Pada Hari Minggu 30 Mei 2010 lalu, Komunitas Maria Bunda Pewarta dan Sie Kerasulan Kitab Suci Paroki St. Yoseph Matraman menyelenggarakan sebuah seminar sehari tentang Peran dan Kedudukan Bunda Maria dari 3 sudut pandang agama-agama semitik yaitu Katolik, Protestan dan Islam. Acara dilaksanakan di Aula Besar Gereja Katedral Jakarta mulai pukul 9.30 pagi dan diakhiri oleh Misa Kudus pukul 15.00 WIB. Acara ini terbilang sukses dari sisi partisipasi karena pada awalnya direncanakan cuma untuk 500 peserta saja namun yang datang pada hari H lebih dari 500 orang.
Acara dibuka oleh moderator yaitu Mas Arswendo Atmowiloto dengan gaya bertuturnya yang khas dan penuh humor sehingga peserta menjadi tertarik untuk mengikuti acara ini. Nara sumber seminar ini adalah Romo Pidyarto Gunawan mewakili Katolik, Pendeta Yerry Tawalujan dan Bapak Bunyamin Sutandhi mewakili Protestan serta KH Jalaluddin Rakhmat mewakili Islam Syiah. Pada saat acara dimulai, KH Jalaludding Rakhmat―Kang Jalal begitu sapaannya, terlambat datang dan baru tiba sekitar 15 menit setelah acara dimulai.
Pembicara pertama adalah Bapak Bunyamin Sutandhi, seorang pria berumur 69 tahun yang merupakan seorang penginjil. Beliau mengatakan bahwa Maria adalah penggenapan nubuat dari Nabi Yesaya. Bahwa semua nubuat dalam Al Kitab telah digenapi oleh Allah kecuali bahwa Yesus datang lagi ke dunia untuk kedua kalinya pada akhir zaman untuk menjadi hakim bagi semua orang.
Kang Jalal menjadi pembicara kedua dalam acara tersebut. Kang Jalal memulai materinya dengan mengatakan bahwa satu-satunya surat dalam Al Quran yang diberi judul dengan nama perempuan adalah Surah Maryam. Surah ini termasuk surah Makkiyah karena turun di Mekkah pada awal-awal tahun kenabian Muhammad SAW. Kang Jalal juga menceritakan sebuah kitab hadits tentang bagaimana keponakan Nabi―Ja’far bin Abi Thalib yang melakukan pelarian ke negri Habsyi (Ethiopia) yang memeluk agama Nasrani untuk meminta suaka politik karena mereka dikejar-kejar dan dimusuhi oleh orang-orang Quraisy di Mekkah.
Bahkan mereka mengutus 2 orang diplomat ulung kaum Quraisy yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah kepada Raja Habsyi yaitu Najasyi untuk meminta Ja’far dikembalikan/ekstradisi ke Mekkah. Mereka memfitnah Ja’far dan rombongannya adalah para penjahat yang melarikan diri karena telah keluar dari agama nenek moyang kaum Quraisy dan tidak juga masuk ke dalam agama Nasrani yang dianut negeri Habsyi.
Namun permintaan ekstradisi itu ditolak manakala Ja’far membacakan Surah Maryam 1-4 yang membuat Raja Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya. Najasyi mengatakan bahwa agama yang dibawa nabinya Ja’far dan agama yang dibawa oleh Isa Al Masih berasal dari satu sumber. Akhirnya Ja’far bin Abi Thalib beserta istri dan rombongan dapat tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi selama sepuluh tahun. Mereka juga diberikan kebebasan melaksakan ibadah mereka tanpa ada gangguan dan paksaan dari orang lain.
Kang Jalal menyambung dengan mengatakan bahwa Maryam disebut 34 kali dalam Al Quran, lebih banyak dari Maria disebutkan dalam Alkitab. Maryam juga termasuk dalam empat penghulu perempuan di seluruh alam yaitu Maryam, Asiyah bint Mazahim, Khadijah serta Fatimah bint Muhammad SAW. Kang Jalal juga mengatakan bahwa Allah telah memilih Maryam di antara perempuan-perempuan lain seperti yang tertulis pada Ali Imran 42.
