December 24, 2010

XMAS ATAU CHRISTMAS?

YANG MANAKAH YANG BENAR: XMAS ATAU CHRISTMAS?

Kedua versi tersebut sama benarnya. Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. “Xristos” adalah kata Yunani untuk Kristus atau Christos dalam alfabet Romawi. "Kristus" sendiri artinya "Mesias" atau "Yang Diurapi". Jadi, X adalah singkatan yang tepat bagi Kristus. Gereja Perdana seringkali menggunakan X Yunani sebab X merupakan sandi rahasia yang mereka gunakan untuk mencegah orang luar mengenali identitas mereka.

Pada masa sekarang, sebagian orang menggunakan kata “Xmas” untuk mengurangi kesan religius, namun demikian asal kata tersebut sangat Kristiani.

“Christmas” adalah kata yang amat mengagumkan. Artinya “Christ's Mass” atau “Misa Kristus”. Pada abad pertengahan gereja-gereja akan memasang sebuah penanggalan di pintu masuk gereja. Penanggalan tersebut menunjukkan perayaan-perayaan serta pesta-pesta wajib gereja - yaitu hari di mana umat wajib menghadiri Misa seperti pada hari Minggu. Huruf-huruf “mas” (“misa”) seringkali ditambahkan pada akhir nama perayaan atau nama santo/santa yang pestanya sedang dirayakan. Sebagai contoh: perayaan St. Mikhael (29 September) disebut Michaelmas (Misa St. Mikhael). Perayaan kelahiran Yesus disebut Christmas atau Misa Kristus.

“Mass” atau misa berarti “misi”, jadi kita diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang kedatangan Sang Juruselamat. Kita sama seperti para gembala yang mewartakan kabar sukacita ke seluruh penjuru negeri. Ingatlah: don't just keep Christ in Christmas - KEEP THE MASS IN CHRISTMAS!

sumber : P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com

St. Fransiskus dan Gua Natal

oleh: P. William Saunders *

Fransiskus & Gua Natal
Cerita tentang asal mula gua Natal berawal dari kisah seorang yang sangat kudus, St. Fransiskus dari Asisi.

Pada tahun 1223, St. Fransiskus - seorang diakon - mengunjungi kota Grecio untuk merayakan Natal. Grecio adalah sebuah kota kecil di lereng gunung dengan lembah yang indah terhampar di hadapannya. Masyarakat sekitar menanami daerah yang subur itu dengan pohon-pohon anggur. St. Fransiskus menyadari bahwa Kapel Pertapaan Fransiskan akan terlalu kecil untuk dapat menampung umat yang akan hadir pada Misa Natal tengah malam. Jadi, ia mendapatkan sebuah gua di bukit karang dekat alun-alun kota dan mendirikan altar di sana. Tetapi, Misa Natal kali ini akan sangat istimewa, tidak seperti Misa-misa Natal sebelumnya.

St. Bonaventura (wafat tahun 1274) dalam bukunya “Riwayat St. Fransiskus dari Asisi” menceritakannya dengan sangat baik:

“Hal itu terjadi tiga tahun sebelum wafatnya. Guna membangkitkan gairah penduduk Grecio dalam mengenangkan kelahiran Bayi Yesus dengan devosi yang mendalam, St. Fransiskus memutuskan untuk merayakan Natal dengan sekhidmat mungkin. Agar tidak didakwa merayakan Natal dengan tidak sepatutnya, ia minta dan memperoleh ijin dari Bapa Uskup. Kemudian St. Fransiskus mempersiapkan sebuah palungan, mengangkut jerami, juga menggiring seekor lembu jantan dan keledai ke tempat yang telah ditentukannya. Para biarawan berkumpul, penduduk berhimpun, alam dipenuhi gema suara mereka, dan malam yang kudus itu dimeriahkan dengan cahaya benderang dan merdunya nyanyian puji-pujian. St. Fransiskus berada di depan palungan, bersembah sujud dalam segala kesalehan, dengan bercucuran air mata dan berseri-seri penuh sukacita; Kitab Suci dikidungkan oleh Fransiskus, Utusan Tuhan. Kemudian ia menyampaikan khotbah kepada umat di sekeliling tempat kelahiran sang Raja miskin; tak sanggup menyebutkan nama-Nya oleh karena kelembutan kasih-Nya, ia menyebut-Nya sang Bayi dari Betlehem. Seorang prajurit yang gagah berani lagi saleh, Yohanes dari Grecio, yang karena kasihnya kepada Kristus telah meninggalkan kemapanan dunia ini dan menjadi sahabat orang kudus kita, menegaskan bahwa ia melihat Bayi yang sungguh menawan luar biasa, sedang tidur dalam palungan. Dengan sangat hati-hati, St. Fransiskus menggendong-Nya dalam pelukannya, seolah-olah takut membangunkan sang Bayi dari tidur-Nya. Penglihatan prajurit yang saleh ini dapat dipercaya, tidak saja karena kesalehan ia yang melihatnya, tetapi juga karena mukjizat-mukjizat yang terjadi sesudahnya meneguhkan kebenaran itu. Sebagai contoh St. Fransiskus, jika dianggap oleh dunia cukup meyakinkan, dapat menggairahkan segenap hati yang tak peduli akan iman kepada Kristus, dan jerami dari palungan, yang disimpan oleh penduduk, secara ajaib menyembuhkan segala macam penyakit ternak, dan juga wabah-wabah lainnya. Dengan demikian, Tuhan dalam segala hal memuliakan hamba-Nya dan meneguhkan kemanjuran doa-doa kudusnya yang luar biasa dengan mengadakan keajaiban-keajaiban serta mukjizat-mukjizat.”

Meskipun kisah di atas cukup kuno, pesannya bagi kita jelas. Gua Natal yang kita tempatkan di bawah pohon Natal merupakan tanda pengingat yang kelihatan akan malam itu ketika Juruselamat kita dilahirkan. Semoga kita senantiasa ingat untuk melihat dalam hati kita, sang Bayi mungil dari Betlehem yang datang untuk membebaskan kita dari dosa. Semoga kita senantiasa ingat bahwa kayu palungan yang membuai-Nya dengan nyaman dan aman, suatu hari kelak akan menyediakan kayu salib bagi-Nya. Semoga kita juga senantiasa memeluk Dia dengan segala cinta dan kasih sayang seperti yang dilakukan St. Fransiskus. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Natal yang kudus.   

* Fr. Saunders is president of Notre Dame Institute and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

sumber : “Straight Answers from Fr. William Saunders: St. Francis and the Christmas Creche”; Copyright (c) 1996 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved.
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Asal-mula Lagu Malam Kudus

oleh: P. William P. Saunders


Kisah lagu “Malam Kudus” berawal dari sebuah kota yang indah bernama Salzburg di Austria. Di tengah semarak dan megahnya kota yang dipimpin oleh Prince Archbishop, tinggallah seorang penenun sederhana bernama Anna. Anna, sebatang kara di dunia ini, hidup sangat sederhana, hampir tak ada harapan untuk meningkatkan taraf hidupnya atau bahkan untuk menikah. Suatu ketika, ia jatuh cinta kepada seorang prajurit yang ditempatkan di Salzburg. Dari prajurit itu ia mengandung seorang bayi yang dilahirkannya pada tanggal 11 Desember 1792. Malangnya, sang prajurit tak hendak bertanggung-jawab atas puteranya dan meninggalkan Anna serta sang bayi untuk memperjuangkan hidup mereka sendiri. Walau demikian, Anna menambahkan nama keluarga sang prajurit kepada nama bayinya, yang ia namakan Joseph Mohr. Menjadi seorang ibu tanpa pernah menikah, dengan seorang anak haram, Anna harus menghadapi cemoohan dan penolakan masyarakat. Pada akhirnya, ia minta kepada algojo kota untuk menjadi wali baptis bagi bayinya Joseph.

