Minggu lalu, seorang teman Kristen Baptis datang berkunjung dan bersama saya pergi ke Misa. Bacaan pertama diambil dari Kitab Kedua Makabe. Belum pernah ia mendengar kitab itu sebelumnya. Saya mengatakan, “Kitab itu ada dalam Kitab Suci.” Jawabnya, “Tetapi, tidak ada dalam Alkitab-ku.” Apakah memang ada perbedaan?
~ seorang pembaca di Gordonsville
Ya, memang ada perbedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan. Sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, orang pertama-tama harus ingat bahwa Allah yang Mahakuasa tidak pernah menyerahkan suatu Kitab Suci yang lengkap kepada siapa pun dan mengatakan, “Ini, ambillah.” Melainkan, selama berabad-abad sejarah keselamatan, Roh Kudus mengilhami penulis-penulis Kitab Suci agar menuliskan wahyu-wahyu Tuhan kepada manusia. Dengan berlalunya waktu, Gereja menyusun kitab-kitab ini menjadi suatu Kanon - suatu daftar resmi Kitab Suci - dan memaklumkannya sebagai “Sabda Allah”.
Kitab-kitab Perjanjian Lama ditulis kemungkinan antara tahun 1000-100 SM, dan biasanya diklasifikasikan menjadi empat kelompok: Kitab Pentateukh (atau Taurat, yaitu kelima kitab pertama dari Perjanjian Lama kita); Kitab Sejarah; Kitab Para Nabi; Kitab Puitis dan Hikmat (lihat “Mengenal Kitab Suci Katolik”). Kitab Makabe I dan II termasuk dalam kelompok Kitab Sejarah, ditulis antara tahun 150-100 SM. Bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri, kita temukan referensi-referensi bacaan dari Kitab Pentateukh dan Kitab Para Nabi dalam kebaktian di rumah-rumah ibadat (mis Luk 4:16-19; Kis 13:15). Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para rabi Yahudi mengadakan Konsili Jamnia (90-100) di mana mereka menetapkan kitab-kitab mana saja yang mereka anggap sebagai Kitab Suci mereka. Pada masa itu, masih terdapat kontroversi atas apa yang disebut sebagai ketujuh “Kitab Deuterokanonika” - yaitu Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II - meskipun kitab-kitab tersebut dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian, dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM). Sebagian dari alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab tersebut merupakan tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam bahasa Yunani, bukan bahasa Ibrani; sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya - “Kitab-kitab Protokanonik” - lebih tua umurnya dan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Para ahli modern mencermati bahwa Jamnia tidak mengeluarkan satu kitab pun secara definitif; kanon Yahudi yang baku baru muncul sekurang-kurangnya 100 tahun kemudian, dan bahkan setelah itu, kitab-kitab yang lain - termasuk kitab-kitab Deuterokanonika - dibaca dan dihormati. Walau demikian, banyak ahli Kitab Suci tak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Gereja Apostolik menerima kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab Sucinya. Misalnya, Origen (wafat 245) menegaskan penggunaan kitab-kitab tersebut di kalangan umat beriman Kristiani meskipun sebagian dari para pemimpin Yahudi tidak secara resmi menerimanya.
Sementara itu, kitab-kitab Perjanjian Baru muncul antara masa wafat Kristus dan akhir abad pertama. (Penelitian terbaru atas Gulungan Kitab Laut Mati (Dead Sea Scrolls) oleh beberapa ahli memperkirakan tulisan-tulisan paling awal dibuat sekitar masa wafat Kristus, sementara sebagian besar ahli lainnya memperkirakan tulisan berasal dari antara tahun 50 dan 100 M). Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, Gereja berusaha menetapkan tulisan-tulisan mana saja dari Perjanjian Baru yang sungguh dianggap sebagai diilhami Roh Kudus dan merupakan ajaran otentik Tuhan kita.