Dalam sesi tanya jawab Kang Jalal juga menceritakan beberapa paralelisme tradisi Islam Syiah dengan tradisi Katolik seperti pemilihan Kalifah langsung oleh Nabi Muhammad SAW seperti ketika Yesus memilih Petrus sebagai penerusnya secara langsung untuk melanjutkan kepemimpinannya. Kang Jalal juga menceritakan bahwa pada Islam Syiah juga ada tradisi berdoa melalui perantara orang-orang suci dan di Mesir, mereka berdoa di tempat yang sama dengan umat Kristen Orthodox Koptik yang berdoa di depan patung Bunda Maria.
Berikutnya, Pendeta Yerry Tawalujan tampil sebagai pembicara ketiga. Sebelum membahas topik seminar, Pendeta Yerry menekan 4 hal yang diharapkan dapat menjadi pegangan bersama para peserta seminar yaitu:
- Pemahaman tentang Peran dan Kedudukan Bunda Maria dari sudut pandang Katolik, Protestan dan Islam tentu tidak akan serupa, pasti berbeda (dan bahkan bisa bertentangan) dan tidak bisa dipaksakan untuk menjadi serupa.
- Namun pastilah juga ada persamaan-persamaan yang bisa diterima bersama guna membangun komunikasi dan mempererat ikatan kasih dengan menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan pandangan itu.
- Masing-masing pihak telah mempunyai pemahaman sendiri tentang Bunda Maria dan pembahasan dari Pendeta Yerry tidaklah bermaksud menyinggung apalagi mengoreksi pandangan dan kepercayaan umat Katolik terhadap Bunda Maria.
- Seminar ini haruslah didasari kasih yang membangun kebersamaan di tengah perbedaan agar makin terciptanya kerukunan antar umat beragama menuju masyarakat yang harmonis.
Pendeta Yerry mengatakan, membicarakan Bunda Maria menurut sudut pandan Protestan tentunya harus berdasarkan dari sudut pandang Alkitab saja. Sehingga dikatakan bahwa menurut Pendeta Yerry bahwa penekanan ada pada kedaulatan dan kasih karunia Allah dan bukan pada Maria sendiri.
Dikatakan bahwa Allah berdaulat untuk memilih dan memberi kasih karunia kepada siapa saja yang Allah kehendaki, bukan karena orang itu baik atau tidak berdosa. Sehingga dalam hal ini Maria hanyalah berperan sebagai penerima mukjizat dan bukanlah fokus utamanya. Dengan demikian, doktrin Maria Immacute dan Non Posse Peccare yang ditujukan kepada Maria bukanlah doktrin dari Protestan dan tidak ditunjang oleh kebenaran Alkitab.
Dalam teologi Protestan tidak dikenal Maria Bunda Allah namun Maria dikenal dengan istilah-istilah umum seperti Perawan Maria, Anak Dara Maria dan Maria Ibu Yesus. Hal itu disebabkan karena Alkitab tidak memberikan penekanan khusus kepada Maria Ibu Yesus. Maria memanglah Ibu Yesus, namun ketika Ibu Yesus ditingkatkan menjadi Bunda Allah, itu tidak ada dalam teologia Protestan. Peran Maria adalah sebagai Ibu Yesus di bumi, perawan yang rahimnya dipakai sebagai alat Allah untuk mengandung dan melahirkan Yesus.
Pendeta Yerry juga mengatakan bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang mereferensikan bahwa Maria adalah Bunda Gereja, yang membidani atau yang melahirkan gereja. Tidak terlihat bahwa Maria Ibu Yesus digambarkan sebagai pemimpin, baik secara formal atau informal dalam pertemuan jemaat mula-mula.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa banyak hal dalam pandangan Katolik yang tidak dikenal dalam doktrin Protestan. Perbedaan-perbedaan itu adalah wajar dan harus diterima sebagai sebuah kenyataan tanpa perlu dipertentangkan. Namun demikian, pandangan mendasar mengenai Bunda Maria menurut teologi Protestan adalah:
- Perawan Maria, Anak Dara Maria adalah perempuan, perawan yang mengandung dan melahirkan Yesus dari Roh Kudus.
- Maria adalah orang yang dikaruniai, yang beroleh kasih karunia dihadapan Allah dan diberkati di antara semua perempuan.
- Keteladanan Maria dalam hal ketaatannya sebagai hamba Tuhan perlu ditiru oleh semua umat manusia.
