May 21, 2008

Katekese tentang Aborsi dan KB Alami

dikutip dari pidato B. Teresa dari Calcutta
National Prayer Breakfast, Washington DC, 3 Februari 1994

…. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal - itulah yang disebut memberi. Tuhan memberikan PutraNya kepada Santa Perawan Maria, dan apakah yang ia lakukan terhadap-Nya? Begitu Yesus masuk dalam kehidupannya, segera Maria bergegas pergi untuk menyampaikan kabar gembira itu. Dan sementara ia masuk ke dalam rumah sepupunya, Elisabet, Kitab Suci mengisahkan bahwa anak yang belum lahir itu - anak dalam rahim Elisabet - melonjak kegirangan. Sementara masih dalam rahim Maria, Yesus membawa damai kepada Yohanes Pembaptis yang melonjak kegirangan dalam rahim Elisabet….

Tetapi saya merasa bahwa perusak terbesar dari damai sekarang ini adalah aborsi, sebab aborsi adalah perang melawan kanak-kanak, suatu pembunuhan langsung atas diri kanak-kanak yang tak berdosa, pembunuhan yang dilakukan oleh sang ibu sendiri.

Dan jika kita dapat menerima bahwa seorang ibu dapat membunuh bahkan anak kandungnya sendiri, bagaimana mungkin kita dapat mengatakan kepada orang-orang lain untuk tidak membunuh satu sama lain? Bagaimanakah kita dapat membujuk seorang perempuan untuk tidak melakukan aborsi? Seperti senantiasa, kita perlu membujuknya dengan kasih dan kita mengingatkan diri kita sendiri bahwa kasih berarti bersedia memberi hingga merasa sakit. Yesus memberikan bahkan nyawa-Nya sendiri demi mengasihi kita. Jadi, seorang ibu yang berpikir hendak melakukan aborsi, hendaknya dibantu dengan kasih, yakni memberi hingga menyakiti segala rencananya, atau mengacaukan segala waktu luangnya, demi menghormati hidup anaknya. Ayah si bayi, siapapun dia, juga wajib memberi hingga merasa sakit.

Dengan aborsi, sang ibu tidak belajar untuk mengasihi, melainkan membunuh bahkan anak kandungnya demi mengatasi masalahnya.

Dan, dengan aborsi, seolah dikatakan kepada sang ayah bahwa ia tidak wajib bertanggung jawab sama sekali atas anak yang telah ia datangkan ke dalam dunia. Dan ada kemungkinan sang ayah akan menempatkan perempuan-perempuan lain juga ke dalam masalah yang sama. Jadi, aborsi hanya menghantar kepada lebih banyak aborsi.

Negara manapun yang menerima aborsi tidak mengajari rakyatnya untuk mengasihi, melainkan menggunakan kekerasan demi mendapatkan apa yang mereka kehendaki. Itulah sebabnya mengapa perusak terbesar dari kasih dan damai adalah aborsi.

Banyak orang sangat, amat menaruh perhatian pada anak-anak India, pada anak-anak Afrika di mana sebagian anak mati kelaparan, dan sebagainya. Banyak orang juga menaruh perhatian pada segala kekerasan di negara adidaya Amerika Serikat ini. Perhatian-perhatian ini sungguh amat baik. Tetapi, sering terjadi bahwa orang-orang yang sama ini tidak menaruh perhatian pada jutaan anak yang dibunuh dengan keputusan sengaja para ibu mereka. Dan inilah apa itu perusak terbesar dari damai sekarang ini - aborsi yang menghantar orang kepada kebutaan yang begitu rupa.

Dan untuk itulah saya menyerukan di India dan saya menyerukan di mana-mana - “Marilah kita membawa anak-anak kembali.” Anak adalah anugerah Tuhan bagi keluarga. Tiap-tiap anak diciptakan secara istimewa dalam gambaran dan citra Allah demi hal-hal yang lebih besar - untuk mengasihi dan untuk dikasihi. Dalam tahun keluarga ini, kita wajib membawa anak-anak kembali ke pusat perhatian kita. Inilah satu-satunya cara agar dunia kita dapat bertahan, sebab anak-anak kita adalah satu-satunya pengharapan bagi masa depan. Sebab orang-orang yang lanjut usia dipanggil Tuhan, hanya anak-anak mereka sajalah yang dapat menggantikan tempat mereka.

Tetapi, apakah yang Tuhan katakan kepada kita? Ia bersabda: “Sekalipun seorang ibu dapat melupakan bayinya, Aku tidak akan melupakan engkau. Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku.” Kita telah dilukiskan di telapak tangan-Nya; anak yang belum dilahirkan telah dilukiskan di telapak tangan Tuhan sejak dari saat pembuahan dan dipanggil Tuhan untuk mengasihi dan untuk dikasihi, tidak hanya sekarang dalam kehidupan ini, melainkan untuk selamanya. Tuhan tidak akan pernah dapat melupakan kita.

Akan saya ceritakan kepada kalian sesuatu yang indah. Kami berperang melawan aborsi dengan adopsi - dengan merawat sang ibu dan mengadopsi bayinya. Kami telah menyelamatkan ribuan jiwa. Kami telah mengirimkan pesan ke klinik-klinik, rumah-rumah sakit dan pos-pos polisi: “Tolong, jangan bunuh anak anda; kami akan mengambilnya.” Jadi, kami senantiasa mengatakan kepada para ibu yang sedang menghadapi masalah: “Marilah, kami akan merawat engkau, kami akan mendapatkan rumah bagi anakmu.” Dan ada pada kami begitu banyak permintaan dari pasangan-pasangan yang tidak dapat mempunyai anak - tetapi tidak pernah saya memberikan seorang anak kepada suatu pasangan yang telah melakukan sesuatu agar tidak beroleh keturunan. Sabda Yesus, “Barangsiapa menyambut seorang anak dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” Dengan mengadopsi seorang anak, pasangan-pasangan ini menerima Yesus, tetapi dengan mengaborsi seorang anak, suatu pasangan menolak untuk menerima Yesus.

