August 23, 2011

Muslim-Kristen Berbuka Bersama di California

disadur dari: http://www.perisai.net/agama/muslimkristen_berbuka_bersama_di_california





Perisai.net - ADA yang spesial pada acara buka bersama di San Gabriel Valley, Rowland Heights Sabtu (20/8) kemarin. Islamic Center yang terletak di negara bagian California, Amerika Serikat, tersebut mengadakan acara buka puasa bersama dengan mengundang sejumlah umat Kristen.
Ratusan orang Muslim dan Kristen terlihat menikmati hidangan yang disediakan dalam acara tersebut. "Sangat menyenangkan melihat orang-orang dari berbagai tempat datang berbuka bersama kami," ujar Presiden San Gabriel Valley, Arif Rizvi seperti dilansir Pasadena Star-News.
Beberapa pejabat terlihat datang ke tempat tersebut di antaranya adalah anggota kongres, Gary Miller, R-Brea, serta sejumlah anggota dewan dari Walnut dan Diamond Bar. Pidato utama pada acara tersebut dibacakan oleh Sheriff Los Angeles County, Lee Baca.
Saat ini, Islamic Center San Gabriel Valley yang terletak di 19164 E, Walnut Drive North tersebut sedang menjalani pembangunan besar-besaran. Bangunan itu rencananya akan dibuka Februari atau Maret tahun depan.
Sekretaris San Gabriel Valley, Ashraf Jakvani, mengatakan Islamic Center tersebut telah berubah wujud menjadi bangunan segi empat setinggi 40 ribu kaki, dilengkapi dengan tiga lantai utama. Sebelumnya, tempat tersebut hanyalah bangunan setinggi 8.000 kaki dengan sebuah lantai utama yang telah dipakai selama lebih dari 30 tahun.
Baca, yang menyebut dirinya sebagai seorang Katolik yang lemah, mengatakan kerjasama serta pengertian antar agama merupakan nilai yang sangat fundamental bagi Amerika. "Tiap kali seseorang dengan keyakinan tertentu bergabung dengan seseorang dari keyakinan lain, Amerika menjadi lebih kuat. Hal itu juga menandakan segala sesuatunya bisa menjadi lebih baik," kata Baca.
Setelah menikmati hidangan buka puasa, orang-orang Muslim melaksanakan shalat. Sedangkan orang-orang non-Muslim diundang untuk melihat praktek tersebut. []
© Republika

Dialog Bantu Muslim-Non Muslim Amerika Saling Memahami

disadur dari: http://www.perisai.net/agama/dialog_bantu_muslimnon_muslim_amerika_saling_memahami



Perisai.net - SEORANG perempuan tengah memperbaiki kerudung di kepalanya. Sesekali melihat cermin yang ia bawa. Nama perempuan itu Magali Curiel, seorang Kristen, warga Curaco, sebuah kota di salah satu negara Karabia.
Curiel tengah menghadiri, perayaan 17 tahun hari Kemanusiaan di Islamic Center of Pittsburgh, sebuah acara yang dimaksudkan untuk membangun pemahaman antara Muslim dan Non Muslim. "Sebelum saya datang, oleh teman, saya dianggap gila untuk pergi ke sebuah acara orang Islam," paparnya seperti dikutip PostGazzete.com, Selasa (23/8).
Sedari awal, ia sudah niat untuk menghadiri acara tersebut guna mengetahui informasi lebih lanjut tentang Muslim dan Islam. "Ada kesalapahaman," katanya. Dalam acara itu, hadir 650 orang dari berbagai kepercayaan yang mendengarkan pemaparan hukum Islam oleh Imam Ramez Islamobouli, Pengajar hukum Islam, pusat studi Islam dan Arab di Case Western Reverse University, Cleveland.
Menurut Imam Islamic Center, Abdusamih Tadese, mengatakan topik itu dipilih karena pertanyaan tentang Syariah menarik rasa penasaran dari banyak warga AS. Ia mengatakan secara harfiah syariah bermakna dari kewajiban Muslim terhadap tetangga mereka.
Tahun lalu, komite Yahudi Pittsburgh menggelar program antar agama di Aula Social Rodef Shalam, yang mana sekitar 70 siswa dari, Yahudi, Islam, Hindu, Protestan, dan agama Katolik datang bersama-sama. "Beberapa tahun yang lalu, saya takut Muslim," kata Deborah Fidel, Direktur Eksekutif Komite Yahudi Pittsburgh.
"Suatu hari saya mendengar mereka [Muslim] berbicara tentang diskriminasi nyatanya, mereka begitu menderita, dan saya duduk di sana dan mendengarkan, sekaligus menyadari cerita mereka sama dengan nenek moyang kami," kata dia.
Semenjak malam itu, Deborah memutuskan untuk berhenti berbicara soal Muslim dan mulai mendengarakan dan menjadi bagian dari solusi bukan masalah. Deborah, berada di antara lima orang yang dihormati oleh Islamic Center yang diundang untuk mempererat hubungan antara Muslim dan Non Muslim. 
Keempat orang lainnya, uskup David Zubik, Keuskupan Katolik Pittsburgh, Lois Campbell, Direktur Eksekutif Antar keyakinan, Gleen Grayson, dan Jaksa untuk Distrik Barat Pennysylvania, David J Hickton Sammar Barakat, Muslim dari North Oakland, mengatakan ini adalah pertama kalinya dia berpartisipasi dalam sebuah acara yang membantu orang-orang saling memahami.
"Ini adalah kesempatan bagus untuk menjadi bagian dalam suatu acara. Karena memberikan kesempatan untuk bertanya tentang Islam," pungkas dia. []
© Republika

Di Memphis, Islam-Kristen Rekreasi Bersama



Pluralisme di Amerika Serikat
HMINEWS- Inilah wujud toleransi  yang tengah ditumbuh suburkan di Tennesse, Memphis, Amerika Serikat. Ketiadaan masjid tak membuat umat Muslim shalat di trotoar jalan pada hari Jumat. Beberapa gereja besar di sana, mengikhlaskan aulanya digunakan sebagai tempat shalat Jumat.
Gereja-gereja yang membuka diri umumnya yang tergabung dalam Christ United Methodist Church. Christianity Today menunjuk Gereja Heartsong di Cordova, Tennessee, di mana Steve Stone mengundang muslim tetangga gereja untuk menggunakan tempat mereka sebagai masjid darurat bagi kegiatan Ramadan karena  Islamic Center tengah diperbaikini. Hal yang sama juga dilakukan Aldersgate, gereja Methodist Amerika di Arlington, Virginia, di mana jemaat Islam disambut untuk menggunakan ruang gereja untuk shalat Jumat selama beberapa ulan.
Muslim-Kristen juga kerap melakukan kegiatan sosial bersama. Misalnya saja, membantu kaum papa saat Natal bulan lalu. Mereka juga beberapa kali bertamasya bersama.
Namun, langkah ini diprotes beberapa warga Kristen. Menurut mereka, adalah ceroboh menyerahkan kunci pada nonKristen untuk beribadah di salah satu bangunan mereka. “Cinta berarti memimpin orang kepada Yesus, tidak membantu dan bersekongkol dengan agama yang berbeda. Dan ada berbagai cara untuk menunjukkan persaudaraan,” kata seorang warga, seperti dikutip Christianity Today.[]ABNA/rep

Soekarno Loves Jesus Christ

disadur dari: http://ourunity.blogspot.com/2010/01/soekarno-loves-jesus-christ.html



*) Indonesia pernah berwajah cantik memperagakan kehidupan beragama yang indah. Entah mengapa, paras menawan itu meluntur dan memburuk dilihat banyak orang.

BULAN Mei, Vatikan sedang disiram sengatan matahari terik sepanjang hari di musim panas tahun 1959. Cuaca cukup menyengat untuk ukuran kota Vatikan yang mungil itu. Hari Kamis pagi pada 14 Mei 1959, Vatikan kedatangan seorang tamu jauh. Dia datang disambut dengan upacara megah oleh para prajurit berseragam kebesaran a la Eropa abad pertengahan. Bahkan beberapa prajurit senior berpakaian besi seperti serdadu Romawi, karena ini menyambut sebuah kunjungan resmi seorang presiden negara besar ke negara terkecil di dunia.

Bagai seorang pangeran dari “somewhere from the East” dengan gaya berpakaian khas bertopi hitam yang menjadi cirinya di kepala. Dia datang dengan rombongan besar. Mereka tiba dengan 9 mobil yang mengantar mereka untuk beraudiensi dengan Paus Johannes XXIII, pemimpin spiritual umat Katolik sejagat yang bertubuh tambun.

