December 22, 2010

Pendeta & Komitmen


Di sebuah milis berlangsung diskusi soal ‘Pendeta & Teolog Inferior’ yang ceritanya berkisar pendeta dan praktek pelayanannya. Memang belakangan ini jemaat banyak mencoba menyimak apa-apa di balik pendeta, suatu yang tidak terpikirkan oleh generasi terdahulu.


Pendeta memiliki tugas yang luhur sebagai gembala bagi dombanya dan menjadi penghibur bagi jemaat yang mangalami muzibah dan gundah gulana, jadi pendeta sangat dihormati karena peran besarnya bagi masyarakat yang membutuhkan bimbingan rohani, namun mengapa pada masakini pendeta sering dijadikan bahan gurauan bahkan dilecehkan? Sebenarnya ada tiga hal dalam proses pelayanan pendeta, yaitu soal: (1) panggilan; (2) pembekalan; dan (3) komitmen. Ketiganya memang menentukan sampai dimana seorang ‘pendeta’ patut dihormati sebagaimana mestinya ‘pendeta.’

Banyak orang menjadi pendeta karena panggilan Tuhan yang indah sehingga rela menyerahkan diri untuk menjadi hambaNya (kata Yunani ‘doulos’ artinya ‘budak’ yang tidak memiliki hak apa-apa dihadapan tuannya), namun pada  masa kini, kependetaan banyak menjadi sekedar profesi. Banyak orang masuk sekolah teologi bukan karena panggilan, namun karena mereka tidak diterima dimana-mana, demikian juga di tengah sulitnya mencari kerja pada masakini, profesi kependetaan menjadi sasaran minat karena merasa bahwa menjadi pendeta tergolong siap memasuki dunia gereja yang terbuka, itulah sebabnya kita dapat melihat mengapa banyak pendeta yang kerjanya asal jalan.

Dibalik motivasi yang tidak sehat, kita jumpai banyak profesional dan sarjana yang meninggalkan masa depan mereka dengan penghasilan dan jabatan tinggi, yang merasakan panggilan Tuhan dan kemudian belajar teologi untuk melengkapi diri bersaksi bagi Tuhannya. Bagaimanapun panggilan perlu ada sebelum seseorang menjadi pendeta, soalnya, apalagi kalau tidak ada panggilan, mereka yang terpanggilpun banyak yang berubah komitmennya di tengah jalan.

Panggilan biasa dilanjutkan dengan pembekalan, dalam hal ini seseorang yang terpanggil lalu mengikuti pendidikan teologi untuk bekal pelayanannya di kemudian hari. Di sini proses panggilan itu mulai diuji, soalnya belakangan ini kita dapat melihat ada kecenderungan warna dari suatu pendidikan teologia, ada yang modernis ada yang konservatif. Ada sekolah teologia yang memiliki tenaga pengajar yang liberal (tidak lagi menerima mujizat dan hal-hal supranatural termasuk ketuhanan Yesus), maka bila imannya lemah, ia mudah terpengaruh dan berubahlah arah panggilannya semula.

Seorang aktivis persekutuan mahasiswa terpanggil dan masuk sekolah teologi, dibawah dosen tertentu yang berwawasan liberal, ia terpengaruh dan menganggap bahwa Yesus bukan Tuhan dan Alkitab bukan firman Allah, dan bahkan mengenai Yesus ia pernah mengatakan “... yang mati konyol di kayu salib”. Seorang yang lain yang mengalami pembekalan teologis demikian juga bahkan sekarang ada yang jelas-jelas terbiasa mendiskreditkan Yesus dan kekristenan dan lebih mempromosikan agama lain di atas mimbar. Pernah seorang mahasiswa teologi mengeluhkan bahwa ia frustrasi menghadapi pendidikan teologi yang diikuti, namun karena harapan orang tua ia terpaksa menyelesaikan pendidikan demikian. Komitmen apa yang bisa kita harapkan dari calon pendeta demikian?