Saya mohon jangan bunuh anak-anak. Saya menginginkan anak-anak itu. Berikanlah anak-anak itu kepada saya. Saya bersedia menerima semua anak yang hendak diaborsi dan memberikan anak itu kepada suatu pasangan suami isteri yang akan mengasihinya dan dikasihi olehnya.

Dari rumah penampungan anak-anak kami di Calcutta saja, kami telah menyelamatkan lebih dari 3000 anak-anak dari aborsi. Anak-anak ini telah mendatangkan kasih dan sukacita begitu rupa kepada para orangtua yang mengadopsi mereka dan telah bertumbuh dengan penuh kasih dan sukacita.

Saya tahu bahwa pasangan-pasangan perlu merencanakan keluarga mereka dan bahwa untuk itu ada keluarga berencana alami.

Cara untuk merencanakan keluarga adalah keluarga berencana alami, bukan kontrasepsi.

Dengan melenyapkan daya untuk memberi hidup, melalui kontrasepsi, suami dan isteri melakukan sesuatu yang egois. Kontrasepsi mengalihkan perhatian kepada diri sendiri dan dengan demikian melenyapkan anugerah kasih dalam diri suami atau isteri. Dalam mengasihi, suami dan isteri patut mengalihkan perhatian satu kepada yang lainnya seperti yang terjadi dalam keluarga berencana alami, dan bukan perhatian kepada diri sendiri, seperti yang terjadi dalam kontrasepsi. Begitu kasih yang hidup dibinasakan oleh kontrasepsi, aborsi akan mengalir dengan sangat mudah.

Saya juga tahu bahwa ada masalah-masalah besar di dunia - bahwa banyak pasangan-pasangan tidak cukup saling mengasihi satu sama lain untuk mempraktekkan keluarga berencana alami. Kita tidak dapat menyelesaikan segala masalah di dunia, tetapi mari janganlah pernah kita mendatangkan masalah yang paling mengerikan dari segala masalah, yakni melenyapkan kasih. Dan inilah yang terjadi apabila kita mengatakan kepada orang untuk mempraktekkan kontrasepsi dan aborsi.   

Orang-orang miskin adalah orang-orang yang sungguh luar biasa. Mereka dapat mengajarkan kepada kita begitu banyak perkara yang indah. Suatu kali, salah seorang dari mereka datang untuk berterima kasih kepada kami karena telah mengajarikan keluarga berencana alami, katanya: “Kalian orang-orang yang telah mengamalkan kemurnian, kalianlah orang-orang yang paling tepat untuk mengajari kami keluarga berencana alami, sebab hal ini tak lain dari penguasaan diri demi kasih satu kepada yang lainnya.” Dan apa yang dikatakan perempuan miskin ini sungguh amat benar. Orang-orang miskin ini mungkin tak memiliki apa-apa untuk dimakan, mungkin tidak memiliki rumah tempat mereka tinggal, tetapi mereka tetap dapat menjadi orang-orang besar apabila mereka kaya secara rohani.  

Apabila saya memungut seorang yang kelaparan dari jalanan, saya memberinya sepiring nasi, sepotong roti. Tetapi seorang yang terkucil, yang merasa tidak dikehendaki, tidak dikasihi, yang ketakutan, orang yang telah dicampakkan dari masyarakat - kemiskinan rohani yang demikian jauh lebih sulit diatasi. Dan aborsi, yang seringkali mengikuti kontrasepsi, menghantar orang ke kemiskinan rohani, dan itu adalah kemiskinan yang paling parah dan paling sulit diatasi.

Mereka yang miskin secara material dapat menjadi orang-orang yang amat mengagumkan. Suatu sore kami pergi dan memungut empat orang dari jalanan. Dan salah seorang dari antaranya dalam keadaan yang teramat menyedihkan. Saya katakan kepada para biarawati: “Kalian merawat ketiga yang lainnya; aku akan merawat satu ini yang kelihatan paling parah.” Maka, saya melakukan bagi perempuan itu segala yang dapat dilakukan oleh kasih saya. Saya membaringkannya di tempat tidur, dan sungguh suatu senyum yang begitu indah mengembang di wajahnya.

Ia menggamit tangan saya, sementara ia mengatakan hanya sepatah kata saja: “Terima kasih” - dan ia pun meninggal dunia.

Saya tidak dapat tidak memeriksa batin saya di hadapannya. Dan saya bertanya: “Apakah yang akan aku katakan andai aku adalah dia?” Dan jawaban saya sederhana saja. Saya akan berusaha menarik sedikit perhatian orang bagi saya. Saya mungkin akan mengatakan: “Aku lapar; aku akan mati; aku kedinginan, aku kesakitan,” atau sesuatu seperti itu. Tetapi yang diberikan perempuan ini kepada saya jauh dari sekedar itu - ia memberikan kasihnya yang tulus. Dan ia meninggal dunia dengan seulas senyum di wajahnya.

Lalu adalah seorang laki-laki yang kami pungut dari selokan, separuh dagingnya telah digerogoti cacing-cacing dan, setelah kami membawanya ke rumah, ia hanya mengatakan:

“Aku telah hidup seperti binatang di jalanan, tetapi aku akan mati bagai seorang malaikat, dikasihi dan diperhatikan.”

