March 6, 2011

Mengapa aborsi itu dosa



“Tolong, jangan tusuk saya!”

Saya pernah menonton suatu program TV yang menunjukkan proses aborsi pada bayi usia 6 bulan. Dokter dengan sarung tangan memegang gunting dan pisau untuk ‘membuka’ perut ibu. Beberapa menit kemudian, bagian perut sudah tersayat, dan dalam sekejap, saya melihat suatu adegan yang membuat jantung saya hampir berhenti berdetak: keluarlah sebuah tangan kecil dari perut itu memegangi ujung gunting itu, seolah berteriak, “Tolong, jangan menusuk saya!” Namun mungkin para dokter itu sudah terbiasa melakukan “pekerjaan” itu. Tak lama kemudian hancurlah sudah tubuh manusia kecil dan tak berdaya itu. Bayi kecil itu mati terpotong-potong. Tidak sebagai manusia, namun hanya sebagai ‘benda’ yang dibuang karena dianggap mengganggu dan tidak diharapkan….

Pro Choice vs Pro-life

Di Amerika dewasa ini, terdapat isu yang cukup hangat, yang tak jarang mengundang perdebatan, yaitu mengenai aborsi. Umumnya mereka yang setuju aborsi menyebut diri sebagai ‘pro- choice‘ -karena mengacu kepada hak ibu untuk ‘memilih’ nasib dirinya dan bayi yang dikandungnya; sedangkan yang tidak setuju menyebut diri ‘pro-life‘. Gereja Katolik sendiri selalu ada dalam posisi “pro-life” karena Gereja Katolik selalu mendukung kehidupan manusia, tak peduli seberapa muda usianya, termasuk mereka yang masih di dalam kandungan.
Sebenarnya secara objektif terminologi yang dipakai sudah rancu, karena ‘pro-choice‘ sebenarnya bukan ‘choice‘, sebab pilihan yang diambil dalam hal ini hanya satu, yaitu membunuh bayi yang masih dalam usia kandungan. Sang bayi yang kecil dan lemah itu tidak membuat pilihan, sebab ia ditentukan untuk mati. Tragisnya, yang menentukan kematiannya adalah ibunya sendiri yang mengandungnya.

Kapan kehidupan manusia terbentuk?

Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan, yang diperoleh manusia sejak masa konsepsi (pembuahan) antara sel sperma dan sel telur. Kehidupan manusia terbentuk pada saat konsepsi, karena bahkan dalam ilmu pengetahuan-pun diketahui, “Sebuah zygote adalah sebuah keseluruhan manusia yang unik.”[1] Pada saat konsepsi inilah sebuah kesatuan sel manusia yang baru terbentuk, yang lain jika dibandingkan dengan sel telur ibunya, ataupun sel sperma ayahnya. Pada saat konsepsi ini, terbentuk sel baru yang terdiri dari 46 kromosom (seperti halnya  sel manusia dewasa) dengan kemampuan untuk mengganti bagi dirinya sendiri sel-sel yang mati.[2] Analisa science menyimpulkan bahwa fertilisasi bukan suatu “proses” tetapi sebuah kejadian yang mengambil waktu kurang dari satu detik. Selanjutnya, dalam 24 jam pertama, persatuan sel telur dan sperma bertindak sebagai sebuah organisme manusia, dan bukan sebagai sel manusia semata-mata. Selengkapnya, untuk melihat pandangan para scientists tentang kapan hidup manusia dimulai, silakan membaca di link ini, silakan klik.
Masalahnya, orang-orang yang “pro-choice” tidak menganggap bahwa yang ada di dalam kandungan itu adalah manusia, atau setidaknya mereka menghindari kenyataan tersebut dengan berbagai alasan. Padahal science sangat jelas mengatakan terbentuknya sosok manusia adalah pada saat konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma). Pada saat itulah Tuhan ‘menghembuskan’ jiwa kepada manusia baru ciptaan-Nya, yang kelak bertumbuh dalam rahim ibunya, dapat lahir dan berkembang sebagai manusia dewasa. Adalah suatu ironi untuk membayangkan bahwa kita manusia berasal dari ‘fetus’ yang bukan manusia. Logika sendiri sesungguhnya mengatakan, bahwa apa yang akan bertumbuh menjadi manusia layak disebut sebagai manusia.