Sebaliknya, belakangan ini banyak bermunculan sekolah teologi konservatif, yang berpegang pada kesaksian para rasul. Berbeda dengan yang liberal, yang konservative biasa menghasilkan pendeta yang memiliki komitmen mengasihi Tuhan Yesus lebih besar. Proses pembekalan pendeta di sekolah teologi akan memberi arah bagaimana komitmen mereka dalam pelayanan kelak.

Seorang pendeta kemudian dilihat dari komitmen pelayanannya. Ada yang memiliki komitmen teologis yang kuat untuk memberitakan firman kabar sukacita dari hal Yesus, ada yang sebaliknya yaitu mendiskreditkan Tuhan Yesus dan mengelu-elukan tokoh-tokoh agama lain, Alkitab tidak dianggap sebagai firman Tuhan namun mempromosikan kitab-kita suci agama lain. Ada pendeta yang lebih senang mengutip ayat Upanishad atau Tao-Teh-Ching daripada ayat Alkitab, dan lebih terbiasa bermeditasi zen daripada berdoa. Ada yang mengelu-elukan inklusifisme yang menerima semua agama sama absahnya namun alergi dan fobia terhadap saudaranya seagama yang konservative.

Bandingkan dengan mahasiswa lain yang membuka hatinya akan firman Tuhan dan bergabung dengan persekutuan mahasiswa, ini mendorongnya menggunakan supidol untuk memberi tanda pada ayat-ayat Alkitab. Ketika ia membawa Alkitabnya ke rumah pendetanya, ia mendengar: “Ngapain buku manusia di corat-coret?” Sekarang pendeta itu pensiun dengan frustrasi dan mahasiswa itu yang jadi sarjana menyerahkan diri masuk sekolah teologi dan melayani sampai ke mancanegara dengan makin bersukacita dan mengaku bahwa “firman itu suluh bagi jalanku dan pelita bagi kakiku.”

Ada yang memiliki komitmen untuk berkorban dan melayani jemaatnya sehingga rela mengorbankan hartanya, namun banyak juga pendeta sekarang yang komersial atau ‘yang menjadikan ibadah sebagai kesempatan memperoleh laba’. Ada pengusaha yang rela melayani masyarakat miskin di kampungnya dan belajar teologi, oleh temannya yang ‘penginjil sukses’ ia diledek: “ngapain melayani di kampung, lebih baik melayani di hotel-hotel dimana banyak persembahannya”. Jangan pula heran kalau di antara pendeta ada yang saling bertanya: “Dapat perpuluhannya berapa ya?”, bahkan ada organisasi gereja yang sekarang punya sistem jaminan rumah dan pensiun seratus juta yang ‘menjanjikan’, akibatnya komitmen pendeta banyak yang sekedar asal melayani demi memasuki umur pensiun dan lebih senang berebut kursi organisasi daripada kursi kerajaan surga.

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, sekolah teologi yang modernis atau ekumenis nyaris tidak ada pertambahan jumlahnya, namun sekolah teologi yang konservative mengalami pertumbuhan pesat dengan dibukanya puluhan yang baru. Demikian juga fakta menunjukkan bahwa gereja-gereja yang memiliki pendeta dan komitmen yang meninggalkan Tuhan Yesus dan firmannya cenderung merosot terus jemaatnya sedangkan yang mencintai Yesus sebagai Tuhan dan Alkitab sebagai firman makin berkembang, bahkan tragisnya banyak jemaat dari gereja dengan pendeta skeptiknya masakini hijrah dan mengikuti gereja-gereja yang dengan sukacita masih memberitakan firman kebenaran.

Umat Kristen dalam mencari pendeta perlu benar-benar berdoa agar mendapatkan seorang calon yang mengalami panggilan Tuhan yang jelas, melalui proses pendidikan yang memuliakan Tuhan sesuai pengajaran Yesus dan para rasulnya, dan memiliki komitmen pelayanan yang berkorban, soalnya jemaat sendiri akan kehilangan arah bila dibina oleh pendeta yang tidak jelas arah pelayanannya.

Salam kasih dari Herlianto/YBA



No comments:

Post a Comment