December 5, 2010

Al-Masih Juruselamatku, Muslim Sahabatku

Oleh : Bambang Noorsena






*) Orasi ilmiah ini disampaikan dalam rangka peresmian Yayasan Kanisah Orthodox Syria cabang Surabaya, di "Heritage Club" Wisma Bhumi Bapindo, lantai 11, Surabaya, 5 September 1998.


Bukan tanpa alasan, bila Islam maupun kristen oriental (Timur Tengah), khususnya gereja-gereja yang tersebar di negara-negara Arab, memiliki kecurigaan terhadap orientalisme bukan hanya terjadi pada dunia Islam, melainkan juga pada orang kristen oriental, antara lain dibuktikan dari kritik pedas seorang kristen Palestina terhadap Barat, melalui bukunya : Orientalisme,1) sebuah karya yang cukup laris dikutip oleh penulis-penulis Islam di Indonesia . Dari buku ini dibuktikan, bahwa orang kristen tidak selalu identik dengan Barat, dan Islam juga tidak selalu identik dengan Arab.

Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur), dalam "Islam Agama Peradaban", mencoba melacak akar prasangka Barat terhadap Islam yang memantul dalam karya-karya orientalis terhadap Islam yang serba negatif dengan mengemukakan 3 tingkat konfrontasi :
  1. Tingkat paham keagamaan. Meskipun Islam menurut Al-Qur’an mengajarkan tentang dirinya sendiri sebagai kelanjutan dan perkembangan agama kristen, namun kristen sendiri tidak dapat menerimanya dan memandangnya sebagai tantangan kristen.
  2. Tingkat Sosial Politik. Hampir seluruh kawasan Islam di Timur Tengah sekarang ini, kecuali jazirah Arabia dan Iran, adalah bekas kawasan Kristen, bahkan pusat perkembangan agama itu pada masa-masanya yang paling menentukan.
  3. Tingkat Budaya. Budaya Barat adalah kelanjutan budaya Yunani - Romawi. Meskipun orang barat sekarang ini beragama kristen, namun kekristenan mereka sering disebut "Kekristenan Barat" yang sering dipertentangkan dengan Kristen Timur".( maksudnya kristen sebelah Timur Laut Tengah.). Kristen Barat adalah Kristen yang telah banyak kehilangan keaslian akar budaya semitiknya. Sebab telah di-"barat"kan ( menurut ungkapan Simon Van den Berg. Budaya kristen Barat adalah Maria Sopra Minerva - artinya agama kristen sematik dari Timur, dilambangkan dalam ketokohan Maria bunda Isa, yang disesuaikan dengan dan dibangun di atas mitologi Romawi, dilambangkan dengan ketokohan dewi Minerva, jadi konfrontasi Islam dengan Barat ditafsirkan sebagai konfrontasi antara dua pola budaya.2)

Melalui makalah singkat ini, saya ingin menawarkan kekristenan Timur (oriental), khususnya Orthodox Syria, sebagai alternatif bagi dialog Kristen-Islam di Indonesia masa depan, dengan beberapa pertimbangan. Bukan hanya dari sudut pandang budaya, seperti dicatat Cak Nur, bahwa " sementara hubungan Islam dengan Kristen Timur sepanjang sejarah berlangsung cukup aman dan lancar( karena berasal dari budaya yang relatif sama), tidaklah demikian hubungan Islam dengan Kristen Barat: penuh rasa permusuhan dan kebencian".3) bahkan lebih dari sekedar persamaan faktor budaya, bila diterima dalil bahwa terbentuknya bahasa keagamaan (the religious language) dilatar belakangi oleh ekspresi kebudayaannya, maka tentu dapat juga diharapkan adanya beberapa "meeting point" dalam perjumpaan teologis antara keduanya. Juga pada tingkat sosial-politik, tentu ada semacam naluri politik pihak kristen Barat abad-abad lalu untuk mengembalikan kontrol mereka atas daerah-daerah yang sekarang dikuasai Islam (motif Perang Salib, salah satu aspeknya dapat dilihat disini).Tetapi justru bagi Kekristenan oriental, dengan penaklukan Arab-Islam mereka tidak pernah kehilangan apa-apa, sebab justru sebelum orang orang Romawi/Byzantium itulah yang dahulu menindasnya, dan like and dislike harus diakui bahwa, justru Islamlah yang telah membebaskan mereka dari penindasan sesama kristen itu. Jadi, dari ke -3 tingkat konfrontasi itu, hanya tinggal perbedaan teologis saja.


