February 26, 2012

Sejarah dan Spiritualitas Selibat



oleh: Romo William P. Saunders *
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan mengenai apakah sebaiknya para imam menikah atau tidak. Mengapakah Gereja memandatkan para imam untuk hidup selibat?
~ seorang pembaca di Annandale




Dalam membahas masalah selibat, pertama-tama baiklah kita melihat perkembangan sejarah selibat dalam kehidupan Gereja, baru kemudian dasar spiritual dan relevansinya bagi para klerus sekarang ini.


Tuhan kita menawarkan selibat sebagai cara hidup yang sah, bukan hanya dengan cara hidup-Nya Sendiri, sebab Ia tidak pernah menikah, melainkan juga dalam ajaran-Nya. Ketika Tuhan kita menekankan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara suami dan isteri, dan karenanya tidak diperbolehkan untuk bercerai dan menikah lagi (bdk Mt 19:3-12), Ia mengakhirinya dengan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Tradisi Gereja - seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1579 - menunjuk “demi Kerajaan Sorga” ini sebagai dasar selibat.   


Namun demikian, di masa Gereja perdana, hidup selibat bagi para klerus tidaklah dimandatkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis, “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Meski begitu, orang hendaknya tidak secara salah menafsirkan ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7).  


Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) menggemakan kembali ajaran St Paulus, “Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”  


Namun demikian, gerakan ke arah selibat para klerus mulai berkembang di lingkungan Gereja. St Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan, “Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat, bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia, yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam, diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan: siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.” Di kemudian hari, Konsili Karthago memperluas prasyarat selibat hingga ke tingkat subdiakonat.


Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para klerus. Dalam Konsili ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit yang memandatkan selibat para klerus, termasuk para klerus yang telah menikah. Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes, menegaskan bahwa prasyarat yang demikian akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.  


Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru “kemartiran putih”. Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran merah,” mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan, kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan.


Pada point ini, tradisi selibat para klerus berbeda antara tradisi Gereja Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa paus mendekritkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458). Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika, Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia, Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam, diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.


Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara uskup dan para klerus lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk ditahbiskan sebagai seorang uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, diakon dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan-ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja Timur.


Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers (1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayanan-pelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian. Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang ekumenis, memandatkan selibat bagi para klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik.


Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang disiplin selibat para klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewengan-penyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563) menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan.


Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).


Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat ditetapkan bagi para klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang mendasari peraturan ini.


Konsili Vatikan Dua dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16). Sembari mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).


Paus Paulus VI menggaris-bawahi tema yang sama ini dalam ensiklik Sacerdotalis Caelibatus (1967), yang sesungguhnya ditulis di saat sebagian orang mempertanyakan perlunya mandat selibat. Bapa Suci menunjukkan tiga “makna” atau pentingnya selibat: Kristologis, eklesiologis dan eskatologis. Dalam arti Kristologis, seorang imam wajib memandang Kristus sebagai imam teladan yang abadi. Pengenalan akan Kristus ini merasuki seluruh keberadaannya. Sama seperti Kristus tetap selibat dan membaktikan hidup-Nya demi pelayanan kepada Bapa-Nya dan kepada segenap umat manusia, demikianlah seorang imam menerima selibat dan mengkhususkan diri sepenuhnya untuk melayani perutusan Tuhan. Pemberian diri dan komitmen total kepada Kristus ini merupakan lambang Kerajaan Surga yang sudah hadir sekarang ini.