Tepat pukul 7.50, sang tamu dengan berpakaian jas lengkap putih-putih, datang sambil mengempit tongkat kesayangannya di lengan atas tangan kiri. Di lehernya tergantung medali ukiran beruntai kuning emas. Dia tampak seperti sudah biasa datang Ruang Clementine atau Clement VIII Pax V, sebuah ruangan kecil dalam kompleks negara seluas lapangan golf itu, tempat pemimpin Gereja Katolik itu menerima tamu-tamu resminya. Ini kunjungannya kedua ke tempat pusat rohani umat Katolik sebumi setelah 3 tahun.

Tamu itu seorang pemimpin negara berpenduduk umat Islam terbesar sejagat, sowan ke pemimpin umat Katolik juga sejagat. Presiden Soekarno bertamu kepada Paus Johannes XXIII. Sang pemimpin umat Katolik yang bernama Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli itu, agak senang mendapat tamu jauh dari sebuah negeri muslim, meski ia belum setahun menduduki tahta suci di Vatikan. Ia memberi penghargaan tinggi kepada tamunya dan juga anggota rombongannya, berupa kotak kecil yang diterima secara bergiliran satu per satu.

3 PAUS 8 TAHUN

Mengapa Soekarno sering berkunjung ke pusat agama Katolik sedunia itu? Sering?

Ya, untuk ukuran dan skala seorang Soekarno, bertandang ke Vatikan dan menemui paus, bisa dibilang sering. Pertemuannya dengan Johannes XXIII adalah yang kedua baginya menemui seorang paus. Sebelumnya pada Rabu 13 Juni 1956, dalam rangka tur keliling dunianya, dia pertama kalinya menginjakkan kaki di Vatikan dan menemui Paus Pius XII, yang juga bangga didatangi seorang pemimpin sebuah negeri muslim dari jauh berantah. Sang tamupun mendapat pujian dan kehormatan atas kedatangannya itu.

Hanya 10 tahun baru memimpin bangsa baru, Soekarno ingin menunjukkan bahwa takdirnya memimpin bangsa sangat majemuk ia jalankan dengan baik. Dia bukan bagai seorang raja atau pangeran yang memimpin negeri homogen dalam budaya dan agama, seperti raja, sultan atau emir di Timur Tengah atau Semenanjung Melayu. Ia ingin berdiri di semua pihak, golongan, agama, budaya dan kepentingan.

“Kami menyambut dengan hangat kedatangan Yang Mulia, dengan mengingatkan kembali kedatangan Yang Mulia menemui pendahulu kami, Paus Pius XII dan Paus Johannes XXIII”, sambutan Paus Paulus VI ketika menerima kedatangan ketiga kalinya Presiden Soekarno ke Vatikan (dan juga menjadi yang terakhir), pada Senin, 12 Oktober 1964.

Soekarno dipuji amat sangat oleh Vatikan, karena memberi sikap yang baik dan bersahabat dengan umat Katolik di Indonesia, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI ketika menyambutnya. Setiap dia datang ke Vatikan, dia selalu diberi penghargaan oleh paus. Prestasi ini tak pernah terjadi kepada pemimpin dari negeri muslim manapun di dunia. Ini yang selalu membanggakan seorang tokoh budayawan, rohaniawan Katolik yang juga arsitek markas ABRI di Cilangkap, Romo Mangunwijaya. Ia selalu memuja penghargaan Soekarno sebagai pemimpin negeri muslim dari Vatikan, sebagai hal pertama dalam 2000 tahun sejarah Gereja Roma Katolik.

“Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan”, katanya dalam otobiografi yang ditulis ratu gosip AS Cindy Adams. Perhargaan ini membuat iri Presiden Irlandia Eamon de Valera, yang negerinya punya 88% umat Katolik. “Saya saja punya satu penghargaan”, katanya saat berjumpa dengan Soekarno.

API BUKAN ABU


Bagi Soekarno, umat Katolik dan kristiani umumnya, bukan hal yang asing baginya. Jauh sebelum dia menjadi pemimpin, persinggungan dengan orang-orang Katolik sudah terjadi. Ketika dipenjara di Sukamiskin, Bandung, dia banyak membaca tulisan-tulisan van Lith, seorang tokoh Katolik yang meletakkan dasar ajaran Katolik di tanah Jawa. Van Lith punya dua murid kesayangan, yang juga menjadi lebih dari sahabat bagi Soekarno, yaitu Mgr. Soegijapranata dan IJ Kasimo.

Ketika dia dibuang ke Ende, Flores, Soekarno banyak memuji cara kerja dan sistem manajemen orang-orang Katolik di pulau itu, yang memang menjadi mayoritas. Ia kadang mengkritik keras cara berpikir orang-orang Islam masa itu, yang terlalu mengurusi asesoris daripada esensi ajaran Islam, yang makin menjauhkan umat Islam dari modernitas. “Ambil apinya dari Islam, bukan abunya”, katanya mengkritik. Soekarno saat itu menggagumi buku ‘Spirit of Islam’ karya Syed Amir dari London, yang isinya ingin membangunkan umat Islam dari tidur panjang.

Pada jaman kemerdekaan, keluarga Soekarno ternyata bersahabat baik dengan Soegijapranata, murid van Lith, tokoh yang dikaguminya. Sewaktu Belanda menyerang ibukota negara di Jogjakarta, 18 Desember 1948, istrinya disembunyikan oleh Soegijapranata di rumahnya di tepi barat Kali Code, dari kejaran militer Belanda. Sedangkan Soekarno diibuang ke Prapat, Sumatera Utara. Saat ketakutan itu, istrinya punya batita dan bayi yang belum setahun, Megawati.

Ketika Soegijapranata wafat, Soekarno menjadikannya pahlawan nasional dan mengirim pesawat khusus untuk menjemput jenazahnya di Belanda. Setelah itu, istrinya Fatmawati meratapi kepergian paderi Katolik pribumi pertama itu dengan tangisan tiada henti.

HAMPA 28 TAHUN

Intensitas kunjungan Soekarno ke Vatikan sangat unik. Jarang ada seorang pemimpin dunia, apalagi dari negeri Islam, menemui tiga paus yang berbeda dalam kurun singkat, 8 tahun! Namun itu tidak diimbangi dengan kedatangan paus ke negerinya selama ia menjadi presiden. Ini sangat wajar, karena belum menjadi trend seorang paus pergi ke keliling dunia pada masa itu, seperti yang ditunjukkan Paus Johannes Paulus II.

Setelah dia tak berkuasa, baru pada 3 Desember 1970, Indonesia dikunjungi seorang paus pertama kalinya. Kedatangan Paus Paulus VI yang menjadi tamu Presiden Soeharto adalah untuk membalas kunjungan berkali-kali Soekarno ke Vatikan. Dan sejak itu, ada semacam tradisi setiap presiden Indonesia ‘harus’ beraudiensi dengan paus.

Selama berkuasa 32 tahun, Soeharto hanya sekali ke Vatikan bersama istrinya pada Sabtu 25 November 1972 menemui Paus Paulus VI. Dia enggan datang mampir bertemu Paus Johannes Paulus II ketika ada di Roma pada November 1985 untuk menerima penghargaan FAO karena prestasinya dalam ketahanan pangan. Menjadi kebiasaan, bila seorang kepala negara datang ke Roma, pasti menyempatkan ke Vatikan yang letaknya di dalam biota Italia.

Masalah gereja Katolik di Timor Timur yang langsung di bawah kendali Vatikan, menjadi isu kurang menarik baginya bila didiskusikan dengan paus. Ia menginginkan umat Katolik di Timor Timur langsung dibawa kendali Jakarta, tapi hal itu ditolak hingga propinsi kesayangan tersebut lepas menjadi negara merdeka. Namun beruntung Paus Johannes Paulus II tidak mencium bumi Timor Timur, ketika dia datang ke Indonesia pada 9 Oktober 1989, ketika menjadi tamu Soeharto. Kalau itu terjadi, sama saja mengakui propinsi itu sebagai negara terpisah dari Jakarta.

Sejak 1972, hampir 28 tahun lamanya, tidak ada seorang presiden Indonesia pun yang datang Vatikan. Barulah kebekuan itu mencair ketika Presiden Abdurrahman Wahid menemui Paus Johannes Paulus II pada Sabtu 5 Februari 2000, yang kondisinya sudah agak sakit-sakitan. Pada pertemuan bersejarah itu, ada kejadian janggal. Biasanya seorang wanita yang bertemu paus ‘wajib’ mengenakan gaun hitam. Namun Ibu Shinta Wahid memakai gaun putih cerah.