Anna memberikan yang terbaik yang mampu ia berikan bagi Joseph. Ia sadar bahwa pendidikan yang baik akan memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi puteranya. Imam paroki setempat mengetahui kecemerlangan Joseph dan juga bakatnya menyanyi. Ia mengatur agar Joseph dapat bersekolah di sekolah biara yang terkenal di Kremsmunster. Di sana, Joseph muda menonjol dalam pelajaran-pelajarannya. Di kemudian hari ia merasakan panggilan untuk menjadi seorang imam dan masuk seminari pada usia 16 tahun. Akhirnya, ketika siap untuk ditahbiskan pada usia 22 tahun, Joseph membutuhkan dispensasi khusus sebab ia tak mempunyai seorang ayah.

Joseph Mohr ditugaskan sebagai pastor pembantu di Gereja St. Nikolaus di Oberndorf, sekitar 10 mil baratlaut kota Salzburg, di tepi Sungai Salzach. (Gereja St. Nikolaus dihancurkan banjir pada tahun 1899, tetapi sebuah kapel peringatan berdiri di sana hingga sekarang.) Paroki di mana ia ditempatkan sangat sederhana, imam parokinya keras dan hemat, begitulah halusnya.

Di sini, Pastor Mohr bersahabat dengan Franz Gruber. Gruber adalah putera seorang penenun yang kurang menghargai musik. Franz diharapkan untuk melanjutkan usaha dagang ayahnya. Meskipun ditentang sang ayah, Franz mulai belajar bermain gitar dan organ. Pastor paroki bahkan mengijinkan Franz untuk berlatih di gereja. Bakatnya pun segera dikenali, dan ia dikirim untuk belajar musik secara resmi. Pada akhirnya ia menetap di kota Oberndorf dengan bekerja sebagai seorang guru musik dan membina hidup berkeluarga dengan duabelas anak. Mohr dan Gruber saling berbagi dalam kecintaan mereka akan musik, mereka berdua bermain gitar.  

Pada tanggal 23 Desember 1818, saat Natal hampir tiba, Mohr mengunjungi seorang ibu dengan bayinya yang baru lahir. Dalam perjalanan pulang ke Pastoran, ia berhenti di tepi sungai dan merenungkan peristiwa Natal yang pertama. Ia menulis sebuah puisi yang menggambarkan intisari peristiwa iman yang agung itu dan memberinya judul Stille Nacht, beilige Nacht; Malam Sunyi, Malam Kudus. Dalam komposisinya, ia berhasil menangkap misteri inkarnasi dan kelahiran Kristus yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata: Bayi Yesus yang Kudus, yang adalah Kristus Sang Juruselamat, Putra Allah, dan Terang Sejati Allah, dilahirkan oleh Santa Perawan Maria dan memenuhi dunia dengan rahmat penebusan dari surga.

Sekembalinya ke paroki, ia dikecewakan dengan berita bahwa organ gereja rusak. Tikus-tikus yang rakus telah menggerogotinya melalui pengembus, melumpuhkan sistem embusan yang dibutuhkan pipa-pipa untuk menghasilkan musik. Karena Natal sudah di ambang pintu dan tanpa dana yang cukup untuk memperbaiki organ, umat khawatir Misa Natal tengah malam tidak akan meriah. Pastor Mohr bergegas menuju rumah sahabatnya, Franz Gruber, dan menceritakan kesedihannya. Ia menyerahkan puisinya kepada Gruber dan memintanya untuk menuliskan melodi atas puisi tersebut agar dapat dimainkan dengan gitar. Franz Gruber menyelesaikan tugas pada waktunya. Dalam Misa Natal tengah malam pada tahun 1818, dunia mendengarkan untuk pertama kalinya lagu yang sederhana namun agung, yang kita kenal sebagai lagu Malam Kudus.

Lagu Malam Kudus mendapat sambutan yang sangat baik dan dengan cepat menyebar ke seluruh Austria, seringkali secara gampang disebut sebagai A Tyrolean Carol. Frederick Wilhelmus IV, Raja Prusia, mendengarkan Malam Kudus dinyanyikan di Gereja Berlin Imperial dan memerintahkannya agar dinyanyikan di segenap penjuru kerajaan pada pesta-pesta dan perayaan Natal. Ironisnya, lagu tersebut menjadi terkenal tanpa penghargaan kepada para penggubahnya. Sebagian orang berpikir bahwa Michael Haydn, saudara dari komposer terkenal Franz Joseph Haydn, yang menuliskannya. Oleh sebab itu, Raja Frederick Wilhelmus, memerintahkan agar dicari penggubah yang sebenarnya.

Suatu hari, para utusan raja tiba di biara St. Petrus di Salzburg untuk menanyakan perihal penggubah lagu Malam Kudus. Felix, putera Franz Gruber, yang menjadi murid di sana, menemui mereka dan menceritakan kisah di balik lagu Malam Kudus serta mengantar mereka kepada ayahnya, yang sekarang menjadi pemimpin paduan suara di suatu paroki lain. Sejak saat itulah, keduanya, Mohr dan Gruber, diakui sebagai penggubah lagu Malam Kudus.

Pastor Joseph Mohr wafat dalam usia 56 tahun pada tanggal 4 Desember 1848 karena tuberculosis. Gruber wafat dalam usia 76 tahun.

Terjemahan lagu Malam Kudus dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Jane Campbell pada tahun 1863 dan dibawa ke Amerika pada tahun 1871, muncul dalam Buku Nyanyian Sekolah Minggu Charles Hutchins. Sementara terjemahan dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Yamuger / Seksi Musik Komlit KWI pada tahun 1992.

Sementara kita mempersiapkan datangnya Natal, kiranya kita sungguh mencamkan dalam hati kata-kata yang terdapat dalam lagu Malam Kudus dan semoga pesan yang disampaikannya kita amalkan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan-perbuatan kita. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal!

Fr. Saunders is pastor of Queen of Apostles Church in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: What Can You Tell Me about the Song 'Silent Night'?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

December 22, 2010

Liberalisme di Belanda

Liberalisme adalah kata bermakna ganda, ia menyiratkan pembebasan manusia dari segala bentuk otoritas diluar dirinya, tetapi ia juga mendorong manusia membebaskan dirinya dari realita yang transenden (Tuhan). Liberalisme merupakan konsekwensi logis dari perkembangan Renaissance – Rasionalisme – Pencerahan, yang menghasilkan manusia Sekuler yang branggapan bahwa manusia hanya berurusan dengan yang duniawi (saeculum) dan menafikan yang kekal (aeternum).

Di Eropah, negeri yang paling sekuler dan liberal adalah Belanda, ini dimungkinkan karena bangsa Belanda termasuk yang paling bebas, terbuka, dan sangat toleran, ini berarti bahwa sifat itu membawa negeri Belanda pada situasi dimana semua faham baru dan perilaku bisa ditoleransikan. Akibat kebebasan sekuler dan liberal telah menjadikan Amsterdam sebagai pusat peredaran obat bius bahkan ada anggota dewan kota yang pecandu narkoba, dan juga menjadi surga perilaku homoseksual.

Kebebasan bukannya tidak terbatas, dalam dua dasawarsa terakhir masyarakat umum mulai mempertanyakan ‘Tidakkah kebebasan di Belanda sudah terlalu jauh?’ (Backlash and Debate, Permissiveness: the Dutch are wondering if things have gone too far, Time Magazine, August 1987, hlm.20-25). Soalnya, kebebasan penggunaan narkoba, pornografi, sex bebas dan perilaku homoseksual sudah merangsang peningkatan kejahatan dan mengganggu kebebasan penduduk lainnya. Belanda adalah negara pertama yang melegalkan EuthanasiaRuud Lubbers, ketika menjabat perdana menteri, mengeluhkan bahwa Belanda sudah menghadapi ‘Demokrasi yang kelewat batas.