Dalam arti eklesiologis, sama seperti Kristus dipersatukan sepenuhnya dengan Gereja, demikianlah imam, melalui selibat mengikat hidupnya dengan Gereja. Ia akan dapat lebih cakap dalam menjadi Pelayan Sabda Allah - mendengarkan Sabda, merenungkan kedalamannya, mengamalkannya, dan mewartakannya dengan keyakinan sepenuh hati. Imam adalah Pelayan Sakramen-sakramen, dan, teristimewa melalui Misa, bertindak selaku in persona Christi, mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Selibat memberikan kepada imam lebih banyak kebebasan dan keleluasaan dalam menunaikan karya pastoralnya, “[Selibat] memberikan kepada imam, bahkan dalam segi praktis, efisiensi yang maksimum dan disposisi batin yang terbaik, psikologis maupun emosional, dalam melaksanakan secara terus-menerus karya karitatif yang sempurna. Karya karitatif ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan dirinya sepenuhnya demi kesejahteraan semua orang, dalam cara yang lebih penuh dan lebih konkrit” (Sacerdotalis Caelibatus, No. 32).


Terakhir, dalam arti eskatologis, hidup selibat memberikan gambaran akan kebebasan yang akan dimiliki manusia di surga kelak ketika telah dengan sempurna dipersatukan dengan Tuhan sebagai anak-Nya.


Kitab Hukum Kanonik merefleksikan ketiga “makna” ini dalam Kanon 277, yang memandatkan selibat para klerus, “Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan rohani dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pengabdian kepada Allah dan kepada manusia.”


Sepanjang ajaran Gereja mengenai selibat, tiga dimensi penting perlu dicamkan: Pertama, selibat menyangkut kebebasan. Seorang laki-laki, ketika dipanggil dalam Tahbisan Suci dengan sukarela menerima kewajiban selibat, setelah refleksi dan permenungan dalam doa. Setelah membuat keputusan tersebut, selibat sungguh memberikan kepada uskup, imam atau diakon kebebasan untuk mengidentifikasikan diri dengan Kristus dan melayani Kristus dan Gereja tanpa keberatan, tanpa syarat ataupun keraguan. Pada kenyataannya, imam tidak terbagi antara menunaikan tugas kewajiban bagi paroki dan bagi keluarganya.


Kedua, selibat menyangkut kurban, dan suatu kurban adalah suatu tindakan kasih. Sebagai misal, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka berkurban untuk hidup “dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit hingga maut memisahkan.” Mereka berkurkan untuk mengamalkan kasih yang setia, tidak lagi membagi kasih dengan yang lain atau memberi diri untuk kenikmatan-kenikmatan yang egois. Ketika pasangan tersebut menjadi orangtua, mereka berkurban untuk menopang pertumbuhan anak-anak mereka. Keputusan kasih senantiasa membawa serta pula kurban.  


Paus Yohanes Paulus II telah berulang kali membela disiplin selibat, menyebutnya sebagai “anugerah Roh Kudus.” Dalam surat Kamis Putih kepada para imam tahun 1979 (No. 8), yang ditulis di awal pontifikatnya, saat sebagian orang berspekulasi bahwa ia mungkin mengubah disiplin ini, Bapa Suci menegaskan, “… Selibat “demi Kerajaan Surga” bukan hanya merupakan suatu lambang eskatologis belaka; melainkan juga memiliki makna sosial yang mendalam, dalam kehidupan sekarang, demi pelayanan Umat Allah. Melalui selibat, imam menjadi `man for others', dengan cara yang berbeda dari laki-laki pada umumnya, yang dengan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan, sebagai suami dan ayah, juga menjadi `man for others', teristimewa dalam lingkup keluarganya sendiri: untuk isterinya dan, bersama dengan isterinya, untuk anak-anak mereka, kepada siapa ia memberikan diri. Seorang imam, dengan melepaskan hak kebapakannya yang layak bagi laki-laki yang menikah, mengambil bentuk kebapakan yang lain, dan seolah, sekaligus keibuan, dengan mengingat kata-kata rasul mengenai anak-anak yang diperanakkannya dalam penderitaan.” Guna menekankan panggilan imam dalam melayani Umat Allah, Bapa Suci menambahkan, “Hati seorang imam, agar didapati layak bagi pelayanan ini, haruslah bebas. Selibat adalah tanda kebebasan yang nyata demi pelayanan ini” (No. 8).


