December 4, 2010

Menelusuri akar sejarah relasi Yahudi – Palestina

Oleh: Leonard C. Epafras



[1] Disajikan dalam diskusi di Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), Surabaya, 14 April 2009

Pada bulan Mei 1919, di gedung bioskop Zohar di kota Jaffa, Asosiasi Muslim-Kristen Arab mengadakan sebuah pertemuan terbuka. Undangan diedarkan secara luas dan isinya menekankan pentingnya persoalan bangsa Arab yang akan dibicarakan. Pertemuan dimulai pada hari Minggu pukul 10 pagi dan berakhir lebih dari dua jam kemudian. Lebih dari lima ratus penduduk Jaffa dan desa-desa sekitarnya hadir. Pembicara utama, yang juga adalah ketua Asosiasi ini, adalah seorang Arab Kristen, sedangkan tiga orang pembicara lainnya dari kalangan Muslim. Salah seorang darinya adalah Syaikh buta dari kota Ramle. Semua berbicara dalam satu semangat, bahwa penduduk Palestina telah mengalami penindasan yang berat di masa kekuasaan Turki [Usmani] dan sekarang tiba waktunya bagi kemerdekaan. Para pembicara memuji pemerintah Inggris dan membayangkan masa depan gemilang bangsa Arab yang sama gemilangnya dengan masa lalu mereka. Toh, menurut mereka, bangsa Arablah yang membawa pencerahan akal budi bagi Eropa. Jadi, logis adanya jika mereka akhirnya mendapatkan kemerdekaan nasional. Muslim dan Kristen akan bersatu dalam satu agama, yaitu agama bumi pertiwi, yang akan memberi hak yang sama bagi semua penduduknya.

Pertemuan ini juga menjanjikan persamaan hak bagi penduduk Yahudi setempat tetapi tidak menyetujui tambahan imigran Yahudi. “Kami sama sekali tidak menentang Yahudi,” kata salah seorang pembicara. “Kami hanya menentang Zionisme. Itu bukan hal yang sama. Zionisme sama sekali tidak berakar pada Hukum Musa (Taurat). Ia hanya ciptaannya Herzl.” Ia juga menyebutkan dengan bersemangat bahwa banyak orang Yahudi sendiri yang menentang Zionisme, dan bagi orang-orang Yahudi yang menentang Zionisme tidak ditolak untuk tinggal di Palestina. Pembicara lain menekankan bahwa bangsa Arab harus menunjukkan keramahan mereka kepada bangsa Yahudi, selama mereka tidak menunjukkan kecenderungan separatis. …

Pada penghujung pertemuan para peserta menyetujui sebuah resolusi yang berbunyi Palestina adalah bagian dari Syria, yaitu sifat otonominya berada dalam kerangka Siria Raya (Greater Syria) di bawah kekuasaan Pangeran Faisal. Tidak akan ada negara tersendiri bagi bangsa Yahudi. Seseorang lalu menyarankan agar setiap orang menandatangani sebuah deklarasi untuk menjadi dasar bagi perwujudan resolusi tersebut. Segera timbul reaksi keras atas saran ini. Peserta lain tak ingin membubuhkan tanda tangan mereka karena mereka tidak diberi tahu sebelumnya. Terdengar teriakan-teriakan dan keributan. Salah seorang peserta yang marah melompat ke atas panggung dan berteriak ke arah kerumunan, “Kalian semua tak punya rasa nasionalisme! Kalian kawanan belaka! Kalian tidak mengerti bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah demi bangsa kita! Pada momen ini nasib bangsa akan ditetapkan bagi generasi mendatang! Kita tak akan membiarkan diri seperti domba dituntun ke pejagalan!” Keributan akhirnya mereda, tetapi kemudian gubernur militer [Inggris] muncul dan memerintahkan agar pertemuan dibubarkan.
(dikutip dari Tom Segev, One Palestine, Complete, h. 105-106)

