June 25, 2008

Simbol-Simbol Penulis Injil

oleh: P. William P. Saunders *

St Matius
St Markus
St Lukas
St Yohanes

Para penulis Injil memiliki simbol-simbol - manusia, singa, lembu dan burung rajawali - yang saya pikir menunjuk pada Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Mengapakah dipergunakan simbol-simbol ini?

~ seorang pembaca di North Carolina

 

Menurut tradisi, keempat penulis Injil dilambangkan dengan simbol-simbol berikut: St Matius, manusia ilahi; St Markus, singa bersayap; St Lukas, lembu bersayap; dan St Yohanes, rajawali yang terbang tinggi. Simbol-simbol ini diambil pertama-tama dari Nabi Yehezkiel (1:1-21), “Pada tahun ketiga puluh, dalam bulan yang keempat, pada tanggal lima bulan itu, ketika aku bersama-sama dengan para buangan berada di tepi sungai Kebar, terbukalah langit dan aku melihat penglihatan-penglihatan tentang Allah…. Lalu aku melihat, sungguh, angin badai bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia, tetapi masing-masing mempunyai empat muka dan pada masing-masing ada pula empat sayap. Kaki mereka adalah lurus dan telapak kaki mereka seperti kuku anak lembu; kaki-kaki ini mengkilap seperti tembaga yang baru digosok. Muka mereka kelihatan begini: Keempatnya mempunyai muka manusia di depan, muka singa di sebelah kanan, muka lembu di sebelah kiri, dan muka rajawali di belakang….”

 

Dalam Kitab Wahyu (4:4-8), kita mendapati gambaran yang serupa, “Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka. Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah. Dan di hadapan takhta itu ada lautan kaca bagaikan kristal; di tengah-tengah takhta itu dan di sekelilingnya ada empat makhluk penuh dengan mata, di sebelah muka dan di sebelah belakang. Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang. Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: `Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.'”

 

Gambaran-gambaran ini, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menggerakkan St Ireneus (140-202) untuk menghubungkannya dengan keempat penulis Injil oleh karena isi dari Injil mereka dan fokus istimewanya mengenai Kristus. Dalam risalat “Adversus Hæreses” (“Melawan Bidaah,” XI), St Ireneus mengemukakan, “`Makhluk hidup yang pertama menyerupai seekor singa' melambangkan karya-Nya yang berdaya kuasa, kepemimpinan-Nya, dan kekuasaan rajawi-Nya; `kedua menyerupai seekor lembu,' melambangkan kurban-Nya dan jabatan imamat-Nya; tetapi `yang ketiga memiliki, seolah, rupa seorang manusia,' - suatu gambaran yang jelas akan kedatangan-Nya sebagai manusia; `yang keempat menyerupai seekor rajawali terbang,' menunjukkan karunia Roh yang terbang menaungi seluruh Gereja dengan sayap-sayapnya. Dan karena itu, Injil sesuai dengan gambaran-gambaran ini, di mana Kristus Yesus bertahta.”

 

Secara lebih spesifik, St Ireneus menjelaskan simbol-simbol itu sebagai berikut: St Matius dilambangkan dengan seorang manusia ilahi sebab Injil Matius menekankan kedatangan Yesus ke dalam dunia ini, pertama-tama dengan menyajikan silsilah keluarga-Nya - “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat 1:1) - dan inkarnasi serta kelahiran-Nya - “Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut...” (Mat 1:18). “Maka inilah,” menurut St Ireneus, “Injil kemanusiaan-Nya; oleh sebab itulah juga, karaketer dari seorang manusia yang lemah lembut dan rendah hati terus dipelihara sepanjang keseluruhan Injil.”

 

St Markus, dilambangkan dengan singa bersayap, menunjuk pada Nabi Yesaya kala ia memulai Injilnya, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah. Seperti ada tertulis dalam kitab nabi Yesaya: `Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan bagi-Mu; ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.'” “Suara orang yang berseru-seru di padang gurun” mengingatkan orang pada auman singa, dan roh nubuat yang turun ke bumi mengingatkan orang akan “pesan bersayap.” Singa juga melambangkan jabatan rajawi, suatu simbol yang tepat bagi Putra Allah.

 

Lembu bersayap melambangkan St Lukas. Lembu dipergunakan dalam kurban-kurban di Bait Suci. Sebagai contoh, ketika Tabut Allah dibawa ke Yerusalem, apabila pengangkat-pengangkat tabut TUHAN itu melangkah maju enam langkah, dikorbankanlah seekor lembu dan seekor anak lembu gemukan (2 Sam 6). St Lukas memulai Injilnya dengan pemaklumkan kelahiran St Yohanes Pembaptis kepada ayahnya, yakni seorang imam yang bernama Zakharia, yang sedang mempersembahkan kurban di Bait Suci (Luk 1). St Lukas juga mencatat kisah tentang Anak yang Hilang, di mana anak lembu tambun disembelih, bukan hanya untuk merayakan pulangnya si anak yang hilang, melainkan juga untuk menggambarkan sukacita yang pastilah kita alami dalam memperoleh rekonsiliasi dengan Bapa melalui Juruselamat kita yang Mahabelas-kasih, yang sebagai Imam mempersembahkan DiriNya Sendiri sebagai kurban demi pengampunan dosa-dosa kita. Sebab itu, lembu bersayap mengingatkan kita akan karakter imamat Tuhan kita dan kurban-Nya demi penebusan kita.

