January 23, 2011

Nasib Orang Kristen di Dunia Arab

Jenewa – Perlukah kita peduli dengan nasib orang Kristen di dunia Arab? Isu panas ini sering menjadi berita utama setiap kali ada gereja diserang di Irak atau orang-orang Koptik Mesir diganggu. Baru-baru ini, sebuah seruan sekelompok intelektual Arab untuk mengatasi perpecahan sektarian dimuat di media Prancis menyusul serangan berdarah terhadap orang-orang Kristen Irak.
Media sering kali menyebut hilangnya atau kepindahan besar-besaran orang Kristen Timur Tengah sebagai hal yang “mungkin segera terjadi” atau “tak terhindarkan”. Dan biasanya mereka kemuudian menjelaskan tentang bahaya yang dihadapi oleh komunitas Kristen sebagai akibat munculnya Islam “radikal”. Penjelasan ini meneguhkan pandangan bahwa orang-orang Kristen adalah korban yang harus “diselamatkan” dari Islam.
Ulasan media tersebut juga memberikan kesempatan bagi pemerintah-pemerintah Arab untuk lari dari tanggung jawab dengan menyalahkan agama atas kerusuhan politik atau sosial yang terjadi, sehingga mereka bisa melindungi legitimasi mereka dengan mudah.
Sebaliknya, sebagian pembuat opini di Barat tidak menyadari dampak dari pernyataan mereka yang menegaskan, misalnya, bahwa berakhirnya kolonialisme membuat orang Kristen di Timur Tengah kehilangan dukungan penting dari masyarakat Eropa, atau yang menyebut orang-orang Kristen Arab sebagai “orang Arab yang terbaratkan”. Pernyataan yang demikian mengabaikan pentingnya kontribusi ideologis orang Kristen pada masyarakat Timur Tengah, dan fakta bahwa pada pertengahan abad ke-20, para elit Kristenlah yang mecita-citakan, membayangkan dan mengawal proyek inspiratif Arab bersatu.
Konsep nasionalisme Arab, yang sebagian digagas oleh para intelektual Arab Kristen seperti Michel Aflaq, pendiri partai sosialis Ba’ath dari Syria, didasarkan pada ide menciptakan suatu kelompok sosial di mana perbedaan marga, suku dan agama dilebur dalam bangsa, atau bahkan dalam komunitas Arab. Persatuan Arab adalah jalan bagi terwujudnya sebuah negara pan-Arab yang disokong oleh nilai-nilai akal budi, kewarganegaraan dan modernitas.
Meski ada upaya-upaya mewujudkan pluralisme dalam dasawarsa terakhir, seperti oleh PBB yang menjadikan 1999 sebagai Tahun Dialog Peradaban, komunitas internasional tampaknya buta dengan tantangan-tantangan yang nyata seputar keragaman di dunia.
Merayakan koeksistensi bukanlah respon satu-satunya. Dialog antarbudaya di tingkat internasional bisa berhasil hanya jika dipadukan dengan perubahan-perubahan di tingkat nasional. Bagaimana bisa koeksistensi kultural didorong jika di tingkat nasional pengultusan agama yang dominan, atau bahkan sistem partai tunggal, masih saja ada? Pemerintah-pemerintah di negara-negara Arab harus melindungi warga Kristen mereka, dan bukannya mengadili orang-orang yang telah memilih jalan yang berbeda dari mayoritas.
Organisasi multinasional juga bisa memberikan dukungan. Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization, serta orang-orang Muslim yang tinggal di Barat, bisa setidaknya mengecam perlakuan tak adil terhadap orang-orang Kristen di Timur Tengah.
Beberapa pendapat, termasuk dari Pangeran Talal ibn Abd al-Aziz, saudara Raja Saudi Abdullah, memperingatkan bahwa kepergian orang-orang Kristen mengancam demokrasi dan modernitas di dunia Arab. Perlu disuarakan lebih banyak lagi pendapat serupa untuk memulai debat yang sudah lama tertunda tentang kondisi dan hak-hak kaum agama minoritas. Kegagalan demokrasi, di mana warganegara tidak mempunyai hak yang setara di mata hukum dan di mana hanya ada sedikit sekali kontrol pada kekuasaan para pemimpin, adalah penyebab utama bencana sekarang ini.
Menganggap bahwa orang Kristen hanya perlu untuk sekadar “ditoleransi” di dunia Arab sangatlah tidak adil. Orang Kristen telah selalu menjadi bagian integral dari wilayah di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan ini, negeri nenek moyang mereka, yang juga tanah tempat turunnya Injil. Mereka bukanlah agama minoritas yang baru-baru ini saja ‘diimpor’ dan butuh kemurahan hati kita. Mereka bukan berasal dari negara asing. Mereka adalah warga aktif dari tanah air mereka di mana mereka punya hak untuk tetap tinggal.
Jika mereka pergi, itu akan menjadi akhir sejarah kita dan awal dari keruntuhan kita. Nasib orang Kristen di Timur Tengah tertaut pada nasib dunia Arab secara keseluruhan.
###
* Analis politik Hasni Abidi adalah Direktur Study and Research Center for the Arab and Mediterranean World (CERMAM), Jenewa. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

No comments:

Post a Comment