Konflik Palestina-Israel saat ini semakin menyerap perhatian dunia, termasuk di Indonesia. Konflik ini sudah sangat lama, bahkan dari perspektif agama-agama Ibrahimi (Yahudi, Kristen dan Islam) sering akarnya ditarik jauh hingga ke zaman leluhur bangsa Semit, yang tertuang dalam kisah keagamaan konflik antara Ishak (Iskak) dan Ishmael (Ismail), serta Yakub dan Esau. Banyak pihak yang menganggap konflik ini tidak mungkin diselesaikan kecuali dengan mengalahkan salah satu secara total, entah itu pihak Palestina atau Israel. Ada juga yang meyakini dan memegang harapan pasti ada jalan bagi perdamaian keduanya. Ada pula yang mengambil perspektif eskatologis yang memandang konflik ini “harus” ada sebagai bagian dari skenario akhir zaman, di mana akan terjadi perang dunia terakhir yang disebut Armageddon di tanah Palestina/Israel. Apapun perspektifnya dampak yang terjadi jelas di mana banyak sekali tragedi kemanusiaan, ketidak adilan, rasa tidak aman dan ketakutan seharusnya membuat kita memikirkan dengan mendalam konflik ini.

Diskusi kita pada hari ini bertujuan untuk melihat secara terbatas konflik ini dari perspektif sejarah. Pentingnya melihat dari perspektif sejarah adalah untuk melihat dinamika interaksi di antara dua bangsa ini, yang dalam keriuhan publik saat ini sering diabaikan. Melalui media massa, tergantung perspektif yang kita ambil, kita cenderung mencari alasan sederhana dan kambing hitam tunggal dalam konflik yang rumit ini. Paling sedikit perspektif sejarah membantu serba sedikit memahami persoalannya. Makalah sederhana ini sama sekali tidak membuat pretensi akan menemukan solusi atas konflik.

Pertemuan Jaffa yang dikutip di atas hanyalah salah satu pertemuan awal dari serangkaian pertemuan yang diselenggarakan di kalangan bangsa Arab yang tinggal di Palestina dalam rangka mencegah imigrasi Yahudi dan membangun negara merdeka Arab. Kita hanya bisa berandai-andai jika pertemuan di Jaffa berakhir dengan penanda tanganan deklarasi prinsip tentang nasib bangsa Arab. Apakah itu berarti tidak akan pernah ada negara Israel modern? Apakah itu berarti juga tidak akan ada negara bagi bangsa Arab di Palestina? Apakah itu berarti yang ada adalah negara Siria Raya? Dan seterusnya. Kita tidak akan pernah tahu sebab kenyataannya adalah “kegagalan” tercapainya deklarasi ini hanyalah salah satu dari “kegagalan” yang beruntun pada upaya-upaya bangsa Arab (Palestina) selanjutnya untuk mencapai cita-cita hak penentuan nasib sendiri. Hampir setengah abad kemudian muncul adalah negara Israel modern sedangkan bangsa Arab Palestina masih harus berjuang untuk memiliki negara sendiri. Namun demikian, ada beberapa hal yang penting dari kisah di atas untuk dicermati dalam membuka diskusi kita. 

Konteks pertemuan di atas adalah saat di mana Timur Tengah secara umum dan daerah Palestina khususnya belum lama terlepas dari kekuasaan Turki Usmani (Ottoman). Perang Dunia Pertama baru saja berakhir setahun yang lalu dengan kemenangan Sekutu, yang dimotori oleh Inggris dan Perancis atas kelompok Poros, yang dimotori oleh Jerman. Turki Usmani karena berbagai pilihan politis berada di kubu Jerman dan karena itu Inggris dan Perancis memeranginya. Kemenangan Inggris tidak lepas dari dukungan bangsa Arab yang berharap imbal balik Inggris untuk mendukung berdirinya negara(-negara) Arab yang independen. Kita salah mengira jika menganggap persekutuan Inggris dengan bangsa Arab dan permusuhannya dengan Turki bersifat kekal. Sebelum Perang Dunia Pertama, justru Turki adalah sekutu Inggris dalam berperang melawan Perancis dan sempat pula menjadi sekutu Inggris maupun Perancis dalam melawan Rusia. Timur Tengah pada abad kesembilan belas dan awal abad dua puluh sudah mencerminkan ketegangan politik kontemporer. 

