Rm. Innosensius memulai periode karya misionaris aktif, awal abad kedua puluh juga membawa masalah serius bagi Misi Orthodox Rusia, seperti yang dialami oleh misi-misi Kristen lainnya. 

Pemberontakan Boxer dan Revolusi Kebudayaan


Pemberontakan Boxer atau "Pemberontakan Pendekar/Pesilat" (Gerakan Yihetuan; Yìhétuán Yùndòng, artinya "Pemberontakan/Gerakan Persatuan Adil dan Harmoni" dari 1898-1900), adalah pemberontakan anti-Barat dan anti-misionaris di China, melihat serangan kekerasan pada orang China yang menjadi Kristen. Beberapa orang China Orthodox di antara mereka tewas dibunuh, dan pada bulan Juni setiap tahunnya 222 orang China Orthodox, termasuk Romo Mitrophan Ji, yang mati untuk iman mereka pada pergolakan tahun 1900 ini diperingati sebagai kenangan pada ikon dari “Para Martir Kudus dari China”. Pemberontakan Boxer ini mengakibatkan kerusakan bangunan-bangunan di Beijing, Dongdingan, dan Kalgan (Zhangjiakou). Kerugian juga termasuk kompleks kompleks kompleks perpustakaan yang luas di Beijing yang dirintis oleh Arkhimandrit Peter selama misi kesepuluh. Perpustakaan Misi di Beijing ini juga terbakar habis. Meskipun ada pemberontakan, Misi selamat, pada tahun 1902 ada 32 gereja-gereja Orthodox di China dengan hampir 6.000 pengikut. Gereja juga mengelola sekolah dan panti asuhan.

Keluar dari puing-puing pemberontakan Boxer, sikap misi yang baru ditetapkan oleh Rm. Innosensius dan dengan dukungan dari Sinode Kudus di Rusia. Setelah dipanggil kembali ke St Petersburg untuk konsultasi tentang misi, Rm. Innosensius ditahbiskan sebagai uskup dan kembali ke Beijing sebagai Uskup Beijing pada Agustus 1902, dengan yurisdiksi atas semua gereja-gereja di sepanjang jalur China Timur. Pembangunan kembali misi segera dimulai, yang didanai oleh pemerintah China sebagai kompensasi atas kerusakan yang diakibatkan oleh Pemberontakan Boxer. Selain itu, hampir seluruh China dibuka untuk karya misionaris. Gereja-gereja dan kapel-kapel baru mulai muncul. Sebuah gereja dan sekolah dibuka di Yongpingfu di provinsi Zhili. Juga di provinsi Zhili sekitar dua puluh kapel dibuka oleh seorang imam China. Di Weihuifu, sebuah gereja dan sekolah didirikan sebagai rasa terima kasih dari seorang pejabat provinsi Henan yang menerima perlindungan dari Rusia selama pemberontakan.

Pada 1914 terdapat sekitar 5.000 orang China Orthodox, termasuk imam-imam China dan seminari di Beijing. Pada 1916, Misi Orthodox Rusia di China telah bertumbuh sangat cepat. Di Beijing, didirikan tiga biara: Biara Tertidurnya Sang Theotokos, Pertapaan dari Pengangkatan Salib Suci di Xishan (daerah berbukit-bukit dekat Beijing), dan sebuah biara wanita. Ada sembilan belas gereja termasuk empat di Beijing dan 32 misi termasuk 14 di provinsi Zhili, 12 di Hebei, empat di Henan, satu di Xi'anfu, dan satu di Mongolia. Misi juga mendirikan 17 sekolah untuk anak laki-laki dan tiga untuk anak-anak perempuan. Di samping itu Misi mendirikan sejumlah lembaga yang berkaitan dengan penerbitan buku, dan berbagai bengkel. Penginjilan kepada orang-orang China meningkat, dan pada tahun 1916 jumlah orang China dibaptis berjumlah 5.587, termasuk 583 yang dibaptis pada tahun 1915. Sebagian besar guru-guru di sekolah-sekolah Misi adalah orang China.