Demikianlah dengan para klerus. Menjadi seorang imam berarti mempersembahkan diri sebagai kurban bagi Kristus demi kebaikan Gereja-Nya. Imam berkurban dari menikah dengan seorang perempuan dan memiliki keluarganya sendiri; sebaliknya ia memberikan diri untuk “dikawinkan” dengan Kristus dan Gereja-Nya serta melayani segala kebutuhan mereka sebagai seorang “bapa”.


Yang terakhir, dalam hidup selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan. Berulangkali, selibat dipandang sebagai anugerah Roh Kudus. Namun demikian, anugerah ini tidak hanya memampukan orang untuk mengendalikan hasrat jasmaninya atau hidup sebagai seorang jejaka; melainkan anugerah ini juga memampukan orang untuk dapat menjawab “ya” kepada Tuhan setiap hari dan mengamalkan hidup-Nya.      


Secara ringkas, Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Amanat kepada para Imam Paroki Roma tanggal 26 Februari 2004 mengatakan, “... Tepatnya dalam selibat, yang disambut dan dipelihara dengan sukacita, kita pada gilirannya dipanggil untuk mengamalkan kebenaran kasih dengan suatu cara yang berbeda walau sama penuhnya, memberikan diri kita secara total bersama Kristus kepada Tuhan, kepada Gereja, dan kepada saudara serta saudari kita dalam kemanusiaan.”


Sayangnya, dalam dunia kita, banyak orang tidak dapat menghargai disiplin selibat, entah bagi kaum klerus maupun yang lain. Kita hidup dalam masyarakat di mana media membombardir kita dengan tayangan-tayangan seksual yang tak terkendali. Jika orang tak dapat menghargai nilai-nilai keperawanan sebelum perkawinan, kesetiaan dalam hidup perkawinan, atau pengurbanan demi anak-anak, maka ia tak dapat mulai menghargai siapapun - entah laki-laki atau perempuan - yang menempuh hidup selibat sebagai bakti diri dalam panggilan.


Di tengah skandal dalam Gereja, di mana beberapa imam telah melanggar kaul selibat dan menyakiti anak-anak, sebagian orang mengusulkan perkawinan bagi kaum klerus guna mengurangi, jika tidak menghapus sama sekali, terjadinya skandal yang demikian. Sesungguhnya, sebagian besar kasus pelecehan yang menyangkut anak-anak (incest, pedophilia, dsb) terjadi dalam rumah di antara kerabat. Seorang yang menderita penyakit yang demikian tidak akan berubah karena ia tak lagi harus hidup selibat. Lagipula, jika Gereja sungguh mengubah prasyarat selibat, maka skandal berikutnya yang akan menjadi sorotan media kemungkinan besar adalah perselingkuhan atau perceraian di antara kaum klerus. Mengubah prasyarat sama sekali tidak menyelesaikan masalah.


Sebagai warga Gereja, patutlah kita berterima kasih kepada para klerus, pula kepada para biarawan dan biarawati, yang telah mempersembahkan diri secara total karena cintanya demi melayani Tuhan dan Gereja. Sungguh sayang, media jarang menyoroti karya-karya kebajikan yang dilakukan oleh begitu banyak kaum klerus yang penuh dedikasi, maupun oleh para biarawan dan biarawati.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Celibacy in the Priesthood" & “Straight Answers: The Spirituality of Celibacy” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Passio Yesus Kristus

 oleh: P. William P. Saunders *
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Passio” Yesus Kristus?
~ seorang pembaca di Arlington