J.A.B. Jongeneel, pakar Misiologi Utrecht Universiteit, dalam diskusi di depan pendeta-pendeta Jakarta di kantor PGI pada tanggal 11 September 1995, mengatakan:
Eropah kini menjadi makin sekuler, dan negara yang paling sekuler adalah Belanda. ... Menurut Prof Jongeneel ... penduduk Amsterdam, yang 200 tahun yang lalu hampir seluruhnya beragama Kristen (99%), sekarang tinggal 10% saja yang dibaptis dan ke gereja, kebanyakan mereka tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler.” (Sekularisasi Ancaman Bagi Semua Agama, Berita Oikumene, September 1995).

Di Belanda, sejalan dengan sekularisme, liberalisme masuk jauh termasuk kedunia gereja. Kenyataan ini memperngaruhi banyak pendeta dan teolog yang termasuk Nederlandze Hervormde Kerk (NHK) yang sudah lebih dahulu terpengaruh Liberalisme maupun Gereformeerde Kerken in the Nederland (GKN) yang semula lebih conservative. Liberalisme di kalangan Roma Katolik juga paling parah di Belanda, para teolog dan pastor Belanda banyak yang melawan dan menyusahkan kepausan di Roma. Paus Paulus pernah dilempari telur busuk oleh orang Katolik ketika berkunjung ke Belanda.

Sebenarnya GKN sangat ketat menganut faham pengakuan iman reformasi yang teguh dan melepaskan diri dari NHK tetapi sejak tahun 1960-an NHK mengikuti keterbukaan dimana beberapa teolognya mulai menganggap tradisi gereja sebagai tradisi manusia belaka dan Alkitab sekedar buku dongeng. Keterbukaan akan kesimpulan kritik historis mulai menghinggapi pemikiran para teolog muda setelah para teolog konservative satu-persatu memasuki masa pensiun mereka.

Dalam hubungan perubahan arah digereja arus utama di Belanda, teolog Klaas Runia mengemukakan bahwa penyebab utamanya adalah sekularisme yang kuat melanda negeri Belanda. Dan seperti biasanya usaha para teolog muda untuk menyesuaikan berita mimbarnya dengan tuntutan sekularisme, suatu usaha yang akhirnya tidak bisa direm, sehingga sejak tahun 1972 banyak kritik justru datang dari kalangan Reformed Ecumenical Council (REC, organisasi gereja-gereja Reformed Sedunia) ditujukan kepada GKN, bahkan liberalisme yang makin jauh dipraktekkan pendeta-pendeta GKN, dalam beberapa Sidang Raya REC kemudian, GKN diusulkan untuk dikeluarkan. (Klaas Runia, Perplexing Cousins: The Dutch Churches, The Banner Magazine, May 31, 1993, hlm.8).

Memang NHK dan GKN cenderung lebih berurusan dengan pertanyaan modern mengenai ‘Apa arti iman bagi manusia sekuler, apa berita yang bisa disampaikan pada orang di luar gereja, bagaimana mencegah para pemuda keluar dari gereja, dan bagaimana mengembalikan hubungan transendental dengan yang ilahi yang makin menghilang?. Namun, karena pendekatan yang dilakukan adalah lebih bersifat sekuler dan liberal, maka hasilnya banyak gereja ditinggalkan jemaatnya terutama kaum muda. Banyak gereja menjadi kosong, diubah peruntukannya menjadi kelab malam atau bar.

Menarik mendengarkan komentar ahli sosiologi agama Jan Jonkers berkenaan dengan kecenderungan gereja-gereja mapan di Belanda sekarang, yaitu adanya tiga kemungkinan :
  1. Gereja kembali kepada tradisionalisme kuno dan konservatisme kaku, atau
  2. Gereja terus menerus membuka diri terhadap sekularisme, atau
  3. Gereja mencoba secara kreatif mencari terobosan baru dalam menjawab kebutuhan dunia modern
     
Jonkers mengatakan bahwa kemungkinan 1 & 2 menjurus pada jalan buntu, karena itu sebaiknya kita memilih kemungkinan ke-3, tetapi ia juga mengatakan bahwa kemungkinan ke-3 tidak hanya membutuhkan kreativitas saja tetapi juga spritualitas yang dalam, ini diaminkan oleh Klaas Runia yang yakin bahwa hal itu membutuhkan:
dengar-dengaran dengan taat akan firman Tuhan, disertai doa yang terus menerus agar gereja diurapi dengan kaya oleh Roh Kudus, khususnya juga para teolog dan para pemimpin gereja.” (Klaas Runia, Perplexing Cousins: Where Are The Dutch Churches Headed?, The Banner Magazine, June 7 1993, hlm.13)

Yang menarik untuk diamati bahwa akhir abad-20 peradaban dunia diwarnai dengan semangat kembali kepada transendentalisme, maka bilamana gereja membuang yang transendental, dan liberalisme cenderung mengerlingkan mata kepada spiritualitas mistik pantheisme (new age), maka sebagian umat mendapat jalan keluar dalam persekutuan-persekutuan injili dan kharismatik yang kembali menekankan spiritualitas Kristen yang membuka diri pada pekerjaan Roh Kudus.

Bagaimana dengan di Indonesia? Gereja-gereja mapan di Indonesia memang umumnya berdiri karena pekerjaan misi NHK (NZG dan NZV) dan juga GKN (NGZV). Sebagian besar gereja-gereja mapan (GPIB, GKI, GKJW, GKP, GMIM dll.) berasal dari pekerjaan misi Hervorm, dan ada juga yang berasal dari pekerjaan misi Gereformeerd (GKI Jateng, GKJ), namun gereja-gereja mapan di Indonesia ini tidak mengalami nasib malang seperti saudara-saudara mereka gereja di Nederland. Ini disebabkan beberapa kondisi yang berbeda:
1.       Para utusan misi NHK dan GKN perintis gereja-gereja itu adalah pendeta/utusan misi yang beriman konservatif;
2.       Masyarakat Indonesia sebagai bagian masyarakat Timur masih konservatif dan jauh dibandingkan liberalisme Belanda. Orang-orang Indonesia yang konservatif masih sangat terbuka akan hal-hal transendental berbeda dengan orang-orang Belanda yang sekuler dan liberal. Sekularisme belum menjadi masalah;
3.       Dikalangan jemaat Tionghoa, ada pengaruh pelayanan penginjil John Sung yang berbekas pada jemaat Tionghoa baik yang baba dan terutama yang totok (Di Tiongkok John Sung melayani bersama Andrew Gih, karena berbeda orientasi dimana Sung menekankan penginjilan massal sedangkan Gih menekankan pelayanan gereja dan sekolah Teologi, keduanya kemudian berjalan sendiri-sendiri. Andrew Gih juga melayani ke Indonesia dan mendirikan Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT));
4.       Sekalipun pengaruh liberalisme masuk juga melalui beberapa utusan misi Belanda/Barat terutama melalui pendidikan di STT tertentu, tetapi pengaruh mereka baru sebatas pengaruh terhadap pribadi-pribadi pendeta dan kaum elit tertentu, pengaruhnya kecil ditengah mayoritas jemaat Indonesia yang konservatif;
5.       Adanya kebangunan gerakan Injili dan Kharismatik dalam kekristenan di Indonesia merupakan nafas segar bagi konservatisme Kristen (fakta menunjukkan bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir, nyaris tidak ada pembukaan STT ekumenis yang baru, tetapi pada saat yang sama puluhan STT injili dan kharismatik berdiri).

Dari pengalaman di Belanda itu, kita bisa melihat bahwa liberalisme cenderung membuat gereja kosong, tetapi konservtisme membuat gereja tetap bertahan mengarungi ombak jaman.