Setelah revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917, Misi kehilangan basis dukungan dan harus mengurus dirinya sendiri. Pada saat yang sama kedatangan banyak pengungsi Rusia di China sangat meningkatkan jumlah orang beriman Orthodox. Jumlah gereja-gereja juga meningkat, terutama untuk mendukung kedatangan orang-orang Rusia. Hal ini menyebabkan pembentukan keuskupan-keuskupan baru. Di China, keuskupan-keuskupan telah dibangun di sekitar kota Shanghai dan Tianjin, selain di Beijing. Sebuah keuskupan di Harbin telah dikembangkan untuk mendukung masyarakat orang-orang Rusia yang terkait dengan jalur China Timur. Selama tahun-tahun setelah Revolusi Bolshevik banyak uskup Orthodox bergabung dengan Gereja Orthodox Rusia pengasingan Di luar Rusia (the Russian Orthodox Church Outside of Russia = ROCOR), yang awalnya bermarkas di Karlovci, Yugoslavia, namun kemudian di Munich, Jerman dan kemudian New York di Amerika Serikat. Pada akhir Perang Dunia II, dan dengan kedatangan pasukan Soviet, terutama di Manchuria, Patriarkat Moskow memperoleh yurisdiksi atas para uskup Rusia di China dan Harbin. Pada tahun 1939 ada lima uskup di negara ini dan Universitas Orthodox di Harbin. Pada tahun 1949 ada 100.000 umat, 60 paroki, 200 imam, dua biara dan sebuah seminari di Manchuria, serta 150 paroki dan 200.000 umat di seluruh China. 

Pada tahun 1949, setelah berdirinya Republik Rakyat China yang berada di bawah kendali Partai Komunis China, perjanjian antara pemerintah Soviet dan China memutuskan untuk pergantian yurisdiksi dari gereja-gereja Rusia ke China. Sementara banyak dari para ekspatriat Rusia ditangkap oleh komunis untuk dipulangkan kembali ke Uni Soviet, banyak yang kembali secara sukarela. Yang dipulangkan ke Uni Soviet ini termasuk sebagian besar imam Rusia dan umat beriman atau melarikan diri ke Barat. Keluarga-keluarga lainnya dan imam-imam melarikan diri ke dunia non-komunis, banyak di bawah kepemimpinan St. Yohanes (Maximovitch), Uskup Agung Shanghai and San Francisco (1896-1966), uskup diosesan dari Gereja Orthodox Rusia di Luar Rusia (the Russian Orthodox Church Outside Russia = ROCOR) yang pelayanannya tersebar dari China ke Perancis dan Amerika Serikat. 106 gereja-gereja Orthodox dibuka di China pada tahun 1949. Secara umum umat gereja ini adalah para pengungsi Rusia, dan sebagian orang China terdiri dari sekitar 10.000 orang. Pada tahun 1955, hanya terdapat 30 imam Rusia. Revolusi Kebudayaan menghapuskan atau hampir memusnahkan Gereja Orthodox di China. Banyak gereja-gereja dihancurkan selama Revolusi Kebudayaan (lihat St Nicholas 'Gereja Orthodox di Harbin). Pada tahun 1956 ini pula, dalam pemenuhan perjanjian antara pemerintah Uni Soviet dan Komunis China, Patriarkat Moskow memberikan status otonomi kepada Gereja China sehingga secara resmi mengakhiri Misi Rusia di China. Pada waktu itu Gereja China memiliki dua uskup China, sejumlah imam, dan diperkirakan 20.000 anggota. Setelah tetap di bawah yurisdiksi Patriarkat Moskow, Uskup Agung Victor dari Beijing, uskup Rusia terakhir di China dan pemimpin Misi Spiritual terakhir kembali ke Uni Soviet pada tahun 1956, menutup tiga ratus tahun Misi Orthodox Rusia di China. Setelah keberangkatan dari orang-orang Rusia pada tahun 1956, Gereja di China bekerja di bawah pembatasan dari pemerintah Komunis, tetapi berada di bawah pembatasan-pembatasan yang keras selama Revolusi Kebudayaan dimulai pada awal 1960-an. Dengan luas penyitaan dan penghancuran properti gereja, Revolusi Kebudayaan membinasakan kaum muda China Gereja Orthodox hampir seluruhnya. Uskup China terakhir, Vasily (Shuan) dari Beijing, meninggal dunia pada tahun 1962 dan penggantinya belum ada. Saat ini, situs dari misi di distrik Dongzhimen (Gerbang Lurus Timur) di Beijing ditempati oleh Kedutaan Besar Rusia.