Kedatangan Wahid diikuti oleh penggantinya, Presiden Megawati Soekarnoputri menemui tuan rumah yang sama pada Senin 10 Juni 2002. Inilah terakhir kali seorang presiden Indonesia datang ke Vatikan. “God Bless Indonesia”, kata paus kepada Megawati sebelum pamit.

DISAYANG GEREJA DICINTAI MUSLIM

Meski Soekarno sangat disayangi oleh Vatikan, tidak menjauhi dia dari dunia Islam. Justru sebaliknya, dia dianggap pahlawan Islam oleh komunitas muslim dunia. Organisasi internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika menjulukinya Amirulmukminin. (pemimpin umat Islam). Anehnya, julukkan itu bukan untuk raja-raja Islam di Timur Tengah yang sangat kental dengan keislamannya.

Dia hanya ingin menunjukkan sebuah contoh kepada dunia, bahwa Indonesia adalah landskap indah sebuah negara majemuk, yang menjadi tempat damai bagi semua golongan apapun. Para penggantinya, berusaha sebaik mungkin menunjukkan kepada dunia upaya seperti itu, meski tidak sesempurnya dia. Tetapi citra Indonesia sebagai negara yang damai bagi semua golongan terawat rapi selama pemerintahan Soeharto, yang selalu memakai Pancasila untuk melegalkan segala tindakannya demi menjaga kerukunan hidup beragama.

Kehebatannya itu pernah dipuji oleh Paus Johannes Paulus II di depan Soeharto. “Falsafah Pancasila telah menjadi nakhoda bagi negeri ini untuk mengakui bahwa hanya satu landasan utama bagi persatuan nasional yang menghormati perbedaan apapun yang ada pada masyarakat majemuk Indonesia”.

Soeharto merawat kerukunan hidup beragama itu dengan cara mencampur pemerintahan bergaya Jawa yang sulit ditebak dan otot kekerasan militer. Resep terakhir diperuntukkan bagi pihak yang “coba-coba” merusak SARA (suku, agama, ras dan antara golongan) di negeri ini.

Saya agak geram, mengapa Saudi Arabia menjadi sponsor konferensi dialog Islam dan barat pada akhir 2007? Padahal negeri itu sangat tidak ramah bagi pemeluk non-Islam dan hak wanita serta minoritas. Mungkin saja karena Raja Abdullah yang menjadi sponsor utama dialog itu, punya ‘minyak pelet’ pada dunia barat, yaitu cadangan minyaknya. Sedangkan Indonesia, tak ada yang bisa dibanggakan untuk itu. Seharusnya, peran itu dijalankan oleh Indonesia. Kita pernah punya pemimpin yang bisa membuktikan peran tersebut.

Memang agak aneh, setelah Soeharto turun dari kekuasaan, kerukunan beragama sedikit terganggu yang dipicu oleh pihak tertentu. Mulailah subur tumbuh pertikaian horisontal antara masyarakat beragama yang menodai wajah Indonesia di mata dunia. Sebagian umat beragama minoritas mengalami kesulitan dalam banyak hal dalam menjalankan ibadah mereka. Mengapa ini bisa terjadi? Dan mengapa pada saat Indonesia hidup dalam tirani, kerukunan justru terjaga meski terkesan seperti “menyimpan abu dibalik karpet”?

Ada yang salah dengan demokrasi?

Yang bisa jawab hanya ‘anak ideologi’ Soekarno, Abdurrahman Wahid. (*)



SUMBER FOTO: 

  • Paus Johannes XXIII - Presiden Soekarno (AP/Kompas), Presiden Soeharto - Paus Paulus VI (Jejak Langkah Pak Harto), Paus Johannes Paulus II - Presiden Wahid (Reuters/Kompas) dan Paus Johannes Paulus II - Presiden Megawati (AP).
Penulis: Iwan Satyanegara Kamah - Jakarta
sumber: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1157/soekarno_loves_jesus_christ

Nabi dan Rasul dalam Kristen

disadur dari: http://terangdaritimur.blogspot.com/2009/07/nabi-dan-rasul-dalam-kriste.html


Hari ini kita akan membahas tentang Nabi dan Rasul dalam Kristen. Dalam agama sebelumnya yaitu Yahudi, nabi adalah seorang laki-laki atau perempuan (nabiah) yang menerima Firman Allah. Apa bedanya dengan rasul? Seorang nabi hanya menyebarkan kabar gembira hanya di sekitar Israel saja.


Rasul adalah murid-murid Yesus yang menyebarkan ajaran tentang Yesus dan Gereja. Tugas utama rasul yaitu menyebarkan kabar gembira (Injil) Yesus ke seluruh dunia. Para rasul adalah saksi Gereja dalam Kristus, karena mereka berinteraksi dengan Yesus secara langsung. Sebagai orang Kristen mungkin kita bingung mengenai kebenaran AJARAN Yesus, ”banyak” sekali pihak-pihak mengklaim diri sebagai Gereja dan mempunyai ajaran Kristus sendiri, akan tetapi tidak mengakui ajaran para rasul. Para rasul Yesus merupakan KUNCI dari semua ajaran Yesus Kristus. Karena mereka adalah murid-muridNya sendiri.


Untuk mencari kebenaran ajaran Yesus, tidak perlu kita pindah dari gereja a ke gereja b yang pengajarannya tidak berdasarkan kebenaran Allah melainkan kebenaran sendiri (Roma 10:2) Cukuplah kita mencari kebenaran Yesus melalui pengganti para rasul yaitu Penilik jemaat/ Episkopos. Sebab para rasul selalu mempunyai pengganti yang disebut "suksesi". Contoh kepatriarkhan Konstaninopel (Yunani) pengganti rasul Andreas, kepatriarkhan Yerusalem pengganti rasul Yakobus, kepatriarkhan/katolikos India pengganti St. Thomas, kepatriarkhan Aleksandria (Mesir) pengganti St. Markus, kepatriarkhan Anthiokia Siria pengganti St. Petrus, dan lain-lain. Jadi intinya adalah para nabi dan para rasul mempunyai tugas menyebarkan keselamatan. Dan keselamatan yang dibawa oleh Yesus bisa dilacak melalui Para rasul dan pengganti-penggantinya yang ada dalam Gereja Purba yang Orthodox. Amin.