Akar Sosial/Politik: Bangkitnya Sebuah Nasionalisme Semitik/Arab Melawan Hegemoni Yunani (Hellenisasi )

Eksistensi gereja-gereja oriental (Coptic, Syria dan Abisinia/Etiopia) yang kemudian melepaskan diri dari dominasi kebudayaan Yunani, dimulai dari penolakan mereka atas Majma' (konsili) Kalsedonia tahun 451. Banyak sejarahwan barat sekarang sepakat, termasuk Prof. W. Montgomery Watt.4) bahwa penolakan mereka atas konsili tersebut, ternyata lebih didorong oleh faktor politik/budaya melawan hegemoni Yunani yang menyangga gereja arus utama, ketimbang menolak secara seksama formula kristologinya.

Pihak Byzantium, untuk secara politis terus mengontrol wilayah gereja-gereja di Timur Tengah itu, lalu menempatkan "patriarkh-patriarkh boneka" mereka setelah menaniaya secara kejam gereja-gereja tersebut. Dalam kasus Gereja Syria, melalui tangan besi Kaisar Yustinus I setelah mengasingkan Patriarkh Severus Al-Kabir ke Mesir dan 40 Uskup Syria, yang juga diusir dari wilayah yurisdiksinya, telah ditempatkan berturut - turut : Paulus, yang dijuluki si Yahudi (yang kemudian dipecat tahun 504), lalu digantikan Aphrodius bin Malah (wafat 529 dalam suatu kebakaran kota Anthiokia). Selanjutnya Kaisar mengangkat Efraim, mantan Gubernur Syria, menggantikannnya sebagai Patriarkh. Bersamaan dengan perebutan tahta suci Anthiokia, sejumlah gereja dan biara-biara Syria telah dirampoknya paksa.5) Baru tahun 543 setelah Mar Ya’qub Bar Addai ditahbiskan menjadi uskup agung Al Raha (Eddesa) oleh Patriakh Theodosius dari Alexandria yang sedang mengalami pembuangan di Konstantinopel, gereja Syria diorganisir kembali dengan susah payah setelah diporakporandakan oleh kekuatan Kristen Yunani. Menurut Montgomery Watt, perlawanan Kristen Semitik terhadap imperium penjajah Byzantium itu, tidak sungguh-sungguh mengalami keberhasilan,sampai datangnya pasukan Arab Muslim dari selatan.6).

Dalam hal ini sikap Gereja Syria justru mendukung pasukan Arab-Muslim dalam melawan penguasa asing Byzantium, kendati seagama dengan mereka. Fakta sejarah mencatat, dalam peperangan melawan pasukan Byzantium, ketika pasukan Arab-Muslim memasuki lembah yordania di bawah pimpinan Abu Ubaidah, penduduk Arab Kristen menulis surat kepadanya : "Saudara-saudara kami umat Islam, kami lebih bersimpati kepada saudara ketimbang orang-orang Roma/Byzantium, meskipun mereka seagama dengan kami. Karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih berbelas kasih kepada kami dengan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan tidak adil. Pemerintah Islam lebih baik ketimbang pemerintah Byzantium, karena orang-orang Byzantiun itu telah merampok harta-harta dan rumah kami".7) Juga dalam perang Jembatan (tahun 13 Hijrah) melawan pasukan Byzantium di bawah Kaisar Heraklitus, ketika pasukan Islam dibawah pimpinan Mussanah terjebak diantara sungai Efrat dan daerah Persia, tanpa diduga-duga seorang pemimpin Arab Kristen dari suku Tayy menggabungkan diri dan memberikan bantuannya dengan cara mempertahankan jembatan perahu, satu-satunya jalan mundur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu. Dan ketika pasukan Byzantium melancarkan serangan lagi, maka datanglah bantuan kepada pasukan Islam dari suku Arab Kristen Bani Namir, yang mendiami daerah perbatasan Byzantium. Demikian juga dalam pertempuran Buwayib yang berakhir dengan kemenangan Islam, Mussanah tampil ke depan dan berbicara kepada suku Arab Kristen : "Kalian satu darah dengan kami, karena itu marilah kita maju bersama, memenangkan pertempuran ini."8) dalam kasus yang serupa, sekarang dapat dibandingkan dengan dukungan orang-orang Arab Kristen, seperti George Habash dan Hanan Asrawi, terhadap perjuangan Palestina di bawah Jesser Arafat, menghadapi Israel.

