December 6, 2010

Adakah Keselamatan di Luar Gereja?

oleh: Frater Georgius Paulus, CSE


Pernah suatu ketika, seorang pemuda dari suatu Gereja Kristen non-Katolik menyatakan keberatannya akan kepercayaan gerejanya sendiri yang menyatakan bahwa hanya orang Kristenlah yang akan diselamatkan, “Lalu ke mana perginya semua orang yang non-Kristen?” Ini merupakan pertanyaan besar dari abad ke abad. Apakah Allah mengaruniakan keselamatan hanya kepada orang Kristen saja?

Ini juga yang sebenarnya merupakan masalah rumit yang dihadapi Gereja sepanjang sejarah. Masalah ini antara lain menimbulkan kesulitan Gereja dalam menyampaikan Kabar Gembira, khususnya di dunia Timur yang penuh dengan spiritualitas-spiritualitas yang sangat mendalam dan mengakar. Suatu agama atau kepercayaan yang berani membuat pernyataan bahwa di luar apa yang mereka ajarkan tidak ada keselamatan akan segera dicap sombong dan gila. Cobalah menempatkan diri Anda saat ini dalam kalangan penganut agama asli di salah satu negara Asia (ini pasti tidak akan terlalu sulit bagi Anda), lalu suatu saat Anda pergi ke acara kebaktian agama 'baru' dan mendengarkan seorang penginjil yang dengan lantang mengatakan di atas mimbar bahwa semua orang yang tidak mau menerima ajarannya akan masuk ke dalam neraka! Apa yang akan Anda rasakan? Apa pikiran Anda tentang Allah agama 'baru' itu saat itu? Inilah Allah yang tidak adil dan kejam. Bagaimana mungkin para pendahulu Anda yang hidup sungguh-sungguh saleh dan suci menurut ajaran kepercayaan Anda tiba-tiba dicampakkan ke dalam api neraka? Bagaimana mungkin orang-orang yang Anda kenal, yang hidup dengan tatanan moral kebajikan yang begitu tinggi, harus masuk ke dalam kebinasaan kekal semata-mata hanya karena mereka tidak pernah mendengarkan ajaran agama 'baru' itu? Sungguh tidak masuk akal!

Karena masalah ini cukup rumit dan sepanjang sejarah telah banyak dipertentangkan, saya mengajak Anda untuk secara bertahap melihat permasalahan ini. Dan juga sebelum Anda membaca lebih lanjut, saya mohon dengan sangat kepada Anda untuk tidak membaca uraian saya sepotong-sepotong, melainkan membacanya secara keseluruhan. Keterbatasan saya telah membuat uraian berikut tidak jelas jika dibaca sebagian saja. Oleh karena itu, jika Anda tidak yakin dapat menyelesaikan artikel ini, baik secara langsung maupun bertahap, saya mohon dengan hormat untuk tidak meneruskan sebab dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.


ARTI KESELAMATAN

Pertama-tama kita perlu mengerti apa arti keselamatan menurut ajaran Kristen. Allah mengasihi manusia sebab Ia telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Akan tetapi, karena kesombongan dan ketidaktaatannya, manusia jatuh ke dalam dosa dan akibatnya manusia terpisah dari Allah. Allah sendiri tidak pernah berhenti mengasihi manusia sebab Ia tidak dapat mengingkari Diri-Nya Sendiri yang adalah kasih. Ia tidak menghendaki kebinasaan manusia. Sehingga pada kepenuhan waktu Ia mengutus Putera-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, turun ke dunia untuk menebus dosa seluruh umat manusia, dari manusia pertama sampai manusia terakhir. Dengan inkarnasi, penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya, Yesus telah memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah. Atas jasa Yesus Kristus, manusia dapat kembali menikmati hidup bersatu dengan Allah dalam keabadian. Inilah arti keselamatan, ditebus dari keadaan dosa kepada kehidupan dalam kebahagiaan abadi di surga.

