May 30, 2009

PENTAKOSTA: Saat Lahirnya Gereja

PENTAKOSTA :
Saat Lahirnya Gereja
Lukas dalam Kis 2:1-13 melukiskan sedemikian rupa peristiwa Pentakosta sehingga dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca segala zaman. Kalau kita amati, ternyata tradisi pentakosta sudah ada sejak awal. Pesta ini diadakan sebagai salah satu dari tiga pesta utama agama Yahudi, yakni Paska, Pondok Daun dan Pentakosta. Pentakosta adalah hari kelimapuluh sesudah orang Yahudi meninggalkan Mesir menuju Tanah Terjanji dan di Gunung Sinai mereka menerima Sepuluh Firman Tuhan. Lukas sebenarnya memberi “Warna Baru” pada kisahnya dengan mengungkapkan Yesus yang bangkit dan turunnya Roh Kudus sebagai pemenuhan janji Bapa.

Sasaran Pencurahan Roh Kudus:
“Pada hari Pentakosta semua orang percaya berkumpul di suatu tempat.”

Orang bertanya, sebenarnya Roh Kudus pada saat itu turun hanya ke atas 12 murid itu atau juga kepada orang-orang percaya lain yang hadir bersama dengan kelompok 12 tersebut? Pendekatan pertama, para ekseget (= penafsir resmi Kitab Suci) sepakat bahwa dengan mengganti atau melengkapi jumlah keduabelas rasul dalam pengangkatan Matias menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang percaya dan mereka” dalam kisah itu adalah jumlah keduabelas rasul yang merupakan juga wakil dari keduabelas suku Israel.

Dalam pendekatan kedua, mereka melihat bagaimana Lukas dengan sangat bebas mengungkapkan kisah ini; gaya macam itu bisa menimbulkan kesimpulan bahwa orang-orang yang berkumpul di tempat itu pun dipenuhi dengan Roh Kudus.

Maka, kalau kita dengan sedikit hati-hati memakai pendekatan kedua, kita melihat ternyata Roh Kudus itu juga hadir dalam diri orang-orang percaya. Dengan rahmat itu mereka sanggup memahami apa yang dikatakan para Rasul kepada mereka.

Versi Lukas: Roh Kudus Hadir dalam Bentuk Apa?

Kalau kita cermati teks yang berbicara tentang peristiwa pentakosta tersebut, kita mendapati bahwa ternyata Lukas mempunyai kekhasan dalam mengungkapkan bagaimana kehadiran Roh Kudus itu:

1. Kehadiran dan pencurahan Roh Kudus itu disertai dengan “bunyi seperti tiupan angin keras” yang memenuhi seluruh rumah. Jadi jelas bahwa kehadiran Roh Kudus selalu menggerakkan. Artinya Dia merubah atau mempengaruhi.

2. Lalu “tampaklah lidah-lidah seperti nyala api” yang bertebaran dan hinggap di atas mereka. Dalam Perjanjian Lama, api memainkan peran sangat penting. Api menjadi simbol pembaharuan dan pemurnian. Maka api sering dipakai sebagai ungkapan pengudusan.

3. Dan membuat para Rasul mampu “berbicara dalam bahasa-bahasa lain”. Orang yang berkumpul pun mengetahui bahwa telah terjadi sesuatu yang membawa perubahan dalam diri para rasul.

Saat ini orang mencampur-adukan antara “bahasa-bahasa lain” pada hari pentakosta dengan “bahasa Roh” dalam I Kor:14. Akibatnya tidak sedikit orang yang merasa mempunyai karunia seperti para rasul. Padahal itu sebenarnya dua hal yang mempunyai makna dan latar belakang berbeda. Contoh: Pada hari Pentakosta: ada karunia berbicara dalam bahasa lain, sedangkan Jemaat di Korintus: karunia untuk berkata-kata dalam bahasa Roh. Pada Pentakosta semua mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain; sedangkan di Korintus tidak semua orang percaya berkata-kata dalam bahasa Roh. Pada Pentakosta bahasa yang diucapkan dapat dimengerti oleh semua orang - mereka heran dan tercengang; sedangkan di Korintus, bahasa yang diucapkan tidak dimengerti oleh seorang pun.

Jadi ada perbedaan besar. Maka orang lebih berkesimpulan seperti ini: karunia berbahasa Roh bukan bukti utama kehadiran Roh Kudus dalam diri seseorang; bukti paling utama adalah buah-buah Roh. Sebab dalam diri orang-orang yang mengaku memiliki karunia ini, kadang tak tampak buah-buah Roh itu sendiri.

Gereja Roh Kudus: Karunia Sekaligus Panggilan

Kita merayakan satu tahun berdirinya Gereja Roh Kudus Rungkut. Usia yang masih sangat muda. Kita berharap Jiwa dan Semangat Roh Kudus hadir di tengah-tengah kita, menggerakkan perjalanan gereja ini dari waktu ke waktu.

Sebagai gereja yang berpelindungkan Roh Kudus, kita juga ingin mempersembahkan keluarga-keluarga kita; kebersamaan iman kita dan juga usaha serta karya-karya kita kepada Allah Roh Kudus. Kita berdoa: Tuhan, utuslah Roh-Mu, agar membaharui muka bumi. Amin.

SELAMAT ULANG TAHUN DAN PESTA NAMA GEREJA ROH KUDUS


Rm. Gregorius Kaha, SVD

February 16, 2009

Asal-mula Masa Prapaskah

Asal-mula Masa Prapaskah
oleh: P. William P. Saunders *

Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah Gereja selalu merayakannya sebelum Paskah?
~ seorang pembaca di Falls Church

Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).

Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.” (Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40” dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja.  

Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan rohaninya yang  utama.

Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.

Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”

Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.

Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.

Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati raga selama Masa Prapaskah).

Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.  

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: History of Lent” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”