Dasar Kitab Suci

1. Kitab suci juga mengajarkan bahwa manusia sudah terbentuk sebagai manusia sejak dalam kandungan ibu:
Yes 44:2: “Beginilah firman TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau…”
Allah sendiri mengatakan telah membentuk kita sejak dari kandungan, artinya, sejak dalam kandungan kita sudah menjadi manusia yang telah dipilih-Nya.
Ayb 31: 15: “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”
Ayub menyadari bahwa ia dan juga orang-orang lain telah diciptakan/ dibentuk oleh Allah sejak dalam kandungan.
Yes 49, 1,5: “….TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku…. Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya…”
Nabi Yesaya mengajarkan bahwa Allah telah memanggilnya sejak ia masih di dalam kandungan (sesuatu yang tidak mungkin jika ketika di dalam kandungan ia bukan manusia).
2. Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap kehidupan di dalam rahim ibu adalah ciptaan yang unik, yang sudah dikenal oleh Tuhan:
Yer 1:5: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Mazmur 139: 13, 15-16: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku…. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah;mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.”
Gal 1:15-16: “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku,supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”
Luk 1:41-42: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus lalu berseru, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”
Di dalam kisah ini, Yohanes Pembaptis yang masih berada dalam kandungan Elisabet dapat melonjak gembira pada saat mendengar salam Maria. Lalu Elisabet-pun mengucapkan salam kepada Maria dan kepada Yesus yang ada dalam kandungan Bunda Maria sebagai ‘buah rahim’-nya. Tentulah ini menunjukkan bahwa kehidupan janin di dalam kandungan sudah menunjukkan kehidupan seorang manusia, yang sudah dapat turut melonjak karena suka cita, dan layak untuk ‘diberkati’ sebagai manusia. Janin di dalam kadungan bukan hanya sekedar sepotong daging/ fetus tanpa identitas. Sejak di dalam kandungan, Allah telah membentuk kita secara khusus, memperlengkapi kita dengan berbagai sifat dan karakter tertentu agar nantinya dapat melakukan tugas-tugas perutusan kita di dunia.
3. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk memperhatikan dan mengasihi saudara-saudari kita yang terkecil dan terlemah, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Kristus sendiri.
Mat 25:45: “… sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”
Aborsi yang pada akhirnya membunuh janin, entah di dalam atau di luar kandungan, adalah tindakan pembunuhan yang bertentangan dengan perintah Yesus untuk memperhatikan dan mengasihi saudari-saudari kita yang terkecil dan terlemah.
4. Kitab Suci menuliskan bahwa kita tidak boleh membunuh, atau jika mau dikatakan dengan kalimat positif, kita harus mengasihi sesama kita.
Kel 20: 13; Ul 5:17; Mat 5:21-22; 19:18: “Jangan membunuh.”
Mat 22:36-40; Mrk 12:31; Luk 10:27; Rom 13:9, Gal 5:14: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
1 Yoh 3:15 “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya.”
Jika di dunia ini mulai banyak kampanye untuk melindungi binatang-binatang, (terutama binatang langka), maka adalah suatu ironi, jika manusia  malahan melakukan aborsi yang membunuh sesama manusia, yang derajatnya lebih tinggi dari binatang. Apalagi jika aborsi dilegalkan/ diperbolehkan secara hukum. Maka menjadi suatu ironi yang mengenaskan: ikan lumba-lumba dilindungi mati-matian, tetapi bayi-bayi manusia dimatikan dan tidak dilindungi.
Suatu permenungan: seandainya kita adalah janin itu, tentu kitapun tak ingin ditusuk dan dipotong-potong sampai mati. Maka, jika kita tidak ingin diperlakukan demikian, janganlah kita melakukannya terhadap bayi itu. Atau, kalau kita mengatakan bahwa kita mengimani Kristus Tuhan yang hadir di dalam mahluk ciptaan-Nya yang terkecil itu, maka sudah selayaknya kita tidak menyiksanya apalagi membunuhnya! Kita malah harus sedapat mungkin memeliharanya dan memperlakukannya dengan kasih.
5. Kitab Suci menuliskan, bahwa jika kita tidak peduli akan nasib saudara-saudari kita yang lemah ini, kita sama dengan Kain, yang pura-pura tidak tahu nasib saudaranya sendiri.
Kel 4: 9 Firman Tuhan kepada Kain, “Di mana Habel adikmu itu?” Ia (Kain) menjawab, “Aku tidak tahu.” Padahal tidak mungkin ia tidak tahu sebab Kain sendirilah yang memukul Habel adiknya hingga ia mati (lih. Kel 4:8).
Adalah suatu fakta yang memprihatinkan, yang menyangkut Presiden Barrack Obama yang terkenal oleh kebijakannya memperbolehkan aborsi. Pada suatu kesempatan dalam wawancara tanggal 16 Agustus 2008 (pada saat itu ia masih menjadi senator Illinois), ia ditanya oleh Pastor Rick Warren, “Jadi kapan menurut anda seorang bayi memperoleh hak azasinya?” Ini adalah pertanyaan yang menyangkut iman dan bagaimana iman itu bekerja dalam hati nurani dan kebijaksanaan sang (calon) Presiden. Namun sayangnya jawaban Obama adalah, “Answering that question with specificity, you know, is above my pay grade.” (Menjawab pertanyaan itu dengan detailnya, kamu tahu, itu melampaui batas gaji/ penghasilan saya). Suatu jawaban yang kelihatan sangat enteng untuk pertanyaan yang sangat serius. Ini sungguh mirip dengan jawaban Kain, “Aku tidak tahu.” Padahal, tentu bukannya tidak tahu, tetapi lebih tepatnya tidak mau tahu. Sebab fakta science dan bahkan akal sehat sesungguhnya telah begitu jelas menunjukkan kapan manusia terbentuk sebagai manusia.
Alkitab menunjukkan dan bahkan ilmu pengetahuan membuktikan bahwa kehidupan manusia berawal dari masa konsepsi. Satu sel ini kemudian berkembang menjadi janin yang sungguh sudah berbentuk manusia, walaupun masih di dalam kandungan. DNA dan keseluruhan 46 kromosom terbentuk saat konsepsi. Jantung janin telah berdetak di hari ke-18, keseluruhan struktur syaraf terbentuk di hari ke- 20. Di hari ke 42, semua tulang sudah lengkap, gerak refleks sudah ada. Otak dan semua sistem tubuh terbentuk di minggu ke-8. Semua sistem tubuh berfungsi dalam 12 minggu. Hanya orang yang menutup diri terhadap semua fakta ini dapat berkata, “aku tidak tahu” kapan kehidupan manusia dimulai, dan apakah janin itu seorang manusia atau bukan.