Passio berasal dari bahasa Latin “patior” yang artinya “sengsara”. Passio Yesus Kristus menunjuk pada sengsara yang diderita Kristus demi menebus umat manusia, berawal dari sakrat maut di Taman Getsemani hingga wafat-Nya di Kalvari. Kisah-kisah Sengsara dalam Injil menceritakan detail sengsara Kristus, dan setidaknya sampai batas tertentu, kisah-kisah tersebut sesuai dengan tulisan para ahli sejarah Romawi masa itu - Tacitus, Seutonius dan Pliny Muda. Penemuan-penemuan arkeologi yang dipadukan dengan penelitian-penelitian menggunakan ilmu kedokteran modern menghasilkan gambaran yang akurat akan apa yang diderita Kristus. Dalam abad di mana salib biasa digambarkan dengan Yesus “yang telah bangkit” dan “sengsara” serta “korban” telah menjadi istilah-istilah yang tidak disukai, hendaknya kita tidak kehilangan pandangan akan kenyataan passio.


Setelah Perjamuan Terakhir, Yesus pergi ke Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kristus berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42). Yesus sadar sepenuhnya akan penderitaan yang Ia hadapi. Ia berdoa demikian khusuk hingga“peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Luk 22:44). Ilmu kedokteran membuktikan bahwa orang dapat mengeluarkan keringat darah jika ia berada dalam keadaan emosional yang sangat tinggi (suatu kondisi yang disebut hematidrosis atau hemohidrosis), yang mengakibatkan pendarahan lewat kelenjar-kelenjar keringat. Tak heran jika Bapa mengutus seorang malaikat untuk menguatkan-Nya (Luk 22:43).


Kristus kemudian ditangkap dan diadili di hadapan Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Imam Besar Kayafas. Menjawab pertanyaan mereka, Yesus memaklumkan, “Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat 26:64). Karena pernyataan-Nya itu, Ia dijatuhi hukuman mati karena menghujat Allah, dan kemudian wajah-Nya diludahi, ditampar dan diolok-olok. Mahkamah Agama dapat menjatuhkan hukuman mati kepada Kristus, namun demikian mereka tidak memiliki wewenang untuk melaksanakannya; hanya Pontius Pilatus, Gubernur Romawi, yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan hukuman mati.


Sebab itu, pemimpin-pemimpin Yahudi membawa Yesus kepada Pilatus. Perhatikan bagaimana dakwaan sekonyong-konyong berubah; para pemimpin Yahudi mengatakan kepada Pilatus, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja.” (Luk 23:2). Bagaimana dengan dakwaan menghujat Allah? Pilatus tidak peduli apakah Yesus ingin menjadi seorang mesias, nabi, ataupun seorang pemimpin agama; tetapi, jika Yesus ingin menjadi seorang raja, Ia merupakan ancaman bagi kekuasaan Kaisar. Segala bentuk pemberontakan, pengkhianatan, atau subversi harus segera dijatuhi hukuman yang kejam. Jadi, Pilatus bertanya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (Luk 23:3)


Pilatus tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Pilatus menantang para imam, tua-tua, dan rakyat, “Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya.” (Luk 23:14). Ketika mencoba menawarkan untuk membebaskan seorang tahanan, Pilatus bertanya kepada orang banyak tentang Yesus, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.” (Luk 23:22). Bahkan isteri Pilatus memohon kepadanya untuk tidak mencampuri perkara “orang benar” itu (Mat 27:19).


Pilatus kemudian memerintahkan agar Yesus disesah (Yoh 19:1). Orang Romawi mempergunakan cambuk pendek (flagrum atau flagellum) dengan beberapa tali kulit tunggal atau tali kulit berjalin. Bola-bola besi atau kait-kait terbuat dari tulang atau kerang disisipkan dengan jarak bervariasi sepanjang tali kulit dan pada ujung-ujungnya. Korban dilucuti pakaiannya dan didera sepanjang punggung, pantat dan kaki-kakinya. Cambuk merobek kulit dan menghujam hingga otot-otot terdalam; daging terkoyak-koyak bersimbah darah. Korban berada di ambang batas shock; dari banyaknya darah yang tercurah dapat diperkirakan berapa lama korban akan sanggup bertahan di salib. Untuk memperhebat penyiksaan terhadap Kristus, para serdadu menambahkan bentuk aniaya yang lain: memahkotai-Nya dengan duri, mengenakan jubah ungu pada tubuh-Nya, menempatkan sebatang buluh di tangan kanan-Nya, meludahi wajah-Nya, dan mengolok-olok Dia, “Salam, hai Raja orang Yahudi!” (Mat 27:27-31).