Kembali dalam kasus posisi gereja-gereja oriental (Syria dan Kupti) : antara pasukan Arab-Islam dan imperium Kristen Byzantium, dari sudut sosial/ politik justru mereka memilih berjuang bersama-sama Islam. Jadi, tidak ada sesuatupun secara politis hilang dari mereka, malah Islamiah yang justru membebaskan mereka dari penindasan Kristen Byzantium ketika itu. Jadi berbeda dengan Gereja Barat (Roma/Byzantium) yang salah satu faktor yang melatarbelakangi sikapnya yang konfontatif dengan Islam karena akar politik ini, maka tidaklah demikian dengan Gereja-gereja Arab, yang sampai sekarangpun eksistensi mereka berada di bawah pemerintahan Islam. Justru di kalangan Kristen Orthodox Syria, dikenal sebuah slogan :" Segala Puji bagi Allah (Al-Hamdu li’l-Lah) yang telah membebaskan kami dari kekuasaan Kristen Yunani yang menindas kami, kemudian menempatkan kami dibawah penguasa Arab Muslim.9) Sebab harus diakui, penguasa Arab-Muslim memang menjamin keselamatan jiwa, harta, gereja, dan salib-salib mereka seperti dijamin dalam piagam yang dibuat Nabi Muhhamad dan sahabat-sahabatnya.10) sayang sekali, jatuhnya dinasti Abbasiyah ke tangan berbagai sulthan Muslim non- Arab, khususnya pada masa kekuasaan Ottoman, gereja-gereja Arab mengalami masa-masa serba tidak pasti dan mereka kehilangan banyak sekali anggotanya, akibat diberangusnya kebebasan beragama dan tidak diindahkannya lagi piagam Nabi Muhammad dan perlindungannya terhadap Ahl Ad Dimmiy (kaum minoritas yang dilindungi).Jaminan dan perlindungan Nabi Muhammad terhadap orang-orang kristen : harta, nyawa, gereja-gereja dan salib-salib mereka antara lain diakui sumber-sumber Islam maupun Kristen sendiri, seperti ditulis oleh Philip de Tarazi dalam bukunya berjudul : The Golden Era of Syrian.11)


Upaya Kembali Menemukan Akar : Mengatasi Kesenjangan Budaya Kristen Islam di Indonesia