Kepala - Kepala Misi dan Para Pemimpin Misi Orthodox Rusia

1. Periode misi tidak resmi

• Romo Maxim Leontiev (1685-1712). 

2. Periode perwakilan diplomatik

• Misi Pertama (1716-1728). Arkhimandrit Ilarion (Lezhaisky). Meninggal di Beijing pada 1717.
• Misi Kedua (1729-1735). Arkhimandrit Antony (Platkovsky).
• Misi Ketiga (1736-1745). Arkhimandrit Illarion (Trusov). Meninggal di Beijing pada 1741.
• Misi Keempat (1745-1755). Arkhimandrit Gervasy (Lintsevsky).
• Misi Kelima (1755-1771). Arkhimandrit Amvrosy (Yumatov). Meninggal di Beijing pada 1771.
• Misi Keenam (1771-1781). Arkhimandrit Nikolai (Tsvet).
• Misi Ketujuh (1781-1794). Arkhimandrit Ioakim (Shishkovsky).
• Misi Kedelapan (1794-1807). Arkhimandrit Sofrony (Gribovsky).
• Misi Kesembilan (1807-1821). Arkhimandrit Iakinf (Bichurin). Meninggal pada tahun 1853.
• Misi Kesepuluh (1821-1830). Arkhimandrit Petrus (Kamensky). Meninggal pada 1845.
• Misi Kesebelas (1830-1840). Imam Rahib (kemudian Arkhimandrit) Veniamin (Morachevich).
• Misi Kedua Belas (1840-1849). Arkhimandrit Policarp (Tugarinov).
• Misi Ketigabelas (1850-1858). Arkhimandrit Pallady (Kafarov). Juga memimpin misi kelima belas.

3, Periode karya misionaris terbatas

• Misi Keempatbelas (1858-1864). Arkhimandrit Gury (Karpov). Pada 1866, ditahbiskan sebagai Vikaris Uskup dari Cheboksary, Eparki Kazan; Pada tahun 1867, Uskup dari Tauria dan Simferopol; 1881, Uskup Agung; meninggal pada tahun 1882.
• Misi Kelimabelas (1865-1878). Arkhimandrit Pallady (Kafarov). Meninggal pada tahun 1878 di Marseilles selama kembali ke Rusia karena sakit.
• Misi Keenambelas (1879-1883). Arkhimandrit Flavianus (Gorodetsky). Pada 1885, ditahbiskan sebagai Vikaris Uskup di Keuskupan Don; Pada tahun 1892, diangkat menjadi Uskup Agung ketika dibawah Keuskupan Kholmsky dan Warsawa; Pada tahun 1903, diangkat menjadi Metropolitan Kiev terpilih dan Galicia; meninggal pada tahun 1915.
• Misi Ketujuhbelas (1884-1896). Arkhimandrit Amfilohy (Lutovinov).

4. Periode karya misi aktif

• Misi Kedelapanbelas (1896-1931). Arkhimandrit Innosensius (Figurovsky). Pada tahun 1902 - diangkat ke jenjang Uskup dari Pereyaslav, vikaris dari Eparki Vladimir; kemudian diangkat menjadi Metropolitan Beijing dan China; Meninggal di Beijing pada tahun 1931.
• Misi Kesembilanbelas (1931-1933). Uskup Agung Simon (Vinogradov); Pada tahun 1919, ditahbiskan Uskup Shanghai; Meninggal di Beijing pada tahun 1933.
• Misi Keduapuluh (1933-1956). Uskup Victor (Svyatin). Pada tahun 1932 ditahbiskan sebagai Uskup Shanghai; Pada tahun 1938 ia diangkat ke jenjang Uskup Agung dan jenjang Metropolitan di tahun 1961. Meninggal 18 September 1966.
• Santo John Maximovitch, Uskup dari Shanghai 1934-~1946, Uskup Agung ~1946-1949.
• St. Jonah dari Manchuria atau St Jonah (Pokrovsky) secara resmi adalah uskup Hankou, di provinsi Hubei, tetapi sebenarnya melayani dan bekerja di kota Manzhuria, saat ini kota perbatasan dari Manzhouli (1918-1925)
• Uskup Vasily (Shuan) dari Beijing dan Seluruh China, 1956-1962. 
• Uskup Symeon (Du) dari Shanghai, 1950-1965. 