Akan tetapi, di balik semua karya keselamatan Allah ini, ada sebuah misteri besar yang hanya dapat dijawab oleh Allah sendiri, yakni: misteri kehendak bebas manusia. Walaupun mahakuasa, Allah seolah-olah membatasi diri-Nya sendiri dengan membiarkan manusia mengambil keputusannya sendiri secara bebas, menerima atau tidak menerima, percaya atau tidak percaya akan wahyu-Nya, dalam hal ini wahyu-Nya yang terbesar, Putera-Nya sendiri: Yesus Kristus. Apakah semua manusia bisa diselamatkan? Ya, jasa Yesus cukup untuk menebus semuanya. Lagipula, Allah sejak semula menghendaki agar semua manusia diselamatkan (bdk. 1 Tim 2:3-6). Akan tetapi, apakah semua manusia mau menerima keselamatan ini? Dengan sedih kita harus mendapati kenyataan bahwa justru dari antara umat manusia sendiri ada yang menolak keselamatan. Mengapa? Kita tidak tahu sebab, sekali lagi, ini adalah misteri kehendak bebas manusia. “Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang ... Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya ... dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 3:19.36; 5:29).

Tidak semua manusia mencapai keselamatan dan bagi mereka yang tidak berhasil mencapainya telah tersedia hukuman. Apakah hukumannya? Kebinasaan kekal atau yang biasa kita sebut dengan istilah neraka.


KESELAMATAN, MILIK SIAPA?

Yesus bersabda: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh14:6). Dan ini pulalah yang menjadi cetusan keyakinan para pengikut-Nya, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4: 12). Apakah ini berarti bahwa hanya orang Kristen - yang dari namanya berarri pengikut Kristus - saja yang berhak akan keselamatan atau kehidupan kekal?

Jika kita ingin menafsirkan arti kata-kata Yesus, seperti yang harus dilakukan setiap kali kita ingin menafsirkan kata-kata dalam Kitab Suci, kita harus melihat konteks keseluruhan lnjil. Yesus datang untuk semua orang. Ia turun ke dunia bukan hanya sebagai Anak Daud, tetapi juga sebagai Anak Manusia, Anak Adam. Jika hanya para pengikut Kristus, yang baru muncul setelah Yesus, saja yang diselamatkan, bagaimana nasib Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, Elia, dan semua orang yang kita kenal sebagai orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama? Penebusan Kristus melingkupi seluruh dunia dan seluruh masa: dulu, sekarang, dan masa yang akan datang. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58). “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia ini dijadikan.” (Ef 1:4a). Kerahiman Allah tidak mengenal diskriminasi. Semua manusia adalah ciptaan-Nya, menurut gambar dan rupa-Nya. Inilah nilai universal karya penebusan Kristus. Apabila Yesus menebus Adam, Nuh, Abraham, dan semua orang kudus Perjanjian Lama, yang belum pernah mendengar tentang Dia, tentu rahmat penebusan-Nya ini akan menjangkau pula mereka, yang walaupun hidup setelah Dia, tidak pernah mendengar Kabar Gembira tentang Dia bukan karena kesalahan mereka sendiri.

Ada dua aspek penting dalam hal ini. Yang pertama, mereka bisa diselamatkan, tetapi tetap atas jasa Yesus Kristus dan melalui Dia-lah mereka akan mencapainya. Mereka yang bukan karena kesalahan mereka sendiri tidak pernah mendengar kabar akan Yesus Kristus, pada akhir zaman akan diadili oleh satu hakim yang sama, Yesus Kristus. Kedua, mereka akan diadili menurut ukuran kerahiman Allah berdasarkan hati nurani dan kebebasan kehendak masing-masing pribadi. Allah menciptakan manusia untuk Diri-Nya Sendiri. Oleh sebab itulah - seperti yang dikatakan oleh Blaise Pascal - di dalam diri manusia ada suatu kekosongan yang hanya dapat dipenuhi oleh Allah.Santo Agustinus mengerti akan hal ini saat ia berdoa: “Engkau menciptakan kami untuk-Mu, dan jiwa kami tidak akan tenang sebelum beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan.”

