August 22, 2011

Membuat Tanda Salib

disadur dari: http://gkipi.org/membuat-tanda-salib/



Membuat tanda salib mungkin terasa asing bagi umat Kristen khususnya Protestan, tetapi tidaklah demikian dengan umat Kristen Katolik. Sikap ini dilakukan oleh umat Katolik bukan hanya pada saat-saat yang berhubungan dengan liturgi ataupun upacara-upacara gerejawi saja, melainkan mereka juga membuat tanda salib untuk barang-barang atau pada saat ingin memulai suatu pekerjaan.
Mengapa tradisi ini tidak dipakai lagi oleh umat Protestan? Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai tradisi/kebiasaan membuat tanda salib tersebut. Salib (dua garis/tiang yang bersilangan) sendiri secara umum cukup banyak dipakai sebagai tanda/simbol di luar agama Kristen. Akan tetapi, saya hanya akan membahas mengenai simbolik tanda salib yang dipakai oleh orang Roma Katolik saja.
Tanda Salib Rakyat Roma Katolik
Rakyat Roma Katolik, khususnya di Eropa Selatan, Amerika Selatan, Filipina, Flores, dan Timor, amat banyak memakai tanda salib. Seperti layaknya dengan adat kebiasaan kerakyatan, tidak seorangpun tahu siapa yang memulai praktik tersebut dan kapan.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru saja tidak ditemukan bekas adat/kebiasaan seperti itu. Memang, dalam Perjanjian Lama dan dunia kafir, pengenaan suatu tanda pada diri seseorang (misal budak) atau binatang, yakni untuk menandai bahwa dia itu milik seseorang, sudah biasa dan sudah ada. Akan tetapi, tanda yang dimaksudkan tersebut bukan berupa tanda salib. Namun, seiring perkembangan dan pengalaman iman Kristiani akan salib Kristus, muncullah tradisi Kristiani untuk membuat tanda salib.
Tanda salib pada rakyat Roma Katolik berperan seperti ucapan “Bismillah” pada rakyat Islam[1] . Sejak awal kekristenan, tanda salib ini sudah biasa diberikan kepada para katekumen, bahwa mereka itu kini milik Kristus.
Menurut tradisi liturgi, tanda salib pertama-tama mengungkapkan iman dasar Kristiani akan salib Kristus yang membawa pembebasan dan keselamatan. Kemudian, tradisi ini berkembang menjadi tanda salib yang disertai pengucapan “Dalam/atas/demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” baru sekitar abad pertengahan, kira-kira abad V.
Arti ‘Tanda Salib’
Di antara orang Katolik, tanda salib itu menjadi cap yang boleh saja diterapkan pada segala sesuatu. Dengan menerapkan cap itu pada sesuatu yang ‘profan’, duniawi, dan manusiawi, orang Katolik sebenarnya mengungkapkan keyakinannya bahwa yang sangat manusiawi itupun diliputi oleh karya penyelamatan dan turut diselamatkan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar hanya profan dan manusiawi saja.
Tanda salib itu menunjuk kuasa salib Kristus yang menyelamatkan dan tanda perlindungan Kristus terhadap kuasa jahat dan setan[2] . Tanda salib yang disertai dengan seruan Trinitas tersebut memiliki makna bahwa orang beriman mengenang baptisannya, di mana dia menjadi milik Kristus, dan pengakuan iman yang dinyatakan pada saat baptis itu menjadi lengkap meskipun pendek. Apalagi ditutup dengan kata amin, iman mereka semakin diperteguh bahwa melalui salib Yesus, Sang Putra Allah, karya penyelamatan dan penebusan dosa dapat tergenapi dan dengan penyertaan Roh Kudus, kita sebagai manusia diantar untuk menghadap Allah Bapa.
Tanda salib digunakan di berbagai upacara dalam liturgi. Ada tanda salib kecil yang dibuat dengan jempol, misalnya pada dahi, bibir, dada, kaki, dan sebagainya. Ada juga tanda salib besar yang biasa dibuat/diberikan pada sejumlah barang. Akan tetapi, secara garis besar, tanda salib adalah sebuah gerakan tangan (biasanya: satu tangan terbuka) sambil menyerukan kutipan Trinitas tadi, dan dilakukan untuk:[3]
  1. Masuk ke dalam Gereja (khususnya Katolik)