Harus ditekankan, bahwa dari sudut pandang budaya, gereja-gereja oriental (di Timur Tengah) justru lebih dekat dengan Islam, ketimbang gereja-gereja Barat yang selama lebih dari seribu tahun telah mengalami proses Westernisasi. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa sejarahnya yang paling dini, bahasa Arab sudah dipakai dalam gereja Syria di kalangan suku-suku Arab dari wilayah Teluk yang bermigrasi di daerah-daerah pedesaan Syria sebelum Zaman Islam. Inskripsi-inskripsi Arab pra-Islam, seperti Namarah (328), Zabad (512) dan Harran (568) semua ditemukan disekitar wilayah Syria, dan semua terkait dengan konteks Syria : latarbelakang Arami dan menunjukkan ciri Kekristenan Syria. Inskripsi Zabad menyebutkan nama-nama Kristen Syria, yang diawali dengan ucapan Bism al-llah(bentuk pendeknya," Bism-i'l-lah"), sedang inskripsi Harran berisi pendirian sebuah gereja yang dibaktikan kepada Mar Yuhanna al-Ma’mudan (St. Yohanes Pembabtis).12). A. Baumastrark mencatat, bahwa liturgi Mar Ya’Qub saudara Almasih yang sampai hari ini masih dirayakan tiap-tiap Minggu di gereja Syria, telah dirayakan diperkemahan-perkemahan Badui pada parohan abad ke-6 Masehi.13). Karena itu, selain masih dipertahankan bahasa Arami (Suryani) hingga hari ini, bahasa Arab adalah bagian yang terpisahkan dari gereja Syria. Kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa Liturgi adalah sebanding dengan kedudukan bahasa Latin dalam Gereja Katholik. Selain itu gereja-gereja oriental melestarikan tradisi Rasuli, yang tidak menyangkut aspek 'aqidah tetapi juga aspek 'ibadah-nya: seperti sholat dan tilawat Alkitab ( pembacaan ayat-ayat suci dengan dingajikan). Keterputusan Gereja Barat secara kultural dengan tradisi semitiknya (baik bahasa maupun budaya) membuat gereja-gereja di Indonesia agak tersentak mendengar pola ibadah gereja-gereja Oriental. Pertama kali, kami menghadirkan pelayanan pusat studi kami di Jakarta, seorang pastor membaca iklan kegiatan kami di SUARA PEMBAHARUAN, menelepon ke sekretariat mengenai sholat, dan ia baru mengerti setelah saya tunjukkan padanannya dalam bahasa latin "brevir"(atau liturgia horanum,"liturgi jam-jam tertentu"). Selanjutnya saya juga menerangkan asal-usul istilah Arab Sholat, yang dijumpai padanannya dalam bahasa Arami (bahasa yang dipakai Almasih sendiri): Shelota.14) Tradisi gereja purba juga mengenal ‘iddana shelota (Arab Sa’atush Shalat, "Waktu sembahyang") yang di dasarkan atas via dolorosa ("jam-jam sengsara") Almasih (Arab: thariqul alalam), yang kurang lebih sama dengan jam-jam shalat islam.15) Sebab lain, karena tidak menjemaatnya dalam gereja selama ini dengan original text of the Bible. Seorang rekan kristen saya cukup kaget ketika saya menunjukkan banyaknya paralel istilah keagamaan Islam dengan term-term Alkitab dalam bahasa Ibrani/Arami. Mengenai pararel istilah Shalat, saya mencontohkan Mazmur 122:6, "Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem" (Ibrani : "Shalu Shalom Yerusalem"). Perhatikan kata "Shalu", demikian juga tentang waktu-waktu shalat Mazmur 55 : 18 menyebut dengan istilah Ibrani tsohorayim(tengah hari), yang sejajar dengan istilah dhuhr dan ‘erev (atau dalam doa Yahudi disebut dalam bahasa Ibrani Ma’ariv) yang sejajar dengan Maghrib. Lebih menarik lagi, dalam forum-forum kajian Islam yang pernah mengundang saya, saya tunjukkan beberapa istilah teknis Alkitab bahasa Arab dan term-term liturgis Gereja-gereja Arab yang sangat berdekatan dengan Islam. Misalnya, kata IbraniSyir ha-Ma’alot (nyanian kenaikan/ziarah ke Yerusalem) yang menjadi judul Mazmur-mazmur 120-134, diterjemahkan Nasid-u 'I Hajj (Nyanyian orang-orang yang ber-hajji). Demikian juga, kedua hari raya Kristen dikenal dalam bahasa Arab sebagai Idul Milad (Natal) dan Idul Fashha (Paskah). Belum lagi term-term gereja Syria, yang bahkan memiliki paralel lebih dekat lagi dibanding dengan gereja-gereja Arab lainnya. Ungkapan Al-Hamd-u li ‘l-Lah (Segala puji bagi Allah) danSubhana 'l-lah (Mahasuci Allah) kurang populer di liturgi koptik misalnya, tetapi sangat populer di Gereja Syria, karena istilah itu hanya trasliteransi harfiah dari term Arami : Hemda Allaha dan Subha Allaha.16). Di gereja-gereja Arab lainnya seperti Kupti(Coptic) lebih dikenal istilah Al-Majd-u li’l-Lah (Segala kemuliaan bagi Allah) dan Nasykur Rabbina (Syukur kepada Tuhan kita). Melihat fakta-fakta kedekatan kultural ini, tidak mengherankan apabila evaluasi kehadiran kami selama kurang lebih satu tahun, menunjukkan bahwa ummat Islam lebih bisa menerimanya ketimbang umat Kristen, seperti ditunjukkan dari tanggapan Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid) dan Kang Jalal (Dr. Jalaluddin Rakhmat).17) dan tokoh- tokoh Islam lainnya, dibandingkan dengan misalnya Jan Kawatu, mantan Binmas Kristen Protestan, yang belum-belum sudah menunjukkan sikap apriorinya.18) Barangkali bentuk Kekristenan yang oriental seperti ini justru tidak asing bagi ummat Islam, sebab Al-Qur’an sendiri menyaksikan adanya orang-orang Kristen tertentu pada zaman Nabi yang mempunyai tradisi ibadah : men-"tilawat"-kan ayat-ayat Allah di tengah malam dan mereka juga bersujud ("yatluna ayaat-i 'l-Lahi ana’alayli wahum yasjudun"). 19) Semua fakta ini menunjukkan bahwa antara Islam dan Kristen Timur, seperti dikemukakan Cak Nur di depan ternyata lebih banyak memiliki latar belakang budaya yang sama. Tentu melaluinya, kita dapat lebih membangun kesaling-pengertian, karena berangkat dari tradisi dan warisan budya serta sejarah yang sama.


Tinggal Masalah Teologis : Bagaimana Membangun kesalingfahaman berdasarkan sikap "agree in disagrement".

Jadi, jika secara sosial /politik dan kultural tidak ada masalah lagi, berarti tinggal masalah teologis saja. Tetapi dengan sikap keagamaan yang inklusif dan lapang, maka perbedaan ‘aqidah bukanlah menjadi penghalang bagi terciptanya kerukunan. Sejarah Gereja Syria sendiri menunjukkan hal itu, seperti terbukti dari 2 fakta ini :

Pertama, hubungan yang baik antara penguasa Arab dengan putra-putra Gereja Syria membuktikan bahwa berpegang teguh kepada iman kristiani tidak berarti menghilangkan rasa kebanggaan nasional seorang kristen dan pengabdian kepada bangsa dan negaranya.20) kendatipun ia dipimpin oleh suatu penguasa yang berbeda agama dengan mereka.

Kedua, adanya perbedaan teologis bukan hanya terjadi antara suatu agama dengan agama lain, tetapi juga akibat persepsi yang berbeda dalam agama itu sendiri. Pengalaman gereja-gereja Timur Tengah yang justru menyambut pasukan Arab-Islam sebagai pembebasan mereka, menunjukkan perbenturan pandangan-pandangan(kristologis) dlam Kekristenan sendiri menunjukkan tingkat ke"fanatik-buta-an" sesama kristen, yang menghalalkan segala cara untuk memaksakan pendapat dan memusnahkan semua pihak yang bertentangan dengan pandangan kristologisnya (kasus penindasan kristen Byzantium terhadap orang-orang Kristen Oriental, khususnya Syria dan Mesir, yang membenarkan penindasan itu dengan menuduh orang mereka sebagai pengikut aliran bid’ah Monophisit, 21) atauJacobite.22). sebaliknya justru tingkat toleransi yang lebih tinggi, bisa terjadi pada pihak agama lain (kasus sikap daulah Islam terhadap minoritas Kristen di Timur Tengah, segera setelah penaklukan Islam).

Dikemukan catatan di atas, tidak berarti antara Kristen dan Islam di Timur Tengah tidak ada benturan sama sekali. Pada awal perjumpaannya dengan Kekristenan Syria, adanya benturan teologis kecil pernah saja terjadi. Misalnya dikisahkan pada waktu Pathriakh Mar Yuhanna Abu Sedra II (wafat 648) menerjemahkan injil Muqaddas dari bahasa Arami/Suryani ke dalam bahasa Arab dengan bantuan para sarjana Kristen Arab dari suku Tanukh, Aqula dan tayy, atas permintaan ‘Umair Ibn Sa’ad Ibn Abi Waqqas Al-Anshariy, ‘emir al jazirat waktu itu. Pemimpin islan itu meminta agar ayat-ayat yang berkaitan dengan keilahian ‘Isa sebagai Kalimatullah(Firman Allah) dihapus saja, Pathriakh Yuhanna menjawab : " Saya tidak akan mengabaikan satu hurufpun dalam Injil dari junjungan kami, meskipun seluruh anak panah tentara tuan menembus kami". Selanjutnya, sang emir yang sangat menghormati keteguhan iman sang Patriarkh berkata,"Silahkan anda teruskan, sesuai dengan yang anda ketahui."23)