Turki Usmani adalah kekuatan Islam yang menguasai Timur Tengah sejak abad 15 dan kekuasaannya pada masa puncak mencapai Afrika Utara. Praktis Turki Usmani adalah kekuatan Islam di wilayah Arab yang menggantikan kekuatan-kekuatan Islam sebelumnya seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, dan Mamluk. Karena itu, berbeda dengan kekuasaan Islam di luar Timur Tengah, misalnya seperti di Asia Tengah dan Selatan, kesultanan Usmani dipandang menjadi pelindung agama Islam dan sultannya adalah Kalifah di dunia Islam. Banyak pemimpin Islam di tempat lain membutuhkan dukungan politis Sultan Usmani untuk meneguhkan kekuasaan mereka. Contohnya kesultanan Aceh yang meminta bantuan Sultan Usmani untuk melawan kehadiran bangsa Portugis di Selat Malaka pada abad 16. 

Kesultanan Turki Usmani adalah salah satu masa keemasan Islam yang menghasilkan banyak produk budaya Islam yang berkualitas tinggi. Karena kesultanan ini bukanlah berasal dari bangsa Arab, sedangkan wilayah yang dikuasainya sebagian besar (paling sedikit) berbudaya Arab maka kesultanan ini harus menghadapi penentangan dalam negeri, baik secara sporadis maupun skala besar. Di samping itu dalam era kekuasaannya pula gagasan modernitas Eropa menyusup masuk dan memengaruhi politik dalam negerinya. Kesultanan ini adalah kekuasaan Islam pertama yang mengadopsi gagasan emansipasi bagi kelompok-kelompok sosial budaya dalam wilayahnya. Kota suci tiga agama besar, Yerusalem (atau al-Quds)di bawah kekuasaan Turki adalah contoh bagaimana kesultanan harus mengatur dengan ketat hak-hak masing-masing kelompok agama untuk beribadah. Sebab, setiap pertengkaran intra kelompok, misalnya antar berbagai aliran Kristen, maupun antar kelompok, misalnya antara kelompok Kristen, Islam dan Yahudi akan dapat berdampak pada kestabilan wilayah. Meskipun dalam kasus kota suci Yerusalem, pertentangan antar kelompok itu sudah ada sejak lama, bahkan telah menyebabkan sembilan Perang Salib, tetapi dalam kekuasaan Turki lah secara perlahan pertentangan itu mencapai dimensi internasionalnya setelah berbagai aliran gereja (Barat dan Timur) hadir di sana. 

Sekitar tahun 1880an Turki mulai menyaksikan gelombang besar imigran Yahudi ke wilayah Palestina. Tentu saja kehadiran orang Yahudi di Palestina ini bukan pertama kali. Sejak kekalahan bangsa Yahudi melawan pemerintahan Romawi dalam dua kali usaha pemberontakan pada abad pertama, mereka terusir dari wilayah Palestina. Usaha pemberontakan ini tidak saja mengusir bangsa Yahudi dari sebagian wilayah Palestina, terutama Yerusalem, tetapi juga menghancurkan pusat ibadah agama Yahudi, yaitu Bait Suci mereka. Titik Bait Suci itu saat ini menjadi tempat tersuci ketiga bagi umat Islam, yaitu Haram al-Sharif dengan Mesjid al-Aqsa dan Qubat al-Sakhra (Dome of the Rock). Sedangkan sisa-sisa temboknya menjadi tempat tersuci kelompok Yahudi. Sejak terusir itulah maka bangsa Yahudi membangun kultur diaspora dan model keagamaan baru yang berpusat pada ajaran para Rabi dan sering disebut Yudaisme Rabinis. Kultur diaspora yang dihasilkan orang Yahudi di perantauan tidak melupakan aspirasi untuk kembali ke negeri Palestina, paling sedikit dalam harapan keagamaan mereka. Tanda yang paling kuat dalam hal ini adalah dalam liturgi perayaan Paskah yang selalu ada formula “Tahun depan (merayakan Paskah) di Yerusalem” (le shana ha-ba’a be Yerushalayim). Meskipun demikian secara fisik mereka tidak benar-benar pergi dari tanah itu. Selalu ada orang Yahudi di Palestina meskipun Palestina bukan tempat yang “menarik” selain karena alasan keagamaan. Sepanjang sejarah sesudah kekalahan bangsa Romawi hingga kekuasaan Islam selama kurang lebih 13 abad, Yerusalem tidak pernah menjadi perhatian besar. Hanya masa ketika bangsa Eropa datang dan melakukan Perang Salib, Yerusalem menjadi titik pertarungan. Namun itupun masih karena alasan keagamaan. Hingga masa kekuasaan Turki komunitas Yahudi yang terbesar ada di tiga kota Palestina, yaitu Yerusalem, Hebron dan Safed. Pada tahun 1800an penduduk Yahudi di Palestina sekitar dua puluh ribu, Kristen Arab enam puluh ribu, di tengah sekitar lima ratus ribu lebih Arab Muslim dari aliran Sunni.

