December 16, 2010

Terorisme

oleh: P. William P. Saunders *




Dengan terjadinya tragedi yang amat mengerikan minggu ini, banyak orang menuntut agar dilakukan tindakan militer balasan melawan teroris. Bagaimana tanggapan kita sebagai seorang Kristiani?
~ seorang pembaca di Alexandria


Tak diragukan lagi, hari Selasa, 11 September 2001, merupakan “suatu hari aib yang tak akan terlupakan selamanya,” demikian meminjam pernyataan Presiden Roosevelt setelah serangan Pearl Harbor. Serangan teroris ini mengakibatkan melayangnya ribuan nyawa manusia yang tak bersalah. Di samping itu, tak terhitung banyaknya hidup manusia yang dihancurkan oleh kematian sekonyong-konyong dan tanpa alasan dari orang-orang yang mereka kasihi. Seperti yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II dalam sambutan audiensi umum pada hari Rabu, “Kemarin merupakan hari yang gelap dalam sejarah kemanusiaan, suatu serangan dahsyat terhadap martabat manusia.”


Terorisme adalah suatu tindakan yang keji. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Terorisme, yang mengancam, melukai dan membunuh secara sewenang-wenang merupakan pelanggaran besar terhadap keadilan dan cinta kasih Kristen” (#2297). Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam ensikliknya “Solicitudo Rei Socialis” (1987, #24), mengatakan, “Kita juga tidak boleh menutup mata kita terhadap luka parah yang lain dalam dunia sekarang ini: gejala terorisme, yang dimengerti sebagai niat untuk membunuh orang dan merusak harta milik secara membabi-buta, serta menciptakan suatu iklim teror dan rasa tidak aman, dan sering dengan menyandera orang-orang. Malahan bila suatu ideologi atau keinginan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik dijadikan sebagai motivasi bagi tingkah laku yang tidak manusiawi ini, tindakan-tindakan terorisme tidak pernah dapat dibenarkan. Malahan biar hanya bila, seperti sekarang ini, keputusan dan aksi-aksi demikian yang kadang-kadang mengakibatkan pembantaian nyata dan pembasmian orang-orang tak bersalah yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan konflik-konflik, menuntut mempunyai maksud propaganda guna suatu alasan untuk kemajuan. Masih lebih buruk lagi bila mereka mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri, sehingga pembunuhan dilakukan semata-mata demi membunuh. Di hadapan kedahsyatan serta penderitaan demikian, kata-kata yang saya utarakan beberapa tahun lalu tetap benar, dan saya ingin mengulanginya kembali: `Apa yang kristianitas larang adalah mencari pemecahan … dengan cara dendam-kesumat, pembunuhan orang-orang yang tidak dapat membela diri lewat metoda-metoda terorisme.'” Siapa pun yang berhati jujur, yang membaca pernyataan kepausan yang mengutuk terorisme ini, pastilah akan segera melihat bagaimana pernyataan tersebut cocok dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001. Serangan minggu lalu itu sungguh merupakan suatu tindakan yang keji.


Walau demikian, entah tindakan apa yang akan diambil Amerika Serikat dalam menghadapi para teroris ini, tindakan tersebut haruslah sesuai dengan prasyarat “teori perang yang adil.” Sekilas mendengar, perang tampaknya bertentangan dengan kekristenan, sebab Perintah Kelima mengajarkan, “Jangan membunuh.” Tetapi, maksud dari perintah tersebut adalah melarang merusakkan kehidupan manusia dengan sengaja (Katekismus Gereja Katolik, #2307). Setiap orang memiliki kewajiban untuk membela hidupnya, dan oleh sebab itu, memiliki hak untuk membela diri secara sah. St Thomas Aquinas mengajarkan, “Dari tindakan orang yang membela diri sendiri, dapat menyusul akibat ganda: yang satu ialah penyelamatan kehidupannya sendiri, yang lain ialah pembunuhan penyerang.” Hanya akibat yang satu dikehendaki, yang lain tidak.


Dalam membela hidupnya sendiri, suatu negara - masyarakat dan pemerintahannya - wajib berusaha untuk menghindari perang dan menyelesaikan segala permasalahan dengan damai serta adil. Namun demikian, “bila semua upaya perlindungan damai sudah digunakan - pemerintah-pemerintah tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah” (Vatican II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, #79). Hak yang demikian tidak berarti memberikan kebebasan penuh untuk melakukan segala macam tindakan perang. Teori perang yang adil menetapkan parameter moral dalam menyatakan dan memaklumkan perang, dan dalam masalah yang kita bahas, melawan dan membasmi terorisme.


St Agustinus (wafat 430) adalah penggagas teori perang yang adil, yang di kemudian hari diadaptasi serta diuraikan oleh St. Thomas Aquinas (wafat 1274) dalam Summa Theologiae. Sudah nyata, sejak Abad Pertengahan, peperangan telah berubah secara dramatis, seperti yang dialami dalam Perang Dunia II dan konflik-konflik yang menyertainya, termasuk munculnya terorisme. Sebab itu, kita dapat memperluas teori St Thomas dan St Agustinus sebagai berikut:


Dalam mempersiapkan diri untuk memaklumkan suatu perang yang adil (ius ad bellum), suatu negara wajib memenuhi prasyarat berikut:


1.  Alasan Keadilan - Perang dilakukan demi melawan suatu bahaya yang tak dapat disangkal. “Kerugian yang diakibatkan oleh penyerang atas bangsa atau kelompok bangsa, harus diketahui dengan pasti, berlangsung lama, dan bersifat berat,” demikian ditegaskan Katekismus Gereja Katolik #2309.