August 22, 2011

Membuat Tanda Salib

disadur dari: http://gkipi.org/membuat-tanda-salib/



Membuat tanda salib mungkin terasa asing bagi umat Kristen khususnya Protestan, tetapi tidaklah demikian dengan umat Kristen Katolik. Sikap ini dilakukan oleh umat Katolik bukan hanya pada saat-saat yang berhubungan dengan liturgi ataupun upacara-upacara gerejawi saja, melainkan mereka juga membuat tanda salib untuk barang-barang atau pada saat ingin memulai suatu pekerjaan.
Mengapa tradisi ini tidak dipakai lagi oleh umat Protestan? Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai tradisi/kebiasaan membuat tanda salib tersebut. Salib (dua garis/tiang yang bersilangan) sendiri secara umum cukup banyak dipakai sebagai tanda/simbol di luar agama Kristen. Akan tetapi, saya hanya akan membahas mengenai simbolik tanda salib yang dipakai oleh orang Roma Katolik saja.
Tanda Salib Rakyat Roma Katolik
Rakyat Roma Katolik, khususnya di Eropa Selatan, Amerika Selatan, Filipina, Flores, dan Timor, amat banyak memakai tanda salib. Seperti layaknya dengan adat kebiasaan kerakyatan, tidak seorangpun tahu siapa yang memulai praktik tersebut dan kapan.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru saja tidak ditemukan bekas adat/kebiasaan seperti itu. Memang, dalam Perjanjian Lama dan dunia kafir, pengenaan suatu tanda pada diri seseorang (misal budak) atau binatang, yakni untuk menandai bahwa dia itu milik seseorang, sudah biasa dan sudah ada. Akan tetapi, tanda yang dimaksudkan tersebut bukan berupa tanda salib. Namun, seiring perkembangan dan pengalaman iman Kristiani akan salib Kristus, muncullah tradisi Kristiani untuk membuat tanda salib.
Tanda salib pada rakyat Roma Katolik berperan seperti ucapan “Bismillah” pada rakyat Islam[1] . Sejak awal kekristenan, tanda salib ini sudah biasa diberikan kepada para katekumen, bahwa mereka itu kini milik Kristus.
Menurut tradisi liturgi, tanda salib pertama-tama mengungkapkan iman dasar Kristiani akan salib Kristus yang membawa pembebasan dan keselamatan. Kemudian, tradisi ini berkembang menjadi tanda salib yang disertai pengucapan “Dalam/atas/demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” baru sekitar abad pertengahan, kira-kira abad V.
Arti ‘Tanda Salib’
Di antara orang Katolik, tanda salib itu menjadi cap yang boleh saja diterapkan pada segala sesuatu. Dengan menerapkan cap itu pada sesuatu yang ‘profan’, duniawi, dan manusiawi, orang Katolik sebenarnya mengungkapkan keyakinannya bahwa yang sangat manusiawi itupun diliputi oleh karya penyelamatan dan turut diselamatkan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar hanya profan dan manusiawi saja.
Tanda salib itu menunjuk kuasa salib Kristus yang menyelamatkan dan tanda perlindungan Kristus terhadap kuasa jahat dan setan[2] . Tanda salib yang disertai dengan seruan Trinitas tersebut memiliki makna bahwa orang beriman mengenang baptisannya, di mana dia menjadi milik Kristus, dan pengakuan iman yang dinyatakan pada saat baptis itu menjadi lengkap meskipun pendek. Apalagi ditutup dengan kata amin, iman mereka semakin diperteguh bahwa melalui salib Yesus, Sang Putra Allah, karya penyelamatan dan penebusan dosa dapat tergenapi dan dengan penyertaan Roh Kudus, kita sebagai manusia diantar untuk menghadap Allah Bapa.
Tanda salib digunakan di berbagai upacara dalam liturgi. Ada tanda salib kecil yang dibuat dengan jempol, misalnya pada dahi, bibir, dada, kaki, dan sebagainya. Ada juga tanda salib besar yang biasa dibuat/diberikan pada sejumlah barang. Akan tetapi, secara garis besar, tanda salib adalah sebuah gerakan tangan (biasanya: satu tangan terbuka) sambil menyerukan kutipan Trinitas tadi, dan dilakukan untuk:[3]
  1. Masuk ke dalam Gereja (khususnya Katolik)
  2. Untuk mengawali dan mengakhiri Ekaristi
  3. Membuka dan menutup doa pribadi
  4. Konsekrasi
  5. Saat menerima berkat: pengampunan, pengampunan, persembahan, dan perutusan.
Kesimpulan
Sampai sekarang, tradisi tanda salib masih tetap dipakai oleh umat Katolik. Akan tetapi, apabila saya perhatikan, makna tanda salib itu sendiri (seperti yang sudah diuraikan sebelumnya) sepertinya sudah mengalami pengurangan/kemunduran arti. Atau malah, (jangan-jangan) mereka yang membuat tanda salib itu sendiri tidak tahu kenapa mereka membuat tanda salib tersebut. Lihat saja pemain sepak bola, khususnya di Amerika dan Eropa, yang baru masuk lapangan biasanya membuat salib lalu menyentuh tanah baru masuk lapangan, begitu juga petinju, atau pembalap mobil. Tampaknya tanda salib hanya sebagai usaha ‘penyucian/pengkristenan’ segala sesuatu, baik barang ataupun pekerjaan. Benda/pekerjaan yang haram pun dapat menjadi halal hanya dengan membuat tanda salib di atasnya.
Contoh-contoh tadi memperlihatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tanda salib lebih mengarah kepada formalisme, atau bahkan lebih mengarah kepada takhayul/magi. Dengan membuat tanda salib, saya akan menang, atau dengan membuat tanda salib, musuh saya akan celaka, atau dengan tanda salib, ‘penyewa saya’ akan banyak, dan sebagainya. Tanda salib itu sendiri akhirnya kehilangan makna religiusnya. Tidak mengherankan bila sering kali kita melihat tanda salib itu dibuat sembarangan atau asal-asalan. Saya sendiri pernah menemui kenyataan dari rekan sendiri yang mengatakan (dari sudut pandang rekan tersebut) bahwa jika sudah sangat kelaparan, orang Katolik cukup membuat tanda salib saja tanpa disertai doa sebelum makan.
Jadi, bukan berarti saya menolak tradisi membuta tentang salib, tetapi sangat disayangkan apabila kita (khususnya umat Katolik) membuat tanda salib, tetapi tidak tahu makna sebenarnya. Apalagi jika tanda salib itu hanya digunakan untuk hal yang berbau magi atau semacam mantra untuk mencapai tujuan tertentu, maka sangat dangkal pemahaman kita mengenai salib itu sendiri. Mungkin juga karena terlalu berbau magi dan takhyul, maka kekristenan pada masa Reformasi Gereja, khususnya umat Protestan, menolak kebiasan membuat tanda salib tersebut hingga saat ini. Atau juga penolakan ini hanya disebabkan oleh faktor malas belaka.
Tentu saja tidak ada kewajiban untuk mengikuti adat kebiasaan itu. Namun tradisi ini memiliki arti yang sangat dalam, meskipun kerap kali kurang disadari bahkan disampingkan maknanya. Akan tetapi, melihat makna sesungguhnya yang sangat mendalam, kekristenan Protestan pun sepertinya membutuhkan hal-hal/kebiasaan semacam itu dalam liturginya yang sudah semakin miskin akan simbol. Lagi pula, tidak sulit bagi kita untuk membuat tanda di dahi, dada, bahu kiri, lalu bahu kanan, sambil mengucapkan Trinitas dan ditutup dengan amin. Jika kita melakukannya, juga tidak akan menguras banyak tenaga dan waktu kita.
Oleh karena itu, jika kita mau melakukannya dengan benar dan dimaknai secara tepat, membuat tanda salib bukan hanya akan memperkaya liturgi dalam gereja kita saja, tetapi juga akan mengingatkan diri kita untuk lebih menyadari bahwa kita telah diselamatkan lewat penderitaan Yesus di salib dan juga untuk membawa kita kepada kesatuan dengan Kristus yang sesungguhnya.
Yosafat Simatupang
Daftar Pustaka
1. Groenen, C. dan Stefan Leks. 1993. Percakapan Tentang Agama Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
2. Martasudjita, E. 1998. Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi: Dasar Teologi Liturgis, Makan Simbol, Pakaian, Warna, Ruang, Tahun, dan Musik Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.
3. Windhu, I. Marsana. 1997. Mengenal 25 Sikap Liturgi. Yogyakarta : Kanisius.

Apakah semua orang Kristen adalah murid Kristus?

