December 4, 2010

Sekilas Pandang Tentang Sejarah Gereja Perdana Dan Permasalahannya

Oleh : Rm Yohanes Bambang



Berbicara tentang Gereja Perdana atau yang disebut dengan sebutan Gereja Orthodox, maka segera muncul pertanyaan : Gereja apakah itu dan aliran darimana ? Pertanyaan yang demikian ini muncul bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena keberadaan Gereja Orthodox ini, tidaklah dikenal dan terlintas dalam pemikiran orang-orang Indonesia. Sebab dalam buku-buku yang ditulis oleh Fihak Gereja Roma katolik maupun Denominasi-denominasi Protestan, segala sesuatu sebelum munculnya Protestanisme dan sesudah zamannya para rasul selalu dianggap Gereja Roma Katolik, dan itu semua termasuk zaman kegelapan , anggapan seperti ini terutama muncul dari fihak Protestan. Dalam Cara Pandang seperti ini, maka orang hanya akan melihat kekristenan hanya dua wajah yaitu jika tidak Roma Katolik ya Protestan apa itu bentuknya.

Itulah sebabnya banyak orang tak dapat meletakkan Gereja orthodox atau Gereja Perdana secara tepat dalam spektrum Roma Katolik atau Protestan. Sebab ternyata Gereja Orthodox itu bukanlah bagian dari Gereja Reformasi, dan jauh lebih tua dari Gerakan Reformasi, dengan demikian tidak termasuk denominasi Protestan. Juga Gereja Orthodox tak pernah merupakan bagian Sejarah dan pemikiran yang mempengaruhi benua Barat yang memunculkan pemahaman Iman Gereja Barat yang berpusat di Roma, jadi Gereja Orthodox bukan bagian Gererja Roma Katolik modern, namun Gereja Orthodox adalah berasal dari awal munculnya Kekristenan itu sendiri. 

Kalau Gereja Perdana atau Gereja Orthodox itu muncul dari awal Kekristenan itu sendiri, maka Gereja ini adalah Gereja seperti yang dinubuat- katakan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri bahwa : “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak akan menguasainya” ( Mat 16:18).

Apa yang dikatakan Tuhan Yesus ini yaitu bahwa Ia akan mendirikan “jemaatNya” atau “GerejaNya”, setelah Dia disalibkan, dikuburkan, bangkit dari antara orang mati, naik ke sorga dan duduk disebelah kanan Sang Bapa, serta Roh Kudus turun pada hari Pentakosta, maka “Gereja” yang dikata-nubuatkan oleh Tuhan Yesus itu terwujudlah. Oleh karena itu tidaklah heran bahwa turunnya Roh kudus pada hari Pentakosta (Kis 2) pada tahun 33 Masehi itu disebut sebagai lahirnya Gereja. Dan dengan turunnya Roh kudus serta dikuasainya para Rasul oleh Roh Kudus tersebut, maka mulailah gerakan besar-besaran, dimana berita Injil atau kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati itu mulai dikobarkan oleh para rasul.

Pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para rasul ini, disamping sebagai kesetiaannya terhadap mandat yang diberikan oleh Tuhan Yesus pada mereka sebelum kenaikanNya (Matius 28:20), juga merupakan dorongan dari Roh Kudus pada mereka untuk melaksanakan tugas mulia tersebut. Dan inti berita atau Injil yang dikumandangkan oleh para rasul kepada mereka yang belum mengenal akan Allah adalah mengenai kesengsaraan sampai dengan kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Berita ini semula diberitakan secara lisan, karena Kristus memang tak pernah menulis Kitab ataupun menerima Kitab dari Sorga, itu sebabnya Dia tak pernah meninggalkan Kitab apapun pada para rasul, karena Dia itu sendirilah Firman Allah yang menjadi manusia. Kerygma Rasuliah ini secara lisan itu mula-mula disebarkan hanya disekitar daerah Palestina, dan akhirnya menjadi ajaran lisan komunitas yang baru, yang disebut sebagai “Gereja” atau “Ekklesia”, dan dari kata “Ekklesia” inilah muncul dan timbullah kata “Gereja” yang berasal dari Portugis “Igreja” dan sepadan dengan kata Spanyol “Iglesia”. Para rasul itu akhirnya menyebarkan berita baik itu kemana-mana: mulai dari Yerusalem dan seluruh Palestina, kemudian keseluruh Siria, Asia Kecil (kini negara Turki), Yunani, Afrika Utara terutama di Alexandria (Mesir) dan Kartago (Libia). Inilah batas sebelah barat dunia timur pada saat itu. Sedangkan ke Timur lagi, Injil tersebar ke Edessa (pada akhirnya menjadi kerajaan Kristen pertama kali karena Raja Abgar tersembuhkan dari penyakit kustanya melalui Sapu tangan Yesus atau disebut “Mandilion”), Mesopotania (Irak, Babilon), Persia (daerah Siria Timur) sampai ke India sebelah selatan. Sedangkan ke Barat lagi Injil diterima di Benua Eropa Barat, mulai dari Roma/Itali, Spanyol, dan natinya akan berkembang ke Seluruh Eropa. Dengan demikian jelas bahwa Injil itu tersebar dari Timur ke Barat dan di seluruh benua : Asia, Afrika, Dan Eropa. Disini terlihatlah sudah bahwa Iman Kristen itu pada dasarnya Agama Timur (Timur Tengah).

Pada saat inilah dokumen-dokumen yang akhirnya menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru, mulai dituliskan oleh para rasul yang berdiri sebagai para pemimpin Gereja, dan surat- surat yang ditulis itu ditujukan pada Gereja – Gereja yang berada : di Roma, Korintos, Galatia, Efesus dll. Dan Para Pemipin Gereja yang secara langsung sebagai murid para Rasul ini adalah Titus, Timotius, Filemon dll, yang telah mereka angkat dan pilih. Dengan demikian jelas bahwa Gereja itu telah ada lebih dahulu sebelum Kitab Suci Perjanjian Baru itu dikanonkan. Pada saat ini orang-orang Non- Yahudi mulai diterima sebagai anggota Umat Allah, setelah adanya penyelesaian masalah penerimaan mereka, dan penyelesaian masalah dogmatis mengenai kedudukan Taurat, dalam Rapat Agung atau disebut Konsili para Rasul pertama kali di Yerusalem ( Kis 15). Konsili segenap Gereja inilah yang menjadi landasan adanya konsili-konsili di sepanjang sejarah itu. 