Setelah Yesus disesah, Pilatus sekali lagi menampilkan Kristus ke hadapan orang banyak yang berteriak-teriak, “Salibkan Dia, salibkan Dia!” Takut akan timbul pemberontakan, Pilatus menyerah dan memberikan Yesus untuk disalibkan. Bangsa Romawi memiliki hukuman penyaliban yang telah dirancang begitu rupa, hukuman salib sendiri kemungkinan berasal dari Persia, agar mengakibatkan kematian secara perlahan-lahan dengan tingkat kesakitan paling dahsyat. Penyaliban diperuntukkan bagi penjahat-penjahat yang paling berbahaya. Hukuman penyaliban begitu ngeri dan keji hingga Cicero (wafat tahun 43 SM) menetapkan undang-undang dalam Dewan Romawi yang mengecualikan warga Romawi dari hukuman ini; itulah sebabnya mengapa St. Paulus dipenggal kepalanya dan bukannya disalibkan karena menjadi seorang Kristen.


Korban diwajibkan memanggul sendiri salibnya agar pertahanan tubuhnya semakin melemah. Karena keseluruhan salib beratnya sekitar 300 pounds (± 136 kg), biasanya ia memanggul hanya balok horisontalnya saja (patibulum) (75-125 pounds = ± 34-57 kg) ke tempat pelaksanaan hukuman mati di mana balok vertikal (stipes) telah dipersiapkan. Sepasukan pengawal militer yang dipimpin seorang kepala pasukan memimpin arak-arakan. Seorang prajurit membawa titulus di mana ditulis nama si terhukum dan kejahatan yang dilakukannya, titulus itu nantinya akan dipasang pada salib (Mat 27:37). Dalam kasus Yesus, jalan yang harus ditempuh dari praetorium menuju Golgota berjarak sekitar sepertiga mil (± 0,54 km). Yesus begitu lemah hingga Simon dari Kirene dipaksa untuk membantu-Nya (Mat 27:32).


Setibanya di tempat pelaksanaan hukuman mati, hukum menetapkan agar korban diberi minum anggur pahit bercampur empedu untuk membantu menahan sakit (Mat 27:34). Korban kemudian dilucuti pakaiannya (kecuali jika hal ini telah terjadi sebelumnya). Tangan-tangan-Nya direntangkan di atas patibulum dan diikat atau dipaku, atau diikat dan dipaku. Bukti arkeologi mengungkapkan bahwa paku-paku yang dipergunakan berupa besi berujung runcing. Paku-paku tersebut panjangnya kurang lebih tujuh inci (± 18 cm) dengan gagang persegi kurang lebih 3/8 inci (± 95 mm). Paku-paku dipalukan menembusi pergelangan tangan antara tulang lengan dan tulang hasta agar dapat menyangga berat tubuh korban. Patibulum dipasangkan ke stipes, kemudian kaki korban diikat atau dipakukan langsung ke stipes atau ke tempat tumpuan kaki (suppedaneum).


