February 26, 2012

Passio Yesus Kristus

 oleh: P. William P. Saunders *
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Passio” Yesus Kristus?
~ seorang pembaca di Arlington




Passio berasal dari bahasa Latin “patior” yang artinya “sengsara”. Passio Yesus Kristus menunjuk pada sengsara yang diderita Kristus demi menebus umat manusia, berawal dari sakrat maut di Taman Getsemani hingga wafat-Nya di Kalvari. Kisah-kisah Sengsara dalam Injil menceritakan detail sengsara Kristus, dan setidaknya sampai batas tertentu, kisah-kisah tersebut sesuai dengan tulisan para ahli sejarah Romawi masa itu - Tacitus, Seutonius dan Pliny Muda. Penemuan-penemuan arkeologi yang dipadukan dengan penelitian-penelitian menggunakan ilmu kedokteran modern menghasilkan gambaran yang akurat akan apa yang diderita Kristus. Dalam abad di mana salib biasa digambarkan dengan Yesus “yang telah bangkit” dan “sengsara” serta “korban” telah menjadi istilah-istilah yang tidak disukai, hendaknya kita tidak kehilangan pandangan akan kenyataan passio.


Setelah Perjamuan Terakhir, Yesus pergi ke Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kristus berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42). Yesus sadar sepenuhnya akan penderitaan yang Ia hadapi. Ia berdoa demikian khusuk hingga“peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Luk 22:44). Ilmu kedokteran membuktikan bahwa orang dapat mengeluarkan keringat darah jika ia berada dalam keadaan emosional yang sangat tinggi (suatu kondisi yang disebut hematidrosis atau hemohidrosis), yang mengakibatkan pendarahan lewat kelenjar-kelenjar keringat. Tak heran jika Bapa mengutus seorang malaikat untuk menguatkan-Nya (Luk 22:43).


Kristus kemudian ditangkap dan diadili di hadapan Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Imam Besar Kayafas. Menjawab pertanyaan mereka, Yesus memaklumkan, “Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat 26:64). Karena pernyataan-Nya itu, Ia dijatuhi hukuman mati karena menghujat Allah, dan kemudian wajah-Nya diludahi, ditampar dan diolok-olok. Mahkamah Agama dapat menjatuhkan hukuman mati kepada Kristus, namun demikian mereka tidak memiliki wewenang untuk melaksanakannya; hanya Pontius Pilatus, Gubernur Romawi, yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan hukuman mati.


Sebab itu, pemimpin-pemimpin Yahudi membawa Yesus kepada Pilatus. Perhatikan bagaimana dakwaan sekonyong-konyong berubah; para pemimpin Yahudi mengatakan kepada Pilatus, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja.” (Luk 23:2). Bagaimana dengan dakwaan menghujat Allah? Pilatus tidak peduli apakah Yesus ingin menjadi seorang mesias, nabi, ataupun seorang pemimpin agama; tetapi, jika Yesus ingin menjadi seorang raja, Ia merupakan ancaman bagi kekuasaan Kaisar. Segala bentuk pemberontakan, pengkhianatan, atau subversi harus segera dijatuhi hukuman yang kejam. Jadi, Pilatus bertanya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (Luk 23:3)


Pilatus tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Pilatus menantang para imam, tua-tua, dan rakyat, “Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya.” (Luk 23:14). Ketika mencoba menawarkan untuk membebaskan seorang tahanan, Pilatus bertanya kepada orang banyak tentang Yesus, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.” (Luk 23:22). Bahkan isteri Pilatus memohon kepadanya untuk tidak mencampuri perkara “orang benar” itu (Mat 27:19).


Pilatus kemudian memerintahkan agar Yesus disesah (Yoh 19:1). Orang Romawi mempergunakan cambuk pendek (flagrum atau flagellum) dengan beberapa tali kulit tunggal atau tali kulit berjalin. Bola-bola besi atau kait-kait terbuat dari tulang atau kerang disisipkan dengan jarak bervariasi sepanjang tali kulit dan pada ujung-ujungnya. Korban dilucuti pakaiannya dan didera sepanjang punggung, pantat dan kaki-kakinya. Cambuk merobek kulit dan menghujam hingga otot-otot terdalam; daging terkoyak-koyak bersimbah darah. Korban berada di ambang batas shock; dari banyaknya darah yang tercurah dapat diperkirakan berapa lama korban akan sanggup bertahan di salib. Untuk memperhebat penyiksaan terhadap Kristus, para serdadu menambahkan bentuk aniaya yang lain: memahkotai-Nya dengan duri, mengenakan jubah ungu pada tubuh-Nya, menempatkan sebatang buluh di tangan kanan-Nya, meludahi wajah-Nya, dan mengolok-olok Dia, “Salam, hai Raja orang Yahudi!” (Mat 27:27-31).


Setelah Yesus disesah, Pilatus sekali lagi menampilkan Kristus ke hadapan orang banyak yang berteriak-teriak, “Salibkan Dia, salibkan Dia!” Takut akan timbul pemberontakan, Pilatus menyerah dan memberikan Yesus untuk disalibkan. Bangsa Romawi memiliki hukuman penyaliban yang telah dirancang begitu rupa, hukuman salib sendiri kemungkinan berasal dari Persia, agar mengakibatkan kematian secara perlahan-lahan dengan tingkat kesakitan paling dahsyat. Penyaliban diperuntukkan bagi penjahat-penjahat yang paling berbahaya. Hukuman penyaliban begitu ngeri dan keji hingga Cicero (wafat tahun 43 SM) menetapkan undang-undang dalam Dewan Romawi yang mengecualikan warga Romawi dari hukuman ini; itulah sebabnya mengapa St. Paulus dipenggal kepalanya dan bukannya disalibkan karena menjadi seorang Kristen.


