December 9, 2010

INTROSPEKSI

Dalam dua bulan terakhir ini ada dua undangan pelayanan ceramah + kotbah dari dua gereja besar di kota Semarang, gereja ekumenikal dan gereja Kharismatik. Dari kesempatan itu terdengar kabar bahwa dengan dibangunnya gereja mega oleh salah satu denominasi Kristen di kota itu, gereja-gereja banyak yang kehilangan jemaatnya dan terseret ke ibadat selebriti di gereja besar itu, bahkan ada yang kehilangan sampai 25% anggotanya dan malah ada beberapa gereja kecil yang nyaris kehilangan semua anggotanya. Gejala apa ini, pertumbuhan gereja atau perpindahan jemaat?
Di balik puluhan gereja yang ditutup khususnya di Jawa Barat, yang tentu semua orang tahu dan umumnya menyalahkan sipenyerang, kita perlu juga melakukan introspeksi, apa salah di pihak Kristen sendiri sehingga ikut merangsang penutupan gereja-gereja tersebut?
Kasus dibangunnya gereja mega seperti contoh di atas memang salah satu penyakit orang Kristen dimana kalau dahulu orang memperbesar gereja untuk menampung pertumbuhan jemaat setidaknya mengantisipasi proyeksi beberapa tahun kedepan yang dilandaskan pertumbuhan karena kelahiran dan PI, ada beberapa gereja yang membangun peluasan gereja tidak tanggung-tanggung dengan motivasi menarik jemaat gereja lain. Pernah ketika melayani sebuah kota di Jawa Timur, diajak berkeliling oleh pendeta sebuah gereja dan ditunjukkan gerejanya yang baru dibangun, ceritanya bisa muat 2000 orang. Ketika ditanya berapa yang hadir sekarang? Jawabannya sekitar 200 orang. Ini bahaya ambisi arogan gereja kaya dimana jemaat yang sedikit membangun sarana ibadah yang 10 kali lebih besar. Alhasil, ada anggotanya yang dokter kemudian karena konflik bergabung dengan gereja Mega Surabaya dan membangun gedung besar pula tidak jauh di lokasi itu. Gereja itu kemudian distop pembangunannya oleh warga karena tak jauh dari situ ada pesantren.\, alasan mereka sudah ada gereja besar di dekat situ kok membangun lagi?
Lain lagi sejalan dengan dibukanya flyover panjang di kota Bandung, ada gereja dipinggir jalan itu yang kemudian dibangun dengan bentuk teatrikal menjulang ibarat ingin menyangi ketinggian dan kemegahan flyover tersebut, alasannya kita harus memberikan yang terbaik untuk Tuhan (ingat: Kis.17:24-25). Gereja itu pernah di demo, dan arogansi ini menutup mata bahwa tidak jauh dari lokasi gereja itu terbentang luas kawasan kumuh sekitar sungai cikapundung yang membelah kota.
Arogansi demikian disitir juga oleh Sumarthana almarhum yang ketika terjadi pembakaran gereja di Situbondo mengungkapkan bahwa ia pernah 7 tahun tinggal di kota itu dan disitu banyak pesantren kumuh dimana para santrinya hidup sangat minim. Ia mengkritik arogansi beberapa gereja yang membangun gedung ibadat besar di jalan protokol kota itu. Ucapannya yang terkenal adalah: “Bagaimana perasaan penduduk menghadapi gereja besar di jalan protokol itu? Bukankah itu ibarat ada orang asing mekakang (berdiri dengan kaki direnggangkan) dijalan masuk rumah kita?” Kurangnya kepekaan lingkungan itu juga disitir oleh dr. Paul Tahalele ketua FKKI yang kecewa mendengar pendeta sebuah gereja yang dibantu pasca kerusuhan yang merenovasi gerejanya lebih ‘wah’ dari sebelum dibakar, yang menjawab: “Kita bangun lebih bagus karena sumbangannya lebih!”
Pernah kalangan Islam mengatakan kalau gereja diizinkan bebas berdiri nanti akan dibangun banyak gereja dilokasi yang sama karena gereja punya ratusan denominasi yang masing-masing berlomba membangun gereja baru. Kritik ini perlu direnungkan sebab memang benar bahwa banyak gereja dalam membangun gedung bukan saja tidak peka lingkungan namun sering sengaja membangun gedung gereja bahkan ada yang disebelah gereja yang sudah ada. Semangat persaingan denominasi ini merupakan penyakit kekristenan masakini. Lihat saja rebutan ‘gedung Sarbini’ di kawasan semanggi Jakarta oleh beberapa denominasi!
Kita sudah lama mendengar kata ‘sheep stealing’ dilakukan oleh denominasi tertentu. Tidak jarang ada denominasi sengaja menunggu jemaat denominasi lain ketika pulang dari ibadat dengan mobil yang siap mengantar mereka secara gratis, alhasil ujung-ujungnya kemudian diajak bergabung dengan gereja denominasi mereka. Pernah penulis duduk sebangku dengan pembimas Kristen Jabar ketika naik KA ke Jakarta. Ia bercerita bahwa paling sulit adalah mendamaikan pertikaian antar gereja yang bersaing.
Pernah ada undangan kotbah di sebuah jemaat Pentakosta di kawasan perumahan kampung di kota Majalengka. Pendetanya cerita bahwa RT-nya pernah memberi tahu agar musik band gereja tidak dibunyikan keras-keras. Mendengar saran itu si pendeta tanggap dan kemudian mengubah interior gereja dan mengurangi kemungkinan suara keluar yang bisa mengganggu tetangga dan membimbing pemain band agar mengurangi kerasnya musik pujian mereka. Lain lagi dengan apa yang terjadi di Cimahi belum lama ini dimana ada pendetanya tidak bersikap bijak ketika RT-nya menasehati soal kebisingan musik gereja itu, pendeta itu bahkan mengancam balik agar tidak mengganggu ibadat (karena punya backing). Alhasil, gereja ini termasuk yang terkena sweeping baru-baru ini!
Fanatisme denominasionalisme juga melanda kalangan mahasiswa. Sebenarnya di kalangan mahasiswa sudah banyak bermunculan PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) yang seakan-akan memberi angin segar bagi lesunya GMKI dalam beribadat. Namun dibalik inter-denominasinya PMK yang bahkan menarik mereka yang beraliran RK maupun Advent, sejak awalnya sebelum ada PMK kecenderungan denominasionalisme juga melanda kalangan ini.
Ketika di tahun 1960-an hadir ‘Para Navigator’ dan ‘Campus Crusade for Christ’ yang kemudian menjadi LPMI, universitas dihangatkan dengan ibadat Kristen setelah lama dibiarkan lesu oleh GMKI yang telah lama berkiprah dan lebih menaruh perhatian pada dunia politik (harus diakui dalam segi ini mereka berhasil), namun sikap fanatisme golongan tak pelak menimbulkan banyak friksi baik di kampus maupun di luarnya. LPMI pernah menerima surat talak dari gereja di Papua dan di propinsi lain, soalnya para kadernya bukannya menjadi penyegar di gerejanya tetapi menjadi kanker di gereja itu yang lebih aktif di persekutuannya dan mengabaikan tugas gereja. Di awalnya di Bandung ada pembagian tak tertulis dimana satu kampus dikuasai Campus Crusade dan kampus lainnya oleh  Para Navigator. Di Yogya, Para Navigator pernah clash dengan Perkantas.
Berkembangnya PMK di nyaris semua kampus dan jurusan di Indonesia (Thank God for it!) harus diterima dengan syukur karena merupakan sarana oikumenis yang tidak bisa dilakukan gereja-gereja, namun belakangan PMK itu terbelah menjadi ‘Kharismatik’ dan ‘Injili’ (GMKI yang ekumenis tidak ikut bersaing), dan yang Injili sering terbentur aktivitas eksklusif dari berbagai ormas seperti ‘Para Navigator’, ‘LPMI’, ‘Perkantas’ atau persekutuan lainnya yang juga sering menyelenggarakan acara-acara eksklusif. Memang dibawah PMK semuanya masih bisa bekerja bersama sekalipun sering ada gesekan persaingan di kalangan mereka.
Akhir-akhir ini ada gejala baru dimana ada ‘Gereja masuk kampus.’ Di satu sisi gejala ini baik karena merupakan kesadaran gereja dimana kampus merupakan ladang yang luas dan menantang yang selama ini diabaikan (atau tidak mampu?) dilakukan gereja. Sebenarnya gereja yang mapan bisa menunjang PMK-PMK yang sudah ada dan bekerjasama dengan mereka, namun adanya denominasi yang eksklusif dengan teologi mereka bisa menjadi virus yang nanti akan ikut meramaikan fanatisme denominasionalisme di kampus. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau nanti ratusan denominasi yang ada sekarang sebagian kecil saja yang masuk kampus dan mendirikan persekutuan eksklusif?
Persaingan antar denominasi persekutuan mahasiswa ini lebih diramaikan dengan hadirnya persekutuan mahasiswa ‘Saksi-Saksi Yehuwa’ di beberapa kampus seperti di Trisakti yang mulai minta jatah sebagai unit mahasiswa tersendiri dibawah bidang kemahasiswaan kampus karena mereka menganggap berbeda dengan Kristen (tragisnye Pembimas Kristen Protestan Depag menerima dan merestui mereka sebagai ‘kristen’).
Denominasionalisme sudah menjadi nafas gereja dan mulai memasuki persekutuan kampus, dan sudah jelas akan ikut memanaskan dunia pluralitas agama di Indonesia. Bila keadaannya seperti sekarang, bisa dibayangkan di kawasan perumahan akan makin banyak dibangun gereja dan banyak ruangan kampus akan digunakan persekutuan-persekutuan mahasiswa yang berbeda yang makin banyak jumlahnya itu, dan kalau ini menimbulkan reaksi kalangan lain, hanya merekakah yang salah? Kita sendiri perlu introspeksi!
Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org

No comments:

Post a Comment