 

Yang terakhir, St Yohanes dilambangkan dengan rajawali terbang. Injil Yohanes dimulai dengan prolog yang “tinggi” dan “melambung” guna menembus masuk hingga kekedalaman yang paling dalam dari misteri-misteri Tuhan, hubungan antara Bapa dan Putra, dan inkarnasi: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:1-3) dan “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14). Injil St Yohanes, tidak seperti Injil-Injil lainnya, membawa pembaca masuk ke dalam ajaran-ajaran paling mendalam dari Tuhan kita, seperti percakapan panjang antara Yesus dengan Nikodemus, juga dengan perempuan Samaria; ajaran-ajaran indah mengenai Roti Hidup dan Gembala Yang Baik. Yesus juga menyebut DiriNya sebagai “jalan, kebenaran dan hidup,” dan siapa pun yang sungguh percaya kepada-Nya akan dibangkitkan ke kehidupan kekal bersama-Nya.

 

Walau masing-masing dari simbol-simbol di atas berfokus pada tema-tema khusus dari masing-masing Injil, hanya dengan memeluk ke empat Injil seluruhnya sajalah kita dapat berjumpa sepenuhnya dengan Tuhan kita.

 

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.

 

sumber : “Straight Answers: The Symbolism of the Gospel Writers” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

 

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

 


Kitab-Kitab yang Hilang dari Kitab Suci

oleh: P. William P. Saunders *
Kisah Tobia dalam Kitab Tobit

Minggu lalu, seorang teman Kristen Baptis datang berkunjung dan bersama saya pergi ke Misa. Bacaan pertama diambil dari Kitab Kedua Makabe. Belum pernah ia mendengar kitab itu sebelumnya. Saya mengatakan, “Kitab itu ada dalam Kitab Suci.” Jawabnya, “Tetapi, tidak ada dalam Alkitab-ku.” Apakah memang ada perbedaan?

~ seorang pembaca di Gordonsville

 

Ya, memang ada perbedaan antara Kitab Suci Katolik dan Kitab Suci Protestan. Sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, orang pertama-tama harus ingat bahwa Allah yang Mahakuasa tidak pernah menyerahkan suatu Kitab Suci yang lengkap kepada siapa pun dan mengatakan, “Ini, ambillah.” Melainkan, selama berabad-abad sejarah keselamatan, Roh Kudus mengilhami penulis-penulis Kitab Suci agar menuliskan wahyu-wahyu Tuhan kepada manusia. Dengan berlalunya waktu, Gereja menyusun kitab-kitab ini menjadi suatu Kanon - suatu daftar resmi Kitab Suci - dan memaklumkannya sebagai “Sabda Allah”.

 

Kitab-kitab Perjanjian Lama ditulis kemungkinan antara tahun 1000-100 SM, dan biasanya diklasifikasikan menjadi empat kelompok: Kitab Pentateukh (atau Taurat, yaitu kelima kitab pertama dari Perjanjian Lama kita); Kitab Sejarah; Kitab Para Nabi; Kitab Puitis dan Hikmat (lihat “Mengenal Kitab Suci Katolik”). Kitab Makabe I dan II termasuk dalam kelompok Kitab Sejarah, ditulis antara tahun 150-100 SM. Bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri, kita temukan referensi-referensi bacaan dari Kitab Pentateukh dan Kitab Para Nabi dalam kebaktian di rumah-rumah ibadat (mis Luk 4:16-19; Kis 13:15). Setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 M, para rabi Yahudi mengadakan Konsili Jamnia (90-100) di mana mereka menetapkan kitab-kitab mana saja yang mereka anggap sebagai Kitab Suci mereka. Pada masa itu, masih terdapat kontroversi atas apa yang disebut sebagai ketujuh “Kitab Deuterokanonika” - yaitu Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II - meskipun kitab-kitab tersebut dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian, dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM). Sebagian dari alasan kontroversi itu adalah karena kitab-kitab tersebut merupakan tulisan-tulisan terakhir Perjanjian Lama dan ditulis dalam bahasa Yunani, bukan bahasa Ibrani; sementara kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya - “Kitab-kitab Protokanonik” - lebih tua umurnya dan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Para ahli modern mencermati bahwa Jamnia tidak mengeluarkan satu kitab pun secara definitif; kanon Yahudi yang baku baru muncul sekurang-kurangnya 100 tahun kemudian, dan bahkan setelah itu, kitab-kitab yang lain - termasuk kitab-kitab Deuterokanonika - dibaca dan dihormati. Walau demikian, banyak ahli Kitab Suci tak memiliki keraguan sedikit pun bahwa Gereja Apostolik menerima kitab-kitab Deuterokanonika sebagai bagian dari kanon Kitab Sucinya. Misalnya, Origen (wafat 245) menegaskan penggunaan kitab-kitab tersebut di kalangan umat beriman Kristiani meskipun sebagian dari para pemimpin Yahudi tidak secara resmi menerimanya.

 

Sementara itu, kitab-kitab Perjanjian Baru muncul antara masa wafat Kristus dan akhir abad pertama. (Penelitian terbaru atas Gulungan Kitab Laut Mati (Dead Sea Scrolls) oleh beberapa ahli memperkirakan tulisan-tulisan paling awal dibuat sekitar masa wafat Kristus, sementara sebagian besar ahli lainnya memperkirakan tulisan berasal dari antara tahun 50 dan 100 M). Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, Gereja berusaha menetapkan tulisan-tulisan mana saja dari Perjanjian Baru yang sungguh dianggap sebagai diilhami Roh Kudus dan merupakan ajaran otentik Tuhan kita.