Lalu, setelah kami menyingkirkan cacing-cacing dari tubuhnya, yang ia katakan dengan sebuah senyum besar hanyalah: “Suster, aku akan pulang kepada Tuhan” dan ia pun meninggal. Sungguh mengagumkan melihat kebesaran orang itu yang dapat berbicara demikian tanpa menyalahkan siapapun, tanpa membanding-bandingkan suatupun. Bagaikan malaikat - inilah kebesaran orang yang kaya secara rohani bahkan meski ia miskin secara material. Kami bukan pekerja sosial. Kami mungkin melakukan karya sosial dalam pandangan sebagian orang, tetapi kami wajib berkontemplasi dalam hati dunia. Sebab kami menjamah tubuh Kristus dan kami senantiasa ada di hadirat-Nya.

Kalian juga wajib mendatangkan kehadiran Tuhan dalam keluarga kalian, sebab keluarga yang berdoa bersama, tinggal bersama.

Ada begitu banyak kebencian, begitu banyak penderitaan; dan kita dengan doa-doa kita, dengan kurban-kurban kita, dimulai dari rumah. Kasih dimulai dari rumah, dan bukan betapa banyak yang kita lakukan, melainkan berapa banyak kasih yang kita tuangkan dalam apa yang kita lakukan.

Apabila kita berkontemplasi dalam hati dunia dengan segala permasalahannya, maka masalah-masalah ini tidak akan pernah dapat membuat kita putus asa. Kita patut senantiasa ingat bahwa dalam Kitab Suci Tuhan mengatakan kepada kita: “Sekalipun seorang ibu dapat melupakan bayi dalam kandungannya - sesuatu yang mustahil, tetapi bahkan andai ia melupakannya - Aku tidak akan melupakan engkau.”  

Dan sebab itu di sinilah saya berbicara kepada kalian. Saya menghendaki kalian mendapatkan orang-orang miskin di sini, pertama-tama tepat di rumah kalian sendiri. Dan mulailah kasih di sana. Jadilah kabar baik itu, pertama-tama kepada orang-orangmu sendiri. Dan kemudian kepada tetangga-tetangga sebelahmu. Adakah kalian mengenali siapa mereka?

Ada pada saya suatu pengalaman luar biasa mengenai mengasihi sesama dari sebuah keluarga Hindu. Seseorang datang ke rumah kami mengatakan: “Moeder Teresa, ada sebuah keluarga yang sudah lama tidak makan. Perbuatlah sesuatu.” Maka saya mengambil nasi dan segera pergi ke sana. Dan saya melihat anak-anak - mata mereka berbinar karena kelaparan. Saya tidak tahu apakah kalian pernah melihat orang kelaparan. Tetapi saya begitu sering melihatnya. Dan ibu rumah tangga itu mengambil nasi yang saya berikan dan pergi ke luar. Ketika ia kembali, saya bertanya: “Kemanakah engkau pergi?” Apa yang engkau lakukan?” Dan ia memberikan sebuah jawaban yang sangat sederhana: “Mereka juga kelaparan.” Yang mengagetkan saya adalah bahwa dia tahu - dan siapakah mereka? Sebuah keluarga Muslim - dan dia tahu. Saya tidak membawa nasi lagi sore itu sebab saya menghendaki mereka, orang-orang Hindu dan orang-orang Muslim, untuk menikmati sukacita berbagi.

Tetapi, ada anak-anak itu, yang berbinar dalam kegembiraan, berbagi sukacita dan damai dengan ibu mereka sebab ia memiliki kasih untuk memberi hingga terasa sakit. Dan kalian lihat, di sinilah kasih dimulai - di rumah, dalam keluarga.

Jadi, seperti contoh yang diperlihatkan oleh keluarga ini, Tuhan tidak akan pernah melupakan kita dan pastilah senantiasa ada sesuatu yang Anda dan saya dapat lakukan. Kita dapat memelihara sukacita mengasihi Yesus dalam hati kita, dan membagikan sukacita itu dengan siapa saja kita berhubungan.

Marilah kita tegaskan satu point ini - bahwa tak akan ada satu anak pun yang tidak dikehendaki, tidak dikasihi, tidak diperhatikan, atau dibunuh dan dicampakkan. Berilah hingga terasa sakit - dengan tersenyum.

Sebab saya berbicara begitu panjang lebar mengenai memberi dengan tersenyum, suatu ketika seorang professor dari Amerika Serikat bertanya kepada saya: “Apakah Anda menikah?” Dan saya menjawab: “Ya, dan terkadang saya mendapati sungguh sulit untuk tersenyum kepada Mempelai saya, Yesus, sebab Ia dapat sangat menuntut - ya, terkadang.” Ini sesuatu yang sungguh benar.

Dan dari sanalah kasih berasal - ketika kasih sangat berat menuntut, namun kita dapat memberikannya dengan sukacita.

Salah satu dari hal-hal yang paling berat bagi saya adalah melakukan perjalanan ke mana-mana - dan dengan publisitas. Saya katakan kepada Yesus bahwa jika saya tidak masuk ke surga karena suatu hal apapun, maka saya pastilah akan masuk ke surga karena segala perjalanan dengan segala publisitasnya itu, sebab telah memurnikan saya dan membuat saya berkurban begitu rupa dan menjadikan saya sungguh siap untuk masuk ke surga.

Jika kita ingat bahwa Tuhan mengasihi kita, dan bahwa kita dapat mengasihi sesama seperti Ia mengasihi kita, maka Amerika akan menjadi suatu tanda perdamaian bagi dunia.