Sebagai penutup, Pendeta Yerry menegaskan bahwa umat Protestan sangat menghargai dan menghormati peran Maria, sebagaimana Pengakuan Iman Rasuli yang selalu diucapkan setiap hari Minggu dalam ibadah-ibadah gereja Protestan:
“Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus AnakNya yang tunggal, Tuhan kita. Yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria...”
Pembicara terakhir dalam seminar ini adalah Romo Pidyarto Gunawan, O.Carm yang merupakan guru besar STFR Widya Sasana Malang di bidang Kitab Perjanjian Baru. Romo yang memperoleh gelar doktor di bidang teologi Alkitabiahnya dari Universitas St. Thomas Roma ini membuka pembahasannya tentang Maria ini dengan mengatakan bahwa ajaran Katolik mengenai Bunda Maria tidak mudah dipahami oleh pihak luar, bahkan sering kali menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu dialog tidak perlu mencari kata sepakat, tetapi berusaha memahami posisi pihak lain guna menghindari kesalahpahaman tersebut.
Ketika membicarakan tentang Maria menurut paham Gereja Katolik tentunya didasari oleh 3 hal yang menjadi dasar hukum Gereja Katolik itu sendiri yaitu Alkitab, Tradisi Suci dan dokumen-dokumen resmi, seperti konstitusi dogmatis Lumen Gentium (Konsili Vatikan II); himbauan apostolik Paus Paulus VI Marialis Cultus dan Redemptoris Mater (ensiklik Paus Yonahes Paulus II).
Pertama-tama, Romo Pidrato ingin menekankan bahwa Gereja Katolik memandang Maria sebagai manusia biasa. Maria juga harus diselamatkan. Namun karena pahala Putranya, ia ditebus secara lebih unggul. Maria mendapatkan rahmat penebusan yang diberikan oleh Yesus Kristus jauh sebelum Dia wafat di kayu salib. Gereja Katolik meyakini bahwa Maria sejak awal kehidupannya dibebaskan Allah dari segala bentuk dosa. Keyakinann yang sama dianut oleh Gereja Ortodoks yang memberi gelar panhagia kepada Maria yang artinya Yang Kudus seluruhnya.
Gereja Katolik memberi Maria banyak gelar seperti Pembela, Pembantu, Penolong dan Perantara. Gelar-gelar ini sering menimbulkan salah paham bagi orang-orang Protestan karena dalam arti tegas gelar-gelar tersebut sebenarnya hanya cocok untuk Yesus Kristus.
Gelar Mitra Pengantara atau Pengantara Bersama (Co-Mediatrix) tidak bertentangan dan mengaburkan peranan Yesus sebagai satu-satunya Pengantara Allah dan manusia. Gelar tersebut tidak membuat Maria sejajar dan menjadi saingan Yesus. Peranan Maria adalah sebagai sub-ordinasi dari peranan Yesus Kristus dan Gereja Katolik meyakini bahwa peranan Kristus sebagai satu-satunya Pengantara tidak meniadakan aneka bentuk kerja sama dari pihak manusia. Dalam tradisi Katolik terkenal ucapan “Per Mariam ad Iesum” yang artinya melalui Maria sampai kepada Yesus.
Mengenai gelar Bunda Allah, Romo Pidyarto mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak bermaksud meng-allah-kan Maria. Maria juga bukanlah ibu yang melahirkan Allah, juga bukan istri dari Allah Bapa dan bukan Allah ibu. Maria disebut Bunda Allah sejauh dia telah mengandung dan melahirkan Yesus yang merupakan benar-benar Allah dan benar-benar manusia pula. Penyebutan gelar ini juga berasal dari Lukas 1:43 tentang sebutan Elisabet ketika menerima kunjungan Maria dan berseru: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Istilah Tuhan yang dipakai berasal dari kata Yunani Kyrios, suatu gelar ilahi yang kelak oleh para rasul dikenakan pada Yesus ketika mereka sudah sampai oada iman akan Yesus sebagai Allah. Jadi jauh sebelum Yesus diakui sebagai Allah, Injil Lukas sudah meletakkan gelar itu pada mulut Elisabet.
Gereja Katolik menegaskan bahwa penghormatan kepada Maria secara hakiki berbeda dengan penyembahan yang ditujukan hanya kepada Allah. Hal itu juga dibedakan dari istilah yang dipakai. Gereja Katolik memakai istilah dulia untuk penghormatan kepada orang-orang kudus biasa. Sedangkan untuk penghormatan istimewa kepada Maria, Gereja Katolik memakai istilah hyperdulia. Penyembahan untuk Allah dikenal dengan istilah latria.