 

St Atanasius dalam tulisannya Paschal Epistle (367) mengajukan daftar lengkap ke-27 Kitab Perjanjian Baru dengan mengatakan, “Inilah sumber-sumber keselamatan, sebab mereka yang haus dapat mereguk dalam-dalam sabda yang ditemukan di sini. Di sini sajalah ajaran-ajaran kesalehan dicatat. Janganlah seorang pun menambahkan atau mengurangkan sesuatu pun darinya.” Daftar ke-27 kitab bersama ke-46 kitab Perjanjian Lama (termasuk kitab-kitab Deuterokanonika) disahkan sebagai Kanon resmi Kitab Suci bagi Gereja Katolik oleh Sinode Hippo (393), Karthago I & II (397 dan 419). Surat amanat Paus St Inosensius I pada tahun 405 juga secara resmi mencantumkan daftar kitab-kitab ini.

 

Meski muncul beberapa diskusi mengenai dimasukkannya kitab-kitab lain ke dalam kanon Kitab Suci Gereja setelah masa ini, Konsili Florence (1442) secara definitif menetapkan daftar resmi 46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.

 

Dengan latar belakang ini, kita sekarang dapat melanjutkan dengan mengapa Kitab Suci Protestan memiliki lebih sedikit kitab daripada Kitab Suci Katolik. Pada tahun 1534, Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman. Ia mengelompokkan ketujuh kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II) dari Perjanjian Lama sebagai “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah kitab-kitab yang tidak sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.” Luther juga mengkategorikan kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai: kitab-kitab tentang karya keselamatan Allah (Yohanes, Roma, Galatia, Efesus, Petrus I dan Yohanes I); kitab-kitab kanonik lainnya (Matius, Markus, Lukas, Kisah Para Rasul, epistula-epistula Paulus yang lainnya, Petrus II dan Yohanes II); dan kitab-kitab non-kanonik (Ibrani, Yakobus, Yudas, Wahyu dan kitab-kitab Perjanjian Lama). Banyak sejarahwan Gereja berspekulasi bahwa Luther sebenarnya siap untuk mengeluarkan apa yang ia sebut sebagai “kitab-kitab non-kanonik” dari Perjanjian Baru, tetapi tidak melakukannya karena pertimbangan politis. Mengapa Luther mengambil tindakan yang demikian, sulit dikatakan. Sebagian ahli percaya Luther ingin kembali ke “iman primitif” dan sebab itu menerima hanya kitab-kitab Perjanjian Lama yang aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani; sebagian ahli lainnya berspekulasi bahwa ia hendak menyingkirkan semua kitab yang tidak sesuai dengan teologinya sendiri. Namun demikian, tindakannya ini mendatangkan konsekuensi permanen dengan menghilangkan ketujuh kitab Deuterokanonika Perjanjian Lama dari Kitab Suci Protestan.

 

39 Pasal Agama (1563) Gereja Inggris memaklumkan bahwa kitab-kitab Deuterokanonika ini dapat dibaca sebagai “teladan hidup dan pedoman perilaku,” walau kitab-kitab tersebut tidak boleh dipergunakan “untuk menetapkan suatu ajaran” (Pasal VI). Sebab itu, Kitab Suci versi King James (1611) menempatkan kitab-kitab tersebut di antara Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. John Lightfoot (1643) mengkritik penataan ini sebab ia berpendapat “sampah Apocrypha” dapat dianggap sebagai jembatan di antara kedua perjanjian. The Westminster Confession (1647) mendekritkan bahwa kitab-kitab tersebut, “bukan merupakan ilham ilahi, dan bukan bagian dari kanon Kitab Suci, dan karena itu tidak memiliki otoritas dalam Gereja Tuhan; dengan cara apapun tak dapat disetujui atau dipergunakan selain sebagai tulisan-tulisan manusia.” The British and Foreign Bible Society pada tahun 1827 memutuskan untuk menyingkirkan kitab-kitab ini dari cetakan selanjutnya, menyebut kitab-kitab ini sebagai “apocryphal.”

 

Dalam menanggapi kaum Reformasi Protestan, Konsili Trente mengulang kembali kanon Florence dalam Dekrit mengenai Kitab Suci dan Tradisi yang Wajib Diterima (1546) dan mendekritkan bahwa kitab-kitab ini hendaknya diperlakukan “dengan devosi dan penghormatan yang sejajar.” Katekismus Gereja Katolik mengulangi daftar kitab yang sama dan lagi menegaskan Tradisi Apostolik mengenai kanon Kitab Suci.

 

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

 

sumber : “Straight Answers: The Missing Books of the Bible” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

 

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Proses Seseorang Diangkat Menjadi Santa/Santo

oleh: P. William P. Saunders *



Baru-baru ini, Paus memaklumkan Edith Stein sebagai seorang santa. Mohon dijelaskan mengenai proses seseorang dimaklumkan sebagai seorang santa / santo.