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org 

BISMILLAH

Pada kesempatan tanya jawab pada acara ceramah soal ‘Nama Allah’ baru-baru ini, ada peserta yang bertanya: “Bolehkah umat kristen mengucapkan Bismillah? Soalnya, bukankah itu ucapannya orang Arab dan Islam?” (Bismillah dalam bahasa Indonesia adalah ‘Dalam Nama Allah’).

Pertanyaan ini timbul dilatar belakangi kekurang-tahuan yang dicampur-adukkan dengan prasangka dan sikap alergi terhadap semua yang berbau Arab dan Islam, seakan-akan yang Arab itu pasti Islam dan yang Islam itu pasti Arab. Kerancuan berfikir demikian seharusnya hilang dari pemikiran karena Arab tidak identik dengan Islam, dan orang Arab yang beragama Yahudi dan Kristen sudah jauh ada sebelum adanya agama Islam, dan bahasa Arab sudah hadir di Timur Tengah jauh sebelum penulisan Al-Quran.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama, di masa Raja Salomo sudah disebutkan adanya raja-raja Arab (1Raj.10:15). Dalam kitab Yesaya orang Arab sebagai pengembara yang berkemah (nomad, Yes.13:20), Arabia disebutkan dalam Yes.21:13, dan Yeremia menyebut orang Arab yang di padang gurun (Yer.3:2). Dalam Perjanjian Baru sudah disebutkan bahwa ada orang Arab hadir dalam peristiwa di hari Pentakosta dan mendengar kotbah Petrus dalam bahasa Arab (Kis.2:11), demikian juga rasul Paulus dalam pertobatannya pergi ke tanah Arab dan Siria (Gal.1:17) dan Hagar (Ibu dari Ismael yang adalah salah satu jalur nenek-moyang Arab) disebut sebagai gunung Sinai di tanah Arab (Gal.4:25). Semua yang disebutkan disini terjadi jauh sebelum kehadiran agama Islam di abad-7M.

Pada konsili-konsili awal Gereja Kristen mula-mula, sudah ada wakil orang Arab beragama Kristen dan beberapa uskup berbangsa Arab hadir disitu. Di tahun 225 terdapat keuskupan di Beth-Katraye di wilayah Quatar. Kekristenan mengalir ke suku-suku Himyar, Ghasan, Taglib, Tanukh, Tayy dan Quda’a, jauh sebelum kedatangan agama Islam. Seorang ratu Arab, Maria namanya, beragama Kristen. Dia pernah mengundang uskup Musa untuk tinggal di tengah bangsanya (Anton Wessels, Arab dan Kristen, BPK-GM, 2002, hlm.33, dikutip dari Azis A. Atiya, A History of  Eastern Christianity, London, 1968, hlm.258).

Sekarang bagaimana dengan ucapan Bismillah yang artinya ‘Dalam Nama Allah’ itu? Nama Allah itu nama Tuhan siapa dan yang mana? Tuhan orang Arab atau juga Allah orang Yahudi dan Kristen dalam bahasa Arab?

Menarik untuk diketahui bahwa dalam Tenakh Yahudi, kata ‘Alaah’ (hla, alef-lamed-he) bisa berarti ‘sumpah’ (1Raj.8:31;2Taw.6:22) tetapi juga menjadi kata dasar dari kata ‘Eloah’ dan ‘Elohim’. Fakta menunjukkan juga bahwa kata ‘Alaah’ (hla) dalam kitab Ezra 5:1 sekalipun ditulis dalam aksara Ibrani dimengerti dalam bahasa Aram sebagai ‘Alaah’ yang artinya sama dengan El/Elohim/Eloah Ibrani (ayat itu berbunyi ‘Bashum Alaah Yisraeel’ - Dalam Nama Allah Israel. Dalam Ezr.6:14 juga ditemukan kalimat ‘Alaah Yisraeel’ – lihat Interlinear Bible dalam PC Study Bible. Bandingkan ini dengan ‘Elohe Yisrael’). Perlu diketahui bahwa dalam Tenakh (PL) sebagian kitab Ezra (4:8 – 6:18;7:12-26), Daniel (2:4b – 7:28), dan Yeremia (10:11) ditulis dalam bahasa Aram tetapi dengan aksara Ibrani.

Jadi nama Allah itu sudah lama dipakai dikalangan Israel yang berbahasa Aram dimana Ezra menuliskannya dalam suratnya, dan ucapan ‘Bashum Alaah’ (Ezr.5:1) dalam bahasa Aram yang dalam bahasa Arab menjadi ‘Bismillah’ sudah lama digunakan oleh orang Yahudi jauh sebelum ada agama Islam. Kita tahu bahwa bahasa Aram itu salah satu nenek-moyang bahasa Arab.

Kelompok Pemuja Nama Yahweh yang sangat alergi nama ‘Allah’ dalam ‘Kitab Suci Taurat dan Injil’ menerjemahkan Ezr.5:1;6:14 (Alaah Yisraeel) sebagai ‘Eloim Israel’ dan dalam ‘Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan’ menerjemahkannya sebagai ‘Tuhan Israel.’ Jadi, dalam konteks ayat-ayat Ezr.5:1;6:14, sebenarnya para pemuja nama Yahweh dalam kedua Kitab Suci itu mengakui juga bahwa ‘Allah adalah Eloim dan Tuhan Israel.’

Pada Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin uskup bernama ‘Abd Allah’ (Hamba Allah). Inskripsi Zabad (512) diawali ‘Bism al-Ilah’ (Dalam nama Allah) lengkap dengan tanda salib diikuti nama-nama Kristen, demikian juga Inskripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad-6) menyebut ‘Allahu ghafran’ (Allah yang mengampuni). Inskripsi ‘Hurran al-Lajja’ (568) dan inskripsi lain pra’Islam’ dari lingkungan Kristen menggunakan nama Allah pula. Jadi, umat Yahudi & Kristen berbahasa Arab sudah menggunakan nama ‘Allah’ jauh sebelum kelahiran agama Islam, dan ucapan Bismillah sudah digunakan oleh orang Yahudi berbahasa Arab, lama sebelum ada Islam bahkan pada abad-5sM sudah ditulis Ezra dalam kitabnya, dan tentu saja orang Kristen berbahasa Arab sejak abad-1 juga sudah menggunakannya. Rupanya, karena ucapan ‘bismillah’ sudah umum diucapkan oleh umat Yahudi dan Kristen berbahasa Arab sebelum kehadiran agama Islam, waktu penulisan Al-Quran, ucapan itu digunakan sebagai pembuka setiap Surat/surah.

Dari hal di atas kita tahu bahwa nama Ilah/Allah dalam bahasa Arab adalah padanan nama ‘El/Elohim/Eloah’ bahasa Ibrani dan ‘Alah/Alaha/Elah/Elaha’ dalam bahasa Aram Siria (kata sandang definitif ‘ha’ dalam bahasa Ibrani tidak biasa digunakan bila menunjuk pada El/Eloah/Elohim), dan ucapan Bismillah sekedar ucapan peneguh iman ‘Dalam Nama Allah.’

Kita harus sadar adanya kenyataan bahwa sekarang ada 4 (empat) versi Alkitab dalam bahasa Arab yang digunakan umat Kristen berbahasa Arab dan ke-empatnya menggunakan ‘nama Allah,’ dan dalam keempat versi itu, Ezr.5:1 ditulis ‘Bismillah’ juga. Itu tidak berarti bahwa Alkitab bahasa Arab meniru ucapan dalam Alquran (Dalam Al-Quran ucapan ‘Bismillah’ menjadi pembuka setiap surat), karena sudah terbukti umat Yahudi dan Kristen berbahasa Aram/Arab sudah jauh sebelum Islam menggunakan nama dan ucapan itu. Saat ini bangsa Arab yang beragama Kristen jumlahnya sekitar 10 juta orang dan semuanya menggunakan ‘nama Allah’ dan mengucapkan ‘Bismillah’ juga!