Jadi gelombang imigrasi yang disaksikan pemerintah Turki adalah orang-orang Yahudi Eropa yang didorong oleh semangat untuk membangun koloni Yahudi di Palestina. Sebagian besar dari mereka berasal dari Eropa Timur (Rusia, Polandia, Romania, Ukraina) yang mengalami penganiayaan besar (pogrom) oleh semangat antisemitisme. Kepergian mereka ke Palestina berdasarkan berbagai motif, baik ekonomi maupun keagamaan. Mereka tidak berbahasa Arab melainkan Yiddish (campuran Ibrani dan Jerman). Kehadiran mereka sebagian dibiayai oleh orang-orang kaya dan terpandang Eropa, terutama dari keluarga Rothschild. Gelombang pertama ini dikenal dalam sejarah Israel sebagai Aliyah yang pertama. Aliyah (“mendaki”) dalam Yudaisme (agama Yahudi) bermakna naik ke tempat tinggi di sinagoge yang di sebut bimah untuk membaca Taurat atau memimpin ibadah. Arti kedua, yaitu kepergian ke Palestina/Israel untuk merayakan hari raya atau memenuhi kewajiban agama. Gagasan yang sama seperti di kalangan Muslim adalah “naik haji.” Dalam pengertian sekuler, Aliyah berarti bermigrasi ke Israel. Kelompok ini membeli tanah dan membangun pertanian dan industri. 


Para pengelolanya adalah orang-orang Yahudi sedangkan para pekerjanya sebagian besar orang Arab setempat. Sekalipun sejak dini sekali sudah ada kekuatiran di kalangan Arab akan kehadiran sejumlah besar orang Yahudi di Palestina, namun belum ada ketegangan yang luas. Memang terjadi beberapa kali konflik besar dan kecil di antara mereka. Ketegangan dalam skala lebih kecil juga terjadi di antara orang Yahudi Eropa dan Yahudi setempat yang berbahasa Arab. Namun secara umum kehadiran mereka dapat diterima oleh pemerintah Turki karena saat itu negara sudah hampir bangkrut dan membutuhkan dana segar. Yang kedua, hubungan “bisnis” yang “saling menguntungkan” antara pemilik modal Yahudi dan pekerja Arab menyebabkan ketegangan tidak terlalu kentara.

Kondisi ini berubah setelah hadir gelombang kedua Aliyah sejak 1904 yang sebagian besar masih berasal dari Eropa Timur. Kelompok ini sangat dipengaruhi oleh gerakan Zionisme sekular yang dicanangkan oleh Theodor Herzl pada tahun 1896. Meskipun Herzl yang dianggap sebagai Bapak Zionisme, namun aspirasi ini sudah mengemuka sejak awal abad 19 di kalangan Yahudi Eropa Timur. Herzl, yang adalah seorang wartawan menyaksikan sendiri melalui kasus Alfred Dreyfus di Paris bagaimana parahnya antisemitisme di Eropa pada masa itu. Antisemitisme (sering ditulis juga “anti-Semitisme”) adalah sikap antagonisme terhadap Yahudi dan/atau segala sesuatu yang merujuk pada “Yahudi” karena berbagai alasan dan motif. Eropa mempunyai sejarah panjang dalam sikap antisemitisme ini yang dimulai sejak zaman Yunani klasik. Sebagian alasannya adalah karena monotheisme Yahudi yang berbeda dengan agama-agama masa itu. Selanjutnya penentangan ajaran Gereja terhadap ajaran Yahudi memberi dorongan pada sikap-sikap antisemitisme. Kebencian terhadap Yahudi lahir dari berbagai konteks di setiap zaman. Tetapi di abad 19 ketika bangsa Eropa mulai bergeser dari masyarakat feodal ke masyarakat modern, antisemitisme muncul dalam karakter yang sekuler yaitu tidak lagi bersandar pada asumsi keagamaan tentang Yahudi. 