~ seorang pembaca di Falls Church

 

Proses resmi untuk memaklumkan seseorang sebagai seorang santa / santo disebut KANONISASI. Sebelum tahun 1234, Gereja tidak memiliki suatu prosedur resmi yang demikian. Biasanya, para martir dan mereka yang dianggap kudus, dimaklumkan sebagai santa / santo oleh Gereja pada saat wafat mereka. Sebelum disahkannya kekristenan pada tahun 313 oleh Kaisar Konstantinus, makam para martir, misalnya makam St Petrus, diberi tanda dan dijadikan tempat ziarah. Peringatan wafat mereka dikenangkan dan dicantumkan dalam kalender Gereja setempat. Setelah disahkannya kekristenan, seringkali basilika atau kapel dibangun di atas makam-makam tersebut.

 

Dengan berjalannya waktu, Gereja melihat pentingnya memperketat proses kanonisasi. Sebab, sayangnya, seringkali tokoh-tokoh legenda dihormati sebagai santa / santo. Atau, pernah terjadi, Gereja lokal di Swedia mengkanonisasi seorang biarawan pemabuk yang tewas dalam suatu pertikaian karena mabuk - sulit dipercaya bahwa hal tersebut dapat dijadikan bukti kemartiran. Karenanya, pada tahun 1234, Paus Gregorius IX menetapkan prosedur untuk menyelidiki hidup calon santa / santo dan kemungkinan adanya mukjizat yang terjadi. Pada tahun 1588, Paus Sixtus V mempercayakan kepada Kongregasi Ritus (yang kelak diberi nama Kongregasi untuk Masalah Santa / Santo) untuk mengawasi keseluruhan proses. Dimulai dengan Paus Urbanus VIII pada tahun 1634, berbagai Paus telah merevisi dan memperbaharui ketentuan-ketentuan dan prosedur-prosedur kanonisasi.

 

Sekarang ini, prosedur berlangsung sebagai berikut: Apabila seorang yang “dianggap kudus” atau “dianggap martir” meninggal dunia, maka biasanya Uskup Diosesan memprakarsai proses penyelidikan. Salah satu unsur penyelidikan adalah apakah suatu permohonan khusus atau mukjizat telah terjadi melalui perantaraan calon santa / santo ini. Gereja juga akan menyelidiki tulisan-tulisan calon santa / santo guna melihat apakah mereka setia pada “ajaran yang murni,” yang pada intinya tidak didapati adanya suatu kesesatan atau suatu yang bertentangan dengan iman. Segala informasi ini dikumpulkan, dan kemudian suatu transumptum, yaitu salinan yang sebenarnya, yang disahkan dan dimeterai, diserahkan kepada Kongregasi untuk Masalah Santa / Santo.

 

Begitu transumptum telah diterima oleh Kongregasi, penyelidikan lebih lanjut dilaksanakan. Jika calon santa / santo adalah seorang martir, Kongregasi menentukan apakah ia wafat karena iman dan sungguh mempersembahkan hidupnya sebagai kurban cinta kepada Kristus dan Gereja. Dalam perkara-perkara lainnya, Kongregasi memeriksa apakah calon digerakkan oleh belas kasih yang istimewa kepada sesama dan mengamalkan keutamaan-keutamaan dalam tindakan yang menunjukkan keteladanan dan kegagahan. Sepanjang proses penyelidikan ini, “promotor iman” atau pendukung setan, mengajukan keberatan-keberatan dan ketidakpercayaan yang harus berhasil disanggah oleh Kongregasi. Begitu seorang calon dimaklumkan sebagai hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan yang gagah berani, maka calon dimaklumkan sebagai VENERABILIS.

 

Proses selanjutnya adalah BEATIFIKASI. Seorang martir dapat dibeatifikasi dan dimaklumkan sebagai “Beata / Beato” dengan keutamaan kemartiran itu sendiri. Di luar kemartiran, calon harus diperlengkapi dengan suatu mukjizat yang terjadi dengan perantaraannya. Dalam memastikan kebenaran mukjizat, Gereja melihat apakah Tuhan sungguh melakukan mukjizat dan apakah mukjizat tersebut merupakan jawab atas permohonan yang disampaikan dengan perantaraan calon santa / santo. Begitu dibeatifikasi, calon santa / santo boleh dihormati, tetapi terbatas pada suatu kota, keuskupan, wilayah atau kelompok religius tertentu. Selanjutnya, Paus akan mengesahkan suatu doa khusus, atau Misa atau Ofisi Ilahi yang pantas demi menghormati Beata / Beato yang bersangkutan.

 

Setelah beatifikasi, suatu mukjizat lain masih diperlukan untuk kanonisasi dan memaklumkan secara resmi seseorang sebagai seorang santa / santo.           

 

Baru-baru ini, kita menyaksikan keseluruhan proses di atas dalam kanonisasi Edith Stein pada tanggal 11 Oktober 1998, seorang biarawati Karmel yang mengambil nama “Sr. Teresa Benedikta dari Salib.” Beberapa pokok penting dalam hidupnya: Edith Stein dilahirkan di Breslau, Jerman, mengambil kuliah sekaligus di Universitas Breslau dan Universitas Gottingen, menjadi asisten pengajar dari filsuf besar Edmund Husserl, dan menerima gelar Doktor Filsafat dari Universitas Freiburg pada tahun 1917. Setelah melalui pergulatan dengan iman Yahudi yang dianutnya dan ditarik pada iman Katolik, ia dibaptis dan diterima ke dalam pelukan Gereja Katolik pada tanggal 1 Januari 1922. Edith Stein memberikan pengajaran dalam berbagai kapasitas, hingga pada tahun 1933 pemerintahan Nazi mengeluarkan larangan mengajar bagi semua orang Yahudi. Ia kemudian masuk biara Karmel di Cologne, Jerman pada tahun 1933, tetapi dipindahkan ke biara di Echt, Belanda pada tahun 1938  agar tak membahayakan para biarawati lainnya. Akhirnya, pada tanggal 2 Agustus 1942, Sr Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo karena ia seorang biarawati Katolik sekaligus karena ia seorang keturunan Yahudi. Ia dipenjarakan di Auschwitz dan dihukum mati dengan gas beracun pada tanggal 9 Agustus 1942.