Orang-orang yang bertobat itu hanya perlu beriman kepada Yesus Kristus tanpa harus menjadi Yahudi dengan mengikuti ritus-ritus Taurat, lalu dibaptiskan serta menjadi anggota Ekklesia yang dipimpin dan digembalakan oleh para Presbiter(Penatua) dan Episkop (Penilik Jemaat) – (Kis 20:17, 28), dimana mereka ini menerima pentabisan dari para rasul itu sendiri (Kis 4:23) sebagai mata rantai pelanjut dan pengganti pelayanan Rasuliah. Para Rasul sendiri tidak menjadi “Gembala” (Episkop/Presbiter) secara local dari Gereja local tertentu secara permanen dimanapun juga. Masing-masing kelompok Ekklesia itu mempunyai ciri khasnya dan masalah-masalahnya sendiri, sebagaimana hal itu dapat kita lihat dalam Kitab Perjanjian baru, namun seluruh Ekklesia dipanggil untuk memegang doktrin yang sama dan melaksanakan ahklak hidup dan Ibadah yang sama pula.

Sebagaimana telah kita singgung diatas, bahwa Kristus sendiri telah mengatakan bahwa: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya “ (Mat 16:18). Dari apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus Kristus ini yaitu “alam maut tidak akan menguasainya”, itu jelas menunjuk pada artian bahwa selama Gereja itu ada dan ada di jagat ini, maka tantangan dan problematik yang dihadapi oleh Gereja itu selalu ada dan tidak pernah berhenti, namun tantangan dan problematik itu tidaklah pernah menjadikan Gereja itu hancur dan musnah sama sekali. Dan untuk lebih jelasnya tantangan apakah yang dihadapi oleh Gereja Perdana itu.


I. Tantangan yang dihadapi Gereja pada abad 1 s/d 4

Pada abad-abad awal dalam Sejarah Gereja Perdana ini, banyak orang Kristen mengalami aniaya dan tidak sedikit orang percaya yang terbunuh karena Imannya. Suatu misal pada tahun 64 Masehi ketika zaman pemerintahan kaisar Nero yang pada zaman itu pula St. Petrus dan St. Paulus mati terbunuh, banyak orang Kristen yang dikejar-kejar dan dianiaya. Sifat penganiayaan itu bersifat sporadis, suatu misal di disebelah Timur Mesopotamia yaitu ketika berada dibawah kekaisaran Agung Persia, banyak orang Kristen yang dianiaya karena cemburu pendeta-pendeta Agama Zoroaster, yaitu agama resmi Persia terhadap orang percaya, sementara di Roma sendiri Agama Krtisten dianggap sebagai “agama yang tak resmi” atau “Religio Illicita”, serta orang-orang percaya dianggap sebagai :
  • Atheisme : karena mereka tak menyembah dewa kafir Romawi-Yunani, sehingga
    mereka dianggap tak berdewa atau tak ber- Tuhan.
  • Kanibalisme : karena kebiasaan orang Kristen dalam setiap pertemuan Ibadah selalu makan daging dan minum darah seorang bayi.
  • Imoralitas dalam Kebaktian : Karena orang Kristen dalam Setiap kali pertemuan Ibadah selalu mengatakan “Cium Kudus” , yang oleh orang kafir hal ini dianggap telah melakukan perzinahan sumbang yaitu perzinahan sesama saudara. Hal seperti ini tentu saja telah menimbulkan rasa takut dan benci di kalangan orang kafir terhadap orang Kristen.


Sementara dari pihak pemerintah, karena orang Kristen menolak memberikan kemenyan di depan patung kaisar sebagai tanda loyalitas terhadap Kaisar yang dianggap sebagai “Dominus et Deus”, penolakan orang percaya memberi kemenyan pada patung kaisar, karena dalam pemandangan orang percaya hanya Kristuslah sebagai “Dominus” itu. Dan karena penolakannya itulah maka orang Percaya dianggap sebagai Pembangkang politik yang membahayakan, karena mereka mempunyai loyalitas terhadap Raja lain yaitu Kristus “Sang Dominus” itu.

Para Bapa Gereja yang mati teraniaya dan sahid pada abad-abad ini adalah Ignatius dari Antiokia, pengganti ketiga dari Rasul Petrus di Antiokia, Syria sebagai Episkop (110 Masehi), Polikarpus Episkop dari Smirna mati teraniaya dibawah Kaisar Marcus (l66 Masehi) dan Yustinus Sang Suhada. 

Dan juga perlu ditandaskan disini, bahwa abad-abad awal ini banyak sekali bermunculan tulisan mengenai Kristus, yang mana tulisan ini disebut sebagai “Apokrifa” (jangan dikacaukan dengan “Anaginoskomena” dari Perjanjian Lama) serta tulisan-tulisan “Pseudopigrafa”. Biasanya tulisan-tulisan itu memakai nama salah satu dari para rasul dan memasukkan dongeng-dongeng aneh mengenai masa kecil Kristus, kehidupan Prawan Maria dan kegiatan-kegiatan karya para Rasul. Dan sebagian dari tulisan-tulisan ini, menjadi bagian kisah dalam Kitab Suci Al-Qur’an terutama mengenai kisah masa kecil Tuhan Kita Yesus Kristus, dan bersama dengan itu muncul pula aliran “Gnostikisme” yaitu suatu bidat yang mengubah ajaran Kristen seperti ajaran kebatinan. Dan dalam rangka melawan pengajaran ini, Gereja menyebut ajaran Rasuliah ini sebagai ajaran yang “Orthodox” yang berasal dari kata “Orthos” yang artinya benar atau lurus dan “Doxa” yang berarti penyembahan atau ajaran, jadi kata Orthodox ini bukan berarti kolot namun “penyembahan yang lurus atau pengajaran yang lurus benar”, dan sebagai lawan Orthodox adalam Heterodox. Dan akibat dengan banyaknya ajaran palsu dan Gnostik inilah, maka para Apologist dan Bapa Gereja menekankan pentingnya “suksesi Rasuliah” dan bersama itu pula tulisan-tulisan mana yang dianggap oleh Gereja bisa menjadi bahagian dalam kanon Kitab Suci. Tulisan-tulisan yang bisa dimasukkan dalam kanon itu harus :
  1. Berasal dari zaman rasul.
  2. Ditulis rasul sendiri atau teman/murid dekat mereka
  3. Sesuai ajaran rasuliah tanpa putus sebagai paradosis dalam Gereja
  4. Digunakan secara merata di seluruh Gereja awal
  5. Harus mengajarkan kesucian dan bukan dongeng-dongeng gnostik.