Yahudi mulai dipandang sebagai ras yang berbeda dari ras manusia umumnya. Demikianlah Zionisme sekuler yang dicanangkan oleh Herzl adalah respon langsung terhadap antisemitisme masa itu. Kelompok imigran Aliyah yang kedua dipengaruhi oleh gagasan sosialisme tentang bentuk masyarakat Yahudi yang ideal di Palestina, dan pembentukan ras Ibrani baru (New Hebrew) dengan bahasa Ibrani baru. Ras Ibrani baru ini disubstansikan pada nama Sabra. Kata Sabra berakar pada nama sejenis kaktus. Jadi ras Ibrani baru itu diidealkan seperti pohon kaktus yang keras dan mampu membela diri di luar, tetapi lembut dan manis di dalam. Ras ini adalah ras pekerja keras yang tidak takut bahaya apapun. Idealisasi ini oleh kelompok Zionis dikontraskan dengan kenyataan setempat, yaitu orang-orang Arab yang tradisional dan “primitif.” Inilah makna moto Zionisme tentang negeri Palestina, “land without a people for the people without land” (negeri tanpa penduduk bagi bangsa tanpa negeri). Jadi yang dimaksud bukanlah suatu negeri yang kosong, melainkan bagi visi Zionisme, Palestina hanya dihuni oleh orang-orang yang lemah yang membiarkan negeri itu tak terpelihara. Maka kedatangan Zionisme adalah mengembalikan harkat negeri itu melalui pembangunan manusia dan pembentukan negara Israel. Negara Israel dipandang sebagai jalan “menebus” negeri yang tersia-sia. Tetapi bukan saja orang Arab yang menjadi “korban” idealisasi ini, melainkan juga orang-orang Yahudi setempat. Dan setelah negara Israel berdiri tahun 1948, orang-orang Yahudi Arab dari berbagai negeri Islam (disebut Mizrahim) juga diharuskan menyesuaikan diri dengan ideal ini. 

Sejak Aliyah yang kedua, bisa dibayangkan bahwa konflik antar kelompok menjadi sangat keras, karena bukan saja ada keinginan kuat untuk membentuk negara Israel bagi bangsa Yahudi tetapi juga kedatangan mereka benar-benar seperti unsur asing (kultur dan bahasa) yang ditanamkan pada kultur Arab yang telah lama ada. Meskipun demikian kita akan salah melihat jika mengira gerakan Zionisme adalah gerakan yang monolitis. Terjadi banyak sekali pertentangan internal di kalangan Zionis. Ada pertentangan antara kelompok sekuler dan religius. Ada pula kelompok moderat yang prihatin dengan buruknya hubungan dengan orang Arab, tetapi ada Zionis garis keras yang bergerak dengan sangat agresif. Kelompok “militan” ini dimotori oleh Chaim Weizmann, bergerak mengorganisir berbagai aktifitas termasuk lobi dengan pemerintahan Inggris.