Penghormatan kepada Maria yang direstui Gereja Katolik adalah kebaktian yang berada dalam batas-batas ajaran yang sehat dan benar. Selain itu Gereja Katolik menghimbau kepada para teolog dan pewarta sabda dalam memandang martabat Maria yang istimewa itu sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu.
Dalam Gereja Katolik, Maria adalah manusia biasa namun Allah telah memilih dia untuk menjadi manusia yang sangat istimewa karena telah mengandung dan melahirkan Yesus, Anak Allah yang menjelma menjadi manusia (Gal 4:4). Jadi pembicaraan tentang Maria tidak bisa dilepaskan dari hubungan Maria dengan Yesus yang merupakan jalan keselamatan manusia.
Menurut Gereja Katolik, benih-benih kehadiran Maria telah ada dalam kitab Perjanjian Lama. Pada kitab Kejadian 3:15 di mana Tuhan mengatakan bahwa antara ular tua (iblis) dengan wanita itu akan mengadakan permusuhan sampai keturunan-keturunannya. Wanita itu ditafsirkan sebagai Maria dan bukanlah Hawa. Nubuatan tentang Maria juga tertulis di Yesaya 7:14 bahwa seorang perempuan muda akan mengandung dan melahirkan Anak yang disebut Imanuel. Kata partheos yang berarti perawan, dipakai oleh Septuaginta yang memperjelas bahwa wanita itu adalah Maria. Gereja Katolik juga menganggap bahwa Maria adalah seorang dari kaum anawim, yaitu kaum miskin dan saleh yang sangat merindukan keselamatan bagi bangsa Israel.
Apa yang sudah dipersiapkan dalam Perjanjian Lama akhirnya mencapai kepenuhannya pada zaman Perjanjian Baru. “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4:4). Maka Allah mengutus malaikat Gabriel kepada perawan Maria. Gabriel menyapa Maria, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk 1:28). Gabriel tidak memanggil dia dengan nama pribadinya, Maria, tetapi dengan gelar “yang dikaruniai”. Memang Maria adalah seorang yang “beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk 1:28) dan yang diberkati di antara semua perempuan (Luk 1:42). Sejak dahulu gelar “yang dikaruniai” (Yunaninya: kecharitomene) merupakan gelar luar biasa yang tidak pernah diberikan kepada manusia lain. Kecharitomene adalah suatu bentuk kata kerja Yunani charitóô, yang secara harafiah berarti: membuat seseorang menjadi karunia. Jadi, kecharitomene dapat diterjemahkan dengan “(Maria, engkau) yang telah diubah menjadi karunia”. Itu berarti, Maria itu sungguh-sungguh dilimpahi dengan karunia Allah sehingga menjadi indah dan berkenan di hati Allah dan penuh dengan karunia-Nya.
Dengan demikian, kita bisa mengerti mengapa Vulgata (versi Alkitab dalam bahasa latin) menerjemahkan kecharitomene dengan “gratia plena” (=penuh karunia). Dalam Ef 1:6-7 ini kita bisa menemukan dasar untuk tafsiran Gereja Katolik bahwa Maria itu dikaruniai Tuhan dalam arti ia telah disucikan dari segala bentuk dosa. Bedanya: kalau jemaat kristen dulu pernah berdosa lalu disucikan oleh Tuhan, maka Maria disucikan sejak awal kehidupannya.
Dalam kaitan dengan fungsi Maria sebagai Bunda Yesus atau Bunda Allah ini, Gereja Katolik yakin bahwa Maria telah dipersiapkan secara khusus. Untuk menyediakan tempat kediaman yang pantas bagi Anak Allah yang menjadi manusia melalui tubuh dan jiwa Maria, maka Maria sudah dibebaskan dari segala bentuk dosa sejak saat pertama kehidupannya. Berhubung ia bebas dari dosa warisan atau pun dosa pribadi, Maria dimampukan untuk bekerja sama secara sempurna dengan rencana Allah. Tanpa kehilangan kebebasan manusiawinya, dia menaati kehendak Bapa.