Para kudus Perjanjian Lama, sekalipun belum pernah bertemu dengan Yesus secara fisik, sebenarnya telah mengenal Dia di dalam kekekalan sebagai jalan menuju kehidupan. Wahyu-wahyu yang mereka terima, ditanggapi mereka dengan sungguh-sungguh sehingga mereka juga oleh Yesus Kristus ditentukan menjadi anak-anak Allah di dalam kasih-Nya (bdk. Ef 1:5). Demikian juga misalnya: suku-suku terpencil di pedalaman Irian yang belum pernah menerima pewartaan Kabar Gembira secara langsung, juga menerima rahmat penebusan Kristus dan akan diselamatkan jika mereka mengikuti hati nurani mereka untuk mengabdi Allah yang esa dan melakukan kehendak-Nya. Sebagaimana diajarkan secara jelas oleh Gereja melalui Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Konsili Vatikan II, “Mereka dapat mencapai keselamatan jika tanpa kesalahan dari pihak mereka sendiri tidak mengenal Kabar Gembira Kristus atau Gereja-Nya, namun secara tulus mencari Allah dan, digerakkan oleh rahmat, berjuang dalam upaya-upaya mereka untuk melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana yang dimengerti mereka melalui suara hati nurani.” (No.16). Manusia tidak akan dapat mengingkari kodratnya yang utama dan pertama-tama sebab ia telah dikaruniai akal budi dan hati nurani untuk mengerti. Dan “karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia ini diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” (Rm.1:19-21). Pada waktu penghakiman terakhir mereka yang hidup dengan hati nurani yang murni dan melaksanakan kehendak Allah atas diri mereka akan mengerti siapa yang telah menebus mereka, yakni Yesus Kristus, sedangkan bagi mereka yang hidup dalam kegelapan dan mengingkari hati nuraninya, Kristus akan menjadi hakim yang menjatuhkan hukuman sekali dan untuk selama-lamanya, yakni kebinasaan yang kekal. Saat itu mereka tidak akan mempunyai alasan untuk berdalih lagi.


GEREJA DAN KESELAMATAN

Di luar Kristus tidak ada keselamatan. Semua manusia, entah Kristen ataupun non-Kristen hanya dapat mencapai Allah melalui dan atas jasa Yesus Kristus. Lalu apa fungsi Gereja dalam hal ini? Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah realisasi Kerajaan Allah di dunia ini, bahtera yang mengangkut semua orang pilihan Allah kepada keselamatan. Oleh karena nilai esensialnya ini, Gereja tidak dapat menolerir adanya ajaran bahwa ada keselamatan di luar satu Gereja yang didirikan oleh Kristus sendiri. Seorang tokoh terkemuka dalam Gereja awali, Santo Siprianus mengungkapkan keyakinan Gereja ini dengan tegas dalam suratnya: “Bila Allah adalah Bapamu, maka Gereja adalah ibumu.” “Tidak seorang pun dapat diselamatkan kecuali di dalam Gereja.” “Di luar Gereja tidak ada keselamatan.” Dalam konteks Gereja awali, Gereja berarti hanya satu Gereja, yakni Gereja Kristus, Gereja Katolik. Santo Agustinus kemudian menambahkan: “Jika engkau tidak berada di dalam tubuh, engkau tidak berada di bawah kepala. Jika engkau memisahkan diri dari tubuh-Nya, itu tidak akan membuat Sang Kepala tubuh memisahkan diri dari tubuh-Nya. 'Dalam kesia-siaanlah engkau memuliakan Aku', Sang Kepala menangis untukmu dari Surga, 'Sia-sialah engkau memuliakan Aku'. Itu seperti jika seseorang ingin mencium wajahmu dan sekaligus menginjak kakimu. Dengan sepatunya yang berpaku ia menghancurkan kakimu saat ia mencoba memegang kepalamu dan menciumnya; tidakkah engkau akan menghalangi usaha penghormatan itu dan berseru: 'Hey, apa yang kau lakukan? Engkau menyakitiku!'” Jadi, jelas tidak mungkin bagi seseorang untuk tetap tinggal di bawah Sang Kepala, yaitu Kristus, dengan terus-menerus menghujat tubuh-Nya, yaitu Gereja. Keyakinan Gereja ini diteguhkan lagi dalam Konsili Lateran IV (tahun 1215): “Barangsiapa yang ingin diselamatkan, di atas segalanya ia perlu memegang iman Katolik. Dan jika seseorang tidak berpegang dalam iman ini secara teguh dan utuh, tak dapat diragukan lagi bahwa ia akan binasa.” Dengan kata lain, sebagaimana tidak ada keselamatan di luar Kristus, tidak ada pula keselamatan di luar Gereja. Extra ecclesiam nulla salus!

Jika demikian bukankah ini bertentangan dengan pengertian di awal tulisan ini bahwa orang kafir pun yang jelas-jelas bukan anggota Gereja bisa diselamatkan asalkan ia hidup sesuai dengan hati nuraninya yang murni dengan menyembah satu Allah yang benar? Dalam hal ini, kita harus mengerti sebagaimana Gereja telah mengerti saat ia (Gereja) dengan berani dan tegas mengatakan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Kita harus melihat doktrin ini dalam kacamata iman Gereja secara keseluruhan dan juga faktor sejarah yang melandasinya.