disadur dari: http://gkipi.org/apakah-semua-orang-kristen-adalah-murid-kristus/



Kesalahpahaman seringkali terjadi saat orang mendengar kata “Pemuridan”, karena langsung mengasosiasikannya dengan istilah murid Sekolah Minggu. Padahal dalam Perjanjian Baru, kata “murid” khusus ditujukan untuk 12 murid Yesus. Itu berarti orang dewasa pun dapat disebut murid. Bahkan Yesus menjadikan perempuan, yang pada waktu itu tidak diperhitungkan dalam proses belajar mengajar, orang berdosa, yang disisihkan masyarakat, sebagai pengikut-Nya.
Kalau begitu, apakah setiap orang yang pernah bertemu Yesus, atau yang pernah disembuhkan oleh Yesus, atau yang pernah menikmati roti serta ikan saat murid-murid Yesus membagikannya secara berlimpah, otomatis juga disebut murid Yesus?
TERMINOLOGI DAN KONSEP TENTANG MURID
Secara umum kata murid dalam bahasa Yunani disebut Mathetes artinya pupil atau disciple atau pelajar. Kata pupil lebih menjelaskan tentang relasi antara guru dengan muridnya. Sedangkan kata disciple lebih menunjukkan proses yang dijalani oleh seorang murid. Itu sebabnya kata ini dihubungkan dengan beberapa kata lainnya, yaitu: manthano artinya belajar, katamanthano artinya menguji, mathetria artinya murid perempuan, matheteuo artinya menjadi murid atau membuat murid (To make disciples), matheteuein artinya menjadikan murid, dan akoulouthein artinya ‘mengikut’.
Dari beberapa kata di atas dapat disimpulkan bahwa seorang murid dari cara pandang orang Yunani adalah seorang yang senantiasa mengikuti gurunya dan mengalami proses pembelajaran sampai proses pengujian, sehingga akhirnya ia dapat memiliki murid yang belajar darinya.
Melalui kata disciple, ada 3 hal yang menarik dari konsep “belajar” orang Yunani. Pertama, “Belajar” merupakan elemen intelektual yang diserap dari teori pengetahuan (kognitif). Kedua, “Belajar” juga merupakan rekoleksi dari sesuatu yang tidak ada dalam hati nurani, akhirnya menjadi bagian dari hati nurani muridnya (afektif). Ketiga, “Belajar” merupakan penerapan dari pengembangan pemahaman moral manusia (psikomotorik). Menurut Socrates diperlukan berbagai cara untuk mencapai ketiga hal di atas yaitu melalui membaca, menulis, matematika, musik bahkan melalui pendidikan olah tubuh.
Sedangkan dari kata pupil, yang menarik adalah orang Yunani sangat menekankan pentingnya ikatan atau persekutuan antara murid dan gurunya. Itu terbukti saat guru-guru dari murid-muridnya meninggal dunia, mereka tetap melakukan proses belajar bahkan diharapkan munculah pemimpin atau future leader dari antara mereka. Itu sebabnya, proses belajar yang dilakukan oleh seorang murid tidak akan pernah berhenti dan tidak pernah ada batas waktunya.
Apa yang diharapkan dari proses belajar seorang mathatetes? Seorang yang menjalani proses belajar di satu sisi diharapkan menjalani proses itu terus menerus (bdk. Gal 4:19; Roma 8:29; 12:2) sehingga akhirnya terjadi proses dibentuk (formed) dan diubah (transformed). Belum cukup sampai disitu, seorang mathetes dibentuk dengan tujuan agar ia dapat membentuk orang lain lagi (formed to shape). Itulah sebabnya seorang murid harus terus menerus memiliki relasi yang intim dengan Gurunya guna mencapai formasi spiritualitasnya (spiritual formation). Itu berarti perubahan yang berasal dari dalam diri (inner life) terlebih dahulu dan bukan sekadar lahiriah belaka.
Perubahan seperti apa yang dapat terjadi dalam hidup seorang murid? Menurut Bill Hull, seorang yang menjadi murid Kristus akan mengalami Iman yang diwujudkan melalui keaktifan dalam menaati Firman Tuhan. Adapun kompetensi yang dimilikinya sebagai murid Kristus adalah:
  1. Seorang murid akan mengajukan pertanyaan terus menerus kepada gurunya bagaimana cara mengikut Yesus
  2. Seorang murid akan belajar dari perkataan-perkataan Yesus.
  3. Seorang murid akan mempelajari cara Yesus melayani.
  4. Seorang murid akan mengimitasikan hidup dan karakter Yesus.
  5. Seorang murid akan menemukan dan mengajar murid-murid yang lain demi Yesus.
PERJANJIAN LAMA
Dalam Perjanjian Lama, Kata Mathetes (Latin discipulus) muncul dalam 1 Taw 25:8; Yes 8:16; 50:4; 54:13. Musa (Yoh 9:28) memiliki murid-murid. Nabi Samuel juga memiliki banyak pengikut. Elia mementori Elisa (2Raj 4:38). Ezra dan Nehemia juga adalah guru-guru utama saat kepulangan Israel kembali dari pembuangan ke tanah perjanjian. Yesaya juga pernah menyebut bahwa umat Tuhan yang dilayaninya adalah muridnya (Yes 8:16 Limmuday–my disciples). Relasinya Yesaya dengan para muridnya digambarkan dengan 2 pekerjaan, yaitu berbicara dan mendengarkan. Yang menarik, dalam kitab Yesaya, kata my disciple dalam Yes 50:4 menggunakan kata limmudim. Kata limmudim sangat erat kaitannya dengan penyebutan “muridnya Yahweh”. Jika kita gabungkan antara ide kata limmuday dan limmudim, berarti seorang murid bukan hanya menjadi murid dari Yesaya sebagai guru yang hadir secara fisik dan sangat manusiawi, tetapi juga murid-murid menjadi murid-Nya Yahweh. Itu berarti murid-murid bukan hanya berbicara dan mendengarkan Yesaya, tetapi murid-murid juga berbicara dan mendengarkan Yahweh.
Tidak heran jika di dalam tradisi Yahudi, tidak ada murid yang tidak memiliki guru. Sebab belajar sendirian tidaklah cukup bagi para murid. Ada proses pengimitasian terhadap sang guru sekalipun masih dimungkinkan adanya diskusi dalam proses belajar tersebut. Namun memang akhirnya Hukum dan guru merekalah yang memiliki otoritas tertinggi.
Yang menarik dari konsep pemuridan, para filsuf Yunani dan para rabi Yahudi adalah orang kunci yang menentukan, bahkan yang mengumpulkan murid-murid mereka. Sangat berbeda dengan sekolah atau konsep murid di zaman kita di sini.
Agak berbeda dari sudut jumlah, orang Farisi memformalkan sekolahnya dengan sekolah rabiniknya. Dalam sekolah itu mereka memiliki banyak sekali murid dan mereka sangat terkenal. Bahkan di zaman Herodes, Josephus mencatat bahwa banyak murid yang sangat muda bersatu bagaikan sebuah bala tentara. Jumlah mereka mencapai ribuan menurut Gamaliel II dan lebih cenderung menganggapnya sebagai karier religius karena pekerjaan mereka menggarap dan mengkritisi Taurat.
PERJANJIAN BARU
Di dalam Perjanjian Baru, istilah mathetes ada sebanyak 73 kali dalam Matius, 46 kali dalam Markus dan 37 kali dalam Lukas. Mengapa di Kitab Matius paling banyak disebut-sebut? Besar kemungkinan karena konteks pembaca Injil Matius adalah orang-orang Yahudi yang memutuskan untuk meninggalkan ajaran keyahudiannya dan beralih mengikut Yesus.
Sejak pertama kali Yesus mempublikasikan pelayanan-Nya, Yesus sudah memiliki pengikut. Pengikut Yesus salah satunya adalah Yohanes Pembaptis. Sejak Yohanes Pembaptis membaptiskan Yesus, rupanya banyak pengikut Yohanes pun yang beralih menjadi pengikut Yesus. Kita memang tidak tahu siapa pengikut Yohanes yang berpindah ke Yesus, namun murid-murid Yesus sejak pertama kali Ia menyaksikan karya-Nya adalah sebagai berikut:
Mat 10:2-4Mar 3:16-19Luk 6:13-16Kis 1:13
Simon Petrus
Andreas saudara Petrus
Yakobus anak Zebedius
Yohanes saudara Yakobus
Filipus
Bartolomeus
Thomas
Matius Pemungut cukai
Yakobus anak Alpheus
Tadeus
Simon dari Kanaan
Yudas Iskariot
Simon Petrus
Yakobus anak zabedeus
Yohanes saudara Yakobus
Andreas
Filipus
Bartolomeus
Matius
Thomas
Yakobus anak Alpheus
Tadeus
Simon dari Kanaan
Yudas Iskariot
Simon Petrus
Andreas saudara Petrus
Yakobus
Yohanes
Filipus
Bartolomeus
Matius
Thomas
Yakobus anak Alfeus
Simon yg dis.org Zelot