Dan berdasarkan seleksi yang dilandaskan atas persyaratan diatas, maka surat-surat yang dapat dimasukkan kedalam kanon Kitab Perjanjian Baru itu hanya ada 27 Surat atau kitab.

Menginjak pertengahan abad ketiga ini, penganiayaan besar-besarpun terhadap orang percaya juga terjadi, suatu misal pada tahun 249 ketika Kaisar Decius naik tahta, kaisar ini mengadakan penganiayaan terhadap orang Percaya secara universal, dan penganiayaan ini dilanjutkan oleh Kaisar Valerianus (253-260). Dalam penganiayaan ini, orang percaya dipaksa mempersembahkan korban kepada patung kaisar sebagai “Tuhan” dan Illah”, para rohaniwan harus dikejar dan dibunuh, harta benda Gereja harus disita. Dan baru setelah anak Valerianus naik tahta dan berdiri sebagai Kaisar, maka penganiayaan terhadap orang Kristen dihentikan. Dengan berhentinya penganiayaan ini Gereja berkembang secara luar biasa, namun akibat penganiayaan itu telah mengakibatkan krisis besar didalam Gereja.

Mengapa ? karena bagi mereka yang pada saat penganiayaan itu mau dengan rela mempersembahkan korban pada patung kaisar, selalu dipertanyakan. Ada yang memperbolehkan masuk Gereja kembali, dan ada yang tidak memperbolehkan serta orang-orang ini disebut sebagai kaum “Lapsi”

Disisi lain pada abad ini muncul lagi bidat “montanisme” yang didirikan oleh “Montanus”, dimana Montanus mengajarkan karunia lidah, nubuat-nubuatan dan Kerajaan Seribu tahun akan segera datang di pulau Frigia – Asia Kecil. Pembela Agung Gereja saat itu adalah “Js. Kiprianus” dari Karthago dan meninggal pada tahun 258. Dia meninggal sebagai Martir setelah membela Gereja Rasuliah yang orthodox dan Katolik dan melawan aliran garis keras yang memisahkan diri dari Gereja karena masalah “lapsi”. Aliran yang dilawan itu adalah aliran “Novatianisme” yang didirikan oleh “Novatianus” yang berada di Roma. Dan Novatianus ini menyebut alirannya sebagai “Gereja yang murni”. Kiprianus membela Gereja Rasuliah Orthodox dan katolik itu dengan menekankan perlunya “mata rantai rasuliah” dalam ajaran dan “mata rantai rasuliah” dalam pentahbisan para Episkop. Dan Kiprianuslah yang mengatakan “extra Ekklesia nulla salus est” artinya diluar Gereja yaitu diluar persekutuan kongkrit dari umat yang percaya secara pribadi pada Kristus dibawah pimpinan rohani Episkop yang berlandaskan suksesi rasuliah disekitar meja Perjamuan Kudus dan pemberitaan Firman oleh Presbyter, tidak ada keselamatan. Pada abad ketiga ini dapat kita saksikan adanya perkembangan yang luar biasa, karena adanya pendirian Sekolah Theologia di Alexandria – Mesir yang dipelopori oleh Pantaenus dan Klemen dari Alexandria ( yang meninggal kira-kira tahun 215), yang kemudian Sekolah Theologia ini di handle atau dipegang-kepalai oleh seorang penulis, sarjana dan theologia termasyur Origenes (meninggal pada tahun 253). Yang menjadi penekanan pada theologia Alexandria ini bahwa filsafat Yunani yang non-kristen itu dapat digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Kitab Suci. Dan ciri khas pendekatan Alexandria ini adalah tafsiran secara alegoris terhadap Kitab Suci, sedangkan dalam Tradisi Syria Antiokia yang tak lama kemudian akan berkembang adalah pendekatan secara harafiah berdasarkan tata bahasa dan sejarah penulisan Kitab Suci. Kedua Pendekatan ini akhirnya akan bertemu dalam konflik pada abad-abad berikutnya. 

Karya Origenes ini sangat luar biasa dan tak terhitung jumlahnya. Dialah yang pertama kali mengadakan kajian Sistimatis dan sastrawi dari buku-buku dalam Alkitab. Dan Karya Origenes ini akan menjadi fondasi karya-karya theologia para bapa Yunani pada abad-abad berikutnya, namun demikian secara ajaran banyak pendapat Origenes yang ditolak oleh Gereja, karena tak Alkitabiah dan tak rasuliah, sehingga pada Konsili Ekumenis ke V (tahun 553), beberapa ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh Gereja. Diantara pakar-pakar theologia abad ke 3 yang harus disebutkan bersama dengan, Kiprianus, klemen, dan Origenes adalah Dionysios dari Alexandria (wafat 265), Hippolytus dari Roma (wafat 235), Gregorius Pelaku Mujizat dari Kappadokia (wafat 270) dan Methodios dari Olympus (wafat 311). Orang-orang inilah yang memperekembangkan theologia Kristen terutama yang meletakkan dasar bagi pembahasan Tritunggal Mahakudus.