Gereja Katolik menerima tafsiran kuno bahwa perempuan dalam Why 12 adalah gambaran dari Maria, ibu Yesus, yang memang pada hakikatnya bermusuhan dengan Iblis. Mengikuti tradisi yang sudah sangat kuno, Gereja Katolik juga percaya bahwa Maria tetap perawan, baik sebelum hamil, selama hamil dan sesudah melahirkan. Keperawanan Maria ini tidak dilihat pertama-tama sebagai keperawanan fisik (dalam arti selaput daranya tetap utuh), melainkan lebih dalam arti rohani, yakni keperawanan sebagai tanda bahwa seluruh kepribadian Maria, jiwa dan raganya, adalah milik Allah dan secara total terarah kepada Allah.
Tentunya Maria tidak berbeda dengan banyak ibu Yahudi lainnya yang secara luar biasa mendidik anaknya menjadi orang saleh. Misalnya, ia mengajak Yesus ke Yerusalem untuk beribadat (Luk 2:42). Dapat diandaikan, Maria selalu berada di samping Yesus selama di Nazaret hingga Yesus memulai karya-Nya pada usia sekitar 30 tahun.
Berbeda dengan ibu para tokoh Alkitab lainnya, Maria adalah seorang ibu yang dikaitkan secara amat erat dengan kehidupan serta misi anaknya. Memang, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Maria berada dekat dengan Yesus selama pelayanan-Nya di dunia sedikit saja. Akan tetapi jumlah ayat bukanlah segala-galanya. Lebih penting dari jumlah ayat adalah posisi yang diduduki ayat tentang Maria dalam suatu kitab. Dalam Injil Yohanes, “ibu Yesus” hanya muncul dua kali (Yoh 2:1-11dan 19:25-27). Akan tetapi, dia muncul pada awal dan akhir dari pelayanan Yesus di dunia. Dalam Alkitab, penyebutan dua ujung sering berarti keseluruhan yang ada di antara kedua ujung tersebut. Misalnya, kalau dikatakan dalam Kej 1:1, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” maka yang dimaksud adalah penciptaan langit dan bumi beserta segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Dengan demikian, Injil Yohanes rupanya bermaksud menyatakan bahwa Maria hadir pada seluruh pelayanan Yesus di dunia ini. Secara fisik Maria tidak mengikuti perjalanan Yesus, tetapi tentunya secara rohani dia mengikuti sepak terjang anaknya itu. Suatu saat, Maria harus menyaksikan sendiri bagaimana Yesus bergantung di kayu salib (Yoh 19:26-27). Pada saat yang amat penting bagi keselamatan umat manusia itu, Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada murid yang dikasih-Nya sambil berkata, “Inilah, ibumu!” Gereja Katolik yakin, murid yang dikasihi Yesus itu mewakili semua murid yang dikasihi Yesus (Yoh 19:26-27). Tidak mungkin Yesus, pada saat yang begitu penting, hanya bermaksud menitipkan ibu-Nya secara fisik pada seorang murid-Nya. Tentunya tindakan-Nya itu memiliki makna lebih dalam: Maria dijadikan ibu rohani bagi umat-Nya. Maka, Gereja Katolik memberi Maria gelar Bunda Gereja.
Setelah Yesus naik ke surga, Maria tidak putus hubungan dengan kelompok murid Yesus. Maria kedapatan tekun berdoa bersama dengan para murid Yesus untuk menantikan kedatangan Roh Kudus.
Sampai sejauh ini, kita sudah melihat peranan Maria dalam sejarah keselamatan, mulai dari kerelaannya untuk menjadi Bunda Penebus hingga turunnya Roh Kudus yang dijanjikan Yesus kepada Gereja. Ia dikaitkan secara amat erat dengan karya penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus. Oleh karena itu, Gereja Katolik percaya bahwa setelah mengalami kematian sejenak, Maria pun segera dibangkitkan dari kematian lalu dipersatukan secara erat dengan Yesus Kristus yang sudah mulia dengan badan dan jiwa-Nya di surga. Dengan demikian Maria semakin menyerupai Yesus Kristus (Lumen Gentium 59; Katekismus Gereja Katolik 965). Namun, apa yang kini sudah dialami oleh Maria kelak akan dialami juga oleh orang beriman lainnya. Maria hanya mendahului apa yang masih akan dialami orang lain. Keadaan Maria yang sekarang sudah mulia di surga menjadi cermin dari tujuan akhir hidup orang beriman. Dalam Ibadat untuk menghormati pengangkatan Maria ke surga, dibacakan Why 11:19; 12:1-6.10 yang melukiskan penampakan seorang perempuan mulia di langit. Perikop ini tidak hanya menerangkan kesucian Maria (sebagai musuh Iblis) tetapi juga sebagai suatu perikop yang melukiskan keadaan Maria yang sudah mulia di surga.