Dialog teologis yang terus menerus dapat diupayakan, walaupun mustahil menghasilkan suatu kesamaan, tetapi minimal dapat menghasilkan suatu kebersamaan, khususnya sedikit mencairkan kesalahpahaman kendala"bahasa teologis" antara kedua iman. Dengan warisan historisnya yang sangat berharga, khususnya dalam keberdampingan perkenbangannya yang panjang di tengah-tengah mayoritas masyarakat Islam, kita mengharapkan pelaui penghadirannya di Indonesia dari kristen Syria ini dapat digali beberapa "meeting point" dalam perjumpaan teologis Kristen-Islam. Seperti Seyyed Hosein Nassr dan Prof. Mukti Ali.24) dengan pendekatan "paralelisasi"-nya yang mencoba mendalami bahasa teologis suatu agama berdasarkan persuposisi agama yang bersangkutan (dan tidak menilai agama berdasarkan presuposisi agama kita), Kekristenan Semitik ini dapat dijadikan alternatif, untuk menjembatani dialog teologis Kristen Barat (Katholik dan Protestan) yang acap kali macet. Salah satu contoh saya ingin meminjam paralelisasi Nassr dan Mukti Ali yang membandingkan posisi Yesus dan Al-Qur’an, dimana kedua-duanya dipahami sebagai Sabda Ilahi dalam kedua agama. Dalam hal ini ditemukan banyak sekali kategori-kategori terminologis yang ternyata berdekatan satu sama lain, misalnya : penggunaan istilah "nuzul" (turun) dalam Kanun Al-Iman (Syahadat Kristen) untuk menggambarkan firman Allah yang menjadi manusia ( Al-Kalimat al-Mutajjasat). Dikatakan bahwa firman Allah itu telah "nazala minas sama’I wa tajjasada bi-ruhil quddusi wa min Maryam al-adza’wa shara insanan" (nuzul dari surga dan menjelma oleh kuasa Roh Kudus (Hayat Allah), sehingga umat Islam dapat membandingkan pengertian nuzul Qur’an. Juga suasana kedua iman : antara nuzul-u Al-Qur’an (turunnya Al-Qur’an) pada malan yang penuh dengan kebesaran (Laylat-u il-Qadar) satu malam yamh lebih mulia dari seribu bulan, dengan nuzul-u ‘I-kalimat-u ‘l-Mutajjasat (turunnya firman menjadi manusia) pada malam yang kudus (laylat-u ‘l-Quddus), satu malam dengan taburan seribu bintang. Demikian juga medium yang dipakai untuk pewahyuan itu dimana kebuta-hurufan nabi Muhammad yang sejajar dengan keperawanan Maryam, sma -sama menggambarkan kemurnian Firman itu tanpa campur tangan manusia. Di sinipun penghargaan kedua ummat terhadap sang medium itu, menunjukkan kesejajaran pula: kedua ummat memberi salam dan penghormatan yang pantas bagiNya. Sebagaimana Shalat Islam menyapa Muhhamad dengan "Salam-u ‘alaika ayyuha ‘n-Nabiy" (Salam bagimu, wahai Nabi ), demikian juga salam yang disampaikan gereja sepanjang abad kepada Maryam Bunda Gereja, berdasarkan Injil Lukas 1:28 dan 42 : "Salam-u alaiki, ya Maryam-a ‘l-adzra’I, al-Mumtali’at-an ni’mat-I wa’r Rabb-u ma’aki mubarakati anti fi ‘n-nisa’I wa mubarakat tsamarat-I bathniki, ‘Isa" (Salam bagi mu, ya Maryam sang Perawan, yang penuh kasih karunia, Tuhan besertamu, Terpujilah engakau dari antara segala wanita, terpujilah pula buah rahimmu,Yesus.25)" Keduanya menggambarkan misteri yang dalam dari pernyataan", kata Hoseein Nassr.26) Karena itu ada teolog tertentu mengusulakn jembatan Marial dalam dialog teologis Kristen-Islam, bukan berhenti pada pengkultusan Kepada Maria atau Muhhamad, tetapi untuk lebih mendalami misteri pewahyuan yang disampaikan kepada keduanya.27) sedangkan sikap kedua medium itu hendaknya menjadi teladan kita untuk menanggapi panggilan dan pernyataan Ilahi kepada kita.

Masih terkait dengan tema ini, ummat kristen di Timur Tengah juga mengenal sebuah ungkapan teologis dalam bahasa Arab yang berasal dari Majma’(konsili) Efesus(431): "Kalimat-u lladzi wulida min-a’l-Ab dunuumm,’an yuladu min umm dunu ab"(Firman Allah telah lahir dari Bapa tanpa seorang ibu, dan (dalam wujud nuzulnya sebagi manusia) telah lahir dari ibu tanpa seorang bapa". Bahwa kelahiran ‘Isa dari perawan (virgin birth) tanpa seoarng bapa, juga ditekankan Al-Qur’an, tetapi Al-Qur’an menolak kelahiran kekal almasih. Sebaliknya perlu ditekankan pula, bahwa dengan frasa : Lahir dari bapa tanpa seorang ibu, memaksudkan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan secara fisik/biologis. (Iman kristen bisa menerima ayat Al-Qur’an yang berbunyi :"Lam yalid wa lam Yulad". Jadi, kendati Islam tidak bisa menerima kelahiran kekalnya, tetapi ummat Islam dapat membandingkan paralel maknanya dengan kekadiman Al-Qur’an sendiri. Karena dalam Iman Kristen ditekankan bahwa sebagai Firman Allah , Yesus itu "Al-Maulud-u ghayr-u ‘l-makhluq"(dilahir-kan, tidak diciptakan), mak khususnya kaum Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah juga menekankan ke-‘ghayr al-Makhluq’-an Al-Qur’an sebagai kalam Allah. Kendati tentang nuzulnya dalam ruang dan waktu, ada aspek Kalam Ladzi (kalam tertulis yang temporal), disamping Kalam Nafsiy (kalam kekal) yang tersimpan di Lauh al-mahfudz. Justru sebaliknya, ummat Kristen mengerti makna Qur’an seperti bagi ummat Islam, karena paralel pemahamannya sendiri tentang kesatuan kodrat ganda Almasih yang berasal dari dua kodrat " kemanusiaannya yang terikat ruang dan waktudan keilahiannya sebagi Firman Allah yang selalu satu dengan Allah dalan kekadiman. Melalui pemahaman yang baik atas bahsa teologis masing-masing, kedua ummat bisa datang pada sikap "agree in disagrement" (setuju dalam ketidaksetujuan), sehingga diharapkan terciptanya salaing pengertian antara keduanya.

Dalam konteks pemahaman seperti inilah, sikap ummat Kristen Orthodox terhadap Islam, yang dpat dikalimatkan dalam semboyan : "Al-Masih adalah Juruselamatku, Muslim Sahabatku". Dengan tetap mempertahankan jatidiri kita, sma sekali tidak ada halangan untuk kehup rukun dalam suasara proexisttence hidup rukun dengan semua orang, mengatasi batas-batas perbedaan agama dan keyakinan : hinneh matov u-mana’im syevet ahim gam-yahad (Zabur/Mazmur 133:1,"Alangkah baik dan indahnya apabila semua orang hidup bersaudara dan rukun bersama.")

3 comments:

  1. Dalam Islam ada konsep "lakum dinukum waliyadin" / Untukmu agamamu, untuk ku agamaku / kebebasan beragama.

    Mudah-mudahan kita semua bisa jalankan konsep ini, dan "agree to disagree". Sehingga kita semua bisa hidup berdampingan, bebas dari konflik-konflik yang fatal - dan tidak bisa dijadikan korban adu-domba oleh pihak-pihak yang jahat.

    Terimakasih. Semoga makin banyak rekan-rekan kita yang memiliki jalan pikir seperti Anda.

    ReplyDelete
  2. @sufehmi:
    senang bisa berkenalan denganmu...
    semoga kita semua tak mempertentangkan iman masing-masing melainkan membuka dialog dari persamaan yang ada... :)

    salam

    ReplyDelete
  3. mari kita terus gali ilmu pengetahuan untuksaling mengerti dan memahami, bahwa dahulu kita adalah saudara

    ReplyDelete