December 11, 2010

Perlukah Umat Kristen Berpuasa?

Ditengah bulan Puasa yang dilakukan oleh umat Islam, timbullah pertanyaan yang ditujukan kepada umat Kristen: “Perlukah umat Kristen menjalankan puasa atau tidak?”
Asal perintah puasa dalam Perjanjian Lama tidak jelas, tercatat ketika Israel menghadapi Filistin mereka mengaku dosa dan berpuasa (1Sam.7:6). Sekalipun tidak disebut sebagai puasa, Musa tidak makan dan minum selama 40 hari (Kel.34:28). Ketika Nehemia mendengar situasi Yerusalem, ia berdoa dan berpuasa (Neh.1:4). Yoel menyuruh umat bertobat dan berpuasa (Yl.2:12). Banyak juga ayat-ayat lain yang menunjukkan praktek puasa dalam PL.
Dalam Perjanjian Baru puasa juga tercatat. Yesus tercatat berpuasa sekali dengan tidak makan selama 40 hari (Mat.4:2) sebagai persiapan menghadapi godaan dan ujian. Ketika Paulus dan Barnabas diutus mereka berpuasa (Kis.13:3). Puasa biasanya dikaitkan dengan penyesalan diri dalam pertobatan dan dikaitkan dengan doa dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan (1Raj.21:27; Mzm.35:13), atau meminta kuasa mujizat untuk memerangi setan (Mat.17:21;Mrk. 9:29).
Sebagaimana banyak hal dalam Syariat Taurat dimana arti rohaninya terkubur oleh penampakan lahir, demikian juga puasa sering merosot artinya. Bukannya ditujukan sebagai ekspresi pertobatan tetapi umat Israel menjadikannya sebagai tuntutan untuk memperoleh sesuatu(Yes.58:3) atau agar diperkenan Tuhan (Yes.58:5). Puasa sering merosot sekedar upacara ritual tanpa penyerahan diri kepada Tuhan(Za.7:5), dan menjadi perilaku yang munafik (Mat.16:6) demi untuk membenarkan diri sendiri (Luk.18:12).
Baik Musa maupun Yesus berpuasa selama 40 hari bukan karena syariat agama, namun sebagai masa persiapan menghadapi godaan dan ujian sebelum diutus dalam pelayanan yang berat. Konteks saat itu menunjukkan suasana gurun dimana tidak tersedia makanan & minuman dan tidak disebutkan bahwa Yesus membawa bekal minuman sekalipun dikatakan bahwa Yesus hanya ‘tidak makan’ (Mat.4:2).
Puasa dalam praktek Syariat Israel telah merosot menjadi kebiasaan legalistik pada hari-hari, waktu & cara tertentu tetapi sudah kehilangan maknanya, itulah sebabnya Yesaya dengan keras menegur & menekankan arti puasa yang benar. Ia mengatakan firman Tuhan:
“Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes.58:6-7).
Sekalipun Yesus pernah berpuasa 40 hari, ia tidak menyuruh murid-muridnya berpuasa sebagai syariat, dan karena para murid tidak berpuasa mereka dicela oleh orang Farisi (Mrk.2:18), namun Yesus mengatakan bahwa puasa baru akan mereka lakukan bila Yesus telah pergi (Mrk.2:20). Jadi, puasa menurut Yesus bukan lagi syariat agama tetapi penyiapan batin secara khusus bila bertobat dan diperlukan dalam menghadapi masalah berat seperti kepergianNya kelak atau dalam meminta mujizat atau memerangi setan (Mat.17:21;Mrk.9:29).
Yesus tidak membenarkan orang Farisi yang menjalankan syariat agama termasuk berpuasa yang melakukannya dengan sombong, tetapi membenarkan pemungut cukai yang tidak berpuasa (Luk.18:9-14) tetapi bertobat. Jadi, Yesus tidak menyuruh orang melakukan puasa tetapi tidak melarang bila orang melakukan puasa untuk tujuan khusus.
Dari hal-hal di atas kita mengetahui bahwa puasa memiliki maksud yang dalam dan khusus dalam menguasai batin seseorang dalam hubungan dengan Tuhannya yang suci dan benar, namun puasa cenderung merosot sekedar suatu legalisme agama dalam bentuk syariat lahir tanpa isi. Yesaya dengan jelas memberitahukan umat Israel (Yes.58) bahwa yang harus dilakukan adalah puasa batin, yaitu berpuasa dari perilaku kelaliman, menganiaya dan memperbudak orang. Berpuasa dari mengenyangkan diri sendiri menjadi memberi makan orang lapar, tidak punya rumah, dan yang telanjang (band. Mat.24:31-46).
Yesus juga tidak mengajarkan orang untuk berpuasa, bahkan tidak membenarkan orang sombong sekalipun ia berpuasa, tetapi Yesus juga tidak melarang orang berpuasa. Jadi puasa itu pada dirinya sendiri tidak memiliki arti bila bukan merupakan ungkapan hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah.
Penebusan Yesus di atas kayu salib menggenapi Syariat Taurat PL yang bergantung pada usaha manusia menyelamatkan diri sendiri dengan melakukan syariat agama (sunat, korban, sabat, puasa, makanan halal-haram dll.), menjadi kasih karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya dan bertobat (Yoh.3:16;Efs.2:8-10; Tit.2:11-15). Ini disempurnakan dengan kedatangan ‘Roh Kudus’ yang menguatkan & mendiami umat percaya yang digenapi dihari Pentakosta (Kis.2; lih. Mat.28:20).
Dari ajaran Yesus ini, menjawab pertanyaan “perlukah umat Kristen menjalankan puasa?” dalam terang PB dapat dijawab ‘tidak’ dan ‘ya’, artinya umat Kristen (kecuali Katolik) ‘tidak’ menjalankan kewajiban puasa sebagai syariat agama ritual pada waktu-waktu tertentu dan yang ditetapkan, dan ‘ya’ bahwa sewaktu-waktu umat Kristen dapat menjalankan puasa dalam menghadapi event-event khusus dan dengan sungguh-sungguh bila ia membutuhkan, tetapi perlu disadari bahwa ‘puasa’ bukanlah ritual amal-baik yang mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, melainkan ‘penyiapan diri’ sendiri.
Puasa adalah ungkapan lahir dari hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah. Ungkapan lahir tidak berarti bila yang diungkapkan tidak ada, sebaliknya tanpa ungkapan lahir juga tidak menjadi soal selama yang diungkapkan itu ada, sebab inilah hakekat puasa yang sebenarnya. Sekalipun umat kristen dalam Perjanjian Baru disebutkan sebagai sewaktu-waktu berpuasa, ini hanyalah melanjutkan kebiasaan tradisi Yahudi namun bukanlagi sebagai syariat agama yang mendatangkan pahala seperti halnya dalam Perjanjian Lama melainkan kesuka-relaan demi menahan diri dan persiapan menghadapi tugas pelayanan yang khusus. ***
Salam kasih dari YABINA ministry www.yabina.org.

1 comment: