February 26, 2012

Sejarah dan Spiritualitas Selibat



oleh: Romo William P. Saunders *
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan mengenai apakah sebaiknya para imam menikah atau tidak. Mengapakah Gereja memandatkan para imam untuk hidup selibat?
~ seorang pembaca di Annandale




Dalam membahas masalah selibat, pertama-tama baiklah kita melihat perkembangan sejarah selibat dalam kehidupan Gereja, baru kemudian dasar spiritual dan relevansinya bagi para klerus sekarang ini.


Tuhan kita menawarkan selibat sebagai cara hidup yang sah, bukan hanya dengan cara hidup-Nya Sendiri, sebab Ia tidak pernah menikah, melainkan juga dalam ajaran-Nya. Ketika Tuhan kita menekankan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara suami dan isteri, dan karenanya tidak diperbolehkan untuk bercerai dan menikah lagi (bdk Mt 19:3-12), Ia mengakhirinya dengan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Tradisi Gereja - seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1579 - menunjuk “demi Kerajaan Sorga” ini sebagai dasar selibat.   


Namun demikian, di masa Gereja perdana, hidup selibat bagi para klerus tidaklah dimandatkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis, “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Meski begitu, orang hendaknya tidak secara salah menafsirkan ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7).  


Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) menggemakan kembali ajaran St Paulus, “Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”  


Namun demikian, gerakan ke arah selibat para klerus mulai berkembang di lingkungan Gereja. St Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan, “Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat, bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia, yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam, diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan: siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.” Di kemudian hari, Konsili Karthago memperluas prasyarat selibat hingga ke tingkat subdiakonat.


Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para klerus. Dalam Konsili ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit yang memandatkan selibat para klerus, termasuk para klerus yang telah menikah. Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes, menegaskan bahwa prasyarat yang demikian akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.  


Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru “kemartiran putih”. Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran merah,” mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan, kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan.


Pada point ini, tradisi selibat para klerus berbeda antara tradisi Gereja Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa paus mendekritkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458). Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika, Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia, Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam, diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.


Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara uskup dan para klerus lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk ditahbiskan sebagai seorang uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, diakon dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan-ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja Timur.


Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers (1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayanan-pelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian. Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang ekumenis, memandatkan selibat bagi para klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik.


Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang disiplin selibat para klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewengan-penyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563) menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan.


Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).


Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat ditetapkan bagi para klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang mendasari peraturan ini.


Konsili Vatikan Dua dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16). Sembari mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).


Paus Paulus VI menggaris-bawahi tema yang sama ini dalam ensiklik Sacerdotalis Caelibatus (1967), yang sesungguhnya ditulis di saat sebagian orang mempertanyakan perlunya mandat selibat. Bapa Suci menunjukkan tiga “makna” atau pentingnya selibat: Kristologis, eklesiologis dan eskatologis. Dalam arti Kristologis, seorang imam wajib memandang Kristus sebagai imam teladan yang abadi. Pengenalan akan Kristus ini merasuki seluruh keberadaannya. Sama seperti Kristus tetap selibat dan membaktikan hidup-Nya demi pelayanan kepada Bapa-Nya dan kepada segenap umat manusia, demikianlah seorang imam menerima selibat dan mengkhususkan diri sepenuhnya untuk melayani perutusan Tuhan. Pemberian diri dan komitmen total kepada Kristus ini merupakan lambang Kerajaan Surga yang sudah hadir sekarang ini.


Dalam arti eklesiologis, sama seperti Kristus dipersatukan sepenuhnya dengan Gereja, demikianlah imam, melalui selibat mengikat hidupnya dengan Gereja. Ia akan dapat lebih cakap dalam menjadi Pelayan Sabda Allah - mendengarkan Sabda, merenungkan kedalamannya, mengamalkannya, dan mewartakannya dengan keyakinan sepenuh hati. Imam adalah Pelayan Sakramen-sakramen, dan, teristimewa melalui Misa, bertindak selaku in persona Christi, mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Selibat memberikan kepada imam lebih banyak kebebasan dan keleluasaan dalam menunaikan karya pastoralnya, “[Selibat] memberikan kepada imam, bahkan dalam segi praktis, efisiensi yang maksimum dan disposisi batin yang terbaik, psikologis maupun emosional, dalam melaksanakan secara terus-menerus karya karitatif yang sempurna. Karya karitatif ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan dirinya sepenuhnya demi kesejahteraan semua orang, dalam cara yang lebih penuh dan lebih konkrit” (Sacerdotalis Caelibatus, No. 32).


Terakhir, dalam arti eskatologis, hidup selibat memberikan gambaran akan kebebasan yang akan dimiliki manusia di surga kelak ketika telah dengan sempurna dipersatukan dengan Tuhan sebagai anak-Nya.


Kitab Hukum Kanonik merefleksikan ketiga “makna” ini dalam Kanon 277, yang memandatkan selibat para klerus, “Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan rohani dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pengabdian kepada Allah dan kepada manusia.”


Sepanjang ajaran Gereja mengenai selibat, tiga dimensi penting perlu dicamkan: Pertama, selibat menyangkut kebebasan. Seorang laki-laki, ketika dipanggil dalam Tahbisan Suci dengan sukarela menerima kewajiban selibat, setelah refleksi dan permenungan dalam doa. Setelah membuat keputusan tersebut, selibat sungguh memberikan kepada uskup, imam atau diakon kebebasan untuk mengidentifikasikan diri dengan Kristus dan melayani Kristus dan Gereja tanpa keberatan, tanpa syarat ataupun keraguan. Pada kenyataannya, imam tidak terbagi antara menunaikan tugas kewajiban bagi paroki dan bagi keluarganya.