Pengajaran Bapa Gereja

1. Didache: Pengajaran dari kedua belas Rasul (80- 110)[3]
Mungkin tak banyak orang mengetahui bahwa larangan aborsi sudah berlaku sejak abad ke-1. Dalam Didache, yang merupakan katekese moral, aborsi dan mungkin juga kontrasepsi (yang dikatakan dalam istilah “magic” atau “drug“)[4]
2. Konsili Elvira (305) dan Konsili  Ancyra (314) mengecam aborsi, silakan melihat teks lengkapnya di link ini, silakan klik.
3. Beberapa Bapa Gereja yang mengajarkan larangan aborsi:
The Apocalypse of Peter (ca. 135)
Tertullian (c.160-240)
Athenagoras (d. 177)
Minucius (3rd Century AD)
Basil (c.329-379)
Ambrose (c.340-397)
Jerome (347-420)
John Chrysostom (347-407)
Augustine of Hippo (354-430)
St. Caesarius, Bishop of Arles (470-543)
Theodorus Priscianus (c.4th-5th century AD)
Justinian (527-565)
Gregory the Great (540-604)
Disciple of Cassiodorus (after 540 AD)
Apocalypse of Paul
The Apostolic Constitutions
The Letter of Barnabas
Hippolytus
Teks lengkapnya dari masing-masing Bapa Gereja tersebut, silakan klik di link ini.