Berdasarkan hal ini, pertanyaan peserta yang disebutkan di awal artikel ini bisa dijawab bahwa tidak ada salahnya kalau kita mengucapkan kata ‘Bismillah’ (dengan pengertian Alaah Yisraeel) kalau berhadapan dengan orang Arab atau yang beragama Islam, dan kalau kita ditanya mengapa menggunakan ucapan itu, kita dapat menjawab bahwa dalam Alkitab Perjanjian Lama sudah tertulis ucapan itu dalam dialek Aram yaitu ‘Bashum Alaah’ (Ezr.5:1, abad-6sM), 13 abad sebelum Al-Quran ditulis, Satu abad sebelum agama Islam lahir, Inskripsi Zabad dari kalangan Kristen Arab sudah menuliskan ‘Bism al-ilah’ yang menunjukkan bahwa secara lisan ucapan itu sudah dipakai oleh umat Yahudi dan Kristen yang berbahasa Arab jauh sebelum digunakan dalam Al-Quran.

Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org

Pendeta & Komitmen


Di sebuah milis berlangsung diskusi soal ‘Pendeta & Teolog Inferior’ yang ceritanya berkisar pendeta dan praktek pelayanannya. Memang belakangan ini jemaat banyak mencoba menyimak apa-apa di balik pendeta, suatu yang tidak terpikirkan oleh generasi terdahulu.


Pendeta memiliki tugas yang luhur sebagai gembala bagi dombanya dan menjadi penghibur bagi jemaat yang mangalami muzibah dan gundah gulana, jadi pendeta sangat dihormati karena peran besarnya bagi masyarakat yang membutuhkan bimbingan rohani, namun mengapa pada masakini pendeta sering dijadikan bahan gurauan bahkan dilecehkan? Sebenarnya ada tiga hal dalam proses pelayanan pendeta, yaitu soal: (1) panggilan; (2) pembekalan; dan (3) komitmen. Ketiganya memang menentukan sampai dimana seorang ‘pendeta’ patut dihormati sebagaimana mestinya ‘pendeta.’

Banyak orang menjadi pendeta karena panggilan Tuhan yang indah sehingga rela menyerahkan diri untuk menjadi hambaNya (kata Yunani ‘doulos’ artinya ‘budak’ yang tidak memiliki hak apa-apa dihadapan tuannya), namun pada  masa kini, kependetaan banyak menjadi sekedar profesi. Banyak orang masuk sekolah teologi bukan karena panggilan, namun karena mereka tidak diterima dimana-mana, demikian juga di tengah sulitnya mencari kerja pada masakini, profesi kependetaan menjadi sasaran minat karena merasa bahwa menjadi pendeta tergolong siap memasuki dunia gereja yang terbuka, itulah sebabnya kita dapat melihat mengapa banyak pendeta yang kerjanya asal jalan.

Dibalik motivasi yang tidak sehat, kita jumpai banyak profesional dan sarjana yang meninggalkan masa depan mereka dengan penghasilan dan jabatan tinggi, yang merasakan panggilan Tuhan dan kemudian belajar teologi untuk melengkapi diri bersaksi bagi Tuhannya. Bagaimanapun panggilan perlu ada sebelum seseorang menjadi pendeta, soalnya, apalagi kalau tidak ada panggilan, mereka yang terpanggilpun banyak yang berubah komitmennya di tengah jalan.

Panggilan biasa dilanjutkan dengan pembekalan, dalam hal ini seseorang yang terpanggil lalu mengikuti pendidikan teologi untuk bekal pelayanannya di kemudian hari. Di sini proses panggilan itu mulai diuji, soalnya belakangan ini kita dapat melihat ada kecenderungan warna dari suatu pendidikan teologia, ada yang modernis ada yang konservatif. Ada sekolah teologia yang memiliki tenaga pengajar yang liberal (tidak lagi menerima mujizat dan hal-hal supranatural termasuk ketuhanan Yesus), maka bila imannya lemah, ia mudah terpengaruh dan berubahlah arah panggilannya semula.

Seorang aktivis persekutuan mahasiswa terpanggil dan masuk sekolah teologi, dibawah dosen tertentu yang berwawasan liberal, ia terpengaruh dan menganggap bahwa Yesus bukan Tuhan dan Alkitab bukan firman Allah, dan bahkan mengenai Yesus ia pernah mengatakan “... yang mati konyol di kayu salib”. Seorang yang lain yang mengalami pembekalan teologis demikian juga bahkan sekarang ada yang jelas-jelas terbiasa mendiskreditkan Yesus dan kekristenan dan lebih mempromosikan agama lain di atas mimbar. Pernah seorang mahasiswa teologi mengeluhkan bahwa ia frustrasi menghadapi pendidikan teologi yang diikuti, namun karena harapan orang tua ia terpaksa menyelesaikan pendidikan demikian. Komitmen apa yang bisa kita harapkan dari calon pendeta demikian?

Sebaliknya, belakangan ini banyak bermunculan sekolah teologi konservatif, yang berpegang pada kesaksian para rasul. Berbeda dengan yang liberal, yang konservative biasa menghasilkan pendeta yang memiliki komitmen mengasihi Tuhan Yesus lebih besar. Proses pembekalan pendeta di sekolah teologi akan memberi arah bagaimana komitmen mereka dalam pelayanan kelak.

Seorang pendeta kemudian dilihat dari komitmen pelayanannya. Ada yang memiliki komitmen teologis yang kuat untuk memberitakan firman kabar sukacita dari hal Yesus, ada yang sebaliknya yaitu mendiskreditkan Tuhan Yesus dan mengelu-elukan tokoh-tokoh agama lain, Alkitab tidak dianggap sebagai firman Tuhan namun mempromosikan kitab-kita suci agama lain. Ada pendeta yang lebih senang mengutip ayat Upanishad atau Tao-Teh-Ching daripada ayat Alkitab, dan lebih terbiasa bermeditasi zen daripada berdoa. Ada yang mengelu-elukan inklusifisme yang menerima semua agama sama absahnya namun alergi dan fobia terhadap saudaranya seagama yang konservative.

Bandingkan dengan mahasiswa lain yang membuka hatinya akan firman Tuhan dan bergabung dengan persekutuan mahasiswa, ini mendorongnya menggunakan supidol untuk memberi tanda pada ayat-ayat Alkitab. Ketika ia membawa Alkitabnya ke rumah pendetanya, ia mendengar: “Ngapain buku manusia di corat-coret?” Sekarang pendeta itu pensiun dengan frustrasi dan mahasiswa itu yang jadi sarjana menyerahkan diri masuk sekolah teologi dan melayani sampai ke mancanegara dengan makin bersukacita dan mengaku bahwa “firman itu suluh bagi jalanku dan pelita bagi kakiku.”

Ada yang memiliki komitmen untuk berkorban dan melayani jemaatnya sehingga rela mengorbankan hartanya, namun banyak juga pendeta sekarang yang komersial atau ‘yang menjadikan ibadah sebagai kesempatan memperoleh laba’. Ada pengusaha yang rela melayani masyarakat miskin di kampungnya dan belajar teologi, oleh temannya yang ‘penginjil sukses’ ia diledek: “ngapain melayani di kampung, lebih baik melayani di hotel-hotel dimana banyak persembahannya”. Jangan pula heran kalau di antara pendeta ada yang saling bertanya: “Dapat perpuluhannya berapa ya?”, bahkan ada organisasi gereja yang sekarang punya sistem jaminan rumah dan pensiun seratus juta yang ‘menjanjikan’, akibatnya komitmen pendeta banyak yang sekedar asal melayani demi memasuki umur pensiun dan lebih senang berebut kursi organisasi daripada kursi kerajaan surga.