Karena kekalahan Turki di Perang Dunia Pertama, Inggris dan Perancis menjadi “pelindung” wilayah Syria Raya. Para pemenang perang ini berbagi kekuasaan di Timur Tengah. Perancis mendapat wilayah Syria dan Libanon, Inggris mendapat Palestina, Transjordan (sekarang Jordania) dan Mesir. Mereka berdua sepakat untuk mengangkat Pangeran Faisal sebagai raja di Syria sebagai hadiah bagi dukungan dirinya dan bangsa Arab dalam mengalahkan Turki. Selama perang, Inggris memberi janji bagi semua pihak yang bermusuhan dengan Turki untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri sesudah perang. Pada waktu itu Inggris membentuk Legiun Arab dan Yahudi yang bekerja bahu membahu mengalahkan tentara Turki. Ini yang menjadi dasar dari kisah awal yang menunjukkan penghargaan bangsa Arab terhadap Inggris yang telah mengusir Turki. Tetapi sesudah perang, hanya janji kepada bangsa Yahudi, yang berujung pada deklarasi Balfour (1917) yang dipenuhi. Deklarasi ini menjadi dasar bagi pembentukan negara Yahudi dan dapat diduga mendapat tentangan sangat keras dari pihak Arab. Berkali-kali bangsa Arab menagih janji tetapi gagal sebab tampaknya Inggris (dan Perancis) lebih condong kepada bangsa Yahudi yang tampak lebih “Barat” dan karena itu lebih berpeluang membentuk pemerintahan demokratis di Palestina. Sekalipun ada motif keagamaan yang berasal dari tradisi Kristen, kecondongan Inggris kepada Yahudi bukanlah lahir karena kecocokan ideologis, namun justru sebagian karena semangat antisemitisme di kalangan pejabat sipil dan militer Inggris. Bagi mereka cara mengatasi “ketidak sukaan” mereka terhadap Yahudi adalah dengan memberikan apa yang mereka mau. Tentunya tanpa menghiraukan aspirasi bangsa Arab.

Era terakhir kekuasaan Turki di Palestina tidak saja menyaksikan kehadiran sejumlah besar imigran Yahudi, tetapi juga ia harus menghadapi kesadaran nasionalisme Arab. Lahirnya kesadaran ini tidaklah mudah karena struktur sosial Arab yang tidak berbasis individu seperti di dunia Barat. Nasionalisme Barat itu berbasiskan individu-individu yang otonom yang sepakat untuk melakukan kontrak sosial dalam lembaga yang disebut Negara. Sedangkan struktur sosial bangsa Arab berbasiskan keluarga, trah, suku, dan kampung. Sehingga terjadi ambiguitas dalam penerapannya, seperti tercermin dalam konflik internal dalam kisah di atas. Kontras dengan kelompok Zionis yang terorganisir dengan baik, kelompok nasionalis Arab harus berkali-kali bertengkar di kalangan sendiri karena terjadi persaingan antar keluarga. Yang paling terkenal adalah persaingan di antara keluarga al-Husseini dan al-Nashashibi di Yerusalem. Konflik internal ini menyebabkan cita-cita kemerdekaan Palestina sulit diwujudkan. 

Masalah kedua adalah ambiguitas dalam memandang bangsa Arab Palestina dalam hubungannya dengan bangsa Arab yang lain. Sejak semula identitas Arab Palestina ambigu dan menjadi wilayah yang diperdebatkan. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak dimiliki oleh orang Yahudi Israel, seperti apakah yang disebut Palestina? Siapa orang Palestina? Hanya setelah kehadiran PLO tahun 1964, definisi Palestina dan orang Palestina menjadi lebih jelas meskipun masih ambigu. Di era awal pertarungan antara Yahudi dan Arab, ambiguitas ini memengaruhi perjuangan Arab sendiri. Orang Arab yang tinggal di Palestina waktu itu dipandang satu dengan orang Arab di tempat lain, namun ketika negara Israel berdiri dan mereka terusir dari tanahnya, bangsa-bangsa Arab lain menempatkan diri “berbeda” dengan Arab Palestina. Situasi ini menyumbang pada rumitnya pemecahan konflik Palestina-Israel sebab di kalangan garis keras Yahudi, bangsa Palestina tidak dibedakan dengan bangsa Arab lainnya. Akibatnya argumennya selalu bahwa dunia Arab mempunyai tanah yang amat luas, mengapa tidak memindahkan bangsa Palestina ke tempat-tempat yang masih lowong tersebut?

Semoga cuplikan analisa sejarah ini bisa membantu kita mengerti sedikit tentang rumitnya konflik kedua bangsa ini dan bisa mengawali diskusi yang lebih mendalam.




No comments:

Post a Comment