Pertama-tama, sangatlah penting untuk mengerti bahwa doktrin di luar Gereja tidak ada keselamatan ini tidak ditujukan bagi orang-perorangan atau pribadi-pribadi non-Katolik, melainkan bagi komunitas-komunitas atau golongan-golongan non-Katolik. Jika ini benar bahwa hanya ada satu Tubuh Kristus, pastilah juga hanya ada satu Gereja. Setiap kelompok yang memisahkan diri dari Gereja atau yang sejak semula memang sudah tidak ada di dalam Gereja tidak mungkin dapat menjadi perantara kepada keselamatan. Hanya ada satu Gereja yang memiliki seluruh kepenuhan rahmat dan karenanya menjadi satu-satunya sarana untuk mencapai keselamatan di dunia ini.

Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak ada satu pun kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas non-Katolik yang sepenuhnya non-Katolik atau anti-Katolik. Dengan kata lain, nilai-nilai luhur yang membawa keselamatan, yang secara penuh terkandung dalam Gereja, secara tidak penuh juga ada di dalam mereka.


SAUDARA-SAUDARA YANG MEMISAHKAN DIRI

Kita lihat golongan pertama, yakni mereka - baik Gereja Orthodoks di Timur maupun Gereja Protestan di Barat - yang secara sadar mengambil langkah untuk memisahkan diri dari Gereja.

Pemisahan diri mereka dari Gereja tidak berarti penyangkalan akan seluruh iman dan rahmat dalam Gereja. Walaupun mereka menolak Gereja Katolik, saat pergi mereka membawa serta dan mempertahankan sejumlah besar keyakinan Gereja sebagai keyakinan mereka juga. Oleh karena itu, mereka, secara keseluruhan, tetap mewarisi kekayaan rahmat yang ada dalam Gereja, yang telah diturunkan oleh Kristus melalui para rasul sendiri, misalnya: Sakramen Pembaptisan, yang merupakan rahmat luar biasa yang disediakan Allah bagi penebusan dosa. Walaupun mereka menyangkal ke-Katolik-an mereka, dengan iman dan cara-cara penyembahan yang Katolik mereka tetap bisa memperoleh keselamatan. “Karena mereka ini, yang percaya kepada Kristus dan menerima pembaptisan dengan baik, berada dalam semacam persekutuan dengan Gereja Katolik, walaupun tidak sempurna.” (Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumene, Unitatis Redintegratio, no. 3). Sehingga benarlah sabda Kristus: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini.” (Yoh. 10:16) Di mana pun, apabila Injil Kristus sungguh-sungguh diberitakan dan pembaptisan dilakukan di dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus, rahmat Allah bekerja. Ketika Yohanes berkata kepada Yesus bahwa ia baru saja mencegah seorang yang bukan termasuk bilangan para murid Yesus mengusir setan dalam nama Yesus, Yesus menegurnya, “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.” (Luk. 9:50).

Masalah perpecahan memang sudah ada sejak awal Gereja. Hal ini secara khusus sangat dicela oleh Rasul Paulus (bdk. 1 Kor 1:10-17; 11:17-22). Perpecahan harus dikutuk (anathema). Namun mereka, yang sekarang ini lahir dari persekutuan-persekutuan Kristen yang memisahkan diri dari Gereja dan yang diresapi oleh iman kepada Kristus, tidak dapat dipersalahkan karena dosa perpecahan (Unitatis Redintegratio, no. 3). Perpecahan-perpecahan yang terjadi terkadang timbul dari kesalahan tokoh-tokoh kedua belah pihak. Namun, berbicara mengenai rahmat dan keselamatan, Gereja mempunyai keyakinan teguh bahwa hanya melalui Tubuh Kristus sajalah, corong keselamatan satu-satunya, seseorang dapat mencapai tujuan keabadian, yakni Kristus sendiri, seperti yang ditegaskan oleh salah seorang teolog terkemuka abad ini: “Walaupun mungkin bukan Gereja Katolik yang memberikan kepada mereka roti kehidupan dan rahmat, namun roti Katoliklah yang mereka santap. Dan saat mereka memakannya, mereka, tanpa menyadari ataupun menginginkan, diikutsertakan dalam substansi adikodrati Gereja. Walaupun secara lahiriah mereka terpisah dari Gereja, mereka tetap ada di dalam jiwa Gereja.” (Karl Adam, The Spirit of Catholicism, hal 179).


