February 10, 2011

Sejarah Gereja di Indonesia

Gereja Katolik Indonesia Bukan "Alien"


Sumber: http://ekaristi.org/dokumen/sejarah.php?subaction=showfull&id=1146936099&archive=&start_from=&ucat=8&



Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia
Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap
Penerjemah: R Hardawiryana, SJ
Penerbit: Kanisius, 2005
Tebal Buku: 540 halaman
Ukuran: 16 x 23 cm



Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia, Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit nomor satu di dunia.


Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas. Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa (hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja Katolik semesta.


Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus "kerasan" di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448). Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun 1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana menulis "pentalogi", sebuah refleksi teologis bagi pengembangan reksa pastoral umat Katolik Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku bertopik "Cara Baru Menggereja di Indonesia" (2001). Arti reksa pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga pelayanan.


Bukan "Alien"


Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku-buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia (1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999), buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber, dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah.


Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia Belanda tahun 1934.


Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi. Penegasan "Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia" yang kemudian memunculkan slogan "pro eccelesia et patria" (untuk Gereja dan Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit.
Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai Indonesianisasi.


Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda, termasuk buku Boelaars, ketiganya berangkat dari awal kehadiran Gereja yang dibawa oleh pedagang Portugis. Diuraikan bagaimana VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda kurang memberi angin bagi perkembangan Gereja, dan bagaimana keterlibatan awam (bukan rohaniwan/wati) sejak umat Katolik pertama dibaptis tahun 1534 sampai sekarang terlibat dalam perputaran roda kehidupan Gereja. Mereka pun tidak menjadi corpus alienum atau "benda asing" (istilah J Boelaars, hal 449) dalam perjalanan jatuh-bangun pembangunan negara bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.


Kronologi, urutan waktu, menjadi pilihan mendekati persoalan. Pengarang berangkat dari awal mula kedatangan agama Katolik ke Indonesia. Patokan tidak diambil catatan Syekh Abu Salih al-Armini bahwa di Sumatera Utara (Barus) pada abad VII sudah ada Katolik Nestorian (hal 60), tetapi ketika pedagang Portugis memburu rempah-rempah di Maluku tahun 1512. Pada tahun 1534 ada orang Indonesia yang dibaptis Katolik, dan tahun itu pula dijadikan tonggak kehadiran Katolisisme di Indonesia (hal 64).


Kisah awal yang juga sudah ditulis dalam berbagai buku dilanjutkan dengan pentahbisan uskup pertama asli Indonesia, Mgr A Soegijapranata SJ tahun 1940 di Semarang dengan umat sekitar 41.000, sekitar 15.000 di antaranya orang Eropa (hal 112). Lima puluh tahun kemudian, tahun 1990, di seluruh Indonesia terdapat 4,6 juta umat Katolik-pada tahun 1940 termasuk Flores hanya ada sekitar 500.000 umat-yang berarti selama 50 tahun ada kelipatan sepuluh kali dengan 1.905 pastor (hal 191). Di zaman kolonial Jepang, meskipun ada 74 pastor, 47 bruder, 161 suster meninggal di tahanan, tetapi Gereja tetap lestari (hal 119). Sejarah awal kehadiran dan perkembangan Gereja hingga tahun 1050-an bisa juga dibaca dalam buku karya Dr Anhar Gonggong yang terbit tahun 1993 dan buku karya Dr G Budi Subanar SJ yang terbit 2003. Keduanya berkisah tentang sosok Mgr A Soegijapranata.


Menuju Gereja Indonesia


Pengarang memasukkan tahun 1940-1961 sebagai Dari Misi menuju Gereja yang Mandiri (hal 104-139). Pada periode itu setiap Gereja setempat (keuskupan) belum dipersatukan sebagai satu Gereja Indonesia, tetapi masih sebagai Gereja di Indonesia, karena itu berhubungan langsung dengan Takhta Suci di Roma. Dengan dihentikannya status Misi dan didirikannya hierarki Indonesia, berarti kawasan Indonesia ditetapkan sebagai mandiri oleh Roma (hal 139). Ada tantangan besar sebab dari 25 keuskupan, 22 di antaranya dipimpin oleh uskup bukan asli Indonesia, dan dua wilayah masih bersatus prefektur (langsung bertanggung jawab ke Roma), yakni Weetebula dan Sibolga (yang terakhir berstatus keuskupan tahun 1959).