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, sekolah teologi yang modernis atau ekumenis nyaris tidak ada pertambahan jumlahnya, namun sekolah teologi yang konservative mengalami pertumbuhan pesat dengan dibukanya puluhan yang baru. Demikian juga fakta menunjukkan bahwa gereja-gereja yang memiliki pendeta dan komitmen yang meninggalkan Tuhan Yesus dan firmannya cenderung merosot terus jemaatnya sedangkan yang mencintai Yesus sebagai Tuhan dan Alkitab sebagai firman makin berkembang, bahkan tragisnya banyak jemaat dari gereja dengan pendeta skeptiknya masakini hijrah dan mengikuti gereja-gereja yang dengan sukacita masih memberitakan firman kebenaran.

Umat Kristen dalam mencari pendeta perlu benar-benar berdoa agar mendapatkan seorang calon yang mengalami panggilan Tuhan yang jelas, melalui proses pendidikan yang memuliakan Tuhan sesuai pengajaran Yesus dan para rasulnya, dan memiliki komitmen pelayanan yang berkorban, soalnya jemaat sendiri akan kehilangan arah bila dibina oleh pendeta yang tidak jelas arah pelayanannya.

Salam kasih dari Herlianto/YBA



Siapakah Para Majus?


oleh: Romo William P. Saunders *

Injil Matius menyebut tentang para majus yang datang dari Timur untuk menyembah bayi Kristus yang baru dilahirkan (bdk. Mat 2:1-12). Tetapi, tepatnya siapakah para majus tersebut tetap merupakan suatu misteri.

Seringkali para majus disebut juga sebagai ahli perbintangan. Dalam bahasa Yunani, bahasa asli Injil, kata “magos” (magoi, jamak) mempunyai empat arti: (1) seorang dari golongan imam Persia kuno, di mana astrologi dan astronomi berperan penting pada masa Kitab Suci; (2) seorang yang memiliki pengetahuan dan kuasa gaib (= okultisme), dan mahir dalam menafsirkan mimpi, perbintangan, ramal, hal-hal klenik, dan perantara roh; (3) seorang ahli nujum; atau (4) seorang dukun, yang memeras orang dengan mempergunakan praktek-praktek di atas. Dari definisi yang mungkin di atas dan dari gambaran dalam Injil, para majus kemungkinan adalah para imam Persia ahli perbintangan yang dapat membaca bintang-bintang, teristimewa makna bintang yang mewartakan kelahiran Mesias. (Bahkan ahli sejarah kuno Herodotus (wafat abad ke-5 SM) menegaskan keahlian kaum imam Persia dalam perbintangan).            

Yang terpenting, kunjungan para majus menggenapi nubuat Perjanjian Lama: Bileam menubuatkan kedatangan Mesias yang akan ditandai dengan sebuah bintang: “Aku melihat dia, tetapi bukan sekarang; aku memandang dia, tetapi bukan dari dekat; bintang terbit dari Yakub, tongkat kerajaan timbul dari Israel…” (Bil 24:17). Mazmur 72 berbicara mengenai bagaimana bangsa kafir akan datang untuk menyembah Mesias:“kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan-persembahan, kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba menyampaikan upeti! Kiranya semua raja sujud menyembah kepadanya, dan segala bangsa menjadi hambanya!” (Mzm 72:10-11). Yesaya juga menubuatkan persembahan-persembahan: “Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN” (Yes 60:6).

St. Matius mencatat bahwa para majus membawa tiga persembahan; masing-masing persembahan memiliki makna nubuat: emas, persembahan bagi seorang raja; kemenyan, persembahan bagi seorang imam; dan mur - balsam penguburan, persembahan bagi seorang yang akan meninggal. St. Ireneus (wafat 202) dalam tulisannya Adversus haereses menyampaikan tafsiran atas persembahan emas, kemenyan dan mur sebagai berikut: Raja, Tuhan dan Penebus yang Menderita, juga menafsirkannya sebagai keutamaan, doa dan penderitaan.

Pada umumnya, kita berpikiran bahwa ketiga majus tersebut adalah tiga orang raja. Kita biasa menempatkan patung tiga raja di gua natal kita. Kita bahkan menyanyikan, “Kami tiga raja dari Timur….” Di sini, ketiga persembahan, Mazmur 72 dan bintang yang terbit di Timur secara bersama-sama menggambarkan para majus sebagai tiga raja yang datang dari Timur.

Sebenarnya, tradisi awali tidak konsisten mengenai jumlah para majus. Tradisi Timur menyebutkan ada duabelas orang majus. Di Barat, beberapa Bapa Gereja perdana - termasuk Origen, St. Leo Agung, dan St. Maximus dari Turin - setuju ada tiga orang majus. Lukisan Kristen Perdana di Roma yang diketemukan dalam makam St. Petrus dan St. Marcellinus menggambarkan dua orang majus dan di makam St. Domitilla, empat orang.

Sejak abad ketujuh di Gereja Barat, para majus diidentifikasikan sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar. Dalam suatu karya tulis berjudul Excerpta et Collectanea yang ditulis St. Beda (wafat 735) tercatat demikian, “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama dikatakan bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang… yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya kemerah-merahan… menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan murnya memberikan kesaksian pada Putra Manusia bahwa ia akan wafat.” Suatu kutipan dari penanggalan para kudus abad pertengahan yang dicetak di Cologne berbunyi, “Setelah mengalami banyak pencobaan dan kelelahan demi Injil, ketiga orang bijaksana tersebut bertemu di Sewa (Sebaste di Armenia) pada tahun 54 untuk merayakan Natal. Kemudian, setelah Perayaan Misa, mereka wafat: St. Melkior pada tanggal 1 Januari, dalam usia 116 tahun; St. Baltasar pada tanggal 6 Januari, dalam usia 112 tahun; dan St. Kaspar pada tanggal 11 Januari, dalam usia 109 tahun.” Martirologi Romawi juga mencatat tanggal-tanggal di atas sebagai pesta masing-masing majus.

Kaisar Zeno membawa reliqui para majus dari Persia ke Konstantinopel pada tahun 490. Reliqui (entah sama atau serupa) muncul di Milano bertahun-tahun kemudian dan disimpan di Basilika St. Eustorgius. Kaisar Frederick Barbarossa dari Jerman, yang menjarah Italia, membawa reliqui ke Cologne pada tahun 1162, di mana reliqui aman tersimpan hingga saat ini dalam sebuah rumah reliqui yang indah di katedral.

Meskipun sebagian misteri tetap tak terungkap mengenai identitas para majus, Gereja menghormati sembah sujud mereka: Konsili Trente, ketika menekankan penghormatan yang patut diberikan kepada Ekaristi Kudus memaklumkan, “Umat beriman Kristus menghormati Sakramen Mahakudus ini dengan penyembahan latria yang diperuntukkan bagi Allah yang benar…. Sebab dalam sakramen ini kita percaya bahwa Allah yang sama hadir, yang diutus Bapa yang kekal ke dalam dunia dengan mengatakan, `Biarlah segenap malaikat Allah menyembah-Nya.' Dialah Allah yang sama yang para Majus sujud menyembah, dan akhirnya, Allah yang sama yang dipuja para Rasul di Galilea seperti dicatat dalam Kitab Suci” (Dekrit tentang Sakramen Mahakudus, 5).

Dengan merayakan Hari Raya Natal dan Epifani (sekarang Hari Raya Penampakan Tuhan), kita pun patut sadar akan kewajiban kita untuk bersembah sujud kepada Kristus melalui doa, sembah bakti, dan perbuatan-perbuatan baik serta kurban. St. Gregorius Nazianze (wafat 389) menyampaikan khotbahnya, “Marilah kita tinggal dalam sembah sujud; dan kepada Dia, yang, guna menyelamatkan kita, merendahkan Diri hingga ke tingkat kemiskinan yang begitu rupa dengan menerima tubuh kita, marilah kita mempersembahkan tidak hanya kemenyan, emas dan mur…, melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang dapat dilihat dengan mata” (Oratio, 19).


Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight AnswersWho Were the Magi?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
                                                                                                                                                                                                                                                                      

Menjadi Pribadi Yang Beruntung

Mungkin kita sering merasa bahwa kita adalah pribadi yang selalu berkesusahan, sering sial, dan tidak pernah beruntung. Disaat itu pula orang disekitar kita berkata “ah, elo-nya aja tuh yang kurang bersyukur, coba lihat lagi apa yang elo punya.” Mungkin benar anda kurang bersyukur atau mungkin benar juga anda orang yang “apes”.
Keberhasilan sifatnya relatif. Tidak ada standard khusus dalam mendefinisikan keberhasilan, karena keberhasilan selalu berurusan dengan banyak aspek, baik aspek psikologis maupun aspek sosial. Sukses adalah tentang banyak hal, setiap orang memiliki definisi dan ukuran suksesnya masing-masing berbeda. Definisi saya mungkin tidak sama dengan definisi anda, begitu juga definisi Anda tidak sepenuhnya sama dengan definisi orang lain yang anda kenal.
Tetapi saya perhatikan satu hal, semakin hari semakin banyak orang yang mendefinisikan kesuksesan berdasarkan tiga hal saya, yakni: Kekuasaan, Uang dan Kemahsyuran. Apabila salah satu dari tiga hal ini sudah anda miliki, biasanya anda sudah dapat dikategorikan sukses dan biasanya ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Tentu saja ketiga unsur itu pada dasarnya baik, dan tidak salah bila kita semua berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Dan apa jadinya bila selama perlombaan itu ternyata kita tidak pernah mendapatkan “piala-piala” tersebut, bahkan juara harapan pun tidak padahal kita sudah mengerahkan kekuatan penuh dan strategi terbaik kita.
Depresi dan stress sering terjadi di kota-kota besar. Kehidupan yang monoton, pergi pagi pulang malam, pendapatan yang pas-pasan bahkan cenderung lebih besar pasak daripada tiang. Tanpa kita sadari, kebutuhan yang selalu mendesak sering menstimulasi orang melakukan tindakan-tindakan instant yang terkadang lebih banyak haramnya dibanding halalnya.
Depresi dan stress terjadi karena realita yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita impi-impikan dan harapkan. Mungkin impian kita terlalu berlebihan tanpa tindakan dan kemampuan yang setimpal untuk meraih mimpi tersebut. Atau mungkin memang kita tidak ditakdirkan untuk mendapatkan mimpi kita tersebut karena kita memang belum layak mendapatkannya.
Mungkin sudah terpatri dalam pemikiran anda bahwa faktor kerja keras adalah faktor penentu dalam keberhasilan. Pada kenyataanya TIDAK! Bukan kerja keraslah faktor penentu keberhasilan, karena saya sudah melihat ratusan teman saya begitu konsisten bekerja dan hasilnya hanya “begitu-begitu saja”, cukup buat bayar tagihan kartu kredit, bayar kontrakan, bayar sana dan bayar sini dan yang tersisa hanya ratusan ribu untuk menjalani sisa hidup ke depan sampai tanggal gajian datang kembali. Siklus yang tiada pernah berhenti.
Saya tidak bilang anda tidak perlu bekerja keras karena saya pun sadar kerja keras penting dalam meraih cita-cita. Tapi ada hal-hal penting yang terlupakan oleh pribadi-pribadi yang mengharapkan keberhasilan yaitu KEBERUNTUNGAN.
Saya selalu mendefinisikan keberuntungan adalah pertolongan Tuhan, entah siapapun itu Tuhan anda. Bisa jadi Allah, Yesus, Budha atau bahkan Lucifer. Terserah anda memilih siapa yang menjadi Tuhan anda. 
Pada dasarnya, Tuhan selalu berharap anda mempercayai-Nya dalam situasi apapun bahkan yang tergenting sekalipun. Iya, bahkan Tuhan pun mempunyai pengharapan kepada anda sebagai pribadi ciptaa-Nya. Percaya atau tidak mengenai pendapat saya, itu terserah anda. 
Percaya itu bila saya definisikan ke bahasa religi bisa disebut sebagai Iman. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1).
Saya menganalogikan orang yang beriman sebagai berikut. Ada sekelompok orang yang berjalan menuju kaki gunung memohon hujan datang kepada Tuhan mereka, kala itu paceklik berkepanjangan datang akibat sawah dan ladang kekeringan. Diantara kumpulan manusia tersebut, ada seseorang anak kecil terlihat berdoa sambil memegang payung ditangannya dan hanya dialah yang membawa payung. Anak itu percaya bahwa hujan akan segera turun setelah doa-doa dipanjatkan. Anak itu memiliki Iman.
Iman adalah sebuah benih karena Iman dapat bertumbuh. Iman membutuhkan pupuk dan air yang cukup untuk membuatnya dapat menjadi lebih besar dan kuat. Layaknya sebuah pohon, butuh perlakuan yang konsisten dalam menumbuhkan Iman.
Murah hati, adalah pupuk yang paling mujarab untuk menumbuhkan iman kita. Berlaku baik kepada sesama, tolong menolong antar umat manusia, memberikan yang kita miliki bagi mereka yang membutuhkan. Murah hati memang identik dengan beri-memberikan, tapi belum tentu semua bentuk beri-memberikan berdasarkan dari murah hati, karena banyak tindakan tersebut didasari oleh motivasi-motivasi tertentu.
Murah hati berarti bersimpati, berempati dan sebuah pengampunan. Di zaman yang semakin maju ini nilai-nilai kemurahan hati menjadi semakin terkikis habis bis bis sampai ke akar-akarnya. Rasa simpati menjadi sesuatu yang langka. Orang bisa sambil tertawa dan bersendau gurau membicarakan kesusahan orang lain dan orang bisa dengan tega menambah kesulitan kepada orang yang justru tengah dilanda kesulitan.
Rasa empati juga semakin susah ditemui. Orang dengan seenaknya melontarkan kritik, tuduhan, kata-kata yang menyakitkan, atau juga keburukan orang lain di depan umum, tanpa memikirkan bagaimana kalau mereka sendiri yang berada pada posisi orang itu. Padahal, kalau ucapan atau kata-kata kita hanya akan menyakiti dan mendemotivasi orang lain, tidakkah lebih baik kita berdiam diri saja?
Begitu juga pengampunan, kita melihat pertunjukan dendam kesumat; bom satu dibalas dengan bom lain, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Lalu berguguranlah orang-orang yang tidak bersalah. Betapa menyedihkan.
Rendah hati adalah air yang terbaik bagi pertumbuhan Iman. Rendah hati dapat menyejukan hati pribadi-pribadi yang mendapatkannya. Rendah hati beda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan. Kerendah-hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Orang yang rendah hati ialah orang yang tidak sombong. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Mereka merupakan pribadi yang bisa membuat orang yang diatasnya merasa nyaman dan membuat orang yang dibawahnya tidak merasa minder.
Kerendahan hati memang unik, kalau kita mengklaim bahwa kita memilikinya, kita justru tidak memilikinya. Saat kita merasa bahwa kita orang yang rendah hati, saat itulah kita kehilangan kerendah-hatian kita. Inilah Paradoks kerendahan hati. Kerendahan hati adalah satu-satunya karakterisitik yang kita miliki tanpa kita merasa memiliki.
Adalah relatif lebih mudah bagi kita untuk rendah hati dihadapan Tuhan. Namun satu-satunya bukti kesungguhan kerendahan hati kita dihadapan Tuhan adalah kerendahan hati kita di hadapan sesama manusia dalam keseharian hidup kita.
Kiranya, Tulisan ini bermanfaat bagi kita semua yang membaca dan mengamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Marilah kita menjadi pribadi yang berhasil dan beruntung. Tuhan Memberkati. (cokietobing)

