KETERANGAN : Gambar Diatas adalah Foto Kegiatan Natal Ortodoks Syria Surabaya
Jamaah Kristen Ortodoks Syria di Indonesia menyelenggarakan Natal 7 Januari, sesuai dengan keyakinan mereka tentang kelahiran Yesus Kristus, Injil dan doanya dibaca dalam bahasa Arab.
Peringatan Natal malam itu berlangsung khidmat. Pemimpin spiritualitas dalam acara keagamaan itu, Bambang Noorsena, membaca doa dalam bahasa Arab yang fasih. Selain memohon kedamaian buat bangsa Indonesia yang tengah dilanda konflik berbau agama, pembaca doa yang malam itu mengucapkan : Allahummaghfir lanaa dzunuubanaa . . . .
Para jamaah yang hadir tak kalah khusyu'. Sambil mengangkat kedua telapak tangan menengadah ke wajah setiap kali doa diucapkan mereka serempak menyebut "Amin". Bahkan layaknya umat Islam mengusap wajah ketika doa usai dibacakan.
Jauh sebelum doa penutup itu dibacakan, peringatan Natal yang digelar umat Kristen Ortodoks Syria di Jakarta itu juga menampilkan prosesi yang tak kalah unik. Menjelang pukul 19.00, Kamis (27/1) lalu, para jamaah sudah memenuhi Ballroom Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Tak lama, para hadirin yang duduk rapi segera berdiri ketika Arak-arakan Injil begitu mereka menamakan prosesi masuk dengan pimpinan seorang wanita berjilbab putih. Berjalan beriringan menuju panggung, peserta arak-arakan menyanyikan Trisagion atau puji-pujian kepada Allah dan Yesus dalam bahasa Arab yang juga fasih.
Setelah para hadirin duduk kembali, diatas panggung dengan backdrop sebuah tulisan Arab, pemimpin arak-arakan itu mengangkat Injil. Lagi-lagi dalam bahasa Arab yang fasih, dia membacakan Surat Ibrani 1:5, yang berisi tentang kelahiran Isa Almasih. Acara selanjutnya adalah sebuah prosesi yang unik dan khidmat yang didalamnya nuansa Timur Tengah demikian dominan. Seluruh peserta arak-arakan menlantunkan nasidul milad atau puji-pujian untuk Isa Almasih dalam bahasa Arab, mirip sekelompok jamaah pengajian Islam membacakan shalawat badar dalam peringatan Maulid Nabi SAW.
Tapi, dari seluruh rangkaian prosesi itu, tilawatil Injil al-Muqaddas atau pembacaan ayat-ayat Injil berbahasa Arab adalah bagian yang menarik. Penguasaan tajwid pembacanya, wanita berjilbab putih tadi, sangat prima. Sampai-sampai Ketua Yayasan Wakaf Paramadina Dr. Komaruddin Hidayat, dalam sambutan kehormatannya pada acara itu berkomentar : "Kalau Mbak yang tadi membaca Injil disuruh membaca Al-Qur'an, jangan-jangan penguasaan tajwidnya lebih baik ketimbang saya".
Ayat yang dibaca dicuplik dari Injil Yahya/Yuhanna 1 ayat 1-3, serta ayat 14 dan 18. Ayat-ayat itu antara lain menjelaskan bagaimana firman Allah menjelma menjadi sosok yang kasat mata, yang oleh kalangan Kristen diyakini sebagai Yesus Kristus. Uniknya, jika kalangan Muslim membaca shadaqallaahu al-'Adhiim (Maha benar Allah yang Agung) seusai membaca Al-Qur'an, maka pembaca Injil itu mengakhiri qiraatnya dengan membaca al-majdu lillaahi daaiman (Segala kemuliaan senantiasa bagi Allah).
Menurut Bambang, dia dan jamaah merayakan Natal setiap 7 Januari, sesuai dengan keyakinan mereka tentang kelahiran Yesus. Perbedaan tanggal ini, kata dia, terjadi karena antara Gereja Barat dan Gereja Timur terjadi perbedaan pendapat soal kalender semata. Sementara suasana Timur Tengah sengaja dia tampilkan secara kental karena lulusan Fakultas Hukum Kristen Malang (1992) ini yakin bahwa tradisi Kristen memang lebih dekat ke Timur Tengah ketimbang ke Barat.
Kristen dan Islam berakar dari induk yang sama, yakni millat Ibrahim. Ini harus lebih meyakinkan kita, sekaligus kritik buat Kristen di Barat sana bahwa Timur Tengah lebih dekat untuk budaya Kristen ketimbang Barat, kata Bambang dalam orasi ilmiahnya. "Kalau di antara dua agama itu seolah ada kesenjangan, kita memang harus melakukan pertobatan budaya".
Pernah mendalami Kristen dua tahun di Timur Tengah. Bambang mengatakan kerukunan umat kedua agama sangat fantastis di sana. Kanisah (gereja) berdampingan dengan masjid di negara-negara Timur Tengah adalah hal biasa. "Makanya, kalau penganut kedua agama ini gampang diadu domba di Indonesia, saya yakin pemahaman kita tentang agama masing-masing harus lebih ditingkatkan lagi" tegasnya. Komaruddin membenarkan pendapat itu. Semakin jauh umat Islam dengan masa keemasan Rasulullah, katanya, semakin jauh pula pemahaman mereka tentang Islam yang (seharusnya) toleran dan akomodatif. Dia mengalogikannya dengan Jakarta, kota megapolitan tempat pertemuan segala ideologi, agama, dan wacana ilmiah. Di kota ini, Bambang bisa dengan leluasa menyelenggarakan malam Natal dengan mengundang kalangan Islam, sebagaimana para akademis Muslim di kampus-kampus biasa memanggil seorang Romo untuk berdiskusi tentang agama.
"Tapi di Maluku, yang jauh dari Ibukota, mustahil kita bisa menyelenggarakan acara serupa ini". jelas dosen Pascasarjana IAIN Jakarta itu. "Lagi pula di Maluku banyak rempah-rempah. Sejak zaman penjajahan orang berebut datang ke sana, dan seringkali berperang karena rempah-rempah".
Helmi Hidayat (Sumber Tekad No. 14.7-13 Februari 2000).
No comments:
Post a Comment