Dari sini, suatu tanda perhatian bagi yang terlemah dari yang lemah - bayi yang belum dilahirkan - haruslah terpancar ke segenap penjuru dunia. Apabila kalian menjadi nyala yang berkobar-kobar bagi keadilan dan damai di dunia, maka sungguh kalian setia pada apa yang diperjuangkan oleh para pendiri negeri ini. Tuhan memberkati kalian!

sumber : “Whatsoever You Do...”; Speech of Mother Teresa of Calcutta to the National Prayer Breakfast; Priests for Life; www.priestsforlife.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Segala Sesuatu yang Ingin Kalian Ketahui tentang Masa Prapaskah

oleh: Romo Francis J. Peffley

 

 

Apa itu Masa Prapaskah? Masa Prapaskah adalah masa 40 hari sebelum Paskah, yang digunakan Gereja untuk mempersiapkan diri dalam merayakan Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus pada hari Minggu Paskah.

 

Bilamanakah Masa Prapaskah dimulai? Masa Prapaskah dimulai pada hari Rabu Abu, yaitu hari di mana umat beriman menerima tanda Salib dari abu di dahinya. Masa Prapaskah berakhir pada siang hari Sabtu Suci. Lima hari Minggu Prapaskah tidak terhitung dalam masa 40 hari tersebut.

 

Mengapa orang Katolik membubuhi dahinya dengan tanda salib pada hari Rabu Abu?  Sebab menurut Injil tanda di dahi adalah lambang kepemilikan seseorang. Dengan tanda salib didahinya melambangkan bahwa orang tersebut adalah milik Yesus Kristus, yang wafat di Kayu Salib. Tanda itu serupa dengan tanda rohani atau meterai yang dimeteraikan dalam Baptisan Kristiani, yaitu ketika manusia dibebaskan dari perbudakan dosa, serta dijadikan hamba kebenaran. (Roma 6:3-18). Tanda itu juga serupa dengan gambaran orang-orang benar dalam Kitab Wahyu: "Janganlah merusakkan bumi atau laut atau pohon-pohon sebelum kami memeteraikan hamba-hamba Allah kami pada dahi mereka!" (Why 7:3)

 

Mengapa diberi tanda dengan abu? Karena abu adalah lambang biblis dari sesal dan tobat. Dalam jaman Kitab Suci, umat Allah mempunyai kebiasaan untuk berpuasa, mengenakan kain kabung, duduk di atas abu, serta menaburi kepala mereka dengan abu. Sekarang kita tidak lagi mengenakan kain kabung atau duduk di atas abu, tetapi kita masih meneruskan kebiasaan berpuasa dan membubuhkan abu pada kening kita sebagai tanda sesal dan tobat. Sesungguhnya, Hari Rabu Abu bukanlah hari sekedar membubuhi dahi kita dengan abu, tetapi juga adalah hari puasa.

 

Adakah makna lain dari abu? Ya. Abu juga melambangkan kematian, dan dengan demikian mengingatkan kita akan ketidakabadian kita. Karenanya, ketika imam dengan ibu jarinya membubuhkan abu di kening umat, ia akan berkata, “Ingatlah, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu", seperti yang difirmankan Tuhan kepada Adam (Kej 3:19, Ayb 34:15; Mzm 90:3; Mzm 104:29; Pengkhotbah 3:20). Perkataan tersebut diucapkan juga dalam pemakaman, “Abu menjadi abu; debu menjadi debu,” sesuai firman Tuhan kepada Adam, dan sesuai dengan pengakuan Abraham, “Aku debu dan abu” (Kej 18:27). Demikianlah abu menjadi tanda ketidakabadian kita serta mengingatkan kita akan pentingnya bertobat sebelum hidup kita di dunia ini berakhir dan kita menghadap Sang Pencipta.

 

Berasal dari manakah abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu? Abu tersebut dibuat dengan membakar daun-daun palma yang berasal dari hari Minggu Palma tahun sebelumnya. Daun-daun palma itu kemudian diberkati oleh imam - abu yang diberkati telah digunakan dalam ritual keagamaan sejak jaman Musa (Bil 19:9-10,17).

 

Mengapa daun-daun palma yang berasal dari Hari Minggu Palma tahun sebelumnya yang digunakan? Sebab hari Minggu Palma adalah saat rakyat bersukacita menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem dengan jaya. Mereka menyambut kedatangan-Nya dengan melambai-lambaikan daun-daun palma, sedikit di antara mereka yang menyadari bahwa Ia datang untuk wafat guna menebus dosa-dosa mereka. Dengan menggunakan daun-daun Minggu Palma, Gereja hendak mengingatkan bahwa kita selayaknya tidak hanya bersukacita atas kedatangan Yesus, tetapi juga menyesali kenyataan bahwa karena dosa-dosa kitalah maka Ia harus wafat bagi kita guna menyelamatkan kita dari api neraka.

 

Mengapa Hari Minggu tidak terhitung dalam 40 hari Masa Prapaskah? Sebab hari Minggu adalah hari Kebangkitan Kristus, jadi hari Minggu bukanlah saat yang tepat untuk berpuasa dan menyesali dosa-dosa kita. Pada hari Minggu kita wajib merayakan Kebangkitan Kristus demi keselamatan kita. Pada hari Jumat-lah kita mengenang wafat-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Hari Minggu sepanjang tahun adalah hari-hari pesta dan hari Jumat sepanjang tahun adalah hari-hari tobat.

 

Mengapa Masa Prapaskah berlangsung empat puluh hari lamanya? Sebab 40 hari adalah angka yang diyakini dalam Kitab Suci sebagai waktu untuk pendisiplinan diri, penyembahan serta persiapan. Musa tinggal di gunung Allah selama 40 hari (Kel 24:18; 34:28), Elia berkelana selama 40 hari sebelum ia tiba di gua di mana ia mendapat penglihatan (1Raj 19:8), Niniwe diberi waktu selama 40 hari untuk bertobat (Yun 3:4), dan yang terutama, sebelum memulai karya pewartaan-Nya, Yesus melewatkan 40 hari di padang gurun untuk berdoa dan berpuasa (Mat 4:2).