Sementara korban tergantung di kayu salib, orang banyak biasa menyiksanya dengan olok-olok dan makian (bdk Mat 27:39-44). Para prajurit Romawi seringkali memaksa keluarga korban untuk menyaksikan untuk menambah penderitaan batin korban. Para prajurit membagi-bagikan pakaian korban sebagai bagian dari ganjaran mereka (Mat 27:35). Korban akan dibiarkan tergantung di kayu salib selama tiga jam bahkan hingga tiga hari. Sementara ia tergantung menderita kesakitan yang hebat, serangga-serangga akan hinggap pada luka-luka yang menganga, atau pada mata, hidung, dan telinga; burung-burung pada gilirannya akan menyambar dan menggerogoti tubuhnya sebagai mangsa mereka. Dengan berbagai macam siksa derita menyatu akibat banyaknya darah yang tercurah, trauma penderaan dan kekurangan cairan, beban tubuh tertarik ke bawah dengan bertumpu pada lengan-lengan yang  terentang dan kedua bahu, sehingga menyesakkan pernapasan. Korban akan mati perlahan-lahan akibat tercekik. Mungkin itulah sebabnya mengapa Yesus berbicara hanya singkat saja dari salib. Jika korban berusaha mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kakinya untuk bernapas, rasa sakit yang luar biasa akan terasa pada luka-luka paku dan luka-luka punggung akibat penderaan. Guna mempercepat kematian, para prajurit akan mematahkan kaki korban (Yoh 19:32-33). Jika tampaknya korban sudah mati, para prajurit akan meyakinkan kematiannya dengan menikam lambungnya dengan tombak atau pedang; dan ketika hati Yesus ditikam, memancarlah darah dan air (cairan dari kantung sekeliling jantung) (Yoh 19:34). Biasanya, mayat dibiarkan di atas salib hingga membusuk atau dimangsa burung atau binatang liar; tetapi, hukum Romawi mengijinkan keluarga kurban mengambil jenasah untuk dimakamkan seijin Gubernur Romawi. Dalam kasus Yesus, Yusuf dari Arimatea meminta jenasah Kristus kepada Pilatus dan Ia kemudian dibaringkan dalam sebuah makam (Yoh 19:38).


Sementara kita merenungkan misteri Pekan Suci yang sakral, patutlah kita mencamkan dalam hati apa yang telah Kristus derita demi keselamatan kita. Ia menyerahkan Diri-Nya Sendiri sebagai korban silih dosa yang sempurna di altar salib dan membasuh dosa-dosa kita dengan Darah-Nya yang kudus. Demikianlah kita wajib menyadari tanggung jawab kita untuk menyesali dan bertobat dari dosa-dosa kita: Katekismus Gereja Katolik (no. 598), dengan mengutip Katekese Romawi kuno menegaskan, “Semua pendosa pun adalah 'penyebab dan pelaksana semua siksa yang [Kristus] derita.' dan “Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya mereka yang bergelinding dalam dosa dan kebiasaan buruk, 'menyalibkan lagi Anak Allah dan menghina-Nya di muka umum.'” Kristus yang tersalib merupakan bukti nyata kasih-Nya bagi setiap kita. Merenungkan sengsara-Nya akan memperkuat kita dalam menghadapi pencobaan, menggerakkan kita untuk menerima Sakramen Tobat lebih sering, dan menjaga kita agar senantiasa ada di jalan keselamatan. Dengan memeluk Kristus yang tersalib dan salib-Nya, kita menyongsong kemuliaan kebangkitan.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: What Is Meant by the 'Passion of Christ'?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Trihari Suci dan 40 Hari Masa Prapaskah

oleh: P. William P. Saunders *

Terkadang saya mendengar imam dan juga yang lainnya mengatakan bahwa Trihari Suci bukanlah bagian dari Masa Prapaskah. Tetapi, jika saya menghitung hari dari Rabu Abu hingga Sabtu Suci, saya mendapati bahwa jumlahnya baru genap 40 apabila kita menghitung juga Trihari Suci dan tanpa menghitung enam hari Minggu sepanjang Masa Prapaskah. Saya tahu bahwa tanggal Rabu Abu secara khusus ditetapkan supaya Masa Prapaskah berjumlah 40 hari. Jadi, apakah benar saya mengatakan bahwa ketiga hari dari Trihari Suci adalah sungguh bagian dari Masa Prapaskah?
~ seorang pembaca di Woodbridge


Seperti dinyatakan dalam pertanyaan di atas, Masa Prapaskah memang dimulai pada hari Rabu Abu dan merupakan masa persiapan khusus selama 40 hari untuk merayakan Paskah. Juga, seperti dinyatakan dalam pertanyaan, penghitungan “40 hari” dimulai dengan hari Rabu Abu, dengan mengecualikan hari-hari Minggu sepanjang Masa Prapaskah, dan berakhir pada hari Sabtu Suci.