 

Paus Yohanes Paulus II memaklumkan beatifikasinya pada tanggal 1 Mei 1987, menyatakannya sebagai martir iman. Yang menarik, saat para biarawati membersihkan biliknya di biara, mereka menemukan suatu gambar kecil dengan tulisan tangan Sr Teresa Benedikta dibelakangnya, yang berbunyi, “Aku rindu mempersembahkan hidupku sebagai kurban demi keselamatan bangsa Yahudi.” Sungguh, ia telah mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan.

 

Mukjizat melalui perantaraannya menyangkut seorang gadis kecil bernama Teresia Benedikta, yang pada tahun 1987 menderita penyakit Tylenol pada tingkat yang mematikan, yang melumpuhkan fungsi levernya. Kondisi gadis kecil itu terus memburuk. (Ayah anak itu, seorang imam Melkite, melihat dua `kebetulan': Pertama, tanggal tahbisannya bertepatan dengan tanggal wafat Edith Stein. Kedua, setelah mempelajari dengan seksama hidup dan karya Edith Stein, maka ia dan isterinya memutuskan untuk menamai puteri mereka yang baru lahir dengan nama Teresia Benedikta.) Setelah berseru memohon perantaraan St Edith Stein / Teresa Benedikta, gadis kecil itu sekonyong-konyong sembuh secara ajaib. Pada tahun 1998, setelah mengadakan pemeriksaan yang seksama, Kongregasi untuk Masalah Santa / Santo menyatakan bahwa penyembuhan tersebut adalah di luar peristiwa kodrati yang dapat dijelaskan dan dengan demikian merupakan peristiwa adikodrati yang terjadi melalui perantaraan Beata Edith Stein. Oleh sebab ia adalah seorang martir dan sekarang menjadi perantara dari suatu mukjizat penyembuhan, maka Paus Yohanes Paulus II memaklumkan Beata Edith Stein / Teresa Benedikta sebagai santa.

 

Hendaknya kita memahami bahwa proses yang rumit dan seksama ini dilakukan mengingat pentingnya peran para santa / santo sebagai teladan bagi kita, umat beriman yang sekarang sedang berjuang agar dapat masuk dalam Kerajaan Allah dan melihat kegenapan dari kerinduan mereka itu di surga. Vatican II memaklumkan, “Dalam hidup mereka [Gereja di surga, para kudus] yang sama-sama manusia seperti kita, tetapi secara lebih sempurna diubah menjadi serupa dengan citra Kristus, Allah secara hidup-hidup menampakkan kehadiran serta wajah-Nya. Dalam diri mereka Ia menyapa kita, dan menyampaikan kepada kita tanda Kerajaan-Nya. Kita yang mempunyai banyak saksi ibarat awan yang meliputi kita dan yang menghadapi kesaksian sejelas itu tentang kebenaran Injil, kuat-kuat tertarik kepadanya. Namun kita merayakan kenangan para penghuni sorga bukan hanya karena teladan mereka. Melainkan lebih supaya persatuan segenap Gereja dalam Roh diteguhkan dengan mengamalkan cinta kasih persaudaraan.” (“Lumen Gentium,” No. 50).

 

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/1x1.gif

sumber : “Straight Answers: The Process of Becoming a Saint” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1998 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/1x1.gif

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Dalam Bimbingan Roh Kudus

oleh: P. Victor Hoagland, C.P.
berdasarkan Katekismus Gereja Katolik 2568-2589
Pentakosta

Tuhan memberikan kepada semua orang karunia doa. Tentu saja, kita harus menerima karunia ini serta mempergunakannya dengan setia. Juga kita harus senantiasa belajar berdoa.

 

Bagaimana kita dapat senantiasa belajar berdoa? Melalui Roh Kudus.

 

Roh Kudus: Pengajar Doa

 

Roh Kudus adalah pengajar doa yang hebat. Pada hari Pentakosta, menurut Kisah Para Rasul, Roh Kudus mengumpulkan para pengikut Yesus yang pertama dalam suatu persekutuan doa. Roh Kudus mengajar mereka untuk senantiasa ingat akan Yesus, mengingat kembali Kitab-Kitab Yahudi, memecahkan roti Ekaristi, mengenali ciptaan baru dalam pembaptisan. “Roh membantu kita dalam kelemahan kita,” demikian kata St. Paulus, “sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa…” (Roma 8:26).

 

Sekarang Roh Kudus melaksanakan perannya itu di dalam diri kita juga. Roh Kudus adalah “Guru Besar doa Kristiani”, pembimbing serta pelatih kita. Kita belajar berdoa dari ilham Roh Kudus.