St Atanasius dalam tulisannya Paschal Epistle (367) mengajukan daftar lengkap ke-27 Kitab Perjanjian Baru dengan mengatakan, “Inilah sumber-sumber keselamatan, sebab mereka yang haus dapat mereguk dalam-dalam sabda yang ditemukan di sini. Di sini sajalah ajaran-ajaran kesalehan dicatat. Janganlah seorang pun menambahkan atau mengurangkan sesuatu pun darinya.” Daftar ke-27 kitab bersama ke-46 kitab Perjanjian Lama (termasuk kitab-kitab Deuterokanonika) disahkan sebagai Kanon resmi Kitab Suci bagi Gereja Katolik oleh Sinode Hippo (393), Karthago I & II (397 dan 419). Surat amanat Paus St Inosensius I pada tahun 405 juga secara resmi mencantumkan daftar kitab-kitab ini.
Meski muncul beberapa diskusi mengenai dimasukkannya kitab-kitab lain ke dalam kanon Kitab Suci Gereja setelah masa ini, Konsili Florence (1442) secara definitif menetapkan daftar resmi 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.
Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat melanjutkan dengan mengapa Kitab Suci Protestan memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik. Pada tahun 1534, Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman. Ia mengelompokkan ketujuh kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II) dari Perjanjian Lama sebagai “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah kitab-kitab yang tidak sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.” Luther juga mengkategorikan kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai: kitab-kitab tentang karya keselamatan Allah (Yohanes, Roma, Galatia, Efesus, Petrus I dan Yohanes I); kitab-kitab kanonik lainnya (Matius, Markus, Lukas, Kisah Para Rasul, epistula-epistula Paulus yang lainnya, Petrus II dan Yohanes II); dan kitab-kitab non-kanonik (Ibrani, Yakobus, Yudas, Wahyu dan kitab-kitab Perjanjian Lama). Banyak sejarahwan Gereja berspekulasi bahwa Luther sebenarnya siap untuk mengeluarkan apa yang ia sebut sebagai “kitab-kitab non-kanonik” dari Perjanjian Baru, tetapi tidak melakukannya karena pertimbangan politis. Mengapa Luther mengambil tindakan yang demikian, sulit dikatakan. Sebagian ahli percaya Luther ingin kembali ke “iman primitif” dan sebab itu menerima hanya kitab-kitab Perjanjian Lama yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani; sebagian ahli lainnya berspekulasi bahwa ia hendak menyingkirkan semua kitab yang tidak sesuai dengan teologinya sendiri. Namun demikian, tindakannya ini mendatangkan konsekuensi permanen dengan menghilangkan ketujuh kitab Deuterokanonika Perjanjian Lama dari Kitab Suci Protestan.
39 Pasal Agama (1563) Gereja Inggris memaklumkan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika ini dapat dibaca sebagai “teladan hidup dan pedoman perilaku,” walau kitab-kitab tersebut tidak boleh dipergunakan “untuk menetapkan suatu ajaran” (Pasal VI). Sebab itu, Kitab Suci versi King James (1611) menempatkan kitab-kitab tersebut di antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. John Lightfoot (1643) mengkritik penataan ini sebab ia berpendapat “sampah Apocrypha” dapat dianggap sebagai jembatan di antara kedua perjanjian. The Westminster Confession (1647) mendekritkan bahwa kitab-kitab tersebut, “bukan merupakan ilham ilahi, dan bukan bagian dari kanon Kitab Suci, dan karena itu tidak memiliki otoritas dalam Gereja Tuhan; dengan cara apapun tak dapat disetujui atau dipergunakan selain sebagai tulisan-tulisan manusia.” The British and Foreign Bible Society pada tahun 1827 memutuskan untuk menyingkirkan kitab-kitab ini dari cetakan selanjutnya, menyebut kitab-kitab ini sebagai “apocryphal.”
Dalam menanggapi kaum Reformasi Protestan, Konsili Trente mengulang kembali kanon Florence dalam Dekrit mengenai Kitab Suci dan Tradisi yang Wajib Diterima (1546) dan mendekritkan bahwa kitab-kitab ini hendaknya diperlakukan “dengan devosi dan penghormatan yang sejajar.” Katekismus Gereja Katolik mengulangi daftar kitab yang sama dan lagi menegaskan Tradisi Apostolik mengenai kanon Kitab Suci.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Missing Books of the Bible” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
No comments:
Post a Comment