Pada abad ke 4 dimulai dengan penganiayaan yang paling besar yang diarahkan pada Gereja oleh kaisar Diokletianus. Daftar Syuhada atau Martyr yang paling panjang berasal dari abad ini. Setelah surutnya Diokletianus, terjadilah perebutan kekuasaan dalam kerajaan Romawi. Pada tahun 312, Konstantinus menghadapi peperangan melawan Maxentius dan sebelum terjadi peperangan di jembatan Milvianus di Roma, Konstantinus berdoa, serta mendapat penglihatan Salib bersinar di langit dengan tulisan “Dengan tanda ini , kalahkan”. Kemudian dia memerintahkan para prajuritnya untuk mengenakan tanda salib ini pada perisai dan jubah mereka dan akhirnya Konstantinus memenangkan pertempuran itu. Dengan menangnya Konstantinus pada pertempuran itu, maka dia memberikan kebebasan kepada orang-orang Kristen dan bahkan dia menunjukkan kecenderungannya kepada Iman Kristen itu.

Sebelum kematiannya Konstantinus membangun suatu kota di Byzantium bagi Ibu Kota yang baru dari kerajaannya dan kota itu disebut Konstantinopel ( kini disebut Istambul atau Turki) untuk menghormati dia. Konstantinus sendiri baru dibaptis diatas ranjang menjelang kematiannya pada tahun 337. Bersama dengan ibunya Maharatu Heleni,dia menemukan Salib asli Kristus di Yerusalem, serta keduanya diakui sebagai orang kudus Gereja Orthodox sampai sekarang ini. Iman Kristen diakui sebagai agama resmi kerajaan Byzantium pada tahun 380 oleh ketetapan Kaisar Theodosius. Sementara itu umat Kristen di Syria yang tinggal di kekaisaran Persia, makin mengalami aniaya karena dicurigai sebagai antek musuh kerajaan Persia, karena kerajaan Romawi yang menjadi musuh bebuyutannya sekarang telah menjadi kerajaan Kristen Byzantium.


II. Masa Konsili Agung Ekumenis Gereja Rasuliah yang Satu dan Orthodox : pada abad ke IV (tahun 325) sampai dengan abad ke VIII (tahun 787) 

Pada saat Pemerintahan Konstantinus ini, Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta terbebas dari aniaya yang luar biasa, namun ketentraman Gereja ini segera diganggu oleh munculnya bidat-bidat yang berasal dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran perpecahan “Donatisme” di Afrika utara yang dipimpin oleh Donatus, yang menolak Episkop terpilih di Karthago yang dianggap termasuk golongan “Lapsi” pada saat penganiayaan zaman Diokletianus. Bukannya Konstantianus membiarkan Gereja untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, namun dia menggunakan kekuatan militernya pada pertama kali untuk memihak, pihak Donatis, dalam memaksakan keputusan nya. Dan dalam perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyap dan punahnya Gereja Afrika Utara (Libia, Maroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya.


1. Konsili Agung Pertama ( tahun 325 Masehi) 

Konsili yang pertama ini diadakan di Kota Nikea dengan dihadiri oleh 318 Episkop, dan tujuan diadakan konsili ini adalah untuk melawan ajaran Arianisme yang mengatakan bahwa : “Ada saatnya bahwa Sang Sabda itu tidak bersama-sama dengan Allah” atau “Bahwa Allah itu hanya Sang Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi manusia itu, adalah mahluk pertama yang diciptakan oleh Allah dalam wujud roh, dan dibantu oleh mahluk yang pertama ini Allah menciptakan jagat dan manusia ( band Kol 1:15). Tentu saja ajaran ini tidak benar, oleh karena itu dalam sidang itu dirumuskan : “Bahwa Sang Firman yang juga disebut Anak Allah itu bukan diciptakan, karena Dia itu Allah” ( Band Yoh l:l-2, 10:30, 8:42, Yoh 6:41,38).


2. Konsili kedua (tahun 381 Masehi) 

Konsili ini diadakan di kota Konstantinopel guna melawan ajaran Makedonius bahwa : “Roh Kudus itu bukan Illahi, namun Dia itu hanyalah daya aktif Allah saja” karena itu dalam Sidang Konsili itu dirumuskan bahwa : “ Roh kudus itu adalah Allah, yang keluar dari Sang Bapa, yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimulyakan (Yoh 15:26, 1 Kor 2:2-l0, Yoh 14:26, Kej 1:1-3).
Dan pada saat konsili pertama dan kedua inilah baru diteguhkan kembali menjadi satu rumusan pengakuan Iman (syahadat), yang menjadi Pengakuan Iman Orthodox sampai sekarang dengan sebutan “Pengakuan Iman Nikea”.

Para tokoh spiritual (para bapa Gereja) yang sangat berjasa dalam membela Iman Rasuliah yang Orthodox, menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat itu adalah Bapa Suci Athanasios Agung Episkop dari Alexandria ( wafat tahun 373) yang banyak mengalami aniaya dari Pemerintah dan pengikut Arianisme, serta tiga Episkop dari Kappadokia(Asia Kecil) Bapa Suci Basilius Agung (wafat 379), saudara laki-lakinya Bapa suci Gregorius dari Nyssa (wafat 379) serta sahabat mereka berdua Bapa Suci Gregorius Naziansus Pakar Teologi (wafat 389). Mereka inilah yang banyak menderita aniaya dari Pemerintah dan pengikut Arianisme, namun mereka tidak takut untuk menjelaskan Iman Kristen tentang Ke- Illahian Kristus dan Roh Kudus didalam kesatuan hakekat dari Allah yang Esa, yang mana hal tersebut tetap dipegang teguh oleh umat Kristen sebagai standart Aqidah sampai sekarang.