 

Karena Masa Prapaskah adalah masa untuk berdoa dan berpuasa, maka selayaknyalah umat Kristiani meneladani Tuhan mereka dengan masa 40 hari lamanya. Kristus menghabiskan 40 hari dengan berdoa dan berpuasa untuk mempersiapkan karya pewartaan-Nya, yang mencapai puncaknya dengan wafat serta kebangkitan-Nya, jadi selayaknyalah umat Kristiani meneladani-Nya dengan masa 40 hari berdoa dan berpuasa untuk mempersiapkan perayaan puncak karya pewartaan-Nya, yaitu Jumat Agung (Penyaliban-Nya) dan Minggu Paskah (Kebangkitan-Nya).

 

Katekismus Gereja Katolik menyatakan: “'Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa' (Ibr 4:15). Oleh masa puasa selama empat puluh hari setiap tahun, Gereja mempersatukan diri dengan misteri Yesus di padang gurun.” (Katekismus Gereja Katolik 540).

 

Apa itu hari puasa dan pantang? Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik, hari puasa adalah hari di mana umat Katolik yang berumur 18 sampai awal tahun ke-60 diwajibkan berpuasa. Puasa berarti makan kenyang (normal) satu kali sehari dengan dua kali makanan kecil, selama porsi kedua makanan kecil tersebut jika dijumlahkan tidak menjadi satu porsi makanan normal. Anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, namun demikian para orangtua wajib menjamin bahwa anak-anak mereka memperoleh pendidikan rohani yang selayaknya dalam hal berpuasa. Mereka yang mempunyai masalah kesehatan dan karenanya membutuhkan porsi makanan yang lebih besar atau makanan normal seperti biasanya, dapat dengan mudah memperoleh dispensansi dari imam. Hari pantang adalah hari di mana umat Katolik yang berumur genap 14 tahun keatas wajib berpantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya. Sekali lagi, mereka yang mempunyai masalah kesehatan dan karenanya mempunyai kebutuhan makanan yang khusus dapat dengan mudah memperoleh dispensasi dari imam.   

Adakah dasar Kitab Sucinya yang mengatakan bahwa berpantang daging adalah tanda tobat? Ya. Dalam Kitab Daniel dinyatakan:

“Pada tahun ketiga pemerintahan Koresh, raja orang Persia … aku, Daniel, berkabung tiga minggu penuh:  makanan yang sedap tidak kumakan, daging dan anggur tidak masuk ke dalam mulutku dan aku tidak berurap sampai berlalu tiga minggu penuh.” (Daniel 10:1-3). Dengan berpantang hal-hal yang enak serta menolaknya, kita terpacu untuk bersikap rendah hati, membebaskan diri dari keterikatan kepada hal-hal tersebut, mengembangkan disiplin rohani dengan bersedia melakukan silih-silih pribadi, serta mengingatkan diri kita akan pentingnya hal-hal rohani di atas hal-hal duniawi. Karena Gereja Katolik hanya menetapkan pantang pada hari-hari tertentu, jelaslah bahwa Gereja tidak melarang umatnya menyantap daging. Sebaliknya, Gereja menganggapnya sebagai berpantang dari hal-hal yang nikmat (di mana di daerah-daerah yang tingkat ekonominya rendah, daging amatlah mahal harganya dan karenanya hanya disantap dalam pesta-pesta saja, sehingga daging menjadi tanda kegembiraan) - untuk mencapai tujuan rohani.

 

Atas dasar apakah Gereja mempunyai wewenang untuk menentukan hari-hari puasa dan pantang? Dengan wewengang dari Yesus Kristus yang berfirman kepada para pemimpin Gereja-Nya, “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:19, 18:18). Istilah terikat dan terlepas adalah cara rabinnic untuk menunjukkan kuasa untuk menetapkan halakah atau peraturan dalam memimpin komunitas iman. Atau secara sederhana dapat digambarkan bahwa setiap keluarga memiliki wewenang untuk menetapkan waktu doa bersama bagi anggota-anggota keluarganya. Jadi, jika orangtua menetapkan bahwa doa bersama dalam keluarga akan dilakukan pada waktu tertentu (misalnya saja, membaca Kitab Suci setelah makan malam), adalah dosa bagi anak-anak untuk tidak mentaatinya serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat. Demikian juga, Gereja sebagai keluarga Allah memiliki wewenang untuk menetapkan doa bersama dalam keluarganya, dan adalah dosa bagi anggota-anggota Gereja jika tidak mentaati serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat (tentu saja jika seseorang mempunyai alasan yang tepat, Gereja akan segera memberikan dispensasi kepadanya).

 

Selain dari Hari Rabu Abu, adakah hari-hari puasa dan pantang yang lain selama Masa Prapaskah? Ya. Semua hari Jumat selama Masa Prapaskah adalah hari pantang. Juga, Jumat Agung, hari di mana Yesus disalibkan, adalah hari puasa dan pantang. Semua hari dalam Masa Prapaskah adalah hari yang tepat untuk berpuasa atau berpantang, tetapi Kitab Hukum Kanonik tidak mewajibkan puasa pada hari-hari tersebut. Jadi boleh berpuasa atau berpantang secara sukarela.