Indonesianisasi dengan konstelasi politik pasca-1965 disemangati, didorong, bahkan "dipaksa" oleh Konsili Vatikan II (1962-65) lewat dokumen-dokumennya yang inklusif. Sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1966 pun merumuskan bagaimana umat Katolik perlu terlibat dalam program pembangunan nasional. Pernyataan Mgr Soegijapranata yang nyaris menjadi klasik, "100% Indonesia 100% Katolik", ditegaskan kembali oleh Ketua MAWI waktu itu, Justinus Kardinal Darmojuwono.


Indonesianisasi tidak hanya menyangkut perkembangan ordo dan kongregasi yang berkarya, tetapi pertumbuhan jumlah umat sebagai bagian dari negara-bangsa Indonesia. Boelaars memang tidak terlalu menekankan uraian peranan umat dalam politik. Persoalan itu diuraikan panjang dan lengkap dalam buku Muskens, Jan Bank, dan Hasto Rosariyanto. Boelaars terutama memberi penekanan pada cara menggereja dalam arti pewartaan Kabar Gembira (Injil). Pemribumian menjadi kosakata populer, sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II. Di antaranya tentang pertumbuhan terbesar jumlah umat Katolik terjadi pada periode tahun 1950-1960 sebesar 7,9 persen, sementara terkecil tahun 1980-1990 sebesar 3,6 persen (hal 192), dengan jumlah antara tahun 1971-1980 ada pertambahan 1,6 juta, sementara Islam 25 juta dan Kristen Protestan 2,5 juta.


Kenyataan sekitar 68 persen dari seluruh umat tinggal di daerah pedesaan dan hidup dari bertani (hal 217), menurut Boelaars, menjadi bahan pertimbangan pokok dalam pelayanan. Keputusan Departemen Agama tahun 1978, Nomor 70 dan Nomor 77, dicatat sebagai salah satu fase serius Indonesianisasi. Katolik dan Protestan terhadap keputusan itu menentang dengan alasan melanggar kebebasan beragama (hal 177). Keputusan No 70 berisi peraturan tentang "penyiaran agama kepada rakyat yang beragama lain". Keputusan No 77 tentang bahwa semua bantuan luar negeri kepada golongan agama, baik finansial maupun ketenagaan, hanya dapat disalurkan melalui Departemen Agama. Dua keputusan itu berdampak cukup serius, di antaranya menyangkut kebutuhan tenaga pastor. Meskipun sampai sekarang belum pernah ada pencabutan, ada saja pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan politik.


Menantang


Pengarang mencatat pernah terjadi perbedaan pendapat antara Gereja Indonesia dan Pemerintah Indonesia (hal 327), yang memberi kesan seolah-olah kepemimpinan Gereja dapat beralih ke penanganan negara. Masalah muncul ketika pada bulan Mei 1984 pemerintah menyampaikan lima rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR, satu di antaranya RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan. Setelah melewati perdebatan panjang, menyangkut soal Gereja Indonesia sebagai bagian dari Gereja Semesta, akhirnya MAWI/KWI pada awal Januari 1987 menerima Pancasila sebagai asas. KWI membutuhkan waktu panjang menafsirkan UU Nomor 8 Tahun 1985 itu karena merasa dirinya bukan organisasi masyarakat, tetapi organisasi keagamaan (hal 332).