3. Konsili ketiga (tahun 431 Masehi) 
Konsili ini diadakan di Kota kalkedonia yang dipimpin oleh Bapa Gereja Js. Kirilos Patriark Alexandria, guna melawan ajaran Episkop Nestorius dari Konstantinopel yang mengajarkan bahwa : “ Kristus itu manusia biasa anak Maria, yang dirasuk oleh Sang Firman, sehingga dalam Kristus itu ada dua Pribadi yaitu : Pribadi Kristus anak Maria dan Pribadi Sang Firman yang merasuki manusia Yesus, hingga demikian Nestorius menolak Maria sebagai “ Sang Theotokos” ( Yoh 1:1-2, 14:7, Luk 1:43)


Sinode Rampok


Suatu Muktamar terkenal sebagai Sinode Rampok diadakan di Efesus pada tahun 449 Masehi. Muktamar ini menjunjung tinggi pengajaran-pengajaran Mazhab Alexandria yang dinyatakan pada tahun 431 Masehi. Pertemuan ini tidak diterima Gereja secara menyeluruh karena tendensi Monofisitismenya ( Mono = satu, fisis = keberadaan) dimana dikatakan bahwa didalam Kristus hanya ada satu kodrat keberadaan saja, yaitu sifat keberadaan Illahi. Ini diakibatkan karena menafsir pengajaran Kirilos pada sisi yang sangat Ekstrem.

Pada tahun ini Leo Agung, Patriarkh Roma, juga mengeluarkan “tomos” (uraian pengajaran) Dogmatik, dimana dia dengan jalan membedakan dua sifat keberadaan Kristus. Kebijakan Leo adalah moderat, menggabungkan pemikiran Kirilos dari Alexandria dari Mazhab Antiokia. “Tomos”nya itu dijunjung tinggi dalam Muktamar di Kalkedonia (451)


4. Konsili ke empat (tahun 451 Masehi) : 

Sidang ini diadakan di kota kalkedonia, tujuannya adalah untuk menekankan hubungan Ke-Illahian dan kemanusiaan Kristus, serta menekankan kembali apa yang sudah ditetapkan pada sidang yang ketiga. Dalam Sidang ini , sekali lagi gelar Maria sebagai sang “theotokos” ditekankan, dan keesaan Pribadi Yesus Kristus serta keidentikannya Pribadi itu dengan sang Firman diproklamasikan (Yoh 10:30, 14:7). Dan dalam sidang itu dirumuskan bahwa :

Pribadi Yesus Kristus itu adalah sama dengan Pribadi Sang Firman, karena Firman itu telah menjadi daging (yoh 1:14). Dalam Diri Sang Firman yang menjadi manusia itu mempunyai dua tabiat dasar yaitu : tabiat dasar Sali (Yoh 10:30, 14:7, 6:42) dan tabiat dasar baru yaitu tabiat dasar manusia yang diambil dari darah dan daging Maria (Gal 4:4, Luk 2:40, 1 Yoh 1:1-2, Mat 4:2)

Tabiat dasar asali dan tabiat dasar baru itu manunggal dan tak bercampur baur, yang Illahi tetap Illahi dan yang manusiawi tetapi manusiawi. Keputusan ini tak disetujui oleh Filoksenius, Dioskoros dan Eutyches, serta mereka mengatakan bahwa tabiat dasar Kristus itu hanyalah satu ( Monofisit, Mono = satu, fisis = tabiat dasar). karena menurut mereka kemanusiaan Kristus itu telah ditelan Ke IllahianNya, sebagaimana setetes air ditengah – tengah samudra. Dan faham ketiga orang ini diikuti oleh sebagian besar Gereja Alexandria dan Ethiopia, Gereja Siria dan Gereja India, dan mereka terkenal dengan sebutan kaum Non-Kalkedonia atau kaum Monofisit. Namun pada tanggal 11- 15 – 19964 diketika diadakan pertemuan ( dialog antara Kaum Kalkedonia dan Monofisit) di Rhodos, Kaum Non-Kalkedonia (Oriental) tidak mempercayai apa yang diajarkan oleh Filoksonius, Dioskoros dan Eutyches, itu hanya berbeda dalam ungkapan, namun pengertian sama persis.

Dalam Konsili ini juga memberikan kedudukan “pertama dalam penghormatan “ kepada Roma diatas Konstantinopel (Roma Baru) sedangkan Konstantinopel menduduki urutan kedua sesudah Roma, kemudian diikuti oleh urutan sebagai berikut : Alexandria, Antiokia, Yerusalem. Roma menduduki urutan Pertama karena Roma adalah Ibukota kekaisaran sebelum dipindah ke Byzantium dan karena Petrus dan Paulus mati sahid ditempat itu. Jadi kedudukan Roma sebagai yang pertama itu, bukan karena alasan teologi maupun alasan “hak Illahi”, namun itu hanyalah alasan praktis saja, administrative dan politis saja.


5. Konsili kelima ( tahun 553 Masehi) 

Sidang ini diadakan di kota Kaisar Yustinianus di Konstantinopel. Dalam sidang ini Kaisar Yustinianus berusaha untuk mengembalikan kaum Monofisit kedalam Gereja Perdana atau Gereja Orthodox. Caranya adalah dengan mengutuki tulisan-tulisan Teodoret dari Siprus, Ibas dari Edessa dan Theodoros dari Mopsuestia, yang mana tulisan-tulisan itu disebut dengan sebutan “Tiga Naskah”. Namun usaha Yustinianus ini gagal, karena kaum Monofisit tak mau kembali dan malah menuduh bahwa Iman Kalkedonia ini mengikuti faham Nestorian. Tentu saja hal ini salah faham besar, karena dengan mengutuki pengajaran “Tiga Naskah” yang cenderung mengikuti faham Nestorian, justru untuk membuktikan pada kaum Monofisit bahwa Iman kalkedonia ini tidaklah sefaham dengan ajaran Nestorian. Dan bahkan ajaran penulis terkenal Origenes juga dikutuk, karena ajarannya sangat tidak Orthodox, misalnya : mereka mengajarkan bahwa Kristus adalah satu-satunya roh yang diciptakan Allah yang tidak menjadi benda jasmani (Yoh 1:1-2, 14 Kol 1:15-16), dan roh manusia itu ada dari kekal sebelum menjadi manusia (kej 1:26-27, 2: 7).