 

Mengapa setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah ditetapkan sebagai hari pantang? Karena Yesus wafat untuk menebus dosa-dosa kita pada hari Jumat, sehingga hari Jumat merupakan hari yang amat tepat untuk menyesali dosa-dosa kita (sama seperti hari Minggu, hari di mana Yesus bangkit demi keselamatan kita adalah hari yang amat tepat untuk bersukacita) dengan menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai. Di luar Masa Prapaskah, umat Katolik diperbolehkan untuk melakukan bentuk tobat yang lain pada hari Jumat di sepanjang tahun sebagai ganti pantang. Semua hari Jumat adalah hari tobat di mana kita wajib melakukan sesuatu untuk menyatakan sesal atas dosa-dosa kita, seperti hari Minggu adalah hari kudus di mana kita wajib beribadat serta merayakan karunia keselamatan Allah yang luar biasa.

 

Apakah sikap tobat baik juga dilakukan pada hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah? Ya. Karenanya Hukum Kanonik menyatakan:

 

“Seluruh hari Jumat sepanjang tahun dan selama Masa Prapaskah adalah hari-hari tobat….”

(CIC 1250).

 

Kegiatan apa sajakah yang cocok dilakukan pada hari-hari biasa sepanjang Masa Prapaskah? Menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai selama Masa Prapaskah, melakukan tindakan amal kasih baik secara jasmani ataupun rohani bagi sesama, berdoa, berpuasa dan berpantang, memenuhi kewajiban-kewajiban kita secara lebih setia, menerima Sakramen Tobat dan tindakan-tindakan lain yang menyatakan tobat secara umum.

 

Mengapa sikap tobat amat tepat dilakukan pada Masa Prapaskah? Karena Masa Prapaskah berpuncak pada peringatan wafatnya Tuhan kita demi menebus dosa-dosa kita dan perayaan kebangkitan-Nya demi keselamatan kita. Oleh sebab itu amatlah tepat untuk menyesali dosa-dosa kita yang menyebabkan kematian-Nya. Manusia mempunyai pembawaan kejiwaan untuk berdukacita atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, dan dosa-dosa kita adalah peristiwa-peristiwa yang paling menyedihkan. Karena sifat manusia yang lemah, manusia juga memerlukan waktu yang tetap untuk melakukan kegiatan tertentu (itulah sebabnya kita menetapkan hari Minggu sebagai waktu yang dikhususkan untuk beristirahat dan beribadat, karena jika tidak, kemungkinan besar kita akan lupa untuk meluangkan cukup waktu untuk beristirahat serta beribadat), karenanya sangatlah tepat memiliki waktu tetap untuk bertobat. Masa Prapaskah adalah salah satu dari waktu-waktu yang ditetapkan tersebut.

 

Apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah itu wajib? Tidak. Namun demikian, kebiasaan itu adalah kebiasaan yang baik serta bermanfaat, dan para orangtua atau wali boleh menerapkannya kepada anak-anak untuk mendorong perkembangan latihan rohani mereka, yang adalah tugas utama mereka dalam membesarkan anak-anak.    

 

Karena hari Minggu tidak terhitung dalam empat puluh hari Masa Prapaskah, apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu juga berlaku? Biasanya, tidak. Tetapi, karena menyangkal diri dari hal-hal tertentu bermula dari sesuatu yang sifatnya sukarela, tidak ada peraturan resmi mengenai hal ini. Namun demikian, karena hari Minggu adalah hari perayaan, lebih tepat untuk menunda penyangkalan diri tersebut pada hari Minggu. Dengan iman dan tidak dengan berhura-hura, kita merayakan hari kebangkitan Tuhan kita, sehingga hari itu dan peristiwa itu dapat dibedakan dari hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah dan dari pesta-pesta lainnya. Perbedaan yang mencolok ini memperdalam pelajaran rohani yang diajarkan sepanjang Masa Prapaskah.

 

Mengapa menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah merupakan kebiasaan yang baik serta bermanfaat? Dengan menyangkal diri dari hal-hal yang kita sukai, kita mendisiplinkan kehendak kita sehingga kita tidak diperbudak oleh kesenangan-kesenangan kita itu. Seperti misalnya dengan selalu memperturutkan kata hati dalam menyantap makanan akan mengakibatkan kelemahan jasmani, jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi yang sulit lainnya. Terbiasa memperturutkan kata hati dalam segala kesenangan akan mengakibatkan kelemahan rohani, dan jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi rohani yang sulit. Misalnya, kita wajib mengorbankan kesenangan-kesenangan tertentu (seperti hubungan intim di luar ikatan pernikahan) atau menanggung penderitaan (seperti dihina atau dianiaya karena iman). Dengan mendisiplinkan kehendak kita untuk menolak kesenangan-kesenangan pada saat kesenangan-kesenangan tersebut tidak menimbulkan dosa, maka kita membentuk kebiasaan agar kehendak kita menolak kesenangan-kesenangan jika kesenangan-kesenangan itu mengakibatkan dosa. Ada cara-cara yang lebih baik agar kita dapat menempatkan prioritas dengan benar daripada hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan penyangkalan diri terhadap hal-hal yang bukan prioritas untuk menunjukkan kepada kita bahwa hal-hal tersebut kurang penting dan kita lebih memusatkan perhatian pada apa yang penting.

 

Apakah menyangkal diri terhadap kesenangan adalah akhir dari kesenangan itu sendiri? Tidak. Penyangkalan diri hanyalah suatu cara untuk mengakhirinya. Dengan melatih diri kita untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu tidak mengakibatkan dosa, kita melatih diri kita sendiri untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu mengakibatkan dosa. Dengan penyangkalan diri, kita juga mengungkapkan keprihatinan kita karena telah gagal menolak godaan-godaan yang mengakibatkan dosa di masa lalu.