December 20, 2010

Sejarah Alkitab di Indonesia

Terjemahan Bagian Alkitab berbahasa Melayu Pertama: Ruyl, Hasel, Heurnius (1651)
          Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu pertaa kali dikerjakan oleh seorang awam bernama Albert Cornelisc Ruyl. Ia menerjemahkan Injil Matius dan Markus. Terbitan ini merupakan terbitan dwibahasa (diglot): pada satu sisi dicetak teks berbahasa Melayu dan di sisi lainnya teks paralel dalam bahasa Belanda. Kemudian Jan van Hasel, seorang pegawai Kompeni (VOC) menerjemahkan Injil Lukas dan Yohanes. Sedangkan Kisah Para Rasul diterjemahkan oleh Justus Heurnius, seorang pendeta di Batavia (sekarang Jakarta).
          Keempat Injil dan Kisah Para Rasul kemudian diterbitkan dengan judul “Empat Injil dan Kisah Para Rasul-Rasul” pada tahun 1651 dalam bentuk dwibahasa Belanda dan Melayu. Selain menerjemahkan kitab-kitab tersebut, Jan van Hasel dan Justus Heurnius juga menerjemahkan kitab Mazmur.

Terjemahan Pertama Seluruh Perjanjian Baru: Brouwerious (1668)
          Damiel Brouwerious adalah seorang pendeta yang bertugas di Indonesia. Pada mulanya ia menerjemahkan kitab Kejadian. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya ke Perjanjian Baru, yang selesai diterjemahkan dan dicetak pada tahun 1668. Namun terjemahan ini memiliki banyak struktur kata dan istilah asing (Portugis).

Terjemahan Alkitab Pertama: Leijdecker (1733)
          Melchior Leijdecker menerjemahkan Alkitab dengan meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa aslinya. Ia dengan tekun mencari kata-kata dalam bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab. Terjemahan Alkitab ini tidak selesai dilakukan (sekitar 90%; sampai dengan Efesus 6:6), karena pada tanggal 16 Maret 1701, Leijdecker meninggal dunia. Terjemahan ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Pieter van der Vorm (Efesus 6:7 – selesai).
          Karena terdapat berbagai masalah, terjemahan ini baru dicetak pada tahun 1733 (Alkitab lengkap), setelah edisi Perjanjian Baru diterbitkan pada tahun 1731. Selain edisi berhuruf Latin, turut juga dicetak edisi berbahasa Arab karena pada masa itu bahasa Melayu lazim ditulis dengan aksara Arab.
          Oleh karena Alkitab terjemahan Leijdecker memakai bahasa melayu tinggi dan banyak memakai kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia, maka timbullah usaha-usaha untuk merevisinya dengan memakai bahasa Melayu rendah seperti yang lazim dipakai. Pendeta William Robinson misalnya, berusaha merevisi kitab Matius dan Yihanes. Kemudian usaha perevisian secara menyeluruh dilakukan oleh Pendeta Robert Hutchings dan McGinnis.

Alkitab Terjemahan Klinkert (1879)
          Hillebrandus Cornelius Klinkert adalah seorang misionaris gereja Mennonit. Bersama dua orang temannya yang pandai berbahasa Melayu, dia berusaha menerjemahkan Perjanjian Baru ke tingkat bahasa yang lebih mudah dipahami. Hasil terjemahan ini ternyata sangat mengena untuk kelompok pembaca tertentu karena memakai bahasa Melayu rendah, khususnya dialek yang lazim dipakai di daerah Semarang.
          Pada tahun 1879, Klinkert juga menyelesaikan penerjemahan Alkitab secara lengkap dengan dukungan dari Lembaga Alkitab Belanda (NBG).

Alkitab Terjemahan Shellabear (1912)
          Terjemahannya dilakukan oleh William Shellabear, seorang misionaris Metodis. Alkitab hasil terjemahannya biasa disebut Alkitab Shellabear. Keunikan Alkitab ini adalah pemakaian kata Isa Almasih untuk yesus. Dalam pemikiran Shellabear, Isa Almasih dianggap lebih mampu menjembatani isi berita dengan kelompok pembacanya.

Perjanjian Baru bahasa Melayu Baba (1907)
          Kelompok orang-orang hasil pernikahan campuran antara etnik China dengan penduduk setempat biasa disebut kelompok “baba dan nyonya”. Bahasa yang mereka gunakan juga campuran antara bahasa China dan bahasa Indonesia dan lazim disebut Melayu Baba. Menyadari kebutuhan penutur bahasa ini, McMahone (nama lengkapnya tidak diketahui), seorang misionaris wanita Presbiterian, menerjemahkan kitab Matius ke dalam bahasa Melayu Baba.
          Tahun 1907, Shellabear dengan dibantu oleh teman-temannya juga menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu Baba dengan dukungan dari Lembaga Alkitab Inggris.

Perjanjian Baru Terjemahan Bode (1938)
          Dengan bantuan tiga Lembaga Alkitab, yaitu Lembaga Alkitab Belanda (NBG), Inggris (BFBS) dan Skotlandia (NBSS), W.A. Bode seorang guru teologia, menerjemahkan Perjanjian Baru dengan memeriksa terjemahan Leijdecker, Klinkert dan Shellabear. Hasil terjemahan ini disebut Perjanjian Baru Terjemahan Bode, yang terbit tahun 1938.

Terjemahan Alkitab dalam Masa Peralihan (1958)
          Setelah Indonesia merdeka, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menerbitkan Alkitab Terjemahan Lama, dengan menggabungkan Terjemahan Perjanjian Lama Klinkert dan Perjanjian Baru Bode. Alkitab ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1958. Alkitab terjemahan ini menjadi Alkitab yang umumnya dipakai di gereja-gereja sampai terbitnya Alkitab Terjemahan Baru.

Alkitab Terjemahan Baru (1974)
          Mengingat kebutuhan akan Alkitab dalam bahasa Indonesia, LAI bekerja sama dengan Gereja Katolik Roma, membentuk tim penerjemahan yang terdiri atas para ahli biblika dan bahasa. Tim ini diketuai oleh Dr. J.L. Abineno, yang berhasil menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1971. Sementara Perjanjian Lama, sekaligus Alkitab lengkap, diterbitkan tahun 1974. Inilah Alkitab bahasa Indonesia yang pertama dipakai oleh semua umat Kristiani di Nusantara, yang dikenal dengan nama Alkitab Terjemahan baru.
          Sesuai dengan perkembangan bahasa dan dunia biblika, sekarang ini Alkitab Terjemahan Baru sedang direvisi. Hasil perevisiannya disebut Alkitab Terjemahan Baru Revisi (TB2). Teks Perjanjian Baru telah selesai direvisi dan terbit pada tahun 1997, sementara teks Perjanjian Lama sedang disiapkan oleh suatu tim ahli biblika dan bahasa.

Alkitab Terjemahan Dinamis Fungsional (1985)
          LAI juga melakukan penerjemahan Alkitab dengan metode dinamis fungsional. Berbeda dengan jenis terjemahan sebelumnya yang lebih mementingkan terjemahan harafiah, terjemahan ini lebih mementingkan arti dan fungsi yang dimaksudkan dalam teks sumber dan menyampaikannya dalam bahasa sasaran yang umum dan wajar sesuai dengan pemakaian masa kini. Terjemahan dinamis fungsional seperti ini dapat kita temukan pada Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK), Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sederhana (BISD), Kabar Baik untuk Anak-Anak (KBUA), Kabar Baik Ceria (KBC), dan Pembaca Baru Alkitab (PBA).

          Selain itu, LAI juga menerjemahkan dan menerbitkan Alkitab dalam bahasa-bahasa daerah sebagai wujud misi LAI yaitu mengadakan Alkitab dalam bahasa yang mudah dimengerti.

disadur dari: MENYINGKAP ALKITAB ©LAI 2005”