Yudas anak Yakobus
Yudas Iskariot
Petrus
Yohanes
Yakobus
Andreas
Filipus
Thomas
Bartolomeus
Matius
Yakobus anak Alfeus
Simon orang Zelot
Yudas anak Yakobus
Mengapa terjadi pengulangan seperti di atas. Rupanya setiap Injil setidaknya memiliki penekanan yang berbeda saat menjelaskan mengenai konsep pemuridan.
Matius; Melalui Injil Matius, konsep pemuridan dikaitkan dengan Pengutusan. Setelah murid-murid memahami ajaran Yesus, Yesus mengutus mereka. Dalam Matius 28:19-20 kata mathenteusate atau “Jadikanlah murid-Ku” menggunakan aorist active imperative 2 plural. Itu berarti kata ini menunjukkan sebuah perintah, bukan himbauan dan bukan pilihan.
Markus; Konsep berbeda yang dilihat oleh Markus, seorang murid sekaligus merupakan pelayan yang ditebus. Sehingga Markus lebih menekankan pentingnya servanthood atau kerendahatian seorang murid.
Lukas; Jalan yang harus ditempuh oleh seorang murid rupanya bukanlah jalan yang mudah tetapi jalan yang penuh dengan pengorbanan (costly way). Seorang murid bukan hanya tahu apa yang dikatakan oleh gurunya, tetapi juga memilih berada di jalan gurunya, masuk ke dalam jalan itu, menjalani perjalanan yang sangat panjang yang dimulai dengan memasuki jalan keselamatan, sehingga akhirnya menghasilkan buah yang konsisten dengan jalan yang mereka pilih.
Yohanes; Murid-murid yang mengikut Yesus memiliki banyak kekurangan. Sebelum mengikut Yesus mereka terikat oleh dosa. Yohanes menekankan bahwa menjadi murid Kristus berarti mereka diberi kesempatan untuk bebas dari ikatan dosa.
Dari ke-4 Injil saja refleksi kita adalah tidak ada satu pemimpin gereja pun yang dapat berhasil meneladani Kristus jika ia tidak menjadi seorang murid atau tidak berproses secara terus menerus sampai mati, mengikuti pemuridan. Sebab hanya dengan memasuki proses: melepaskan diri dari ikatan dosa, memahami pentingnya harga yang harus dibayar, menjadi seorang hamba dan menjalankan hidup hanya karena diutus oleh Dia, seorang dapat sungguh-sungguh menjadi murid Kristus. Salah satu acuan ajaran Yesus adalah khotbah di bukit.
Kisah Para Rasul. Berbeda dari 4 Injil, dalam kitab Kisah Para Rasul, Yesus secara fisik tidak hadir dalam hidup para murid. Namun rupanya budaya memuridkan masih diteruskan, karena murid-murid Yesus pun juga memiliki banyak murid. Bahkan dalam tradisi para rasul, mereka ikut ambil bagian dalam penulisan surat maupun Injil yang kita baca. Karena apa yang mereka dengar dari guru mereka, itulah yang mereka saksikan juga kepada banyak orang.
Adapun definisi dari kata “murid” menurut Kisah Para Rasul adalah: orang-orang percaya yang memutuskan untuk mengaku Yesus sebagai Mesias (mathetria). Itu berarti sebuah keputusan yang penuh risiko karena meninggalkan kepercayaan yang lama, beralih pada kepercayaan kepada Yesus.
PEMURIDAN DALAM SEJARAH GEREJA
Konsep Pemuridan dalam sejarah gereja diawali dengan pemikiran para pengikut Kristus aliran anabaptis sekitar tahun 1538, melalui Zwingli dan Luther. Konsep ini muncul akibat mereka berpikir bahwa doktrin/ajaran Kristen yang dikhotbahkan tidak diemban oleh pendengarnya. Sehingga sekalipun ajaran Kristen tentang pertobatan dan ajaran tentang kasih Kristus diberitakan, namun itu semua tidaklah terjadi dalam hidup seorang pengikut Kristus.
Sejalan dengan itu Conrad Grebel, seorang teolog dan penulis, juga melihat pentingnya memperkenalkan ajaran Kristus melalui sisi kehidupan pengikut-Nya. Ia mengeluarkan sebuah istilah yaitu “Bussfertigkeit” (repentance evidenced by fruits), yang berarti pentingnya bukti pertobatan melalui banyak buah.
Berdasarkan pergumulan di atas, Zwingli dan Luther sepakat memiliki Visi dengan 3 penekanan utama, yang diterapkan juga oleh pengikut aliran Anabaptis yaitu Pentingnya kelahiran kembali sebagai murid Kristus yang terbukti melalui tingkah lakunya; Pentingnya kelahiran kembali dari gereja; Pentingnya etika dari kasih.
Berdasarkan 3 penekanan tersebut, sebenarnya ada 2 fokus dari pemuridan menurut Visi dari Aliran Anabaptis, yaitu di satu sisi bicara tentang orang Kristen sebagai pribadi di mana ia harus memiliki pengalaman iman di dalam dirinya, di sisi lain bicara tentang gereja sebagai persekutuan yang diikat oleh cinta kasih (brotherhood of love) di mana kehidupan Kristiani yang sesungguhnya dan ideal diekspresikan di dalamnya.
TOKOH PEMURIDAN
Ada banyak tokoh yang memperkenalkan pemuridan. Salah satunya adalah Dietrich Boenhoeffer (39 tahun) yang mati secara tragis di tangan Hitler. Dia adalah salah satu tokoh protestanisme di Jerman yang memperkenalkan dan memperjuangkan pentingnya pemuridan. Menurutnya dalam buku The Cost of Discipleship, kekristenan tanpa pemuridan adalah kekristenan tanpa Kristus. Sebab tanpa mengaktifkan hidup kekristenan, maka iman kita mati (bdk. luk 9:23-24).
Selanjutnya, menurut Boenhoeffer, Pemuridan diawali dengan kesadaran bahwa anugerah keselamatan yang Tuhan beri bagi kita, sangat berharga. Bukti bahwa kita menghargai anugerah tersebut adalah melalui ketaatan dan kesetiaan kepada Kristus. Dan karena Kristus adalah objek dari kesetiaan dan ketaatan itu maka diperlukan sebuah inisiatif untuk melakukan ketaatan yang personal dari pengikut-Nya. Ini harus dilakukan dalam hidup keseharian seorang Kristen karena kita bukan hanya diselamatkan karena iman, melainkan kita juga harus dilumpuhkan karena iman dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan iman. Tidak heran Boenhoeffer sangat menekankan pentingnya meninggalkan segala sesuatu di belakang kita untuk mengikut Kristus. Karena itulah satu-satunya cara untuk tidak memandang anugerah sebagai hal yang murahan.
Alasan lain mengenai pentingnya pemuridan, menurutnya jika kekristenan tidak disertai dengan pemuridan, maka terjadi perkawinan antara kekristenan dengan budaya. Maksudnya, jika budaya memegang peran penting dalam hidup orang percaya maka pesan firman Tuhan tidak lagi menjadi fokus dalam pengajaran dan kehidupan para murid. Jadi sudah seharusnya pemuridan mengembalikan porsi firman Tuhan sebagai pemberi arah dalam hidup budaya, gereja dan keluarga.
Sesuai dengan apa yang dialami oleh Boenhoeffer, ternyata Policarpus yang menjadi martir di tahun 156 mengatakan bahwa seorang murid Kristus berarti seorang yang siap menjadi martir. Karena seorang martir mengikut Yesus sampai mati bahkan mengalami penderitaan yang juga dialami oleh Yesus. Policarpus (Polycarp) dikenal sebagai murid Yohanes dan menjadi Bishop di Smirna. Ia menjadi martir di zaman pemerintahan Marcion dan Valentinus di Roma. Saat Marcion bertanya kepadanya, “Apakah engkau mengenal kami?” Policarpus menjawab, “Saya tahu, engkau adalah orang yang lahir dari iblis”. Karena keberaniannya menyatakan kebenaran dan menyaksikan Kristus, ia dibakar, setelah pemerintahan Kaisar Nero.
Seperti aliran Menonitte, menurut Bill Hull, John Wesley (1703-1791) juga memiliki konsep pemuridan. Bahkan tidak ada seorangpun dalam sejarah Pasca-Reformasi yang mengembangkan pemuridan lebih daripada Wesley. Menurutnya, disiplin spiritualitas harus dimulai dari rumah. Sejak Wesley berusia 9 tahun ibunya telah membimbing Wesley, bahkan menurut ibunya Susannah, pendidikan spiritualitas yang dilakukan secara informal di rumahlah yang membuat anggota gereja mereka bertambah banyak jumlahnya dari 25 orang menjadi lebih dari 200 orang. Setelah Wesley menyelesaikan studinya, mereka membuat sebuah kumpulan yang disebut holy club, yang selanjutnya diberi nama Godly Club, Bible Moth, The Reformers’ Club dan The Enthusiasts. Tetapi judul yang diingat oleh banyak orang adalah kaum Metodis. Kegiatan dari Holy Club adalah berdoa, membaca Alkitab, sharing pengalaman hidup keseharian dan saling mendorong satu dengan lainnya. Mereka memfokuskan diri pada 3 hal yaitu mengimitasikan Kristus, menginjili dan melakukan yang baik kepada mereka yang membutuhkan, khususnya mereka yang ada dalam penjara. Ini adalah gerakan pertama yang dilakukan oleh para pengikut aliran Metodis.