Symeon (Du), Orang China pertama yang menjadi Uskup Orthodox dari Shanghai 1950-1965

Gereja Orthodox China Hari Ini 

Meskipun Republik Rakyat China memperluas pengakuan resmi bagi sebagian masyarakat yang religius (Kristen Protestan, Islam, Taoisme, dan Buddha), Kristen Orthodox dan Roma Katolik tidak di antara mereka (walaupun dengan yang kedua, pemerintah China telah membentuk "Gereja Katolik Patriotik" atau "Asosiasi Katolik Patriotik" yang tidak dalam persekutuan dengan Roma). Alasan resmi menyatakan bahwa untuk penolakan pengakuan pemerintah terhadap Gereja Orthodox adalah ketakutan pemerintah akan kekuatan politik eksternal dari luar negara - dalam hal ini, terutama Rusia - bisa mencapai pengaruh di China. Ini menempatkan Gereja Orthodox dengan status hukum religio illicita (“Agama Tidak Sah“). Ini stautus yang sama dengan penganiayaan Kekaisaran Romawi dari abad 1 s/d awal abad 4, yang sudah dimulai oleh Nero Claudius (15 Desember 37 – 9 Juni 68 AD) pada zaman Rasul Paulus dan Petrus. Pada masa inipun Iman Kristen dianggap Religio Illicita di seluruh Kekaisaran Roma. 


Katedral St. Sophia (Harbin, China), Gereja Orthodox terbesar di Timur-Jauh 

Beberapa jemaat Orthodox, terutama orang-orang tua, terus bertemu di Beijing dan di timur laut China (di Heilongjiang dan di tempat lain), dan di China barat (Xinjiang - Urumqi dan Ghulja), dengan, tampaknya, persetujuan diam-diam dari pemerintah. Ada juga paroki Orthodox di Shanghai, Provinsi Guangdong, Hong Kong, dan Taiwan. Pada tahun 2005 hanya ada lima imam, namun, sejumlah warga negara China sedang belajar di seminari Orthodox di Rusia, dengan maksud untuk kembali ke China untuk melayani sebagai imam. Dua bekas gedung Gereja Orthodox di Shanghai saat ini dalam proses dikembalikan ke Gereja dan tidak ada kegiatan dilakukan dalam.

Gereja yang relatif bebas beroperasi di Hong Kong. Pada tahun 1996 Patriarkat Ekumenis mendirikan metropolitanat di Hong Kong dengan yurisdiksi atas seluruh China serta India, Filipina, Singapura dan Indonesia dan paroki Orthodox Rusia Santo Petrus dan Santo Paulus kembali operasi. Di Taiwan, arkhimandrit Yunus George Mourtos memimpin sebuah gereja misi. Pada bulan Februari 1997 Sinode Kudus Orthodox Rusia menegaskan kembali hubungannya dengan Gereja Orthodox China dan menyatakan bahwa, sambil menunggu pemilihan primat, maka pemeliharaan Orthodox di negara ini tetap tanggung jawab dari Patriarkat Moskow.

Pada bulan Desember 2007, Sinode Kudus dari Gereja Orthodox Rusia memutuskan pada sidang musim dingin untuk membuka bagian yang terkait dengan Otonomi Gereja Orthodox China (the Chinese Orthodox Autonomous Church = COAC), menekankan kebutuhan untuk melanjutkan upaya yang dilakukan oleh Departemen Hubungan Eksternal Gereja atau Departemen untuk Hubungan-hubungan Luar Negeri Gereja [Department for External Church Relations (DECR)] dari Patriarkhat Moskow dalam dialog dengan pihak penguasa China untuk menormalkan situasi Gereja Orthodox di China. Sejak 1989, Department for External Churh Relation dari Patriarkhat Moskow dipimpin oleh Metropolitan dari Smolensk dan Kaliningrad, Metropolitan Kirill yang sejak 27 Januari 2009 sampai saat ini, diangkat sebagai Patriarkh Kirill I, Patriarkh ke-16 dari Patriarkh Moskow dan Seluruh Russia (Святейшего Кирилл I, Патриарха Московского и всея Руси). Pada 2007 ini ada tanda-tanda kebangkitan dari komunitas Orthodox di China terkait dengan Gereja Orthodox Rusia. Sebuah situs web setengah resmi (http://www.orthodox.cn) melaporkan bahwa Liturgi Paskah dirayakan di Beijing, Shenzhen, Guangzhou, Shanghai dan Hong Kong.