 

Berdoa lewat Perjanjian Lama: para Tokoh dan para Nabi

 

Salah satu cara Roh Kudus mengajar kita berdoa adalah melalui Perjanjian Lama yang, bersama dengan Perjanjian Baru, merupakan buku doa Roh Kudus. Para tokoh serta para nabi, sejarah bangsa Israel, doa-doa mashyur yang kita sebut Mazmur, mengajar kita berdoa. Yesus Sendiri belajar berdoa lewat Kita-kitab Yahudi dan doa-Nya sendiri mencerminkan tradisi mereka.

 

Mari kita lihat para tokoh Perjanjian Lama, tokoh-tokoh besar seperti Habel dan Nuh, yang diilhami oleh Roh Kudus. Bagaimana mereka berdoa? Hidup menyatu dengan alam serta dengan makhluk-makhluk hidup di dalamnya, mereka melihat karunia Tuhan dalam kawanan ternak mereka, hasil panen di ladang mereka, langit yang mengirimkan hujan. Bagi mereka, alam semesta ciptaan Tuhan adalah karunia, yang tidak hanya untuk dimanfaatkan, tetapi juga untuk dikagumi keindahannya. Dengan menghargai karya ciptaan, mereka belajar mengenal Tuhan serta memuji Sang Pencipta.

 

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/Symb075c00b7011833009900.gifMenghargai Ciptaan Tuhan

 

Bukankah Nuh menghargai ciptaan Tuhan ketika ia membangun bahteranya? Ia membangun bahtera bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi untuk menyelamatkan makhluk-makhluk hidup lainnya yang terancam punah karena air bah. Doa Nuh serupa dengan doa-doa para tokoh lainnya; ia sangat menghargai karya ciptaan Tuhan. Dalam Perjanjian Lama kita masih dapat mendengar gema doa penyembahan mereka yang bersumber pada puji-pujian karya ciptaan: “Pujilah Tuhan, hai matahari dan bulan, segala bintang di langit, api dan panas terik, unggas di udara, segala binatang buas dan ternak di bumi, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya.” (Daniel 3, 57)

 

Memanglah benar bahwa kita dapat mengenal Pencipta dari apa yang Ia ciptakan. Jika kita mengamati karya ciptaan Tuhan, dan memeliharanya dengan baik, serta mengagumi keindahannya, kita terdorong untuk berdoa dengan baik. Karya ciptaan Tuhan, begitu beraneka-ragam, begitu memikat dengan warna-warni kemolekannya yang mempesona, akan mengangkat hatimu kepada Sumber segala keindahan.  

 

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/Symb075c00b7011833009900.gifMenyambut Gembira Kehadiran Tuhan Hari demi Hari

 

Melalui Abraham, Roh Kudus mengajarkan kepada kita cara lain untuk berdoa. Tuhan meminta Abraham untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke suatu tempat yang akan ditunjukkan Tuhan kepadanya. Hidupnya adalah suatu perjalanan panjang dari hari ke hari. Di segala tempat di mana ia singgah, Abraham membangun altar untuk Tuhan, sebagai pengingat bahwa Tuhan menyertai perjalanannya ke tempat yang belum diketahuinya. Dari hari ke hari ia berdoa dan menyambut gembira apa yang diberikan Tuhan.

 

Suatu hari, demikian menurut Kitab Suci, Abraham menyambut tiga tamu asing yang datang pada waktu hari panas terik ke kemahnya (Kej 18, 1-16). Dengan menyambut mereka, ia menyambut Tuhan, demikian dikisahkan, dan menerima berkat. Bukankah Roh Kudus mengajarkan kepada kita melalui teladan Abraham bahwa kita harus senantiasa menyambut gembira kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita hari demi hari dengan doa, meskipun kehadiran-Nya tidak selalu nampak jelas?

 

Doa harian umat beriman kepada Tuhan senantiasa dianjurkan dalam Perjanjian Lama. Dengarlah ayat-ayat mazmur berikut ini:

 

“Setiap hari aku hendak memuji Engkau,

dan hendak memuliakan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya.” (Mzm 145)

 

“Pada hari aku berseru, Engkaupun menjawab aku;

Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku.” (Mzm 138)

 

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/Symb075c00b7011833009900.gifBergulat dengan Tuhan, Berdoa bagi Orang Lain, Berdoa bagi Sesama

 

Tokoh-tokoh Kitab Suci lainnya memberikan pelajaran-pelajaran lain dalam berdoa. Yakub bergulat dalam gelap dengan seorang asing yang misterius. Doa kita kadang-kadang merupakan suatu pergulatan dengan Tuhan sementara kita bimbang dan ragu (Kej 32, 22-32).

 

Doa Musa adalah doa perantara. Musa mendaki gunung dan memohon kepada Tuhan bagi umatnya yang menyimpang, yang lapar dan yang patah semangat. Dan Tuhan mendengarkan doa-doanya. Sama seperti Musa, kita harus berdoa dalam semangat kesetiakawanan dengan mereka yang ada di sekitar kita.

 

“Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN…

Dengan kasih setia-Mu Engkau menuntun umat yang telah Kautebus;

dengan kekuatan-Mu Engkau membimbingnya ke tempat kediaman-Mu yang kudus.”

(Kel 15: 11,13)

 

Raja Daud, yang doa-doanya yang termashyur dicatat dalam Kitab Mazmur, memuji serta memohon dengan khusuk kepada Tuhan yang dilihatnya hadir dalam kenisah, dalam Kota Suci, dalam kesejahteraan bangsanya. Sama seperti Daud, kita berdoa kepada Tuhan, yang telah mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus, dan yang kehadiran-Nya kita rayakan dengan sukacita dalam Gereja-Nya dan dalam masyarakat.