6. Konsili keenam (tahun 680-681 Masehi) 

Pribadi-pribadi yang penting dalam sidang ini adalah Bapa Gereja Maximos Sang Pengaku Dosa dan Bapa Gereja Martin Patriarkh Gereja Roma saat itu. Sidang ini diadakan di kota Konstantinopel. Tujuan diadakan sidang ini adalah untuk melawan ajaran “Monothelitisme” (Mono = satu, thelima = kehendak), dimana disana diajarkan bahwa “Kristus hanya mempunyai satu kehendak saja yaitu kehendak Illahi”. Dan para Bapa Gereja melihat ajaran ini sebagai ajaran “Monofitisme” tersembunyi (Yoh 6:38 band Mat 26:39).


7. Konsili ke tujuh (tahun 787 Masehi) 

Sidang ini diadakan di kota Nikea, yang menyatakan bahwa Ikon harus disimpan dan dihormati. Karena Ikon-ikon dalam Gereja itu adalah merupakan refleksi iman Gereja dan itu masih dipegang teguh sampai sekarang dalam Gereja Orthodox atau Rasuliah.

Perlu dicatat disini, bahwa pergolakan Ikonoklasme dimulai oleh Kaisar Leo III. Ikon adalah gambar-gambar simbolis mengenai Kristus, IbuNya dan orang-orang kudus milikNya. Asal-usul Ikon dapat ditemukan dalam peninggalan awal dari orang Kristen ketika masih hidup dalam katakombe-katakombe atau bahkan lebih dini lagi, dimana sukar bagi mereka untuk mengaku Iman mereka secara terang-terangan. Maka untuk untuk mengekspresikan Iman Kristen mereka, mereka menggunakan gambar-gambar dan lambang-lambang, dan gambar-gambar semacam inilah disebut Ikon. Gereja Orthodox sebagai kesinambungan Gereja mula-mula itu, memelihara kebiasaan menggambarkan Iman Kristen itu dalam wujud symbol-simbol ini, dalam bentuk ikon yang mempunyai arti teologis secara mendalam.

Dengan bangkitnya Islam yang oleh teologinya sangat anti gambar manusia (meskipun menggunakan kaligrafi) terutama pada waktu pemerintahan Kalifah Yazid di Syria yang sezaman Leo itu, juga oleh pengaruh orang-orang Yahudi, dan pengaruh Filsafat kafir Yunani yang mengatakan bahwa yang jasmani dan yang benda itu buruk, yang baik hanya yang abstrak dalam ide dan kata-kata saja, maka Leo III ini menyerang Ikon sebagai berhala. Periode ini terkenal sebagai periode pertama Ikonoklasme.

Terkait dengan bahasan mengenai Ikon ini, Yohanes dari Damaskus, seorang kudus, Bapa Gereja Yunani dan pengarang kidung-kidung Gereja kita dan pengarang buku teologia sistematika Gereja yang disebut “Eksposisi Iman Orthodox”, juga seorang pembela utama Ikon pada tahun 749 menegaskan, bahwa Ikon bukanlah berhala namun symbol. Dalam Perjanjian Lama memang “patung ukir-ukiran” dilarang (Kel 20:1-5), karena pada waktu itu Allah menampakkan Diri tanpa wujud yang nyata namun hanya dalam suara saja (Ul 4:12,15-19), sehingga menggambarkan sesuatu yang tanpa wujud adalah sesuatu yang mustahil dan dusta. Namun kalau yang digambar itu bukan Allah serta tak disembah sebagai Allah meskipun itu terletak dalam ruang tersuci dalam tempat Ibadah, yang dengan sendirinya orang akan sujud kalau masuk ke situ, bukan saja tak dilarang malahan diperintahkan ( Kel 25: 18-25, 1 Raj 6:23-28, 32-35, 8: 6-8).

Didalam Yesus , Allah telah menjadi manusia (Yoh 1:14), berarti nampak dan bisa dilihat oleh mata (1 Tim 3:16, l Yoh l :l), dengan demikian bisa digambar. Penampakkan sebagai manusia itulah yang digambar, dan bukan Ke-AllahanNya yang tak nampak. Jadi yang digambar bukanlah Allah yang Roh, karena itu mustahil , dusta dan dilarang, tetapi kemanusiaanNya, yang adalah mungkin, berguna dan tak dilarang. Jadi bukan berhala, sebagaimana kerubim dalam Perjanjian Lama itupun bukan berhala. Lagi pula secara ketat yang dilarang itu adalah “patung”. Ikon itu bukanlah patung tetapi gambar. Maka Ikon meskipun diletakkan pada tempat Ibadah, itu bukanlah berhala, sebagaimana Kerubim dalam bait Allah itupun bukan Berhala.

Kalau orang menunduk pada kerubim pada waktu mereka masuk ke Bait Allah, dan tak dianggap berhala, maka mengapa orang yang menghormati gambar Sang Juru Selamat dan orang-orang milikNya yang adalah saudara kita dalam Iman, dianggap menyembah berhala ? Berhala adalah menyembah sesuatu yang bukan Allah dan dianggap Allah, Ikon itu bukan gambar Allah, bukan pula disembah sebagai Allah, namun itu adalah gambar kemanusiaan Allah Sang Firman yang menjelma sebagai manusia, agar arti Inkarnasi Sang Sabda secara jasmani itu tak terlupakan. Yang ditekankan dalam teologi Ikon itu adalah realita inkarnasi yang betul-betul jasad jasmani. Jadi pergolakkan Ikonoklasme ini adalah pergolakan dari orang-orang yang tak mengerti implikasi Inkarnasi. Jadi itu bukan semata-mata pergolakan gambar, namun lebih menunjuk pada pergolakan kemanusiaan kristus dan Kristologis. Dan untuk mentaati larangan tak membuat patung dan ukir-ukiran dan untuk menekankan arti Inkarnasi itulah, Gereja Orthodox melarang sama sekali menggunakan Patung, tetapi menekankan membuat Ikon, karena Kristuslah Ikon(gambar) Allah itu ( Kol 1:15).