AJARAN PEMURIDAN
1.    TRANSFORMASI DAN PENYANGKALAN DIRI
Yohanes Pembaptis memproklamasikan bahwa pemuridannya difokuskan pada pertobatan, pencarian Allah dan pelayanan kepada Allah. Apa yang dilakukan Yohanes berbeda yang lainnya, ia rela berkorban dengan hidup di padang gurun.
Ada perubahan dan penyangkalan diri yang dilakukan oleh Yohanes, termasuk penyangkalan diri ketika murid-muridnya sebagian besar akhirnya menjadi pengikut Yesus (Yoh 1:35-50; Kis 19:1-7). Proses penyangkalan diri sekaligus mengubah seorang murid dalam hal:
a.    Transformated mind (pikiran)
b.    Transformated character (karakter)
c.    Transformated relationship (relasi)
d.    Transformated habits (kebiasaan)
e.    Transformated service (pelayanan)
f.    Transformated Influence (pengaruh)
2.    BELAJAR DAN BERLATIH
Dalam buku “Jalan Menuju Kedewasaan Penuh dalam Kristus” pemuridan diartikan sebagai pelipatgandaan murid Kristus. Berdasarkan Kata Yunaninya mathetes, yang dipergunakan 269 kali dalam kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul, buku ini menekankan pentingnya ”diajar” dan ”dilatih”, sebab mereka adalah tiruan sang guru. Proses pemuridan disebut juga proses pendewasaan rohani dari seseorang yang sudah ”lahir baru”, sehingga tercapai 3 hal, yaitu: Pengetahuan yang benar tentang Anak Allah (Kolose 3:10); Menjadi seperti Kristus dalam karakter (2 Korintus 3:18; Filipi 2:5); Cakap dalam melayani (2 Timotius 2:2).
Menjadi Kristen tanpa menjadi murid, sama dengan ”bayi-bayi rohani” yang hanya mengkonsumsi “susu” dan tidak dapat mengkonsumsi makanan keras. ”Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa” (Ibrani 5:11-14;1 Korintus 3:2). Tidak heran jika banyak orang yang baru saja menerima Tuhan Yesus meninggalkan imannya dari Tuhan, karena mereka tidak segera dimuridkan.
3.    GAYA HIDUP SESUAI KRISTUS
Dalam Journal Discipleship Spirituality, menurut Lukas 9:23-25 Yesus mengajarkan pengikut-Nya, bahwa pemuridan bukanlah program atau sebuah peristiwa saja, melainkan sebuah proses mengikuti (follow) sehingga akhirnya sang murid memiliki gaya hidup (the way of life) yang sama dengan gurunya. Jadi pemuridan tidak hanya ditujukan bagi orang Kristen baru tetapi juga bagi seluruh orang Kristen.
Allah bukan hanya menghendaki pengikut-Nya berharap, bersemangat dan berniat hidup baik saja, tetapi Dia menghendaki kita mengalami transformasi sehingga dapat memiliki kebiasaan Ilahi sebagai wujud jawaban kita atas panggilan-Nya.
Menurut Bill Hull dalam bukunya The Complete book of Discipleship, Tuhan memerintahkan 212 hal yang disimpulkan dalam 3 hal: mengasihi Allah dengan segenap pikiran, jiwa dan kekuatan; mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri; serta mengasihi musuh. Itulah cara mengimitasikan kristus.
4. MENGAJARKAN BERULANG-ULANG KEPADA GENERASI SELANJUTNYA
Dalam Wasana Kata untuk bunga rampai Nilai-nilai Keluarga Mennonit dalam Kisaran Badai Zaman, identitas murid bagi aliran Mennonit dimulai dari rumah. Sejak kelahiran dari aliran ini, 482 tahun lalu, Mennonit memulai pertemuannya di rumah-rumah, dalam jemaat-jemaat yang kecil dan tersembunyi. Mereka tidak beribadah di gereja negara di Swiss, Belanda dan Jerman. Pertemuan ibadah rahasia, tidak tetap, dan mengambil tempat di rumah-rumah, di lumbung, di atas perahu, bahkan di gua-gua; di mana pun tempat yang mungkin untuk dipakai beribadah. Ibadah Mennonit dimulai dari keluarga! Dilaporkan, hanya sekitar 4% dari kaum Mennonit dan Brethren in Christ yang tidak memiliki kebiasaan ini.
Meskipun pengakuan-pengakuan Mennonit tidak mencantumkan mengenai ibadah keluarga, tetapi dalam Mennonite Confession of Faith (1963) bab 15 dinyatakan, “The Christian home ought regularly to have family worship, to seek faithfully to live according to the Word of God, and to support loyally the church in mission.” (“Rumah tangga Kristen haruslah memiliki ibadah keluarga yang rutin, berupaya untuk hidup dengan patuh kepada Firman Allah, dan untuk mendukung gereja dalam misi.”) Kemudian, para orangtua pun didorong untuk berjanji, mau menumbuh-kembangkan anak-anak mereka di dalam iman Kristen yang benar.
5.    BUKAN SEKADAR IKUT-IKUTAN
Di abad pertama, ada 5 karakteristik dalam pemuridan:
•    Pertama, Memutuskan untuk mengikuti seorang guru
•    Kedua, Mengingat apa yang dikatakan oleh gurunya
•    Ketiga, Belajar cara gurunya melayani
•    Keempat, Mengimitasikan hidup dan karakter gurunya
•    Kelima, Membesarkan murid-muridnya
PEMURIDAN YANG DILAKUKAN YESUS
Dalam buku klasik 1871, the Training of The Twelve, tulisan A. B. Bruce, Bill Hull mencatat bahwa Yesus juga memperlihatkan sebuah proses yang dialami para murid-Nya sehingga mereka dapat menjalankan misi Yesus. Ada 4 proses yang dijalani oleh murid-murid Yesus:
1.    Come and see
Teks: Yoh 1:35-4:46. Terjadi 4-5 bulan.
•    Ia memperkenalkan diri-Nya.
•    Ia memerkenalkan pelayanan-Nya.
2.    Come and follow me
Teks: Mat 4:19 dan Mrk 1:16-18. Terjadi 10-11 bulan.
•    Ia mengundang murid-murid-Nya.
•    Ia mengundang tanpa menyeleksi.
•    Ia menggunakan kalimat: “Follow me” sebuah undangan personal; “I will make you” mengandung tanggungjawab; “Fishers of men” Ia memberikan Visi.
3.    Come and and be with me
Teks: Mrk 3:13-14. Terjadi 20 bulan.
•    Hidup dalam keseharian bersama para murid.
•    Menunjukkan belas kasihan yang memotori misi-Nya.
•    Ia pergi dan berdoa semalaman.
•    Ia membina relasi dengan para murid.
4.    Remain in me
Teks: Yoh 15:5, 7. Di ruang atas dan selanjutnya seumur hidup para murid.
•    Yesus mengubah para murid dengan meninggalkan mereka sehingga mereka dapat menjalankan misi-Nya dengan penuh tanggungjawab dan dengan pertolongan Roh Kudus.
TRANSFORMASI DALAM DIRI KITA
Akhirnya, pertanyaan yang sederhana tetapi sangat penting bagi kita adalah: Apakah kita sudah menjadi murid Kristus? Sebab memiliki status dalam tanda pengenal kita sebagai “Kristen” atau mengikuti kegiatan gereja, bukanlah indikator bahwa kita sudah menjadi murid apalagi mengikuti pemuridan.
Dari penjelasan di atas, sampai sejauh mana kita telah menjadi murid Yesus? Atau apa yang mau kita lakukan agar kita dapat menjadi murid Yesus?
Pdt. Riani Josephine
Daftar Pustaka
Bender, Harold S. Journal: The Anabaptist Vision. CUP, Church History, Vol. 13, No. 1 (Mar., 1944).
Boenhoeffer, D. The Cost of Discipleship. London: B&S, 1959.
Bromiley, Geoffrey W. Theological Dictionary of The New Testament. Michigan: Grand Rapids, 1992.
Douglas, J. D. ed. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini II. Jakarta: OMF, 1982.
Frederick, Thomas V. Journal: Discipleship and Spirituality from A christian Perspective. Publ.ol, 2008.
Green, Joel B. eds. Dictionary of Jesus and The Gospels. Illinois: IVP, 1992.
Hull, Bill. The Complete Book of Discipleship. Singapore: Navmedia, 2006.
Suh, Eunsun. Journal: The complete book of discipleship: On being and making followers of Christ. 2008.