Empatpuluh hari Masa Prapaskah merupakan tradisi yang telah berlangsung lama dalam Gereja kita, teristimewa setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum disiplinernya, mencatat bahwa dua sinode provinsial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.”St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah, dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa masa ini berakhir pada Hari Raya Paskah.


“Konstitusi tentang Liturgi Kudus” Konsili Vatikan II memaklumkan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa” (no. 109). Selanjutnya Konsili menekankan, “Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan” (no. 110). Instruksi ini tampaknya menyatakan bahwa Masa Prapaskah, masa persiapan dalam doa, puasa dan matiraga terus berlanjut hingga Misa Paskah pertama, yaitu Misa Malam Paskah.


Namun demikian, dengan pembaharuan liturgi yang diprakarsai oleh Konsili Vatikan II, perayaan Trihari Suci (= Triduum) - Kamis Putih, Jumat Agung dan Paskah - juga dipertimbangkan kembali. Patut diingat bahwa Paus Pius XII sesungguhnya memulai praktek ini dan pada tahun 1951 mengembalikan Malam Paskah ke tempatnya yang lebih sesuai. Masing-masing liturgi Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paskah tidak dipandang sekedar sebagai perayaan dari peristiwa-peristiwa yang terpisah, melainkan ketiganya sungguh dipandang sebagai satu misteri keselamatan. Oleh sebab itu, Misa Perjamuan Malam Terakhir Tuhan pada hari Kamis Putih tidak diakhiri dengan berkat penutup; melainkan berkat diberikan di akhir Misa Malam Paskah. Dalam ensikliknya yang indah, “Ecclesia de Eucharistia” Paus Yohanes Paulus II yang terkasih menulis, “Pencurahan Roh Kudus telah melahirkan Gereja, dan mengutusnya ke seluruh dunia. Tetapi saat yang menentukan bagi pencitraannya pastilah pendasaran Ekaristi di Ruang Perjamuan. Dasar dan sumber mata airnya adalah seluruh Trihari Suci Paskah. Dan semuanya ini seolah diramu, dipancarkan dan dipadatkan buat selamanya dalam karunia Ekaristi. Dalam karunia ini, Yesus Kristus dipercayakan kepada Gereja-Nya, sebagai penghadiran abadi Misteri Paskah. Dengan itu, Ia membentuk misteri `kesatuan waktu' antara Trihari Suci dan perlangsungan segala abad” (no. 5). Sebab itu, orang dapat beragumentasi bahwa Masa Prapaskah berakhir dengan perayaan Misa Perjamuan Malam Terakhir Tuhan pada hari Kamis Putih, yaitu awal dari Trihari Suci; namun demikian orang juga akan mendapati Masa Prapaskah yang kurang dari 40 hari, yang tidak sesuai dengan tradisi yang telah lama berlangsung.


Jadi, bagaimana? Mungkin, di sini tradisi mendapatkan penekanan yang lebih. Seperti dinyatakan di atas, Konsili Vatikan Kedua mengingatkan kita untuk mempertahankan puasa Paskah sepanjang Masa Prapaskah hingga Malam Paskah, yaitu Misa Paskah pertama. Namun demikian, kita juga patut merayakan Triduum sungguh sebagai satu peristiwa penyelamatan yang memungkinkan kita untuk hidup dalam realitas abadi dari perjamuan malam terakhir, sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan. Trihari Suci bahkan merupakan masa persiapan yang terlebih intensif dalam menyambut Paskah dan menghantar Masa Prapaskah pada puncaknya.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Triduum and 40 Days of Lent” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”