 

Bagaimana jika kita terlalu keras melakukan penyangkalan diri? Pertama, Tuhan membuat hidup manusia bergantung pada barang-barang tertentu, seperti makanan, dan menolak menikmati cukup makanan membawa akibat yang membahayakan. Sebagai contoh, jika kita tidak menyantap cukup makanan dapat mengakibatkan kerusakan tubuh atau bahkan kematian. Haruslah ada keseimbangan antara menyantap terlalu banyak makanan dan tidak menyantap cukup makanan. Demikian juga haruslah ada keseimbangan dalam hal-hal lain. Kedua, jika kita tidak dapat menetapkan keseimbangan yang benar dan menyangkal diri dari barang-barang yang Tuhan ingin kita memilikinya, maka hal tersebut dapat menyebabkan kesedihan Tuhan, yang secara rohani adalah sama berdosanya dengan menggunakan barang-barang tersebut secara berlebihan. Jadi seseorang dapat berdosa, baik dengan menggunakan barang-barang secara berlebihan atau dengan kurang mendayagunakan barang-barang yang berguna tersebut. Ketiga, hal tersebut dapat mengurangi keefektifan kita dalam mewartakan Injil kepada sesama. Keempat, menyia-nyiakan barang-barang yang Tuhan berikan kepada kita agar kita dapat memuliakan-Nya. Kelima, merupakan dosa tidak tahu berterima kasih dengan menolak menikmati barang-barang yang Tuhan ingin kita miliki karena Ia mengasihi kita. Jika seorang anak menolak setiap pemberian dari orangtuanya, maka orangtuanya akan bersedih hati. Dan jika kita menolak karunia-karunia yang Tuhan berikan kepada kita, maka Tuhan akan bersedih hati karena Ia sangat mencintai kita dan ingin kita memperoleh karunia-karunia-Nya tersebut.   

 

Selain dari Hari Rabu Abu, yang mengawali Masa Prapaskah, adakah perayaan-perayaan penting lainnya dalam Masa Prapaskah? Ada banyak pesta para kudus dalam Masa Prapaskah, dan beberapa di antaranya berubah dari tahun ke tahun karena tanggal berlangsungnya Masa Prapaskah sendiri juga berubah-ubah sesuai dengan tibanya Perayaan Paskah (baca: Mengapa perayaan Paskah jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahun?). Hari-hari Minggu dalam Masa Prapaskah kita mengenangkan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Tuhan Yesus, seperti Transfigurasi-Nya dan Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya pada Hari Minggu Palma yang menjadi tanda dimulainya Pekan Suci. Pekan Suci mencapai puncaknya pada hari Kamis Putih - di mana Kristus merayakan Misa pertama, Jumat Agung - di mana Yesus disalibkan, dan Sabtu Suci - hari terakhir dari Masa Prapaskah - di mana Tuhan Yesus terbaring di Makam sebelum Kebangkitan-Nya pada hari Minggu Paskah, yaitu hari pertama sesudah Masa Prapaskah.

 

sumber : "Everything You Wanted to Know about Lent" by Fr Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

 

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.

Rabu Abu: Asal Mula Perayaan & Penggunaan Abu

oleh: Romo William P. Saunders *

Seorang teman Protestan bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu. Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
seorang pembaca di Purcellville

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.  

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21)*

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, “Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?” Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, “Saya puas.” Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, “Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.” Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, “Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.” Beliau juga menyesali bahwa “abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia … Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.”            

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: The Ashen Cross” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

* ayat dikutip dari Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi Pastoral Katolik

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Santa Perawan Maria Bunda Allah & Bunda Kita



dari:
KEMULIAAN MARIA
Betapa besar sepantasnya kita menempatkan kepercayaan kita kepada Bunda Maria, sebab ia adalah bunda kita.

BUKAN KEBETULAN ataupun dalam kesia-siaan belaka para hamba Maria menyebutnya Bunda. Tak dapat mereka berseru kepadanya dengan nama lain, dan tak bosan-bosannya mereka menyebutnya bunda: sungguh bunda, sebab ia sungguh bunda kita, bukan menurut daging, melainkan bunda rohani dari jiwa dan keselamatan kira.

Dosa, ketika merenggut rahmat ilahi dari jiwa kita, juga merenggut hidup darinya. Sebab itu, ketika jiwa kita mati dalam dosa dan sengsara, Yesus, Penebus kita, datang dengan kerahiman dan kasih yang tak terhingga, guna memulihkan hidup yang hilang itu bagi kita dengan wafat-Nya di atas salib, seperti yang Ia Sendiri nyatakan, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Dalam segala kelimpahan, sebab, seperti diajarkan para teolog, Yesus Kristus dengan karya penebusan-Nya memperolehkan bagi kita berkat dan rahmat yang jauh lebih besar daripada luka yang ditimbulkan Adam atas kita dengan dosanya; Ia memulihkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan demikian menjadi Bapa bagi jiwa kita, di bawah hukum rahmat yang baru, seperti dinubuatkan nabi Yesaya, “Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes 9:5).

Jika Yesus adalah Bapa dari jiwa kita, maka Maria adalah bundanya, sebab dengan memberikan Yesus kepada kita, ia memberikan hidup sejati kepada kita, dan dengan mempersembahkan hidup Putranya di atas Kalvari demi keselamatan kita, ia melahirkan kita ke dalam hidup rahmat ilahi.

Dalam dua peristiwa yang berbeda, Bunda Maria menjadi bunda rohani kita. Pertama kali ketika ia didapati layak mengandung Putra Allah dalam rahimnya yang perawan, demikian dikatakan Albertus Magnus. St. Bernardinus dari Siena mengajarkan bahwa ketika Santa Perawan Tersuci, pada waktu malaikat menyampaikan kabar sukacita, menyatakan kesediaannya untuk menjadi bunda dari Sabda yang kekal, kesediaan yang dinantikan-Nya sebelum menjadikan Diri-Nya Putranya, Bunda Maria dengan tindakannya ini memohonkan keselamatan kita kepada Tuhan. Begitu khusuk ia dalam memohonkannya, hingga sejak saat itulah ia, seolah-olah, mengandung kita dalam rahimnya, sebagai seorang bunda yang paling penuh kasih sayang.