Kedua, selibat menyangkut kurban, dan suatu kurban adalah suatu tindakan kasih. Sebagai misal, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka berkurban untuk hidup “dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit hingga maut memisahkan.” Mereka berkurkan untuk mengamalkan kasih yang setia, tidak lagi membagi kasih dengan yang lain atau memberi diri untuk kenikmatan-kenikmatan yang egois. Ketika pasangan tersebut menjadi orangtua, mereka berkurban untuk menopang pertumbuhan anak-anak mereka. Keputusan kasih senantiasa membawa serta pula kurban.  


Paus Yohanes Paulus II telah berulang kali membela disiplin selibat, menyebutnya sebagai “anugerah Roh Kudus.” Dalam surat Kamis Putih kepada para imam tahun 1979 (No. 8), yang ditulis di awal pontifikatnya, saat sebagian orang berspekulasi bahwa ia mungkin mengubah disiplin ini, Bapa Suci menegaskan, “… Selibat “demi Kerajaan Surga” bukan hanya merupakan suatu lambang eskatologis belaka; melainkan juga memiliki makna sosial yang mendalam, dalam kehidupan sekarang, demi pelayanan Umat Allah. Melalui selibat, imam menjadi `man for others', dengan cara yang berbeda dari laki-laki pada umumnya, yang dengan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan, sebagai suami dan ayah, juga menjadi `man for others', teristimewa dalam lingkup keluarganya sendiri: untuk isterinya dan, bersama dengan isterinya, untuk anak-anak mereka, kepada siapa ia memberikan diri. Seorang imam, dengan melepaskan hak kebapakannya yang layak bagi laki-laki yang menikah, mengambil bentuk kebapakan yang lain, dan seolah, sekaligus keibuan, dengan mengingat kata-kata rasul mengenai anak-anak yang diperanakkannya dalam penderitaan.” Guna menekankan panggilan imam dalam melayani Umat Allah, Bapa Suci menambahkan, “Hati seorang imam, agar didapati layak bagi pelayanan ini, haruslah bebas. Selibat adalah tanda kebebasan yang nyata demi pelayanan ini” (No. 8).


Demikianlah dengan para klerus. Menjadi seorang imam berarti mempersembahkan diri sebagai kurban bagi Kristus demi kebaikan Gereja-Nya. Imam berkurban dari menikah dengan seorang perempuan dan memiliki keluarganya sendiri; sebaliknya ia memberikan diri untuk “dikawinkan” dengan Kristus dan Gereja-Nya serta melayani segala kebutuhan mereka sebagai seorang “bapa”.


Yang terakhir, dalam hidup selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan. Berulangkali, selibat dipandang sebagai anugerah Roh Kudus. Namun demikian, anugerah ini tidak hanya memampukan orang untuk mengendalikan hasrat jasmaninya atau hidup sebagai seorang jejaka; melainkan anugerah ini juga memampukan orang untuk dapat menjawab “ya” kepada Tuhan setiap hari dan mengamalkan hidup-Nya.      


Secara ringkas, Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Amanat kepada para Imam Paroki Roma tanggal 26 Februari 2004 mengatakan, “... Tepatnya dalam selibat, yang disambut dan dipelihara dengan sukacita, kita pada gilirannya dipanggil untuk mengamalkan kebenaran kasih dengan suatu cara yang berbeda walau sama penuhnya, memberikan diri kita secara total bersama Kristus kepada Tuhan, kepada Gereja, dan kepada saudara serta saudari kita dalam kemanusiaan.”


Sayangnya, dalam dunia kita, banyak orang tidak dapat menghargai disiplin selibat, entah bagi kaum klerus maupun yang lain. Kita hidup dalam masyarakat di mana media membombardir kita dengan tayangan-tayangan seksual yang tak terkendali. Jika orang tak dapat menghargai nilai-nilai keperawanan sebelum perkawinan, kesetiaan dalam hidup perkawinan, atau pengurbanan demi anak-anak, maka ia tak dapat mulai menghargai siapapun - entah laki-laki atau perempuan - yang menempuh hidup selibat sebagai bakti diri dalam panggilan.


Di tengah skandal dalam Gereja, di mana beberapa imam telah melanggar kaul selibat dan menyakiti anak-anak, sebagian orang mengusulkan perkawinan bagi kaum klerus guna mengurangi, jika tidak menghapus sama sekali, terjadinya skandal yang demikian. Sesungguhnya, sebagian besar kasus pelecehan yang menyangkut anak-anak (incest, pedophilia, dsb) terjadi dalam rumah di antara kerabat. Seorang yang menderita penyakit yang demikian tidak akan berubah karena ia tak lagi harus hidup selibat. Lagipula, jika Gereja sungguh mengubah prasyarat selibat, maka skandal berikutnya yang akan menjadi sorotan media kemungkinan besar adalah perselingkuhan atau perceraian di antara kaum klerus. Mengubah prasyarat sama sekali tidak menyelesaikan masalah.


Sebagai warga Gereja, patutlah kita berterima kasih kepada para klerus, pula kepada para biarawan dan biarawati, yang telah mempersembahkan diri secara total karena cintanya demi melayani Tuhan dan Gereja. Sungguh sayang, media jarang menyoroti karya-karya kebajikan yang dilakukan oleh begitu banyak kaum klerus yang penuh dedikasi, maupun oleh para biarawan dan biarawati.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Celibacy in the Priesthood" & “Straight Answers: The Spirituality of Celibacy” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments:

Post a Comment