Pengajaran Magisterium Gereja Katolik

Maka, Magisterium Gereja Katolik dengan teguh menjunjung tinggi kehidupan manusia dan menentang aborsi, karena memang demikianlah yang sudah diajarkan oleh para rasul dan diimani Gereja sepanjang sejarah.
1. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 27, “Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku,pengguguran (aborsi), eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, …. apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan…. itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.”
2. Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Humanae Vitae 13 mengutip Paus Yohanes XXIII mengatakan, “Hidup manusia adalah sesuatu yang sakral, dari sejak permulaannya, ia secara langsung melibatkan tindakan penciptaan oleh Allah.” Maka manusia tidak mempunyai dominasi yang tak terbatas terhadap tubuhnya secara umum; manusia tidak mempunyai dominasi penuh atas kemampuannya berkembang biak justru karena pemberian kemampuan berkembang biak itu ditentukan oleh Allah untuk memberi kehidupan baru, di mana Tuhan adalah sumber dan asalnya.
Dalam surat ensiklik yang sana Paus Paulus VI juga menyebutkan kedua aspek perkawinan yaitu persatuan (union) dan penciptaan kehidupan baru (pro-creation). Maka “usaha interupsi/ pemutusan terhadap proses generatif yang sudah berjalan, dan terutama, aborsiyang dengan sengaja diinginkan, meskipun untuk alasan terapi, adalah mutlak tidak termasuk dalam cara-cara yang diizinkan untuk pengaturan kelahiran.”[5].
3. Congregation for the Doctrine of the Faith, Declaration on Procured Abortion: (18 November 1974), nos 12-13, AAS (1974), 738:
“…from the time that the ovum is fertilized, a life is begun which is neither that of the father nor the mother; it is rather the life of a new human being with his own growth. It would never be made human if it were not human already. This has always been clear, and … modern genetic science offers clear confirmation. It has demonstrated that from the first instant there is established the programme of what this living being will be: a person, this individual person with his characteristic aspects already well determined. Right from fertilization the adventure of a human life begins, and each of its capacities requires time-a rather lengthy time-to find its place and to be in a position to act.”
Karena hidup manusia dimulai saat konsepsi/ fertilisasi, maka manusia harus dihormati dan diperlakukan sebagai manusia sejak masa konsepsi dan karenanya, sejak saat konsepsi, hak-haknya sebagai manusia harus diakui, terutama haknya untuk hidup.[6]
4. Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae menekankan bahwa Injil Kehidupan (the Gospel of Life) yang diterima Gereja dari Tuhan Yesus sebenarnya telah menggema di hati semua orang. Setiap orang yang terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan akan mengenali hukum kodrat yang tertulis di dalam hatinya (lih. 2:14-15) tentang kesakralan kehidupan manusia dari sejak awal mula sampai akhirnya; dan dengan demikian dapat mengakui adanya hak dari setiap orang untuk dapat hidup. Sesungguhnya atas dasar pengakuan akan hak untuk hidup inilah setiap komunitas manusia dan komunitas politik didirikan.[7]
Paus Yohanes Paulus II kemudian menyebutkan adanya hubungan yang dekat antara kontrasepsi dan aborsi. Kontrasepsi menentang kebenaran sejati tentang hubungan suami istri, sedangkan aborsi menghancurkan kehidupan manusia. Kontrasepsi menentang kebajikan kemurnian di dalam perkawinan, sedangkan aborsi menentang kebajikan keadilan dan merupakan pelanggaran perintah “Jangan membunuh”[8]. Maka keduanya sebenarnya berasal dari pohon yang sama, berakar dari mental hedonistik yang tidak mau menanggung akibat dalam hal seksualitas, berpusat pada kebebasan yang egois, yang menganggap ‘pro-creation‘ sesuatu beban untuk pencapaian cita-cita/ personal fulfillment.
Paus Yohanes Paulus II menyebutkan mentalitas sedemikian mendorong bertumbuhnya “culture of death” di dalam masyarakat, yang pada dasarnya menentang kehidupan.[9] Dalam mentalitas ini, bayi/ anak-anak maupun orang tua yang sakit-sakitan dianggap sebagai ‘beban’ sehingga muncullah budaya aborsi dan euthanasia. Suatu yang sangat menyedihkan! Padahal seharusnya, manusia memilih kehidupan seperti yang diperintahkan Allah, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi Tuhan Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut kepada-Nya….” (Ul 30:19-20).
Akhirnya, berikut ini adalah pengajaran definitif dari Paus Yohanes Paulus II yang menolak aborsi[10]:
“Therefore, by the authority which Christ conferred upon Peter and his Successors, in communion with the Bishops-who on various occasions have condemned abortion and who in the aforementioned consultation, albeit dispersed throughout the world, have shown unanimous agreement concerning this doctrine-I declare that direct abortion, that is,abortion willed as an end or as a means, always constitutes a grave moral disorder, since it is the deliberate killing of an innocent human being. This doctrine is based upon the natural law and upon the written Word of God, is transmitted by the Church’s Tradition and taught by the ordinary and universal Magisterium.”