Pecahnya Gereja Barat : Roma dari Gereja Timur : Orthodox pada tahun l054 Kardinal Humbert dan dua utusan Paus yang lain menempatkan “Bulla” (Surat Keputusan Paus) pengucilan pada tanggal 16 Juli l054 di atas mezbah Gereja Hikmah Kudus (Aghia Sofia) di Konstantinopel terhadap Patriarkh Michael Kerularius, dan kutukan yang ditujukan oleh Gereja Roma pada Gereja Timur atau Orthodox adalah bahwa : Gereja Timur sudah mengurangi “Filioque” dari pengakuan Iman Nikea,mengijinkan Presbyternya menikah, dan kesalahan Liturgis karena tak menggunakan Liturgi yang dipraktekkan oleh Gereja Barat : Roma. Memang lucu pernyataan mereka ini lucu, mereka yang menambah, justru yang memegang aslinya dianggap mengurangi. Kejadian ini secara umum diambil sebagai garis batas permulaan dari “perpecahan besar-besaran” antara Gereja latin barat dari Gereja Orthodox Timur. Dan sebaliknya Gereja Timurpun mengadakan pengutukan pengucilan terhadap Gereja barat : Roma. Namun demikian bahkan sesudah tahun l054 hubungan persahbatan antara Timur dan Barat masih berlangsung.

Persoalan teologis utama pada konflik tersebut adalah : l). Pernyataan diri Paus, sebagai Penguasa Gereja dan wakil Kristus serta pengganti Petrus, satu-satunya, hal yang tak pernah dikenal di Gereja Timur maupun zaman Rasuliah.


Problem “Filioque”


1.Gereja Orthodox atau Perdana meyakini bahwa bahwa dalam hal-hal Iman keputusan akhir bukan tergantung pada Paus sendiri, tetapi pada Konsili Agung Eukumenis yang diwakili oleh seluruh Episkop Gereja dan kemudian diterima oleh “Hati Nurani” segenap Gereja, termasuk Paus juga, sehingga satu tak ada yang lebih atas dari yang lain. Maka segenap Gereja (Rohaniwan, dan bersama –sama kaum awam) yang harus memberikan keputusan semacam itu. Roh Kudus menuntun dan membimbing segenap Gereja untuk sampai kepada segenap kebenaran , jadi bukan hanya Paus saja yang dibimbing. Dan segenap Gereja itu diwakili oleh segenap Episkopos dan kemudian diterima oleh segenap warga Gereja.