SAUDARA-SAUDARA LAIN DI LUAR KRISTEN

Kelompok yang kedua adalah mereka yang sejak semula memang tidak berada di dalam Gereja. Apakah para penganut agama non-Kristen bisa diselamatkan? Sebagaimana di dalam diri saudara-saudara Kristen kita yang lain, para penganut agama non-Kristen juga memiliki nilai-nilai luhur atau, menurut istilah Konsili Vatikan Il, berkas-berkas kebenaran yang mempunyai daya penyelamatan.

Paus Paulus VI dalam ensikliknya, yang membahas tentang perwartaan Injil, berjudul Evangelii Nunciandi, yang diterbitkan tidak lama setelah penutupan Konsili Vatikan II, memberikan angin segar bagi evangelisasi dengan mengesampingkan semua prasangka dan tuduhan yang menyakitkan bagi agama-agama non-Kristen. Paus menegaskan, “Gereja menghormati dan menghargai agama-agama non-Kristen sebab mereka merupakan ungkapan hidup dari jiwa kelompok besar umat manusia. Agama-agama ini mengandung gema usaha mencari Allah selama ribuan tahun...” Akan tetapi, untuk tidak membuat orang berpikiran bahwa Gereja menyamakan semua agama, beliau dengan cepat menambahkan bahwa usaha mereka itu merupakan, “...suatu usaha mencari yang tidak pernah lengkap, tapi kerap kali dilakukan dengan ketulusan yang besar dan kelurusan hati.” Dan yang paling penting adalah pernyataan beliau mengenai hubungan mereka dengan Allah, “Agama-agama tadi telah mengajar generasi-generasi umat manusia untuk berdoa.” (Evangelii Nunciandi, no. 53).

Santo Thomas Aquinas, berabad-abad sebelumnya juga telah memberikan pernyataan yang sangat jelas dan cerdas akan penyelenggaraan Allah, “Allah akan memelihara mereka yang tidak terjangkau oleh kabar akan Kristus, entah dengan mengirimkan malaikat-Nya kepada mereka ataupun melalui inspirasi batin.” (De Veritate, XIV, 11, ad 1). Ini luar biasa! Allah memperhatikan semua manusia dengan segala kebijaksanaan-Nya. Kita mengerti sekarang bagaimana manusia, meskipun tidak menerima wahyu Allah sejelas wahyu-Nya kepada bangsa Yahudi dan yang disempurnakan secara penuh dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus, ternyata secara samar-samar dapat menangkap wahyu Allah kepada mereka, entah itu melalui penampakan malaikat Allah ataupun inspirasi di dalam diri mereka yang terdalam! Allah sungguh-sungguh hadir juga dalam diri mereka, meskipun tidak sama dengan kehadiran-Nya dalam diri mereka yang telah dibaptis dalam air dan roh, tetapi Ia hadir secara hakekat dan ya, bahkan - dalam kualitas tertentu - secara rahmat. Gereja sejak semula mengajarkan bahwa rahmat Allah juga bekerja di luar Gereja yang kelihatan. Di sini kita bisa melihat perbedaan yang mendasar antara rumusan 'extra ecclesiam nulla salus' dengan rumusan 'extra ecclesiam nulla conceditur gracia' (di luar Gereja tidak ada rahmat).

Ini menjelaskan banyak hal, tetapi di pihak lain juga membangkitkan satu pertanyaan besar, “Jika hanya di dalam Gereja ada keselamatan, apakah nilai-nilai luhur yang memberikan keselamatan diberikan kepada mereka melalui Gereja? Jika demikian, apakah nilai-nilai luhur itu semata-mata milik Gereja yang 'dipinjamkan' kepada yang lain?”


UNIVERSALITAS DAN EKSKLUSIFITAS GEREJA

Kardinal Newman, seorang eks-pastor Protestan yang akhirnya menjadi Katolik dan yang kemudian bahkan terpilih menjadi salah seorang uskup Gereja Katolik, pernah mengatakan bahwa seandainya Gereja Katolik itu salah, kesalahannya itu pasti tidak kurang daripada kesalahan diabolik (kerasukan setan). Sebaliknya jika ia (Gereja Katolik) benar, pastilah ia didirikan dan diselenggarakan secara ilahi. Klaim Gereja akan dirinya sendiri memang sangat tinggi. Ia mengklaim dirinya tidak kurang daripada Tubuh Kristus sendiri, pemenuhan Kerajaan Allah di dunia, Gereja Kemanusiaan (Church of Humanity) yang memiliki kepenuhan nilai-nilai religius, institusi eksklusif tempat semua orang dapat memperoleh keselamatan. Ia tidak dapat mengakui bahwa orang dapat diselamatkan dengan menjadi anggota kelompok lain di luar Gereja primer, Gereja yang didirikan oleh Kristus sendiri.