Efek-efek negatif dari aborsi

Tidak mengherankan, karena aborsi adalah perbuatan yang menentang hukum alam dan hukum Tuhan, maka tindakan ini membawa akibat- akibat negatif, terutama kepada ibu dan ayah bayi, maupun juga kepada para pelaku aborsi dan masyarakat umum, terutama generasi muda, yang tidak lagi melihat kesakralan makna perkawinan.
Ibu yang mengandung bayi, terutama menanggung akibat negatif, baik bagi fisik maupun psikologis, yaitu kemungkinan komplikasi fisik, resiko infeksi, perdarahan, atau bahkan kematian. Selanjutnya, penelitian dalam Journal of the National Cancer Institute di Amerika juga menunjukkan wanita yang melakukan aborsi meningkatkan resiko 50% terkena kanker payudara. Sebab aborsi membuat terputusnya proses perkembangan natural payudara, sehingga jutaan selnya kemudian mempunyai resiko tinggi mengalami keganasan. Selanjutnyapun kehamilan berikutnya mempunyai peningkatan resiko gagal 45%, atau komplikasi lainnya seperti prematur, steril, kerusakan cervix. Selanjutnya tentang hal ini dapat anda lihat di link ini, silakan klik.
Di atas semua itu adalah tekanan kejiwaan yang biasanya dialami oleh wanita- wanita yang mengalami aborsi. Tekanan kejiwaan ini membuat mereka depresi, mengalami kesedihan yang berkepanjangan, menjadi pemarah, dikejar perasaan bersalah, membenci diri sendiri, bahkan sampai mempunyai kecenderungan bunuh diri. Menurut studi yang diadakan oleh David Reardon yang memimpin the Elliot Institute for Social Sciences Research di Springfield Illinois (di negara Obama menjadi senator): 98% wanita yang melakukan aborsi menyesali tindakannya, 28% wanita sesudah melakukan aborsi mencoba bunuh diri, 20% wanita post-aborsi mengalami nervous breakdown, 10% dirawat oleh psikiatris.
Ini belum menghitung adanya akibat negatif dalam masyarakat, terutama generasi muda. Legalisasi aborsi semakin memerosotkan moral generasi muda, yang dapat mempunyai kecenderungan untuk mengagungkan kesenangan seksual, ataupun memikirkan kepentingan diri sendiri, tanpa memperhitungkan tanggung jawab. Suatu mentalitas yang sangat bertentangan dengan ajaran Kristiani.

Bagi yang telah melakukan aborsi

Paus Yohanes Paulus II dengan kebapakan mengatakan bahwa Gereja menyadari bahwa terdapat banyak faktor yang menyebabkan seorang wanita melakukan aborsi. Gereja mengajak para wanita yang telah melakukan aborsi untuk menghadapi segala yang telah terjadi dengan jujur. Perbuatan aborsi tetap merupakan perbuatan yang sangat salah dan dosa, namun juga janganlah berputus asa dan kehilangan harapan. Datanglah kepada Tuhan dalam pertobatan yang sungguh dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Percayakanlah kepada Allah Bapa jiwa anak yang telah diaborsi, dan mulai sekarang junjunglah kehidupan, entah dengan komitmen mengasuh anak-anak yang lain, atau bahkan menjadi promotor bagi banyak orang agar mempunyai pandangan yang baru dalam melihat makna kehidupan manusia.[11]. Anjuran ini juga berlaku bagi para dokter, petugas medis atau siapapun yang pernah terlibat dalam tindakan aborsi, entah dengan menganjurkannya ataupun dengan melakukan/ membantu proses aborsi itu sendiri. Semoga semakin banyak orang dapat melihat kejahatan aborsi, sehingga tidak lagi mau melakukannya.