Pernikahan Beda Iman

disadur dari: http://gkipi.org/pernikahan-beda-iman/



Pendahuluan
Judul tulisan ini dikaitkan dengan pemahaman GKI tentang lembaga perkawinan, seraya merujuk kepada ceramah Pdt. Joas dalam Forum Diskusi Teologi pada tanggal 18 Oktober 2010, yang didasarkan atas perumusan Tata Gereja GKI, yang merupakan hukum gereja dan hukum sipil, sungguh pun hanya sepintas, karena itu bukan bidang beliau, serta dilihat dari sudut pandang Alkitab.
Tulisan ini merupakan suatu sumbangan pikiran dalam upaya memelihara konsistensi penalaran yang dikembangkan, khususnya implikasi pemakaian judul yang digunakan Pdt. Purboyo dalam ceramahnya pada hari Senin, 25 Oktober 2010, yaitu “Pernikahan Beda Iman.”
Lembaga Pernikahan
Pdt. Joas dengan baik sekali telah menjelaskan dalam ceramahnya tentang pernikahan dari aspek alkitabiah, dan mengapa GKI tidak menempatkan perkawinan dalam kategori sakramen, seperti di Gereja Roma Katolik. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi kadar kesakralan perkawinan dalam pemahaman GKI. Kesakralan itu dibuktikan oleh sumpah setia kedua mempelai “sampai maut memisahkan” mereka, yang diucapkan “di hadapan Allah dan jemaat-Nya.”
Selain aspek hukum, perlu kiranya disoroti secara kontekstual aspek budaya dalam kemajemukan budaya Indonesia, yakni tentang terjadinya peristiwa cross-over dua keluarga, menjadi satu keluarga besar berdasarkan sistem perkerabatan yang dianut.
Dalam hal ini dapat dipakai sebagai contoh sistem perkerabatan Dalihan Na Tolu, pada masyarakat Batak. Mereka memakai sebagai lambang, tungku yang berbatu tiga untuk mengamankan stabilitas periuk, sebagai wujud kehadiran tiga marga, yang menopang sistem perkerabatan masyarakat Batak.
Dalam lalulintas keluarga besar itu, mereka saling menyapa dan menghormati dengan memakai gelar yang menunjukkan kedudukan individu dalam sistem perkerabatan tersebut. Lalulintas perkerabatan itu diperbaharui pada upacara pemakaman, baptisan, dan khususnya pada suatu upacara perkawinan. Dalam konteks itu diketahuilah who is who dalam sistem perkerabatan Dalihan Na Tolu. Saya mengetahui hal itu, sebab dalam keluarga saya ada orang Batak, karena hubungan perkawinan. Itulah Indonesia, yang sangat pluralistis.
Sistem perkerabatan itu sangat penting dalam budaya Indonesia, yang terungkap dalam liturgi kebaktian perkawinan GKI PI. Melalui lambang pertukaran tempat duduk mempelai, diperlihatkan kedudukan mempelai laki-laki sebagai kepala keluarga, sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menentukan bahwa istri mempunyai domisili mengikut, yakni bertempat tinggal di rumah suaminya. Kalau zaman sekarang di megapolitan Jakarta, mungkin di Apartemen Taman Firdaus, lantai sekian.
Menurut ketentuan hukum adat orang Rote, saya adalah kepala keluarga, yang tidak dapat ditawar sampai kiamat. Dalam konteks adat Batak menurut sistem Dalihan Na Tolu juga demikian halnya. Juga perlu diketahui, bahwa dalam sistem perkerabatan itu, tidak mungkin mempelai laki-laki dan perempuan berasal dari marga yang sama, misalnya keduanya dari marga Siahaan. Prinsip adat itu juga berlaku sampai kiamat.
GKI PI setiap tahun menyelenggarakan Bulan Budaya, di samping Bulan Keluarga, bukan sebagai basa-basi, tetapi merupakan pengakuan atas eksistensi dan penghargaan akan realitas budaya yang ada dalam jemaat. Dalam buku The Mango Tree Church, tentang Gereja Protestan di Bali (1988), Douglas McKensie, dengan indah sekali mengisahkan bagaimana kebudayaan Bali dikemas sebagai kendaraan untuk menyebarkan Injil Kristus.
Karena saya ditugasi Majelis Jemaat untuk memberikan panduan tentang aspek hukum dalam Katekisasi Pernikahan, maka kesempatan itu saya gunakan untuk mengajak para katekisan melihat masalah perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1/1974, yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat Kristen Protestan.
UU No. 1/1974, disusun menurut prinsip Hukum Syariah, yang kebetulan cocok dengan pemahaman Gereja Roma Katolik tentang perkawinan, karena menganggap bahwa dalam perkawinan, kedua mempelai yang menjadi suami-istri itu dikukuhkan oleh imam Gereja Roma Katolik. Jadi sama seperti imam dalam Hukum Syariah. Ini berbeda dengan pemahaman GKI, seperti di GKI Pondok Indah. Di GKI, Pendeta memberkati mereka yang telah menjadi suami-istri karena perkawinan mereka sebelumnya telah dikukuhkan oleh pejabat Kantor Catatan Sipil, sesuai dengan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal ini suami adalah kepala keluarga (Pasal 105 KUH Perdata), dan bahwa istri mempunyai domisili mengikut, artinya mengikuti domisili suaminya (Pasal 106 KUH Perdata).
Sebagaimana dijelaskan oleh Pdt. Joas, perkawinan menurut pemahaman GKI adalah suatu perkawinan sipil (Burgerlijk Huwelijk, kata orang Belanda), yang diteguhkan oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil. Di GKI Kwitang, pendeta diangkat sebagai Pejabat Pembantu Kantor Catatan Sipil, sehingga bisa berdwifungsi. Demikian pula para pendeta gereja di pedalaman Indonesia, yang sejak zaman Hindia Belanda berdwifungsi sebagai Pejabat Pembantu Kantor Catatan Sipil, seperti dilakukan oleh ayah saya, sewaktu menjadi pendeta di Pulau Alor, yang sekarang menjadi Provinsi NTT.
Status Perkawinan di GKI
Berdasarkan penalaran di atas, maka, menurut pemahaman GKI dan dalam hal ini GKI Pondok Indah, suatu perkawinan itu sah karena mengikuti ketentuan Hukum Perdata. Hal ini berseberangan dengan Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974, yang menyatakan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut agama yang dianut oleh kedua mempelai.
Itulah sebabnya, mengapa Pendeta GKI bukan memberkati sepasang mempelai agar mereka menjadi suami-istri, tetapi memberkati mereka yang telah menjadi suami-istri, karena perkawinan mereka telah disahkan oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil (Pasal 80 KUH Perdata).
Judul yang dipakai Pdt. Purboyo, yakni “Pernikahan Beda Iman” sebenarnya mengenai Perkawinan Antar Tata Hukum, karena perbedaan iman kedua mempelai, sehingga tunduk kepada tata hukum yang berbeda. Di zaman Hindia Belanda, hal ini tidak merupakan masalah, karena adanya Ordonansi Perkawinan Campuran 1896 (Gemengde Huwelijken Ordonnantie, kata orang Belanda) untuk melakukan pelayanan hukum masyarakat yang serba pluralistis.
Sekarang kesulitan itu dengan mudah dapat diatasi dengan menikah di Kantor Catatan Sipil di luar negeri, lalu sekembalinya dari sana, mencatatkan perkawinan itu di Kantor Catatan Sipil di Indonesia dalam waktu 30 hari. Itulah perkawinan wisata yang menyumbang devisa bagi keuntungan negara asing.
Ordonansi Perkawinan Campuran itu telah dihapuskan oleh Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974, karena dalam hal ini penguasa sangat berkeinginan dan berkepentingan, bukan saja untuk mengatur ketertiban masyarakat di muka bumi, tetapi juga berketetapan hati untuk melakukan penataan di akhirat, dengan memakai iman sebagai kriterium dan persyaratan bagi sahnya suatu pernikahan.
Kesimpulan
Oleh karena itu, selaras dengan pemahaman GKI tentang sahnya suatu perkawinan berdasarkan Pasal 80 KUH Perdata, dan bukan berdasarkan iman yang dianut mempelai yang bersangkutan seperti yang dituntut oleh Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974, penggunaan judul “Pernikahan Beda Iman” tetap konsisten dengan pemahaman yang dianut GKI, khususnya GKI Pondok Indah, tentang sahnya suatu pernikahan sipil.
Kita patut menghargai upaya Majelis Jemaat GKI Pondok Indah, yang menyelenggarakan Forum Diskusi Teologi untuk membekali jemaat dengan pengetahuan yang sangat diperlukan dalam proses peningkatan pembangunan gereja.
Paul P. Poli