Perihal kelahiran Juruselamat kita, St. Lukas mengatakan bahwa Bunda Maria, “melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung” (Luk 2:7). Oleh sebab itu, seperti diungkapkan seorang penulis, jika penulis Injil menegaskan bahwa Maria melahirkan anaknya yang sulung, tidakkah kita beranggapan bahwa sesudahnya ia mempunyai anak-anak yang lain? Tetapi, penulis yang sama menambahkan bahwa jika menurut iman Bunda Maria tidak mempunyai anak-anak lain menurut daging kecuali Yesus, maka pastilah ia mempunyai anak-anak rohani yang lain, yaitu kita. Dan ini menjelaskan apa yang dikatakan tentang Maria dalam Kidung Agung: “Perutmu timbunan gandum, berpagar bunga-bunga bakung” (7:2). St. Ambrosius menjelaskan ayat ini, “Walaupun dalam rahim Maria yang murni hanya ada satu biji gandum, yang adalah Yesus Kristus, namun demikian disebut timbunan gandum, sebab dalam biji gandum yang satu itu terkandung mereka semua yang terpilih kepada siapa Maria akan menjadi bundanya.” Maka, tulis William sang Abbas, Bunda Maria ketika melahirkan Yesus, yang adalah Juruselamat kita dan hidup kita, melahirkan kita semua dalam hidup dan keselamatan.

Kedua kalinya Bunda Maria melahirkan kita dalam rahmat adalah ketika di Kalvari ia mempersembahkan kepada Bapa yang kekal dengan dukacita yang begitu pedih di hati, hidup Putranya terkasih demi keselamatan kita. Sebab itu, St. Agustinus menegaskan, dengan bekerjasama dengan Kristus dalam kelahiran umat beriman ke dalam hidup rahmat, ia dengan kerjasamanya ini juga menjadi bunda rohani dari mereka semua yang adalah anggota-anggota Kepala, yaitu Yesus Kristus. Inilah juga makna dari apa yang dikatakan mengenai Santa Perawan dalam Kidung Agung, “aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga” (1:6).

Bunda Maria, demi meyelamatkan jiwa kita, rela mengurbankan hidup Putranya sendiri, demikian dikatakan William sang Abbas. Dan siapakah jiwa sejati Maria, selain daripada Yesus, yang adalah hidupnya dan segenap kasihnya? Maka, St. Simeon menubuatkan kepadanya bahwa jiwanya suatu hari kelak akan ditembus oleh pedang dukacita; yang adalah tombak yang ditikamkan ke lambung Yesus, yang adalah jiwa Maria. Dan kemudian, ia dalam dukacitanya melahirkan kita ke dalam hidup yang kekal, sehingga kita semua dapat menyebut diri kita sebagai anak-anak dari dukacita Maria. Ia, bunda kita yang paling lemah-lembut, senantiasa dan sepenuhnya mempersatukan diri pada kehendak ilahi. Itulah sebabnya St. Bonaventura mengatakan, ketika Maria melihat kasih Bapa yang kekal bagi manusia, yang merelakan Putra-Nya wafat demi keselamatan kita, dan kasih Putra yang bersedia wafat bagi kita, Bunda Maria juga, dengan segenap kesediaannya, mempersembahkan Putranya dan `fiat'-nya bahwa Ia wafat agar kita diselamatkan, memberikan diri dalam ketaatan pada kasih tak terhingga Bapa dan Putra kepada umat manusia.

Oleh sebab itu, bersukacitalah, hai kalian semua putera-puteri Maria. Ingatlah bahwa ia mengambil sebagai anak-anaknya mereka semua yang menghendakinya menjadi bunda mereka. Bersukacitalah: adakah yang engkau takuti ketika tersesat apabila Bunda ini membela serta melindungimu? Dengan demikian, kata St. Bonaventura, siapa pun yang mengasihi bunda yang lemah-lembut ini, selayaknya bersikap berani sembari mengulang dalam hatinya: Adakah yang engkau takuti, wahai jiwaku? Sumber keselamatan kekalmu tak akan hilang, sebab pengadilan terakhir ada dalam tangan Yesus, yang adalah saudaramu, dan Bunda Maria, yang adalah bundamu. Dan St. Anselmus, penuh sukacita atas pemikiran ini, berseru guna membesarkan hati kita, “Oh, sumber kepercayaan yang terberkati! Oh, tempat pengungsian yang aman! Bunda Allah adalah bundaku juga. Betapa yakin kita akan pengharapan kita, sebab keselamatan kita tergantung pada pengadilan seorang saudara yang penuh belas-kasihan dan bunda yang lemah-lembut!”

Sebab itu, dengarkanlah bunda kita yang memanggil kita dan berkata, “Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari” (Ams 9;4). Kata “Mama,” senantiasa ada dalam bibir anak-anak kecil, dan dalam segala bahaya dan dalam segala ketakutan, mereka akan berteriak, “Mama! Mama!” Bunda Maria yang termanis, bunda yang paling penuh kasih sayang, itulah kerinduanmu yang sesungguhnya, yaitu agar kami menjadi anak-anak kecil yang senantiasa menyerukan namamu dalam segala bahaya, serta senantiasa mohon pertolongan darimu, oleh sebab engkau rindu menolong serta menyelamatkan kami, sebagaimana engkau telah menyelamatkan segenap anak-anakmu yang berlindung kepadamu.

sumber : "from The Glories Of Mary" by St. Alphonsus Liguori
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”