Kesimpulan

Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “Kehidupan manusia adalah sakral karena sejak dari awalnya melibatkan tindakan penciptaan Allah”[12]. Kehidupan, seperti halnya kematian adalah sesuatu yang menjadi hak Allah[13], dan manusia tidak berkuasa untuk ‘mempermainkannya’. Perbuatan aborsi menentang hukum alam dan hukum Allah, maka tak heran, perbuatan ini mengakibatkan hal yang sangat negatif kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Aborsi adalah tindakan pembunuhan manusia, walaupun ada sebagian orang yang menutup mata terhadap kenyataan ini. Gereja Katolik tidak pernah urung dalam menyatakan sikapnya yang “pro-life“/ mendukung kehidupan, sebab, Gereja menghormati Allah Pencipta yang memberikan kehidupan itu. Tindakan melindungi kehidupan ini merupakan bukti nyata dari iman kita kepada Kristus, yang adalah Sang Hidup (Yoh 14:6) dan pemberi hidup itu sendiri.
Mari, di tengah-tengah budaya yang menyerukan “kematian”/ culture of death, kita sebagai umat Katolik dengan berani menyuarakan “kehidupan”/ culture of life. Mari kita melihat di dalam setiap anak yang lahir, di dalam setiap orang yang hidup maupun yang meninggal, gambaran kemuliaan Tuhan Pencipta yang telah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran-Nya. Dengan demikian, kita dapat menghormati setiap orang, dan memperlakukan setiap manusia sebagaimana mestinya demi kasih dan hormat kita kepada Tuhan yang menciptakannya.
Mari bersama kita mewartakan Injil Kehidupan, yang menyatakan kepenuhan kebenaran tentang manusia dan tentang kehidupan manusia. Semoga kita dapat memiliki hati nurani yang jernih, sehingga kita dapat mendengar seruan Tuhan untuk memperhatikan dan mengasihi sesama kita yang terkecil, yakni mereka yang sedang terbentuk di dalam rahim para ibu. Sebab Yesus bersabda, “Apa yang kau lakukan terhadap saudaramu yang paling kecil ini, engkau lakukan untuk Aku…” (lih. Mat 25:45).

CATATAN KAKI:
  1. Landrum B. Shettles, M.D. and David Rorvik, “Human Life Begins at Conception,” in Rites of Life(Grand Rapids, MI: Zondervan, 1983) cited in Abortion: Opposing Viewpoints (St. Paul, MN: Greenhaven Press, 1986), p.16 []
  2. Lihat Bob Larson, Larson’s Book of Family Issues (Wheaton, IL: Tyndale House, 1986), p. 297 []
  3. Lihat J. Tixeront, A Handbook of Patrology []
  4. Lihat John Hardon, S.J., “The Catholic Tradition on the of Contraception” on line http://www.therealpresence.org/archives/Abortion_Euthanasia/Abortion_Euthanasia_004.htm Ia menulis: Istilah ini ‘mageia‘ dan ‘pharmaka‘ dimengerti berkaitan dengan ritus-ritus magis dan/ atau minuman/ obat untuk kontrasepsi dan sebagai dosa besar, yang umum dilakukan oleh orang-orang pagan:
    “Thou shalt not commit sodomy, thou shalt not commit fornication; thou shalt not steal; thou shalt not use magic; thou shalt not use drug; thou shalt not procure abortion, nor commit infanticide. ((Didache, II, 1-2 []
  5. Paus Paulus VI, Humanae Vitae 14, mengutip Roman Catechism of the Council of Trent, Part II, ch. 8, Paus Pius XI, ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930), pp. 562-64; …. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 51: AAS 58, 1966, p. 1072 []
  6. lihat Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction on Respect for Human Life in its Origin and on the Dignity of Procreation Donum Vitae: (22 February 1987), I, No. 1, AAS 80 (1988), 79 []
  7. Lihat Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, 2 []
  8. Lihat Evangelium Vitae, 13 []
  9. Lihat Evangelium Vitae 24, 26, 28 []
  10. Evangelium Vitae 62 []
  11. Lihat Evangelium Vitae 99 []
  12. Evangelium Vitae 53 []
  13. lihat Evangelium Vitae, 39, lihat Ayub 12:10 []

No comments:

Post a Comment