Kaum Minoritas Orthodox Nominal: Orthodox Èwēnkè Zú 

Ewenti atau Eventi (Rusia: Эвенки; Evenki; China: 鄂温克 族 Èwēnkè zu; sebelumnya dikenal sebagai Tungus atau Tunguz; Mongolia: Khamnigan Хамниган) adalah orang-orang Tungusic Asia Utara. Di Rusia, Evenki diakui sebagai salah satu penduduk asli di Utara Rusia, dengan populasi 35.527 (sensus 2002). Di China, Evenki merupakan salah satu dari 56 kelompok etnis yang secara resmi diakui oleh Republik Rakyat China, dengan jumlah penduduk 30.505, sesuai sensus tahun 2000. Ada juga sekelompok kecil Evenki Manchu-Tungus yang berasal dari Mongolia, disebut sebagai Khamnigan. Orang Evenki berhubungan dengan orang Altai dari Eurasia

Meskipun banyak di antara mereka telah mengadopsi Lamaisme - yang merupakan bentuk arus utama Buddha Mahayana Tibet - Evenki baik dari Federasi Rusia dan Republik Rakyat China adalah orang-orang Kristen Orthodox nominal. Seiring dengan sepupu Evenki mereka dan beberapa suku lainnya di Siberia atau di China, mereka adalah beberapa orang Asia yang menganut secara nominal Kekristenan Orthodox, yang mereka telah secara sukarela (sebagai lawan dipaksa untuk melakukannya) mengadopsi selama kontak dari ekspansi Rusia ke Siberia. Ada juga sekitar 3.000 Evenki di Propinsi Heilongjiang yang bertetangga. Kristen Orthodox juga dianut dan dijalankan oleh etnis Rusia minoritas di China.

Referensi

1. Alexander Medvedev. Russian Mission in China 1685-1745. http://www.orthodox.cn/localchurch/1685-1745.txt 

2. Avgerinos. Orthodoxy in China. http://www.cs.ust.hk/faculty/dimitris/metro/orth_china.html

3. Anton Wessels (Diterjemahkan oleh Ny. Tati S.L. Tobing – Kartohadiprojo). Arab dan Kristen. Gereja-gereja Kristen di Timur Tengah. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta. Cetakan ke-2: 2002.

4. Arkhim. Rm. Daniel Bambang D.B. Ph.D. Sejarah Gereja I - IV. STT. Salib Kudus. Solo. (Tahun?).

5. CNEWA. A papal agency for humanitarian and pastoral support. The Orthodox Church of China. Last Modified: 29 June 2007: http://www.cnewa.org/ecc-bodypg-us.aspx?eccpageID=32&IndexView=toc.

6. Eric Widmer. The Russian ecclesiastical mission in Peking during the eighteenth century. Harvard Univ Asia Center, 1976. 

7. Episkop Timothy Ware (Penterjemah : Arkhimandrit Daniel Bambang PhD). Mari Mengenal Kekristenan Timur. Sejarah Gereja Orthodox. Satya Widya Graha. 2001.

8. From Wikipedia, the free encyclopedia. Church of the East in China, Chinese Orthodox Church, Russian Orthodox Mission in China

9. Sejarah Gereja Timur Assyria (Nestorian) dan Gereja Roma Katolik Ritus Nestorian (Khaldea). Disunting dan diterjemahkan dari sumber-sumber website oleh: Arkhimandrit Rm. Daniel BD Byantoro
http://orthodox.cn/localchurch/1610romc_en.htm. The Russian Orthodox Mission in China.