2.  Otoritas yang Tepat - Otoritas sah yang wajib memaklumkan perang dan wajib bertindak atas nama rakyat.


3.  Tujuan yang Benar - Alasan-alasan dalam memaklumkan perang haruslah merupakan tujuan yang sesungguhnya, bukan suatu kedok untuk menutupi maksud-maksud tersembunyi.


4.  Upaya Terakhir - Semua cara yang lain untuk mengakhirinya harus terbukti sebagai tidak mungkin atau tidak efektif. Pihak-pihak yang bertikai wajib berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan damai sebelum memaklumkan perang, misalnya melalui negosiasi, penengah, atau bahkan embargo. Di sini kita juga melihat pentingnya suatu badan penengah internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.


5.  Proporsionalitas - Kebajikan yang diperjuangkan dengan memaklumkan perang haruslah lebih besar daripada kerugiannya. Apakah gunanya memaklumkan perang jika perang menghantar negara pada kehancuran total dengan tak satu pihak pun yang sesungguhnya menjadi “pemenang”? Persenjataan modern merupakan beban berat yang harus dipertimbangkan secara serius dalam prasyarat ini.


6.  Harapan akan Keberhasilan - Harus ada harapan yang sungguh akan keberhasilan.


Jika suatu negara telah memenuhi persyaratan di atas, maka ia dapat memaklumkan perang dengan adil. Di samping itu, suatu negara dapat memberikan bantuan kepada suatu negara lain, yang tak dapat membela dirinya sendiri, sepanjang prasyarat di atas terpenuhi.


Walau demikian, “bila - sayang sekali - perang sudah pecah, tidak dengan sendirinya segala sesuatu diperbolehkan antara pihak-pihak yang sedang bertikai” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, #79); hukum moral tetap berlaku selama bentrokan senjata. Selama peperangan, negara juga wajib memenuhi prasyarat berikut guna menjamin keadilan (ius in bello):


1.  Pembedaan - Angkatan bersenjata haruslah melawan angkatan bersenjata, dan hendaknya berusaha untuk tidak mencelakai penduduk sipil dengan sengaja. Di samping itu, angkatan bersenjata hendaknya tidak secara membabi-buta menghancurkan kota-kota seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, atau melumpuhkan ekonomi negara musuh sebagai hukuman atau balas dendam.


2.  Proporsi yang Seimbang- Mereka yang berperang wajib hanya mempergunakan persenjataan yang perlu demi mencapai tujuan. Sebagai contoh, orang tak perlu mempergunakan persenjataan nuklir untuk menyelesaikan masalah wilayah penangkapan ikan. Proporsi yang seimbang meliputi juga belas kasihan - terhadap penduduk sipil pada umumnya, terhadap serdadu-serdadu ketika perlawanan telah diakhiri (misalnya dalam kasus musuh menyerahkan diri dan para tawanan perang), dan terhadap segala pihak ketika perang telah usai.


Prasyarat di atas mengungkapkan betapa terorisme telah melanggar prinsip perang yang adil: para teroris adalah penjahat berdarah dingin, individu-individu yang melampaui batasan akal sehat, jagal orang-orang yang tak bersalah, fanatik dari suatu ideologi yang sesat. Serangan-serangan teroris di negeri kita merupakan tindakan yang keji serta melawan prinsip keadilan. Negara hendaknya tidak mencari cara untuk membalas dendam, melainkan mencari pemecahan yang adil atas serangan-serangan yang tidak adil ini, entah apakah itu berarti mengajukan para pelaku tindak kejahatan ke pengadilan atau memaklumkan perang terhadap mereka. Di samping itu, individu-individu, atau organisasi-organisasi ataupun negara-negara yang mendukung, melindungi atau menggalang terorisme dan kegiatan-kegiatan mereka, secara resmi bekerja sama dengan kejahatan dan dengan demikian patut dicela dan dipersalahkan.


Tampaknya sungguh bertolak belakang bahwa agama Kristiani, yang mengagungkan kasih, membenarkan tindakan kekerasan demi menegakkan keadilan. Tak seorang baik pun menghendaki perang. Namun demikian, terkadang kita - sebagai individu, warga masyarakat ataupun warga negara - harus melawan dan mengakhiri suatu kejahatan, teristimewa terorisme. Paus Yohanes Paulus II dalam sambutannya kepada sekelompok prajurit mengatakan, “Damai, seperti diajarkan oleh Kitab Suci dan dari pengalaman manusia sendiri, lebih dari sekedar tidak ada perang. Dan umat Kristiani sadar bahwa di muka bumi ini suatu masyarakat manusia yang sepenuhnya dan senantiasa ada dalam damai, sayangnya, hanya ada dalam negeri impian, dan ideologi-ideologi yang mengajarkan perdamaian sebagai sesuatu yang mudah dicapai, hanya menghasilkan pengharapan yang sia-sia. Usaha mencapai perdamaian tidak akan mengalami kemajuan apabila kita menyangkal kemungkinan dan kewajiban untuk mempertahankannya.” Tuhan kita mengatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai; demi membawa damai orang wajib melawan kejahatan dengan tindakan-tindakan yang adil.


Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Responding to Terrorists” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments:

Post a Comment