Sesungguhnya kita harus mengerti bahwa Gereja, dalam hal ini, melihat semuanya di dalam terang universalitas dan keabadian, bukan semata-mata paham 'kemungkinan'. Memang, seperti telah diterangkan di atas, Gereja selalu menghargai kepercayaan dari kelompok lain bahkan mengakui bahwa banyak nilai-nilai yang terkandung di dalam kelompok-kelompok itu sungguh-sungguh mengandung unsur pewahyuan ilahi, tetapi yang - sekali lagi - tidak pernah lengkap. Dari sini Gereja melihat adanya bahaya yang sangat besar dari sistem-sistem religius ini. Gereja mengingatkan bahwa tanpa pengenalan akan Kristus mereka akan cenderung lebih mudah ditipu dan disesatkan oleh iblis, misalnya melalui: takhyul, kepercayaan kepada barang-barang keramat (jimat, pembawa keberuntungan, dan lain-lain), sihir, perdukunan, dan sebagainya.

Di atas, saya telah memakai gambaran bahtera untuk Gereja dan sekarang saya akan melanjutkan pemakaian gambaran itu. Kita semua harus mengarungi samudera yang amat luas untuk mencapai keselamatan dan satu-satunya sarana yang memungkinkan kita sampai kepada tujuan adalah bahtera Gereja. Di saat kapal-kapal baru yang lebih baru dan canggih silih berganti terlihat mendahului bahtera ini, ia tetap bergerak dengan lambat. Akan tetapi, dalam perjalanannya selanjutnya ia mendapati bahwa semua kapal yang pernah mendahuluinya ternyata tidak pernah berhasil mencapai tujuan mereka. Badai samudera telah menelan mereka semua. Di samping itu, ada padanya penumpang-penumpang, tentu saja terbagi dalam kelas-kelas yang berbeda. Ada di antara mereka yang memilih bernaung di dalamnya dengan aman dan terlindung. Ada pula yang memilih menahan dingin dan menanggung risiko tercebur ke dalam laut dengan menumpang di atas geladaknya. Bahkan ada yang memilih hanya bergantung pada sisi-sisi badannya tanpa tempat untuk menginjakkan kaki-kaki mereka. Semuanya adalah penumpang bahtera ini, tetapi siapa yang akan lebih mudah bertahan di dalam badai?

Memang paham universalitas Gereja ini sering disalahtafsirkan sebagai suatu bentuk fanatisme sempit (seperti yang saya lukiskan pada awal tulisan ini), namun saya mengajak Anda dan siapa pun yang membaca tulisan saya ini untuk benar-benar mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Gereja Katolik yang sejati (dokumen-dokumen Gereja dan ajaran-ajaran para Bapa Gereja). Setelah itu Anda bisa memutuskan sendiri, apakah ini kebenaran atau hanya semata-mata bidaah terbesar yang pernah ada.

sumber : “Vacare Deo” edisi Agustus / Tahun V / 2003; Media Pengajaran Komunitas Tritunggal Mahakudus; Pertapaan Shanti Bhuana

1 comment:

  1. Markus 12:28-34.. dialog Yesus dengan Ahli Taurat, tentang hukum yang paling utama.

    Dalam dialog tersebut Yesus tidak mengungkapkan bahwa dirinya adalah Allah juga, bahkan membenarkan iman ahli taurat tersebut dengan mengatakan bahwa "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!"..

    Apabila ahli taurat tersebut tidak mengimani Yesus adalah Allah, tentu kita tidak dapat menyalahkan, karena dia sendiri sudah dibenarkan imannya oleh Yesus.

    Apakah pada saat itu Yesus belum menjelaskan bahwa dirinya adalah Allah juga ? Tepatnya pada peristiwa apa Yesus mulai menjelaskan bahwa dirinya adalah Allah ?

    Terimakasih.

    ReplyDelete