Inkulturasi seperti disemangati Indonesianisasi, menurut Boelaars, secara umum tidak menimbulkan gejolak. Awalnya memang karena adat berakar dalam pandangan hidup yang melandasinya, perjumpaan Injil (Kabar Gembira) dengan adat, merupakan perjumpaan dua visi religius yang berlainan. Tetapi, setelah keduanya melakukan penyesuaian, perbedaan bisa diatasi, di antaranya terlihat dalam integrasi adat dalam perayaan religius yang mengalami perombakan total. Refleksi teologis yang konsekuen dan serius dilakukan, khususnya menghadapi peraturan-peraturan pemerintah, seperti disebut dua keputusan Departemen Agama dan UU No 8/1985. Refleksi teologis yang kontekstual terus diperkaya lewat pengembangan teologi sosial, di mana titik tolak dasarnya adalah kebutuhan setempat-dalam teologi kemudian, tetapi belum ditelaah Boelaars dalam buku ini-sebagai teologi pembebasan, yakni teologi yang berbasis pada kebutuhan setempat dan aksi nyata perubahan.


Buku ini menantang. Tidak saja untuk dilanjutkan sebagai diskusi besar tentang makna "katolisitas" Indonesia, tetapi setidaknya Dr Boelaars telah mencatat lewat uraian deskriptif-historisnya perjalanan jatuh-bangun Gereja, dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Gereja bersama jatuh-bangun negara-bangsa Indonesia. Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus alienum, bukan sebuah ghetto, tetapi satu kesatuan simbiose-mutualitis dengan bangsa Indonesia. Buku ini pun menyisakan pekerjaan rumah yang sudah pasti tak kalah menarik, misalnya bagaimana proses Indonesianisasi pascakebangkitan agama-agama, bahkan juga terorisme yang sebenarnya berawal dari persoalan ekonomi-sosial, tetapi telanjur melekat pada satu sisi hidup keberagamaan. (ST SULARTO)


Akhir Perjalanan Sejarah Barus



BARUS, sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai barat Sumatera Utara. Tetapi, sejarah daerah ini sebenarnya sangat tua, setua ketika kapal-kapal asing beribu tahun sebelum Masehi singgah mencari kapur barus di sana. Dari Barus pula, agama Islam dan Kristen pertama-tama dikenalkan ke seluruh Nusantara.


BARUS atau biasa disebut Fansur barangkali satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa.
Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2.


Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.


Berdasakan buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.


Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.


Penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dan kawan-kawannya dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus, membuktikan pada abad IX-XII perkampungan multietnis dari suku Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya juga telah ada di sana. Perkampungan tersebut dikabarkan sangat makmur mengingat banyaknya barang-barang berkualitas tinggi yang ditemukan.


Pada tahun 1872, pejabat Belanda, GJJ Deutz, menemukan batu bersurat tulisan Tamil. Tahun 1931 Prof Dr K A Nilakanta Sastri dari Universitas Madras, India, menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya.


Namun, Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.


"Berdasarkan data tidak adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12. Namun, para ahli sejarah sampai saat ini belum bisa mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini," papar Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan.


Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua.


Sampai misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak sebenarnya masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur.


"Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires.


Tahun 1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pada tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapatkan hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa China, India, Persia, dan Mesir.


Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda juga mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus sehingga banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa kemudian ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.


Perlawanan rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kemudian mengirim perwira andalannya, Letnan Kolonel Johan Jacob Roeps, ke Barus. Pada tahun 1840, Letkol Roeps berhasil ditewaskan pasukan Saidi Marah, yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari wilayah utara Barus Raya.


Namun, pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris memilih mengangkut hasil bumi dari pelabuhan Sibolga.


Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka.


Pesatnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil.


Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948, kota ini dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus.


>small 2small 0<, Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan.


Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.


Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.


Kini, Barus tak lebih dari kota kecamatan lain di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah.


"Kami yang tinggal di sini hanyalah warga sisa. Yang sukses atau yang berpendidikan enggan menetap di sini. Kota ini telah berhenti, tak ada dinamika, tak ada investasi," kata Camat Barus Hotmauli Sitompul. (AHMAD ARIF)

No comments:

Post a Comment