2.Tidak jelas dimana pertama kali tambaham “Filioque” ini, diberikan oleh Gereja barat (yang kemudian setelah adanya Gereja-gereja Protestan yang keluar dari Gereja barat itu, juga mengikuti dogma ini) , tetapi itu nampaknya berasal dari Spanyol sebagai usaha untuk menjaga dari Arianisme, dan dengan pasti digunakan dalam Konsili Toledo (tahun 589). Filioque ini kemudian dianut oleh Bangsa Faranggis yang pertama kalinya membuat hal itu sebagai suatu bahan pertikaian, dan menuduh Gereja Timur sebagai bidat karena mengucapkan Pengakuan Iman Nikea dalam bentuk aslinya. Gereja Orthodox melihat penambahan “filioque” pada Pengakuan Iman Nikea itu, sebagai sesuatu yang tidak perlu dan itu sangat bahaya serta bidat. Alasannya adalah sebagai berikut:
  1. Karena Kristus adalah satu-satunya kepala Gereja, dan Gereja keseluruhan adalah tubuhNya, maka dalam perkara-perkara keputusan yang menyangkut Iman, segenap Gereja secara serentaklah yang dengan pimpinan Roh Kudus melalui suara bersama dalam Konsili Agung yang dapat menyuarakan kehendak Roh Kudus mengenai kebenaran (Kis 15:28). Sehingga keputusan konsili Eukumenis itu adalah suara segenap Gereja dan apa yang telah diputuskan itu tidaklah dapat diganggu gugat, baik ditambah maupun dikurangi oleh siapapun. Penambahan yang dilakukan oleh Gereja Roma dengan “Filioque” itu, dimata Gereja Timur adalah merupakan pengkhianatan secara langsung terhadap keesaan Gereja dan arti tubuh Kristus, serta pelanggaran terhadap prinsip yang olehnya Muktamar/Konsili Agung Eukumenis itu diadakan. Jadi penambahan Filioque yang dilakukan oleh Gereja Barat tanpa persetujuan bersama itu, telah melanggar akan dogma ekklesiologi.
  2. Dengan tambahan “filioque” (dan Sang Putra), maka mengakibatkan pengakuan iman Nikea itu menjadi “Dan Aku percaya pada Sang Roh Kudus, Tuhan, Sang Pemberi hidup yang keluar dari Sang Bapa “dan Sang Putra” (et filioque)..”. Gereja Timur melihat hal itu sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Alkitab, karena dalam Yoh 15:26 dikatakan bahwa Roh Kudus itu meskipun dikirim oleh Sang Putra (sesudah Penjelmaan, kematian, kebangkitan dan kenaikanNya ke Sorga – Kis 2:33, Yoh 7:39) tetapi hanya keluar dari Sang Bapa saja (dari kekal sebelum adanya penciptaan, jadi sebelum penjelmaan Sang Putra kedunia). Roh Kudus disebut Roh Yesus, Roh Kristus, Roh Anak Allah atau Roh Yesus Kristus itu, bukan karena keluar dari Sang Putra, namun karena dikirim oleh Yesus Kristus ke dalam dunia, yaitu sesudah Ia menerima Roh dari Sang Bapa (Kis 2 :32-333)
  3. Kalau Roh Kudus itu keluar dari Sang Bapa dan sang Putra, maka itu berarti ada dua pokok didalam Diri Allah Tritunggal itu, yang dengan demikian menyebabkan adanya dua Allah, padahal Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa Allah itu Esa, Satu, karena hakekatNya satu dan pokok atau sumber ke-Allahan dalam Tritunggal itu adalah Satu, yaitu Sang Bapa saja (l Kor 8:6).
  4. Kalau Roh Kudus keluar dari “Sang Bapa dan sang Putra” dianggap seolah-olah keluar dari satu sumber saja, dengan demikian perbedaan kepribadian Sang Bapa dan Sang Putra dikaburkan, yang berarti jatuh pada semacam doktrin Sabelianisme yang dikutuk oleh Gereja, meskipun bukan Sabelianisme secara penuh, setidak-tidaknya semi Sabelianisme
  5. Kalau Roh Kudus itu keluar dari “Sang Bapa dan Sang Putra”berarti ada dua sumber ke-Allahan, kemudian dimana letak keesaan Allah? Kalau dikatakan bahwa letak keesaan Allah itu terletak pada hakekat (essensiNya) dan bukan pada salah satu Pribadi dalam Tritunggal itu, jelas itu bertentangan dengan Alkitab yang mengatakan bahwa bagi kita hanya ada “satu Allah saja, yaitu Sang Bapa (l Kor 8:6). Menurut Alkitab dan itu selalu diajarkan oleh Gereja Orthodox, keesaan Allah itu terletak pada Pribadi Sang Bapa yang satu, yang didalamnya hakekat Allah yang satu itu tinggal, dan didalam hakekat Allah yang satu dan sama itu, Sang Putra berada dan Sang Roh Kudus tinggal. Sang Putra berada disitu sebagai yang “diperanakkan, dan bukan diciptakan” sejak kekal. Sedang Sang Roh Kudus berada disitu sebagai yang “keluar dari Sang Bapa” sejak kekal pula. Sang Putra dan Sang Roh Kudus itu bukanlah mahluk, namun itu adalah Firman dan Roh Allah sendiri yang sejak kekal tanpa awal maupun akhir berada pada Allah. Dengan demikian keesaan Allah dijaga, realita dan keillahian Sang Putra dan Sang Roh Kudus ditekankan.
  6. Kalau keesaan Allah dipandang dari EsensiNya, berarti Allah yang Esa itu bukan lagi Pribadi (Sang Bapa), namun suatu Dzat atau esensi mutlak. Kalau demikian halnya apa bedanya Allah orang Kristen dengan Allah Filsafat Yunani maupun agama Hindu ?
  7. Kalau Allah yang Esa itu adalah Dzat mutlak yang tak berpribadi (The impersonal absolute), padahal orang Kristen diperintahkan untuk bersekutu dengan Allah yang Esa itu, maka dengan demikian jelas persekutuan itu berarti bersekutu dengan esensi mutlak tersebut. Dengan bersekutu dengan esensi berarti melebur kedalamnya, maka dengan demikian apakah bedanya Iman Kristen dengan keyakinan Hindu-Budha (bahkan untuk konteks Indonesia :Kebatinan), mengenai peleburan diri manusia ke dalam dzat Illahi, dalam ide semacam ini ? Jelas ini bukan Iman Alkitab, bukan pula pengajaran rasuliah, oleh karena itu ajaran semacam ini ditolak oleh Gereja rasuliah atau Orthodox.
  8. Karena Roh Kudus itu keluar pula dari Sang Putra, maka dengan demikian Roh Kudus dianggap lebih rendah dari Sang Putra. Karena itu Roh Kudus mundur kebelakang layar. Akibatnya, karena secara jasmani Sang Putra tak ada di dunia, Dia memerlukan seorang “Vikar” yang tak dapat salah didunia ini – Paus. Padahal “Vikar” Kristus dalam dunia ini adalah Roh Kudus sendiri yang berbicara melalui keserentakan dan keserempakan segenap Gereja, dan bukan berpusat pada individu-individu tunggal maupun jamak. Akibat “Filioque” ini adalah sentralisasi Paus “yang tak dapat salah” dan individualisme yang dimulai dari Paus yang merembet pada system protestanisme, sehingga terjadinya perpecahan-perpecahan Gereja yang tak ada kunjung hentinya. Padahal kita menghendaki Gereja yang Esa, kalau akar penyebabnya tidak kita buang yaitu “Filioque”, maka keesaan Gereja yang kita dambakan tak akan kunjung tiba. Jadi sebagaimana dengan pertikaian mengenai Ikon, pertikaian “filioque” ini bukan hanya sekedar mengenai hal sepele, tetapi menyangkut esensi Iman Kristen itu sendiri. Itulah beberapa dasar teologis dan praktis yang dilihat oleh Gereja Orthodox atas penolakannya terhadap tambahan “filioque” yang dilakukan oleh Gereja Barat : Roma, kemudian dianut Gereja Protestan di dalam segala alirannya. Sejak saat ini Gereja barat makin jauh terpisah dari segi teologis maupun dari segi praktis dari Gereja Orthodox atau Gereja rasuliah, yang mengakibatkan makin bertambah-tambahnya ketetapan- ketetapan dan doktrin-doktrin baru yang tak pernah dikenal oleh Gereja Timur sejak zaman kuno. Suatu misal doktrin-doktrin baru yang dimunculkan dan tak dikenal oleh Gereja Timur adalah : Dogma Maria terkandung tanpa noda asal dan dogma kenaikannya ke sorga, meskipun Maria juga dihormati dalam Gereja Timur, Dogma Paus yang tak dapat salah Ex Cathedra, Dogma kedudukan Paus sebagai Gembala Universal satu-satunya pewaris tahta Petrus, Dogma Api Penyucian, Dogma Transsubstansiasi dari Perjamuan Kudus, Dogma Rahmat Orang Kudus yang berlebih bagi keselamatan mereka sendiri dan rahmat yang berlebih ini disimpan dalam Gereja : Paus, berhak untuk membagikannya pada nyawa yang kekurangan rahmat dan berada dalam api penyucian, sehingga terjadilah penjualan surat pengampunan dosa pada abad ke 16 akibatnya Revolusi Reformasi yang dimulai oleh seorang Biarawan Martin Luther pada tahun 1517, dan lain-lain. Karena sejarah Reformasi tidak mempunyai kaitannya secara langsung dengan Sejarah Gereja Orthodox, serta dampaknya tak terasa sama sekali dalam Gereja Orthodox, maka kami tak membahas masalah ini pada pertemuan kita saat ini.

No comments:

Post a Comment