Korban diwajibkan memanggul sendiri salibnya agar pertahanan tubuhnya semakin melemah. Karena keseluruhan salib beratnya sekitar 300 pounds (± 136 kg), biasanya ia memanggul hanya balok horisontalnya saja (patibulum) (75-125 pounds = ± 34-57 kg) ke tempat pelaksanaan hukuman mati di mana balok vertikal (stipes) telah dipersiapkan. Sepasukan pengawal militer yang dipimpin seorang kepala pasukan memimpin arak-arakan. Seorang prajurit membawa titulus di mana ditulis nama si terhukum dan kejahatan yang dilakukannya, titulus itu nantinya akan dipasang pada salib (Mat 27:37). Dalam kasus Yesus, jalan yang harus ditempuh dari praetorium menuju Golgota berjarak sekitar sepertiga mil (± 0,54 km). Yesus begitu lemah hingga Simon dari Kirene dipaksa untuk membantu-Nya (Mat 27:32).


Setibanya di tempat pelaksanaan hukuman mati, hukum menetapkan agar korban diberi minum anggur pahit bercampur empedu untuk membantu menahan sakit (Mat 27:34). Korban kemudian dilucuti pakaiannya (kecuali jika hal ini telah terjadi sebelumnya). Tangan-tangan-Nya direntangkan di atas patibulum dan diikat atau dipaku, atau diikat dan dipaku. Bukti arkeologi mengungkapkan bahwa paku-paku yang dipergunakan berupa besi berujung runcing. Paku-paku tersebut panjangnya kurang lebih tujuh inci (± 18 cm) dengan gagang persegi kurang lebih 3/8 inci (± 95 mm). Paku-paku dipalukan menembusi pergelangan tangan antara tulang lengan dan tulang hasta agar dapat menyangga berat tubuh korban. Patibulum dipasangkan ke stipes, kemudian kaki korban diikat atau dipakukan langsung ke stipes atau ke tempat tumpuan kaki (suppedaneum).


Sementara korban tergantung di kayu salib, orang banyak biasa menyiksanya dengan olok-olok dan makian (bdk Mat 27:39-44). Para prajurit Romawi seringkali memaksa keluarga korban untuk menyaksikan untuk menambah penderitaan batin korban. Para prajurit membagi-bagikan pakaian korban sebagai bagian dari ganjaran mereka (Mat 27:35). Korban akan dibiarkan tergantung di kayu salib selama tiga jam bahkan hingga tiga hari. Sementara ia tergantung menderita kesakitan yang hebat, serangga-serangga akan hinggap pada luka-luka yang menganga, atau pada mata, hidung, dan telinga; burung-burung pada gilirannya akan menyambar dan menggerogoti tubuhnya sebagai mangsa mereka. Dengan berbagai macam siksa derita menyatu akibat banyaknya darah yang tercurah, trauma penderaan dan kekurangan cairan, beban tubuh tertarik ke bawah dengan bertumpu pada lengan-lengan yang  terentang dan kedua bahu, sehingga menyesakkan pernapasan. Korban akan mati perlahan-lahan akibat tercekik. Mungkin itulah sebabnya mengapa Yesus berbicara hanya singkat saja dari salib. Jika korban berusaha mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kakinya untuk bernapas, rasa sakit yang luar biasa akan terasa pada luka-luka paku dan luka-luka punggung akibat penderaan. Guna mempercepat kematian, para prajurit akan mematahkan kaki korban (Yoh 19:32-33). Jika tampaknya korban sudah mati, para prajurit akan meyakinkan kematiannya dengan menikam lambungnya dengan tombak atau pedang; dan ketika hati Yesus ditikam, memancarlah darah dan air (cairan dari kantung sekeliling jantung) (Yoh 19:34). Biasanya, mayat dibiarkan di atas salib hingga membusuk atau dimangsa burung atau binatang liar; tetapi, hukum Romawi mengijinkan keluarga kurban mengambil jenasah untuk dimakamkan seijin Gubernur Romawi. Dalam kasus Yesus, Yusuf dari Arimatea meminta jenasah Kristus kepada Pilatus dan Ia kemudian dibaringkan dalam sebuah makam (Yoh 19:38).


Sementara kita merenungkan misteri Pekan Suci yang sakral, patutlah kita mencamkan dalam hati apa yang telah Kristus derita demi keselamatan kita. Ia menyerahkan Diri-Nya Sendiri sebagai korban silih dosa yang sempurna di altar salib dan membasuh dosa-dosa kita dengan Darah-Nya yang kudus. Demikianlah kita wajib menyadari tanggung jawab kita untuk menyesali dan bertobat dari dosa-dosa kita: Katekismus Gereja Katolik (no. 598), dengan mengutip Katekese Romawi kuno menegaskan, “Semua pendosa pun adalah 'penyebab dan pelaksana semua siksa yang [Kristus] derita.' dan “Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya mereka yang bergelinding dalam dosa dan kebiasaan buruk, 'menyalibkan lagi Anak Allah dan menghina-Nya di muka umum.'” Kristus yang tersalib merupakan bukti nyata kasih-Nya bagi setiap kita. Merenungkan sengsara-Nya akan memperkuat kita dalam menghadapi pencobaan, menggerakkan kita untuk menerima Sakramen Tobat lebih sering, dan menjaga kita agar senantiasa ada di jalan keselamatan. Dengan memeluk Kristus yang tersalib dan salib-Nya, kita menyongsong kemuliaan kebangkitan.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: What Is Meant by the 'Passion of Christ'?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments:

Post a Comment