 

"Dengan nyaring aku berseru kepada TUHAN,

dan Ia menjawab aku dari gunung-Nya yang kudus.

Aku membaringkan diri, lalu tidur;

aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!" (Mzm 3: 4-5)

 

Resapkanlah doa-doa kesaksian yang sungguh luar biasa itu dan camkanlah apa yang mereka ajarkan. Roh Kudus mengajar kita berdoa melalui mereka. Dengan hidup menurut teladan mereka, kehidupan doa kita sendiri akan tumbuh serta bertambah kuat.

 

sumber : "Taught by the Holy Spirit" by Fr. Victor Hoagland, C.P.; Copyright 1997-1999 - The Passionist Missionaries; www.cptryon.org/prayer

 

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Victor Hoagland, CP.”

 


Pentakosta: Turunnya Roh Kudus ke Atas Gereja

oleh: P. Yosef Bukubala, SVD



Hari Raya Pentakosta mengingatkan kita akan turunnya Roh Kudus yang dijanjikan Yesus atas Gereja yang masih muda, yaitu atas para murid bersama Bunda Maria, yang dengan tekun, sehati dalam doa bersama menantikan kedatangan-Nya, sesudah la naik ke surga.

 

Ketika tiba hari Pentakosta itu, turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah di mana mereka duduk. Lalu tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus.

 

Apa arti perayaan Pentakosta bagi kehidupan kita yang merayakannya? Bagi kita, turunnya Roh Kudus dan kadar daya kuasa-Nya bagi hidup kita dalam Gereja, bergantung dari persatuan kita dengan Yesus Kristus dalam doa, Ekaristi dan karya nyata. Karena itu kita harus sungguh-sungguh hidup dari kuasa karya Roh Kudus, di mana Kristus dalam RohNya itu meraja di dalam hidup kita dan kita hidup dalam sikap taat dan setia kepada-Nya. Maka, di sanalah akan terjadi

perubahan dan pembaharuan dalam hidup bersama sebagai suatu persekutuan umat Allah dalam Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Roh Kudus pula memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran, yaitu mengajarkan kita bagaimana seharusnya kita hidup dan melaksanakan kehendak Bapa di surga.

 

Dalam hubungan dengan peranan Roh Kudus dalam Gereja, perlu dijelaskan beberapa istilah yang dewasa ini sering disalah-artikan:

 

KHARISMA. Kharisma sebenarnya berarti: karunia / anugerah Roh Kudus. Tetapi tidak semua rahmat Roh Kudus disebut kharisma. Kharisma merupakan suatu rahmat istimewa yang menonjol pada diri seorang yang memilikinya. Kharisma bukan pameran rahmat, melainkan diberikan oleh Tuhan demi pembangunan / pengembangan Gereja, (bdk. 1 Kor 12:7). Singkatnya, kharisma diberikan sebagai anugerah khusus untuk menjalankan suatu tugas dengan baik di dalam Gereja / jemaat.

 

Dengan demikian kharisma adalah anugerah iman yang bersifat amat pribadi. Karena itu, tidak bisa semua orang beramai-ramai dan berambisi untuk memperolehnya. Suatu pemberian khusus dari Tuhan bersifat bebas tanpa jasa dari pihak manusia. Tuhan tidak dapat dipaksa untuk memberikan anugerah itu. Anugerah diberikan oleh Tuhan kepada seseorang seturut kehendak-Nya yang bebas. Segala kharisma diberikan Tuhan demi pembangunan jemaat / umat, dalam ketaatan penuh pada pimpinan Gereja. Pembangunan jemaat tidak hanya dengan doa dan nyanyian saja, tetapi juga harus dengan karya nyata: cintakasih, amal dan karya pelayanan.

 

Kalau tidak demikian, maka bukan kharisma yang sungguh-sungguh melainkan bentuk-bentuk egoisme intern. Jadi, kharisma itu diberikan Tuhan untuk menolong orang lain atau sesama, bukan untuk kepentingan dan kehormatan pribadi. Santo Paulus menyebut beberapa kharisma, antara lain: karunia melayani, mengajar, memberi nasehat, membagikan derma, bahasa roh, penyembuhan.

 

BAHASA ROH. Bahasa Roh berarti berbicara dengan bahasa roh, artinya berbicara langsung di bawah pengaruh roh. Dalam pembicaraan itu seringkali tidak mempergunakan kata-kata yang biasa yang dimengerti orang lain. Orang itu tidak mau mengatakan sesuatu kepada orang lain, tetapi dengan suaranya ia memperlihatkan / memperdengarkan bahwa roh itu ada di dalamnya. Bahasa roh merupakan salah satu kharisma yang diberikan kepada orang-orang tertentu untuk menolong orang lain. Anugerah bahasa Roh pasti akan mendorong orang untuk menyatakan imannya dalam kesatuan dan kerukunan dengan orang beriman lainnya dalam Gereja dan dengan ketaatan penuh pada pimpinan Gereja / hierarki. Kalau tidak demikian, berarti suatu praktek penyimpangan dalam Gereja, atau pun praktek melarikan diri dari realitas kehidupan Gereja / Jemaat.