Yesus Kristus tidak bisa dilepaskan dari Gereja yang didirikan-Nya. Maka dari itu, Konsili Vatikan II membahas Maria tidak hanya dalam kaitannya dengan Yesus tetapi juga dalam kaitannya dengan Gereja-Nya. Maria dipandang sebagai anggota Gereja Yesus tetapi anggota Gereja yang paling sempurna. Dalam dirinya sudah terpenuhi panggilan Gereja Yesus untuk menjadi “jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27). Oleh karena itu, Maria adalah teladan bagi semua anggota Gereja Yesus. Maria adalah teladan dalam banyak hal, tetapi terutama hal iman dan cinta kasih (Lumen Gentium 53; 65).
Mengingat besarnya partisipasi Maria dalam karya penebusan Yesus, maka Gereja Katolik dalam ibadat resminya kerap sekali mengenang Maria dengan rasa hormat dan kasih keputeraan. Di luar ibadat resmi pun, yakni dalam doa-doa umat Katolik, Maria dikenang, dipuji, dan dihormati. Dengan demikian genaplah nubuatan yang diucapkan Maria sendiri, “Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk 1:48).
Akhirnya Romo Pidyarto mengatakan bahwa patut dicatat bahwa Gereja Katolik yakin bahwa Maria mempunyai sifat sosial yang besar. Ia mengunjungi Elisabet, saudarinya, yang sedang hamil tua (Luk 1:39). Ia menolong pengantin di Kana yang mengalami kesukaran karena dalam pesta pernikahannya, persediaan anggurnya habis (Yoh 2:1-11). Dalam kedua peristiwa tadi Maria sendiri yang mengambil inisiatif untuk menolong sesamanya. Menarik untuk dicatat bahwa dalam kisah perjamuan nikah di Kana (Yoh 2), Maria terbukti menjadi pengantara atau pendoa yang luar biasa. Meski Yesus pada awalnya memberi kesan menolak permohonan ibu-Nya, nyatanya, berkat permohonan Maria pada akhirnya Yesus membuat juga mukjizat untuk menolong pengantin itu. Bila selama hidup di dunia ini Maria sudah rajin menolong atau mendoakan sesamanya, tentunya kini, di surga, ia lebih rajin mendoakan anak-anaknya, entah diminta entah tidak, yang masih mengembara di dunia (bdk. Lumen Gentium 62). Kalau semasa hidup di dunia, doanya sudah mempunyai kuasa, apalagi kini ketika ia sudah mulia di surga. Seperti kebanyakan ibu lainnya, tentunya Maria mendoakan anak-anaknya, juga kalau anaknya itu tidak meminta kepadanya. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau anak-anaknya rajin meminta pertolongan doanya.
Setelah Romo Pidyarto mengakhiri bahasannya, seminar rehat untuk makan siang. Tepat pukul 13.00 WIB, seminar dimulai kembali dengan sesi tanya jawab. Tampaknya pada saat sesi tanya jawab tersebut, Kang Jalal menjadi bintang karena mendapat pertanyaan paling banyak yang melebar ke arah hubungan dan relasi antar umat beragama di Indonesia. Namun dengan sabar dan santai, Kang Jalal dapat menjawab semua pertanyaan dengan diselingi oleh sedikit canda di sana-sini.
Akhirnya karena keterbatasan waktu, Mas Wendo menutup acara seminar tersebut walau masih banyak peserta yang ingin mengajukan pertanyan. Beliau mengatakan bahwa seminar tersebut tentu masih banyak kekurangan dan tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun kiranya melalui seminar semacam ini dapat dimulai dialog antar umat beragama secara lebih dewasa dan bisa menghormati perbedaan yang ada tanpa harus mempermasalahkannya.
Menurut saya pribadi, seminar tersebut akan tampak lebih seru lagi jika ditambah satu pembicara dari sudut pandang Kristen Ortodoks. Karena secara dogmatis ada yang berbeda dengan pandangan Katolik, namun sama-sama melakukan penghormatan lebih kepada Bunda Maria.
No comments:
Post a Comment