  2. Untuk mengawali dan mengakhiri Ekaristi
  3. Membuka dan menutup doa pribadi
  4. Konsekrasi
  5. Saat menerima berkat: pengampunan, pengampunan, persembahan, dan perutusan.
Kesimpulan
Sampai sekarang, tradisi tanda salib masih tetap dipakai oleh umat Katolik. Akan tetapi, apabila saya perhatikan, makna tanda salib itu sendiri (seperti yang sudah diuraikan sebelumnya) sepertinya sudah mengalami pengurangan/kemunduran arti. Atau malah, (jangan-jangan) mereka yang membuat tanda salib itu sendiri tidak tahu kenapa mereka membuat tanda salib tersebut. Lihat saja pemain sepak bola, khususnya di Amerika dan Eropa, yang baru masuk lapangan biasanya membuat salib lalu menyentuh tanah baru masuk lapangan, begitu juga petinju, atau pembalap mobil. Tampaknya tanda salib hanya sebagai usaha ‘penyucian/pengkristenan’ segala sesuatu, baik barang ataupun pekerjaan. Benda/pekerjaan yang haram pun dapat menjadi halal hanya dengan membuat tanda salib di atasnya.
Contoh-contoh tadi memperlihatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tanda salib lebih mengarah kepada formalisme, atau bahkan lebih mengarah kepada takhayul/magi. Dengan membuat tanda salib, saya akan menang, atau dengan membuat tanda salib, musuh saya akan celaka, atau dengan tanda salib, ‘penyewa saya’ akan banyak, dan sebagainya. Tanda salib itu sendiri akhirnya kehilangan makna religiusnya. Tidak mengherankan bila sering kali kita melihat tanda salib itu dibuat sembarangan atau asal-asalan. Saya sendiri pernah menemui kenyataan dari rekan sendiri yang mengatakan (dari sudut pandang rekan tersebut) bahwa jika sudah sangat kelaparan, orang Katolik cukup membuat tanda salib saja tanpa disertai doa sebelum makan.
Jadi, bukan berarti saya menolak tradisi membuta tentang salib, tetapi sangat disayangkan apabila kita (khususnya umat Katolik) membuat tanda salib, tetapi tidak tahu makna sebenarnya. Apalagi jika tanda salib itu hanya digunakan untuk hal yang berbau magi atau semacam mantra untuk mencapai tujuan tertentu, maka sangat dangkal pemahaman kita mengenai salib itu sendiri. Mungkin juga karena terlalu berbau magi dan takhyul, maka kekristenan pada masa Reformasi Gereja, khususnya umat Protestan, menolak kebiasan membuat tanda salib tersebut hingga saat ini. Atau juga penolakan ini hanya disebabkan oleh faktor malas belaka.
Tentu saja tidak ada kewajiban untuk mengikuti adat kebiasaan itu. Namun tradisi ini memiliki arti yang sangat dalam, meskipun kerap kali kurang disadari bahkan disampingkan maknanya. Akan tetapi, melihat makna sesungguhnya yang sangat mendalam, kekristenan Protestan pun sepertinya membutuhkan hal-hal/kebiasaan semacam itu dalam liturginya yang sudah semakin miskin akan simbol. Lagi pula, tidak sulit bagi kita untuk membuat tanda di dahi, dada, bahu kiri, lalu bahu kanan, sambil mengucapkan Trinitas dan ditutup dengan amin. Jika kita melakukannya, juga tidak akan menguras banyak tenaga dan waktu kita.
Oleh karena itu, jika kita mau melakukannya dengan benar dan dimaknai secara tepat, membuat tanda salib bukan hanya akan memperkaya liturgi dalam gereja kita saja, tetapi juga akan mengingatkan diri kita untuk lebih menyadari bahwa kita telah diselamatkan lewat penderitaan Yesus di salib dan juga untuk membawa kita kepada kesatuan dengan Kristus yang sesungguhnya.
Yosafat Simatupang
Daftar Pustaka
1. Groenen, C. dan Stefan Leks. 1993. Percakapan Tentang Agama Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
2. Martasudjita, E. 1998. Memahami Simbol-simbol dalam Liturgi: Dasar Teologi Liturgis, Makan Simbol, Pakaian, Warna, Ruang, Tahun, dan Musik Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.
3. Windhu, I. Marsana. 1997. Mengenal 25 Sikap Liturgi. Yogyakarta : Kanisius.

No comments:

Post a Comment