 

Santo Paulus pun bersyukur bahwa ia memperoleh anugerah bahasa Roh, tetapi ia tidak suka menggunakannya karena tidak bermanfaat bagi orang lain. Mengapa? Karena orang lain tidak mengerti. “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua. Tetapi dalam pertemuan jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh” (1 Kor 14:18-19).

 

PEMBEDAAN ROH. Pembedaan roh berarti menguji karya roh dalam hati sendiri; bukannya suatu bentuk ketaatan kepada roh saja, tetapi hendaknya juga suatu bentuk dalam dalam rangka melibatkan diri dalam pembangunan Gereja. Dewasa ini kita mendengar istilah “prioritas”, karena ada banyak hal yang harus dilakukan. Maka orang harus memilih mana yang lebih penting, mana yang lebih berguna dan terutama mana yang lebih sesuai dengan kehendak Allah. Praktek membedakan roh itu sudah biasa dilaksanakan orang sejak dari dulu, hanya baru sekarang istilah “membedakan roh” semakin populer digunakan.

 

PENCURAHAN ROH. Pencurahan roh berarti segala doa permohonan disampaikan kepada Allah agar berkat rahmat Sakramen Pembaptisan dan Krisma, hidup kita semakin digairahkan dan dipenuhi dengan kekuasaan Roh Kudus. Hal seperti itu sudah biasa dilaksanakan oleh orang yang sungguh-sungguh beriman. Hanya “Pencurahan Roh” itu sama seperti “membedakan roh” yang dewasa ini lebih populer tapi isinya tetap sama.

 

Namun harus dibedakan dengan baik antara “Pencurahan Roh” dengan Sakramen Pembaptisan dan Krisma, sebab dalam kedua sakramen itu Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kita. Penggunaan istilah di atas dapat mengaburkan makna / arti Sakramen Pembaptisan dan Krisma.

 

Konsili Vatikan II mengajak kita agar senantiasa terbuka terhadap Roh Kudus dan segala karunia-Nya. Ciri-ciri orang yang mendapat karunia istimewa adalah orang yang rendah hati dan terbuka terhadap semua orang. Orang yang mempunyai karunia istimewa itu senantiasa mau melayani Gereja / jemaat dengan penuh kasih tanpa pamrih, taat pada hierarki dan memelihara kesatuan dan kerukunan dengan semua umat beriman dalam Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

 



June 16, 2008

Gereja "Pertama" Ditemukan

dari milis ISCS

Gereja "Pertama" Ditemukan

Thursday, Jun. 12, 2008 Posted: 9:01:13AM PST

 

Arkeolog yang melakukan penggalian di Yordania menemukan apa yang mereka percayai sebagai gereja pertama di dunia, menurut sebuah laporan Senin lalu.

"Kami sudah membuka tentang apa yang kami percaya menjadi gereja pertama di dunia, tertanggal 33 M. sampai 70 M.," kata sejak Abdul Qader al Hussan, ketua Jordan Rihab Center for Archaeological Studies, kepada The Jordan Times.

Dia menambahkan bahwa penemuan tersebut sangat “menakjubkan.”

Gereja yang ditemukan di bawah tanah gereja Saint Georgeous di Rihab, Mafraq, di Yordania utara dekat perbatasan Suriah itu diperkirakan berusia hampir 2.000 tahun . St Georgeous didirikan pada 230 M., dan dianggap sebagai gereja "yang sesungguhnya" tertua di dunia.

Hussan mengatakan timnya mempunyai bukti yang dapat dipercaya bahwa gereja ini menjadi tempat perlindungan orang Kristen- 70 murid Yesus Kristus itu.

Ke-70 orang Kristen mula-mula ini sepertinya telah melarikan diri dari penganiayaan di Yerusalem, khususnya terhadap Rihab, dan gereja tersebut didirikan di Yordania utara. Sumber-sumber sejarah, menurut Hussan, mengisyaratkan ke-70 umat Kristiani pertama hidup dan menjalankan kepercayaan mereka di gereja bawah tanah dan hanya pergi ketika agama Kristen dipeluk oleh penguasa Roma. "Masa itulah St Georgeous dibangun, "kata Hussan mengamati.

Gereja bawah tanah digambarkan sebagai gua dengan beberapa tempat duduk batu yang dipercaya digunakan bagi pastoral dan sebuah bidang di sekelilingnya, diperkirakan sebagai apse-sebuah tempat yang biasanya altar diletakkan.

"Sebuah tembok dengan sebuah pintu masuk adalah satu-satunya sekat yang memisahkan altar dengan tempat tinggal," lapor Hussan. Ada juga sebuah terowongan dalam gua yang diperkirakan menuju ke mata air, katanya.

Uskup Deputi dari Greek Orthodox Archdiocese Archimandrite Nektarious menggambarkan penemuan tersebut sebagai tonggak bersejarah penting bagi orang Kristiani di seluruh dunia.

"Satu-satunya gua lain di dunia yang bentuk dan tujuannya mirip ada di Thessalonika, Yunani," kata uskup, menurut The Jordan Times.

Pejabat di Kementerian Pariwisata Yordania mengatakan mereka bermaksud mempergunakan penemuan tersebut untuk memajukan kepariwisataan di daerah tersebut dalam waktu dekat.

Sekitar 30 gereja sudah ditemukan di Rihab, menurut Hussan, dan Yesus dan Maria diperkirakan pernah melewati tempat tersebut.


Ethan Cole
Koresponden Kristiani Pos